AMFOTERISIN B OBAT ANTI JAMUR SISTEMIK

7. AMFOTERISIN B

2,6-9,25,30,37 Amfoterisin B merupakan antibiotik makrosiklik polyene yang berasal dari Streptomyces nodosus, diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan sebagai anti jamur pada manusia di tahun 1960. Amfoterisin B deoxycholate formula konvensional digunakan untuk pengobatan infeksi deep mikosis, pemberian secara parenteral sering menimbulkan efek toksik terutama pada ginjal nefrotoksik sehingga kemudian dikembangkan 3 jenis formula yang kurang toksik terhadap ginjal dengan dasar lemak lipid-based formulations yaitu 1 Liposomal amfoterisin B AmBisome, obat ini diselubungi dengan phospholipid yang mengandung liposome. 2 Amfoterisin B lipid kompleks Abelcet, ABLC, merupakan suatu kompleks dengan fosfolipid yang membentuk struktur seperti pita. 3 Amfoterisin B kolloidal dispersion Amphocil, Amphotec, ABCD, merupakan suatu kompleks dengan cholesterol sulphate yang membentuk potongan lemak yang kecil. Mekanisme kerja Amfoterisin B berikatan dengan ergosterol sehingga membran sel jamur menjadi rentan selanjutnya mengakibatkan fungsi barrier membran menjadi rusak, hilangnya unsur-unsur penting sel, menggangu metabolisme dan matinya sel jamur. Efek lain pada membran sel jamur yaitu amfoterisin B dapat menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel jamur. Aktifitas spektrum Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap : Aspergillus species, Mucorales species, Blastomyces dermatitidis, Candida species, Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei. Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fusarium species, Malassezia furfur, Scedosporium species dan Trichosporon asahii biasanya resisten. Farmakokinetik Amfoterisin B sangat sedikit diserap dengan cara pemberian oral bioavaibilitasnya kurang dari 5, sehingga untuk tetap mempertahankan konsentrasi serum yang adekuat diberikan secara intravenous. Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008 USU e-Repository © 2009 20 Formula konvensional Pemberian parenteral formula konvensional dengan dosis 1 mgkgBB akan menghasilkan konsentrasi serum yang maksimum sebanyak 1,0-2,0 mgl. Kurang dari 10 dari dosis tersebut akan menetap di dalam darah setelah 12 jam pemberian dan lebih dari 90 akan berikatan dengan protein. Sebagian besar ditemukan pada hepar 40 dari dosis, paru-paru 6 dari dosis, ginjal 2 dari dosis sedangkan pada cairan cerebrospinal CSF kurang dari 5 konsentrasi darah. Formula konvensional mempunyai waktu paruh fase ke dua ± 24-48 jam dan waktu paruh fase ke tiga ± 2 minggu. Formula dengan dasar lemak lipid-based formulations Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti amfoterisin B lipid kompleks ABLC, akan menghilang dengan cepat dari dalam darah tetapi sebagian kecil liposome akan menetap di sirkulasi untuk jangka waktu yang lama. Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B AmBisome yaitu 10-35 mgL dengan dosis 3 mgkgBB dan 25-60 mgL untuk dengan dosis 5 mgkgBB. Level 5-10 mgL dapat di deteksi setelah pemberian 24 jam dengan dosis 5 mgkg BB. Pemberian liposomal amfoterisin B menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi di dalam hepar dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi obat pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Waktu paruh liposomal amfoterisin B berakhir waktu ± 100-150 jam. Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks setelah pemberian parenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional sehingga distribusi obat pada jaringan lebih cepat, dimana level maksimum dicapai 1-2 mgL setelah pemberian dosis 5 mg kgBB selama 1 minggu. Pemberian amfoterisin B lipid kompleks menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar, limpa dan paru- paru dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formulasi konvensional. Waktu paruh amfoterisin B lipid kompleks berakhir ± 170 jam. Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B kolloidal dispersion sekitar 2 mgL dengan dosis 1 mgkgBB, tetapi level obat di dalam darah akan segera menurun setelah pemberian berakhir dan dijumpai distribusi obat yang cepat ke jaringan. Pemberian Amfoterisin B kolloidal dispersion akan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008 USU e-Repository © 2009 21 sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Dosis Formula konvensional Kebanyakan pasien dengan infeksi deep mikosis diberikan dosis 1-2 gr amfoterisin B selama 6-10 minggu tergantung dari kondisi pasien. Orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal diberikan dosis 0,6-1,0 mgkg BB. Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu di test dengan dosis 1 mg amphotericin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam anak- anak dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg kemudian di observasi dan di monitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap 30 menit oleh karena pada beberapa pasien dapat timbul reaksi seperti hipotensi yang berat atau reaksi anaphylaxis. Dosis obat dapat ditingkatkan lebih dari 1 mgkg BB tetapi tidak melebihi 50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan, konsentrasi di dalam darah akan stabil dan level obat di jaringan makin bertambah dan memungkinkan obat diberikan pada interval 48 atau 72 jam. Formula dengan dasar lemak lipid-base formulations Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0 mgkg BB tetapi dosis ini dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mgkg BB atau lebih. Formula ini harus di infus dalam waktu 2 jam, jika dapat diterima maka waktu pemberian dapat di persingkat menjadi 1 jam. Obat ini telah diberikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15 g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3 mgkg BBhari. Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid kompleks yaitu 5 mgkg BB dan di infuskan dengan rata-rata 2,5 mgkg BBjam. Obat ini telah diberikan pada individu selama 11 bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis awal amfoterisin B kolloidal dispersion yaitu 1,0 mgkg BB dan jika dibutuhkan dosis dapat ditingkatkan menjadi 3,0-4,0 mgkg BB. Formula ini di infuskan dengan rata-rata 1 mgkg BBjam. Obat ini telah diberikan pada individu dengan dosis kumulatif 3 gr tanpa efek samping toksik yang signifikan. Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008 USU e-Repository © 2009 22 Efek samping Formula konvensional Pemberian formula konvensional dengan cara intravenous dapat segera menimbulkan efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi kaku, biasanya timbul setelah 1-3 jam pemberian obat. Mual dan muntah dapat juga dijumpai tetapi jarang sedangkan dan lokal phlebitis sering juga dijumpai. Efek samping toksik yang paling serius adalah kerusakan tubulus ginjal. Kebanyakan pasien yang mendapat formula konvensional sering menderita kerusakan fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih dari 0,5 mgkg BBhari. Formula konvensional dapat juga menyebabkan hilangnya potassium dan magnesium. Pasien yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul normokromik dan normositik anemia yang sedang. Formula dengan dasar lemak lipid-based formulations Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian amphotericin B lipid kompleks dan amfoterisin B kolloidal dispersion lebih sedikit dibandingkan dengan formula konvensional. Efek samping yang dapat dijumpai yaitu demam, menggigil dan hipoksia yang dilaporkan sekitar 25 penderita yang menggunakan obat tersebut tetapi biasanya tidak menetap. Formula dengan dasar lemak kurang menimbulkan efek samping pada ginjal dibandingkan formula konvensional dan dari hasil penelitian konsentrasi serum kreatinin menunjukkan : kerusakan ginjal akibat amfoterisin B lipid kompleks sebanyak 25, amfoterisin B kolloidal dispersion sebanyak 15 , liposomal amfoterisin B sebanyak 20 sedangkan formula konvensional sebanyak 30-50. Efek samping yang lain dari formula dengan dasar lemak yaitu peningkatan liver trasaminase, alkalin phosphatase dan konsentrasi serum bilirubin. Pasien yang mendapat pengobatan liposomal amfoterisin B di jumpai test fungsi hati yang tidak normal sekitar 25-50 tetapi biasanya tidak menetap. Interaksi obat Amfoterisin B dapat menambah efek nefrotoksik obat lain seperti antibiotik aminoglikosida, siklosporin, antineoplastik tertentu sehingga kombinasi obat diatas harus hati-hati. Kombinasi obat amfoterisin B dengan kortikosteroid atau digitalis glikosid dapat menimbulkan hipokalemi. Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008 USU e-Repository © 2009 23

8. CASPOFUNGIN