Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen

47

BAB III SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen

Tradisi kebiasaan adalah salah satu hal yang memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya transformasi hu kum syar’i. Di atas kebiasaan ini, banyak terbangun hukum-hukum fiqh dan qaidah-qaidah furu. Seperti dalam Qaidah fiqhiyah yang kelima yakni: ةمكهم ةداعلا “kebiasaan tradisi itu bisa menjadi h ukum”. Berdasarkan ketentuan Rasulullah yang mengintrodusir adat kebiasaan di masyarakat pada saat itu, apabila ada hewan piaraan di siang hari merusakkan harta milik seseorang, maka bagi pemilik hewan tidak wajib mengganti dlaman pada harta yang dirusak, karena rusaknya kebun pagar di siang hari adalah akibat kelalaian dan keteledoran pemilik kebun, yang semestinya pada saat siang hari ia menjaga kebunnya. Berbeda jika hewan piaraan tersebut merusaknya di malam hari, maka bagi pemilik hewan tersebut wajib mengganti apa saja yang dirusak oleh hewan piaraannya, yang semestinya ia jaga pada saat malam hari. Lepasnya hewan di malam hari merupakan akibat kelalaian dan keteledoran pemiliknya. 1 Kata urf berasal dari kata ‘arafa, yaitu فرعي فرع sering diartikan dengan “al-ma’ruf” فرعملا dengan arti: “sesuatu yang dikenal”. Di antara ahli bahasa 11 Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawaid al-Fiqhiyah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1986, h. 256 yang dikutip dari Dr. H. Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyah Dalam Perspektif Fiqh, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, dengan Anglo Media, 2004, cet. Ke 1, h. 162 48 Arab ada yang menyamakan kata ‘adat dan ‘urf tersebut, kedua kata itu mutaradif sinonim. Seandainya kedua kata tersebut dirangkaikan dalam satu kalimat, seperti: “hukum itu didasarkan kepada ‘adat dan ‘urf tidaklah berarti kata sambung “dan” yang biasa dipakai sebagai kata yang membedakan antara dua kata. Karena kedua kata itu memiliki arti yang sama, maka kata ‘urf adalah sebagai penguat kata ‘adat. Kata ‘adat dari bahasa Arab: ةد اع, akar katanya: داع - دوعي yang mengadung arti: “pengulangan” راركث. Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan ‘adat. Tentang berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut ‘adat, tidak ada ukurannya dan banyak tergantung pada bentuk perbuatan yang dilakukan tersebut. Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari hal segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama- sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya kali, dan dari sudut dikenal yang menyebabkan timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulang kali. Dengan demikian meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan, tetapi perbedaannya tidak berarti. Perbedaan antara kedua kata itu, juga dapat dilihat dari segi pandangan artinya, yaitu: ‘adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu perbuatan 49 dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya perbuatan tersebut. Jadi kata ‘adat ini berkonotasi netral, sehingga ada ‘adat yang baik dan ada ‘adat yang buruk. 2 Jadi, suatu kebiasaan „adat, baik yang berlaku secara umum maupun berlaku secara khusus bisa dijadikan perangkat untuk menetapkan hu kum syar’i, selama tidak ada nash yang melarangnya, atau ada nash, namun tidak secara khusus khas melarangnya, maka suatu adat bisa dijadikan hukum. Jika dicermati kembali sebuah tradisi yang berlangsung di Bali hingga sekarang yang telah dijelaskan di atas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan yang menurut penulis adalah sangat bertentangan dengan Islam. Karena sabung ayam tersebut bertentangan dengan syariat Islam dari cara pelaksanaan yang menunjukkan tidak adanya rasa kasihan terhadap sesama ciptaan Allah SWT. Pelaksanaan Tabuh Rah yang merupakan sebuah ritual upacara pada agama Hindu merupakan sebuah keharusan yang harus dijalankan oleh penganutnya. Karena dengan menjalankannya berarti menjaga keseimbangan seluruh alam atau menurut mereka menjaga keseimbangan antara bhuana agung dan bhuana alit. Namun, pelaksanaan tersebut sangat bertentangan dengan apa yang telah tertulis dalam Al- Qur’an yang berbunyi : …           Artinya: “…Dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. Mengundi nasib dengan anak panah itu adalah kefasikan Q.S. Al-Maidah,[5]:3. 2 Prof Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008, jil. 1, h. 362-364 50 Dan juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi: Artinya: “Telah diriwayatkan oleh Zuhairy ibnu Harbin dan Syuraih ibnu Yunus. Mereka berkata dari Marwan. Berkata Zuhairy: telah diriwayatkan dari Marwan ibnu Muawiyah al-Farariy. Telah diriwayatkan dari Abu Thufail Amir bin Watsilah. Dia berkata: “Pada suatu hari saya sedang berada di dekat Ali bin Abi Thalib. Tiba-tiba, ada seorang lelaki datang kepadanya seraya berkata: ‘hai Amirul mu’minin, apa yang dulu pernah dibisikkan oleh Rasulullah SAW kepadamu? Mendengar hal itu, Ali bin Abi Thalib marah dan berkata, “hai sahabat, ketahuilah olehmu bahwasannya Rasulullah SAW tidak pernah membisikkan sesuatu pun kepadaku secara rahasia kemudian beliau sembunyikan hal itu kepada orang lain. Hanya saja, beliau telah memberitahukan kepadaku empat hal.” Lelaki itu bertanya lagi, “ Apakah empat hal itu ya amirul mu’minin?” Ali bin Abi Thalib pun menjawab, “ Pertama , Allah mengutuk orang yang mengutuk ibu bapaknya. Kedua, Allah mengutuk orang yang menyembelih hewan bukan karena Allah. Ketiga, Allah mengutuk orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Keempat, Allah akan mengutuk orang yang mengubah tanda-tanda batas bumi. 3 Shahih Muslim syarah an-Nawawi, Kitab Tentang Hewan Buruan, Bab Tentang Hewan Sembelihan Yang disembelih Dengan Selain Nama Allah, D ar’ul Hadis, tth, Juz. 7, h. 155 51 Bangsa Arab sebelum Islam merupakan masyarakat penyembah berhala. Mereka membuat patung-patung dari kayu dan sebagainya, kemudian mereka sembah dan mereka agung-agungkan. Dan mereka menyembelih hewan-hewan korban untuk dipersembahkan kepada patung-patung tersebut. Sudah barang tentu perbuatan ini adalah perbuatan yang sesat. Yang patut disembah dan diagungkan hanyalah Allah SWT. Dan manusia dapat menyembah Allah SWT, tanpa perantara apa pun juga. Dan jika ingin berkorban, sembelihlah korban itu, kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada manusia yang dapat memanfaatkannya, jangan kepada patung-patung yang tak akan dapat mengambil manfaat apapun dari daging korban tersebut. Oleh sebab itu sangat tepatlah bila Agama Islam melarang kaum muslimin mempersembahkan korban-korban kepada patung-patung, kemudian Islam menetapkan bahwa korban itu adalah untuk mengagungkan Allah, dan dagingnya dibagikan kepada sesama manusia. 4 Bukan hanya sebagai sesembahan kepada Bhutakala yang telah jelas dilarang oleh Agama Islam yang tujuan dari acara tersebut untuk berhala, prosesi Tabuh rah telah mengalami pergeseran makna dan juga dalam pelaksanaan mengalami penyimpangan yang semula sebagai ritual upacara yang karena melihat pertarungan ayam bagus laiknya seni, maka dijadikan sebagai hiburan, terlebih lagi bukan hanya hiburan melainkan telah dijadikan sebagai acara judi. 4 Departemen Agama Republik Indoneisia, Al- Qur’an dan Tafsirnya Juz 7-8-9,Jakarta: Universitas Islam Indonesia, 2005, jil. 3, h.17-18 52 Islam yang merupakan agama rahmatan lil ‘alamin memberikan cara-cara yang baik untuk menghormati sesama mahluk cipataan Allah. Islam mengajarkan bagaimana cara kita untuk menghormati dan melestarikan kehidupannya. Allah telah menekankan bahwa telah menganugerahi manusia wilayah kekuasaan yang mencakup segala sesuatu di dunia ini, hal ini tertuang dalam surat Al-Jatsiyah 45: 13                    Artinya: “Dan Dia telah menundukkan untukmu segala apa yang ada di langit dan segala apa yang ada di muka bumi; semuanya itu dari Dia; sesungguhnya di dalam yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir ”. Q.S. Al-Jatsiyah,[45]:13 Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa manusia memiliki kekuasaan mutlak carte blance untuk berbuat sekendak hatinya dan tidak pula memiliki hak tanpa batas untuk menggunakan alam sehingga merusak keseimbangan ekologisnya. Begitu pula ayat ini tidak mendukung manusia untuk menyalahgunakan binatang untuk tujuan olahraga maupun untuk menjadikan binatang sebagai objek eksperimen yang sembarangan. Ayat ini mengingatkan umat manusia bahwa sang pencipta telah menjadikan semua yang ada dialam ini termasuk satwa sebagai amanah yang harus mereka jaga. 53 Al-Q ur’an berkali-kali mengingatkan bahwa kelak manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka di dunia, seperti yang termaktub dalam ayat berikut :               Artinya : “Barang siapa melakukan amal saleh, maka keuntungannya adalah untuk dirinya sendiri dan barang siapa melakukan perbuatan buruk, maka itu akan mengenai dirinya sendiri. Dan kelak kamu semua akan kembali kepada Tuhanmu Q.S. Al-Jatsiyah, [45]: 15 Karena itu, umat manusia harus memanfaatkan segala sesuatu menurut cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, Muhammad Fazlur Rahman Anshari menulis: Segala yang di muka bumi ini diciptakan untuk kita, maka sudah menjadi kewajiban alamiah kita untuk : menjaga segala sesuatu dari kerusakan, Memanfaatkannya dengan tetap menjaga martabatnya sebagai ciptaan Tuhan, dan melestarikannya sebisa mungkin yang dengan demikian, mensyukuri nikmat Tuhan dalam bentuk perbuatan nyata. 5 Tradisi sabung ayam pada masyarakat Bali telah lama berlangsung dan hingga sekarang pun kebiasaan tersebut masih sering dilakukan. Baik dalam upacara Tabuh Rah maupun dengan Tajen yang marak dengan para “Babotohnya”. Meskipun upacara Tabuh Rah bagi mereka penganut Agama Hindu merupakan sebuah cara penghambaan kepada Tuhannya, namun cara 5 Sayyid Herlan, Hukum Mengadu Hewan Dalam Islam, http:sayyidherlan24.wordpress.com20100908hukum-mengadu-hewan-dalam-pandangan-islam Artikel ini diakses pada 06 November 2010. 54 pelaksanaan yang dengan cara menyabungkan ayam dengan diberikannya taji dikaki ayam tersebut sehingga salah satu ayam tersebut meneteskan darah dan dianggap kalah. Sedangkan fungsi dilaksanakannya upacara tersebut menurut agama Islam bertentangan dengan apa yang yang ada di dalam Al- Qur’an, yakni manusia tidak mamiliki kekuasaan yang mutlak atas seluruh yang ada di muka bumi ini. Harusnya manusia bisa menjaga dan memelihara sesame makhluk ciptaan Allah bukan malah sebaliknya. Begitu juga dengan tradisi Tabuh Rah juga bertentangan dengan Agama Islam, sebagaimana yang telah ditulis di atas penyembelihan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah atau pun menggunakan cara disabung sama-sama dilarang, terlebih lagi hewan tersebut disembelih atau disabung untuk berhala.

B. Dasar Hukum Tentang Larangan Perjudian Sabung Ayam