Menurut Hukum Adat Cara Pemindahan Hak Kepemilikan Menurut Hukum Islam Dan Hukum

5 Barang dan harga yang jelas Salah satu syarat dalam jual beli adalah kejelasan barang dan harganya. Kejelasan yang dimaksud disini adalah meliputi ukuran, takaran, dan timbangan jenis dan kualitas barang. 6 Barang yang dipegang Selain syarat-syarat tersebut diatas, maka barang yang boleh dijual adalah yang di pegang atau dikuasai. Hikmah larangan syara’ menjual barang yang belum ditangan ialah untuk kemaslahatan semua pihak yang melakukan transaksi agar terhindar dari kesamaran, resiko keerugian dari pertentangan yang tidak diinginkan. 90 Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedang qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Ijab qabul itu diadakan dengan maksud untuk menunjukkan adanya sukarela timbale balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan. Apabila ijab dan qabul telah diucapkan dalam akad jual beli, maka pemilikan barang atau uang telah berpindah tangan. Barang yang berpindah tangan itu menjadi milik pembeli dan nilai tukaruang berpindah tangan menjadi milik penjual. 91

2. Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat bahwa cara pemindahan hak kepemilikan tidak berbeda dengan cara pemindahan hak kepemilikan menurut hukum Islam. Hampir semua cara yang telah ada dalam hukum Islam, dikenal juga dalam hukum adat. Hal ini 90 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung : Diponegoro, 1984, h. 88. 91 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat Hukum Perdata Islam, Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia, 2000, h. 65. Universitas Sumatera Utara barang kali dipengaruhi oleh faktor keagamaan, dimana mayoritas penduduk Indonesia menganut Agama Islam. a. Hibah Hibah dalam pengertian hukum adat adalah pembagian keseluruhan ataupun sebagian daripada harta kekayaan semasa pemiliknya masih hidup. Masalah hibah ini telah lama dipraktekkan oleh masyarakat adat sampai sekarang, karena mereka menghendaki agar harta tersebut dapat diberikan sesuai dengan kehendak pemilik harta, di samping harta juga ingin mengetahui kepada siapa hartanya dibagikan sebelum ia meninggal dunia. Pengertian hibah dalam hukum adat adalah pembagian harta peninggalan diwaktu masih hidup pemiliknya dan diperuntukan buat dasar kehidupan materil anggota-anggota keluarga. 92 Penghibahan itu cirinya ialah penyerahan barangnya berlaku dengan seketika. 93 Hibah dalam hukum adat juga dikenal dengan istilah hibah wasiat, yang maksudnya adalah orang tua membagi-bagi hartanya dengan cara yang layak menurut anggapannya, ketika ia masih hidup. 94 Penghibahan ini dilakukan untuk mencegah perselisihan, keributan dan cekcok dalam membagi harta peninggalannya kemudian hari. Menurut hukum adat bahwa orangtua itu terikat pada aturan, yakni semua anak harus mendapat bahagian yang patut daripada harta peninggalan. Selain daripada itu 92 Ter Haar, Op. Cit., h. 210. 93 Ibid., h.211 94 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Toko Gunung Agung, Jakarta, 1995, h. 174. Universitas Sumatera Utara ia bebas dalam hal caranya membagi dan menentukan besarkecilnya bahagian masing-masing. 95 Ridwan Halim berpendapat bahwa adanya ketentuan tentang legitieme portie merupakan suatu pembatasan atau rentriksi terhadap hibah. Menurut Prof.Soepomo bahwa sasaran hibah itu sebagai berikut: 1 Mereka yang menerima barang-barang harta itu adalah ahli waris, yaitu istri dan anak-anak. 2 Orang tua yang mewariskan itu, meskipun terikat oleh peraturan, bahwa segala anak harus mendapat bagian yang layak hingga tidak diperbolehkan melenyapkan hak waris sesuatu anak adalah bebas di dalam menetapkan barang-barang manakah akan diberikan kepada anak A dan barang-barang anak kepada anak B atau kepada istri. 96 Menurut hukum adat bahwa penghibahan itu: a Harus dilakukan secara terang supaya mendapat perlindungan hukum. b Pengakuan menurut kenyataan. c Pemeberitahuan atas terjadinya hibah kepada kaum kerabat. 97 Dalam prakteknya, hibah dalam masyarakat adat terdapat dua macam cara penghibahan, yakni: Pertama, pemberian hak pakai, sekaligus juga hak milik atas suatu harta hibah kepada seseorang. Kedua, pemberian hak pakainya saja, sedangkan hak milik atas harta hibah tersebut tetap dipegang oleh pemilik harta. 98 95 Ter Haar, Op. Cit., h. 211. 96 Soerojo Wignjodipoero, Op. Cit., h. 175. 97 Ter Haar, Op. Cit., h. 210. Universitas Sumatera Utara b. Wasiat Dalam hukum adat, wasiat adalah pemberian yang dilaksanakan oleh seseorang kepada ahli warisnya atau orang tertentu yang pelaksanaannya dilakukan setelah orang yang menyatakan wasiat itu meninggal. Wasiat di buat karena berbagai alasan yang biasanya adalah untuk menghindarkan persengketaan, perwujudan rasa kasih sayang dari orang yang menyatakan wasiat. Orang yang menyatakan wasiat dapat mencabut kembali wasiat yang dinyatakan atau telah diikrarkan. Pelaksanaan wasiat dalam hukum adat tidak perlu dilakukan dihadapan notaris, tetapi cukup diucapkan secara lisan dihadapan keluarga atau ahli waris yang hadir pada waktu pernyataan wasiat dilaksanakan. Adapun di dalam hukum adat yakni mengenai hibah wasiat dimana hibah wasiat juga merupakan suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan yang semasa hidupnya keinginannya untuk terakhir kali tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli warisnya dan hibah wasiat ini baru akna beraku setelah kelak ia meninggal dunia. Maksud dari hibah wasiat ini adalah agar para ahli waris mempunyai kewajiban untuk membagi-bagi harta peninggalan orangtuanya sesuai dengan cara yang telah ditetapkan dalam hibah wasiat tersebut. Maksud yang kedua ialah untuk mencegah perselisihan, keributan danatau cekcok diantara para ahli waris dalam membagi harta peninggalan orangtuanya tersebut kelak kemudian hari. Selain itu dengan hubah wasiat si peninggal warisan menyatakan secara mengikat sifat-sifat barang-barang yang akan menjadi harta warisan seperti: barang pusaka, barang yang disewa, barang yang dipegang dengan hak gadai, dan sebagainya. Hibah wasiat menurut Soepomo mempunyai dua corak sebagai berikut: 98 A Ridwan Halim, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, September 1989, h. 87. Universitas Sumatera Utara 1 Mereka yang menerima barang-barang harta itu adalah ahli waris yakni istri dan anak-anak. Oleh sebab itu pewarisan atau hibah wasiat hanya merupakan perpindahan harta benda antar sesame ahli waris. 2 Orang tua yang mewariskan harta tersebut terikat dengan peraturan yaitu bahwa semua anak harus mendapat bagian yang layak, dan tidak diperkenankan untuk melenyapkan atau menghilangkan hak dari seorang anak. 99 c. Warisan Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya “Hukum Warisan di Indonesia” memberi pengertian warisan sebagai berikut: “…Warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup” Proses peralihannya itu sendiri, sesungguhnya sudah dapat dimulai semasa pemilik pemilik harta kekayaan itu sendri masih hidup serta proses itu selanjutnya berjalan terus, hingga keturunannya itu masing-masing menjadi keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri-sendiri yang kelak pada waktunya mendapat giliran untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi yang berikutnya keturunannya juga. Hal yang penting dalam masalah warisan ini adalah bahwa pengertian warisan itu memperlihatkan adanya tiga unsure masing-masing merupakan unsure yang esensial mutlak, yakni 100 : 1 Seorang peninggal warisan yang pada saat wafatnya meninggalkan harta kekayaan. 99 Materi Kuliah Fakultas Hukum USU Oleh Malem Ginting. 100 Ibid. Universitas Sumatera Utara 2 Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan ini. 3 Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PELAKSANAAN WARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BATAK DI

PADANG LAWAS A. Hukum Waris Yang Hidup Dalam Masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas Masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang lawas juga memiliki hukum perdata adat yang mereka istilahkan dengan uhum perdata adat. Uhum perdata adat Padang Lawas sebenarnya tidak begitu berbeda dengan hukum perdata yang berlaku dalam negara Indonesia, sebab apa yang ada dalam uhum perdata adat, sebagiannya juga ada dalam KUHperdata. Adapun uhum perdata adat Padang Lawas secara garis besar mengatur masalah pertanahan, keturunan, warisan, perkawinan dan perniagaan. 101 Dalam hukum waris adat, keturunan darah ayah sebagai titik tolak untuk menelusuri orang-orang pewaris. Hubungan keluarga terdekat dan jenis kelamin laki-laki merupakan golongan yang utama untuk mendapatkan hak waris terhadap harta benda. Sehingga golongan anak laki-laki beserta turunannya menurut garis vertikal adalah menjadi golongan yang utama. Prinsip hukum waris adat Padang Lawas adalah hanya pihak laki-laki saja yang dijadikan sebagai ahli waris utama, sedangkan pihak perempuan jugga sebagai ahli haris, namun bagiannya disebut sebagai Olong ate, yakni pemberian kasing sayang semata dari saudara laki-lakinya. Pemberian semacam ini dalam adat dinamakan pemberian berdasarkan olong ate. Olong, artinya: kasih sayang, sedangkan Ate, artinya : hati. Jadi pemberian Olong Ate merupakan pemberian didasarkan kasih sayang. 101 Anwar Sadat Harahap, Tinjauan Analisis Hukum Pidanan dan Hukum Perdata Adat Tapanuli Selatan, 2003, Edisi Pertama, Medan, UMN Press, h. 41. Universitas Sumatera Utara Sekalipun bagiannya memang didasarkan Olong Ate, namun jumlahnya sudah ditentukan menurut hukum adat yang berlaku selama ini dalam praktek sehari-hari. Biasanya jumlah bagian berdasarkan Olong Ate ini adalah tidak melebihi bagian laki-laki dan tidak ada ukuran minimalnya. Selain itu, apa jenis bagian dan dimana letak bagian seorang perempuan, sepenuhnya ditentukan oleh anak laki-laki. Dalam hukum perdata adat masyarakat adat batak di Padang Lawas bahwa jenjang atau tingakatan pewaris sebagai berikut: 102 1. Anak laki-laki kandung. 2. Cucu laki-laki kandung. 3. Ayah kandung, kalau tidak ada anak atau cucu laki-laki kandung dan seterusnya. 4. Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada yang tersebut di atas. 5. Anak-anak saudara laki-laki kandung dan seterusnya, kalau tidak ada yang tersebut di atas. 6. Istri berhak mendapat pertanggungjawaban penuh atas belanja dan tempat tinggal dan perawatan dari seluruh anaknya yang laki-laki. Harta peninggalan si ayah diutamakan untuk mencukupi kebutuhan si ibu selama hidupnya, baru selebihnya dimanfaatkan anak-anaknya. 7. Anak perempuan tidak memperoleh hak waris dengan pembagian tertentu dalam adat. Cuma ada pemberian yang bersifat kasih sayang Olong Ate. Baik berupa benda bergerak atau tidak, seperti sawah, kerbau, kebun dan lain sebagainya. Pemberian untuk anak perempuan ini disebut “ Ulos na so ra buruk : Kain selimut yang tidak mau lapuk” atau Olong ate: pemberian berdassrkan kasih sayang semata. 102 Ibid. Universitas Sumatera Utara Tidak semua harta peninggalan atau harta warisan dapat dibagi-bagi oleh ahli waris menurut masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas. Tetapi harta warisan yang dapat dibagi-bagikan hanya tertuju pada 3 tiga jenis, yaitu: 103 a. Harta pusaka tinggi adalah harta yang berasal dari warisan nenek, turun ke ayah, kemudian turun ke cucu. Jika nenek meninggal dunia, maka yang berhak menjadi pewaris adalah amang tua, uda. Jika ada anak perempuan dinamakan anak boru, bagiannya hanya merupakan pemberian saja. Pemberian cuma-cuma ini dinamakan dengan istilah saba ulos. b. Harta warisan yang asalnya dibeli orang lain. Jika orang tua sebagai pemilik harta tersebut meninggal dunia, maka anak laki-lakinya yang menjadi pewaris keseluruhan harta yang ditinggalkannya. Jika ada anak perempuan, maka bagiannya terserah berapa banyak yang akan diberikan oleh saudara laki-lakinya. Jadi yang menjadi ahli waris dalam hukum adat Padang Lawas adalah hanya pihak laki-laki saja, sedangkan bagian anak perempuan bukan merupakan ahli waris. Jadi kalaupun ada bagian yang mereka terima itu hanya pemberian Olong Ate ungkapan rasa kasihan saja. c. Harta warisan yang dibelikan secara bersama-sama dengan orang yang menjadi pewaris sebelum ia meninggal dunia. Hsl ini dapat terjadi antara suami dan istri, antara orang yang melakukan kerjasama yang menimbulkan adanya harta. Namun setelah harta terkumpul, salah satu pihak meninggal dunia, maska pihak yang masih hidup, secara otomatis akan menjadi ahli waris. Ketiga jenis macam harta warisan di atas merupakan harta warisan yang sah untuk dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak sesuai dengan ketentuan hokum adat. 103 Ibid., h.52. Universitas Sumatera Utara Hukum waris adat Padang Lawas menganut prinsip patrilinial, yakni prinsip keturunan pihak ayah saja. Kalaupun ada anak perempuan, bagiannya adalah diperoleh dari bagian suaminya, bukan dari bagian harta ayahnya. Prinsip semacam ini mengandung keadilan dalam pandangan hukum adat. Artinya, nilai keadilannya dapat dibuktikan dengan adanya konsistensi perolehan warisan melalui anak laki- laki, bukan melalui anak perempuan. Sekalipun demikian hasil perolehan warisannya tetap sama sesuai dengan hak-hak yang diperoleh laki-laki. Keadilan yang dimaksudkan disini adalah sekalipun bagian seorang anak permpuan lebih sedikit dari anak laki-laki dalam keluarganya sendiri, namun suaminya sebagai anak laki-laki dalam keluarga suaminya akan memperoleh bagian yang lebih besar dari saudara perempuan suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa ada saatnya ia memperoleh bagian sedikit, yakni dari keluarga ayahnya. Pada kesempatan yang lain ia memperoleh bagian yang banyak melalui perantaraan bagian yang diperoleh suaminya. Inilah letak keadilan dalam pembagian warisan dalam masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas Utara. Prinsip pembagian warisan semacam ini menunjukkan betapa tinggi dan mulianya harkat dan martabat anak laki-laki dalam masyarakat Mandailing. Ketinggian martabatnya dibuktikan dengan diberikaannya bagian lebih banyak daripada bagian perempuan. Sekalipun demikian bukan berarti perempuan menjadi rendah martabatnya dikarenakan memperoleh bagian yang lebih sedikit daripada laki-laki karena masyarakat Mandailing beranggapan bahwa harta warisan yang diperoleh perempuan akan bertambah ketika ia menikah dengan suaminya yang merupakan ahli wsris dari garis keturunan patrilineal, sehingga dasar inilah yang menjadi acuan bahwa anak perempuan mendapatkan bagian yang lebih sedikit dari anak laki-laki. Universitas Sumatera Utara Umumnya masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas lebih sering dan lebih senang menggunakan hukum adat dalam setiap pembagian warisan dari dulu sampai sekarang, karena mereka mengganggap materi hukumnya memiliki keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam paparan tabel berikut: Tabel1. Jawaban responden tentang pilihan hukum yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat mandailing di Kabupaten Padang Lawas No Jawaban Responden Jenis Kelamin Jumlah L P 1. Hukum adat 6 4 10 66,67 2. Hukum Islam 2 1 3 20 3. Hukum adat dan hukum Islam 1 1 2 13,33 Jumlah 9 6 15 100 Sumber: Hasil Wawancara 2014 Data diatas menunjukkan bahwa terdapat 66,67 responden yang terdiri dari 6 orang laki-laki dan 4 orang perempuan menjawab bahwa hukum adat sangat diminati dan di amalkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Mandailing dalam pembagian warisan, dan terdapat 20 yang terdiri dari 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan memilih hukum Islam untuk diamalkan dalam kehidupan sehari oleh masyarakat mandailing dan hanya 13,33 yang mana terdiri dari 1 orang laki- laki dan 1 orang perempuan memilih untuk menggunakan hukum adat dan hukum Islam. Dari tabel diatas dapatlah disimpulkan bahwa masyarakat Mandailing yang tinggal di Kabupaten Padang Lawas lebih dominan memilih hukum adat untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam pelaksanaan warisan. Universitas Sumatera Utara Hukum adat dipilih karena hukum adat menjadi adat kebiasaan yang berlaku dan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Walaupun tidak tertulis tetapi hukum adat mempunyai kekuatan yang mengikat dalam masyarakat, karena sesuai dengan cita- cita hukum rechtsideea dan perasaan hukum rechtsgevool masyarakat. Hukum adat ini memiliki peran yang sangat penting khususnya dalam pengaturan pelaksanaan warisan dalam masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas. Sebab dalam hukum adat tersebut telah diatur di dalamnya tentang cara pelaksanaan dan penyelesaian sengketa pembagian warisan, sistem musyawarah dan prosedur penyelesaiannya, dan jenis sanksi yang dijatuhkan terhadap pihak yang memicu timbulnya sengketa pembagian warisan. Masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas masih menggunakan hukum waris adat dalam pembagian warisan dan hal ini sudah turun menurun dari nenek moyang yang terdahulu, dimana pembagian warisan dilakukan berdasarkan garis keturunan ayah.

B. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang Berlaku Pada Masyarakat