Tabuh Rah Cara Pelaksanaan

30 bentuk perkembangan disertai variasi-variasi, sehingga hal itu disebutlah dengan berbagai istilah yang berlain-lainan seperti yang diuraikan dibeberapa prasasti dan lontar-lontar. 8 Kendatipun demikian, namun prinsip yang dikandungnya tidaklah jauh menyimpang dari pada prinsipnya yang semula perubahan bentuk, dan istilah korban darah itu adalah logis terjadi sebagai akibat adanya perkembangan kebudayaan Indonesia dan meningkatnya kemampuan daya pikir bangsa Indonesia di dalam menganalisa suatu persoalan.

C. Cara Pelaksanaan

1. Tabuh Rah

Tabuh Rah pada mulanya mempergunakan darah manusia lalu diganti dengan darah binatang. Binatang yang dijadikan korban adalah jenis binatang yang erat hubungannya dengan kehidupan manusia, yaitu: ayam, itik, angsa, babi dll. Oleh sebab itu maka binatang dijadikan korban, karena binatang adalah sebagai wakil dari anggota kelompok manusia. Maka dalam setiap jenis caru di dipilah ayam sebagai saran yang terutama di dalam caru. Dalam lontar Kandhapat yang dihubungkan dengan mantra-mantar tentang caru, maka terdapat kesesuaian. Karena, ayam memiliki bermacam-macam warna, baik memiliki satu warna dan juga ada yang berwarna campuran. Begitu juga 8 Tabuh Rah, keputusan seminar tafsir agama Hindu ke III tahun 1976, Diterbitkan Oleh Seksi Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama Kab. Buleleng, 1979, h. 12. 31 dengan bhuta yang memiliki warna yang dapat disimbolkan dengan warna ayam yang bermacam-macam yang juga dapat mencapai keharmonisan, karena memiliki persesuaian warna dengan bhuta itu, misal: bhuta putih diberi caru ayam putih, bhuta abang diberi caru ayam biying, bhuta hitam diberi caru ayam brumbun. Pelaksanaan upacara Tabuh Rah memerlukan waktu dewasa. Yang umumnya dilaksanakan oleh masyarakat Bali yaitu pada pukul 12 siang pada saat hari tilem bulan tidak kelihatan sama sekali atau bisa juga pada saat sore hari pada pukul 5 sore. Prosesi Tabuh Rah adalah prosesi yang sakral, prosesi yang suci. Ada tata cara keagamaan dan larangan-larangan atau persyaratan- persyaratan di dalamnya. Salah satu persyaratan adalah harus ada ayam yang kalah dan menang, karena kalau dari hasil pertarungan ayam hasilnya seri maka pertarungan tersebut akan diulang dan pendeta akan menaburkan arak dilokasi hingga dalam pertarungan berikutnya tidak ada hasil yang seri lagi. Dalam penaburah darah ada beberapa macam dan disertai variasi tertentu yakni sebagai berikut: a. Daerah Buleleng bagian barat yaitu daerah Ngenjung, pada waktu mengadakan yajna besar karya agung, binatang yang dijadikan caru terlebih dahulu dikelilingkan tiga kali ditempat upacara mapadhapa dan pada tiap penjuru tempat upacara pura, binatang korban itu ditombak-tombak sehingga darahnya berceceran ditempat upacara. Menurut istilah disana disebut mabayang-bayang 32 b. Di Pura Penatran Agung di desa Pangotan Daerah Tk. II Bangli, tiap-tiap lima tahun sekali yaitu hari purnama kedasa, orang desa disana mengadakan karya Ngasaba setelah bhatara-bhatara dalam wujud pratima-pratima atau arca- arca dikelilingkan berjajar di balai panjang dijaba tengah, lalu seekor kerbau hitam yang akan dijadikan korban atau caru diikatkan pada pohon yang ada di depan balai panjang itu. Setelah kerbau itu terlebih dahulu diupacarai, lalu ditikam dengan keris khusus untuk itu oleh seorang petugas tertentu Jero Bahu, sehingga darahnya membasahi tanah tempat upacara yang akan diadakan lebih lanjut. c. Di desa Cemagi Daerah Tk. II Badung dan juga desa-desa lainnya umumnya Bali, setiap mengadakan pecaruan atau karya upacara-upacara dipura atau di dalam perumahan, maka disaat mengakhiri pecaruan atau upacara, lalu dilakukan penyembelihan yaitu: seekor ayam kecil atau babi butuhan dipotong lehernya dengan keris lalu darahnya ditaburkan ditempat upacara tersebut. Hal ini ada persesuaiannya dengan keadaan di jaman Majapahit dahulu, dimana juga dilakukan pemotongan kepala ayam sebagai upacara berkorban. d. Hampir diseluruh Bali orang beranggapan bahwa tabuh rah itu adalah sabungan ayam. Secara sepintas anggapan hal ini nampaknya beralasan juga seperti di dalam prasasti Batur Agung A 933 Saka, prasasti Batuan 944 Saka dengan istilah: “manawung” dan lontar Ciwatattwa purana menyebut dengan gan istilah: “perang Satha”. 33 Jadi dapat disimpulkan dalam membuat caru atau korban binatang kepada bhuta kala terdapat berbagai variasi menurut tradisi dan kondisi setempat, karena masing-masing desa adat di Bali, mempunyai corak kekhususan tersendiri, sehingga sulitlah menemukan suatu bentuk upakara dan upacara yang persis sama. Sehingga Tabuh Rah dalam bhutayajna adalah perlu bukan merupakan suatu saran yang prinsipil karena mengandung makna mengharmoniskan hubungan Panca Mahabhuta di bhuana agung dengan Panca Mahabhuta di bhuana alit. Prosesi pelaksanaan Tabuh Rah di Pura daerah Denpasar, 9 bahwa setiap pelaksanaan upacara tersebut diwajibkan menggunakan pakaian adat, dengan membawa banten sesaji dan perlengkapannya yang di dalamnya terdapat “kelapa, telor, canang sari dupa, beras, uang kepeng, dan kelapa tadi dililit dengan benang warna merah, putih dan hitam, kemudian banten tersebut diberikan kepada pemangku atau orang yang dianggap suci, barulah binatang tersebut dikelilingkan atau dilepaskan dalam pura tempat yang akan diadakan Tabuh Rah yang dilaksanakan dengan perang Satha hingga binatang tersebut mengeluarkan darah pada tempat pelaksanaan Tabuh Rah pura tersebut, baru setelah itu dilanjutkan dengan adu kelapa dan telur dengan disertakan ucapan mantra-mantra oleh pemangku tersebut sebagai akhir dari sebuah ritual upacara. Jadi dalam hal ini yang bisa dikatakan Tabuh Rah hanya ronde pertama saja. 9 Hasil pengamatan yang dilakukan penulis pada pelaksanaan ritual tabuh rah di pura Padang Samben pada tanggal 23 September 2010 Tilem Kesanga. 34

2. Tajen