pembagian warisan dengan menggunakan hukum adat lebih membawa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Dalam hal ini meskipun anak perempuan hanya mendapatkan bagian tertentu dari harta peninggalan orang tuanya, mereka tetap mengganggap bahwa pelaksanaan
pembagian warisan dengan menggunakan hukum adat lebih membawa keadilan bagi mereka sendiri, hal ini dipengaruhi oleh beberapa sebab yakni dimana walaupun
anak perempuan tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya, mereka akan di berikan Olong Ate yakni berupa pemberian berdasarkan rasa kasih sayang dari
saudara laki-lakinya dan selama ia belum menikah maka ia akan dipelihara oleh saudara laki-lakinya sampai ia menikah maka ia akan menjadi tanggung jawab
suaminya. Selain mereka masyarakat yang beradat, masyarakat mandailing juga
merupakan masyarakat yang agamis, yakni masyarakat yang selalu mengamalkan dan menjunjung tinggi ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini
dibuktikan dengan terdapatnya 33,33 yang terdapat dalam tabel 2 responden menjawab bahwa pelaksanaan pembagian warisan dengan menggunakan hukum
Islam.
C. Penyelesaian Sengketa Warisan Pada Masyarakat Mandailing di Kabupaten
Padang Lawas
Dalam masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas, memang tidak tertutup kemungkinan untuk terjadi perselisihan yang menyangkut berbagai hal,
termasuk masalah pembagian warisan. Datangnya masalah dan sengketa dalam warisan tidak perlu ditakuti, apalagi
lari dari masalah yang dihadapi. Melainkan, semua masalah yang ada, harus dihadapi, dicarikan solusi, pemecahan dan penyelesaiannya dengan cara yang baik,
Universitas Sumatera Utara
arif dan bijaksana dengan memanfaatkan kearifan lokal yang ada dalam daerah masing-masing.
Memang tidak tertutup kemungkinan untuk terjadi perselisihan yang menyangkut warisan dalam masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas.
Apabila terjadi sengketa yang menyangkut warisan, maka cara penyelesaiannya dilakukan dengan menggunakan prosedur sebagai berikut:
1. Dilakukan pelaporan atau pengaduan dari salah satu pihak yang bersengketa
kepada pihak keluarga yang bersengketa. 2.
Setelah laporan diterima maka dilakukan mediasi dalam lingkungan keluarga yang bersengketa.
3. Jika masalah sengketa warisan belum dapat diselesaikan dalam tingkatan
musyawarah keluarga, maka dilanjutkan dengan musyawarah yang dihadiri oleh pihak harajaon dan hatobangun.
4. Semua pihak mendengarkan permasalahan masing-masing pihak yang
berperkara. 5.
Para hatobangun, harajaon, perwakilan masyarakat adat Dalihan na Tolu suatu lembaga adat kemasyarakatan yang merupakan suatu kesatuan dari
seluruh masyarakat yang memiliki aturan adat tersendiri dalam mengarur berbagai sendi kehidupan yang dapat dipergunakan sebagai adat dalam
mengatasi berbagai benturan hak dan kewajiban melakukan peninjauan terhadap bukti-bukti yang masih ada.
6. Setelah itu, baru dijatuhkan putusan yang sebenarnya.
119
Prosedur penyelesaian sengketa warisan ini pada hakikatnya hampir sama dengan dibeberapa daerah penelitian, kalaupun ada perbedaannya hanya terletak
pada teknisnya saja, bukan pada substansinya. Dari berbagai prosedur yang
119
Hasil dari wawancara dengan beberapa raja adat Padang Lawas
Universitas Sumatera Utara
ditemukan pada masing-masing masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas yang tinggal di masing-masing lokasi penelitian, prosedur penyelesaian sengketa
warisan dapat disimpulkan sebagai berikut: a.
Adanya penerimaan pelaporan dari masyarakat akan adanya sengketa warisan yang perlu diselesaikan, para pihak yang bersengketa dan pelaporan dari
perwakilan keluarga kedua belah pihak yang bersengketa. b.
Para hatobangun, harajaon dan perwakilan masyarakat Dalihan na Tolu memanggil para pihak yang berperkara untuk mencari duduk masalahnya.
c. Pemanggilan para pihak yang bersengketa secara terpisah untuk memintai
keterangan tentang: 1
Akar permasalahan terjadinya sengketa warisan; 2
Memberikan nasehat dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang dihadapi;
3 Memberikan alternatif pilihan yang harus diambil dari tawaran yang
diberikan; 4
Memberikan siraman rohani. d.
Pemanggilan para pihak yang bersengketa secara bersamaan dengan maksud: 1
Mendengarkan keterangan para pihak yang bersengketa secara bergantian dihadapan majelis adat;
2 Mendengarkan keterangan dan pendapat dari pihak yang pernah ikut
dalam menyelesaikan sengketa tersebut; 3
Melakukan mediasi atau perdamaian diantara para pihak yang bersengketa;
4 Memberikan tenggang waktu untuk berfikir kembali sebelim
menjatuhkan pilhan yang ditawarkan oleh majelis adat.
Universitas Sumatera Utara
e. Dilakukan musyawarah di dalam Majelis adat Mandailing setelah tenggang
waktu 2 pekan 2 minggu dari pemanggilan para pihak yang bersengketa sebelumnya. Dalam sidang ini yang dilakukan adalah:
1 Mendengarkan keterangan masing-masing dihadapan Majelis adat;
2 Meminta pendapat akhir dari masing-masing para pihak yang
bersengketa; 3
Memberikan gambaran yang jelas akan keuntungan dari perdamaian yang dilakukan;
4 Memberikan gambaran yang jelas terhadap akbat hukum ynag
ditimbulkan dari ketidak adanya kesepakatan perdamaian; 5
Memberikan selang 2 jam untuk melakukan pertimbangan akhir antara para pihak yang bersengketa;
6 Memberikan putusan akhir atas penyelesaian sengketa tersebut.
Putusan ada 2 macam : 1. Damai
2. Pemutusan hubungsn hukum f.
Yang bertindak sebagai pemutus dalam musywarah adat adalah: 1 Harajaon;
2 Hatobangun; 3 Perwakilan masyarakat Dalihan na Tolu.
Untuk menguatkan keputusan tersebut, biasanya diberikan ingot-ingot dari pihak yang dimenangkan. Gunanya supaya mereka yang menerima ingot-ingot
tersebut diharapkan lebih ingat lagi akan hasil keputusan sendiri. Biasanya orang yang mendapat ingot-ingot ini akan meceritakan hasil keputusan tersebut kepada
keluarga dekatnya, dengan maksud seandainya ia lupa masih ada orang yang
Universitas Sumatera Utara
mengingatnya. Sesunguhnya ingot-ingot ini memiliki manfaat meurut adat, diantaranya:
1 Biar lebih berharga hasil suatu putusan; 2 Supaya ada rasa pertanggungjawaban dari pihak yang mendengarkan
putusan; 3 Supaya terjadi penghargaan atas jerih payah semua pihak yang
menyelesaikan perkaranya; 4 Menunjukkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu
penyelesaian suatu perkara. Realisasi pelaksanaan hasil keputusan para hatobangun, harajaon, dan
perwakilan masyarakat adat Dalihan na Tolu dalam sengketa perkawinan biasanya dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a Hasil putusan musyawarah yang dilakukan dalam majelis adat tersebut
diumumkan kepada masyarakat, terutama bagi masyarakat di tempat tinggal para pihak bersengketa. Pengumuman dilakukan dengan memukul canang
sejenis gong sambil membacakan hasil putusannya dengan suara yang keras di tengah-tengah masyarakat. pembacaan hasil putusan dilaksanakan setelah
solat magrib di sepanjang jalan dan sudut perkampungan; b
Implementasi dan realisasi pelaksanaan putusan diawasi dan dikendalikan langsung oleh seluruh masyarakat setempat, secara kesadaran dan penih rasa
tanggung jawab; c
Setelah semua hasil putusan dilaksanakan dengan baik, maka sengketa dalam pandangan adat adalah kembali seperti biasa sebagai mana status dan
kedudukannya semula;
Universitas Sumatera Utara
Perlu diketahui bahwa hasil keputusan dari para hatobangon dan raja selalu dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat adat, mengingat hasil keputusan mereka
selalu membawa keadilan. Biasanya para hatobangon dan raja-raja tidak akan membuat keputusan yang bersifat menguntungkan sepihak, sekalipun terhadap
familinya sendiri mereka lebih mempertaruhkan kehormatan mereka, jika dibandimgkan dengan kepentingan-kepentingan lainnya. Itulah sebabnya, keputusan
mereka lebih sering bersifat jujur dan berkeadilan. Tetapi apabila penyelesaian sengketa warisan yang dilakukan oleh masyarakat
adat batak mandailing tidak menemukan keputusan maka penyelesaian nya dapat dilakukan di Pengadilan Agama. Hal ini dilakukan dikarenakan mayoritas dari
masyarakat adat batak mandailing beragama Islam sehingga mereka lebih dominan untuk menyelesaikan sengketa warisan di lakukan di Pengadilan Agama, apabila
sengketa tersebut telah dilakukan di Pengadilan Agama maka akan menghasilkan putusan yang mana masing-masing para pihak akan menerima hasil putusan tersebut.
Sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 49 ayat 1 huruf b UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, salah satu bidang hukum tertentu yang dimasukkan
ke dalam kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama adalah mengadili perkara warisan.
Meskipun demikian masyarakat adat batak lebih tetap untuk memilih melakukan penyelesaian warisan dengan cara musyawarah dikarenakan mereka
beranggapan bahwa putusan pengadilan adalah kurang memuaskan bagi pihak yang kalah dengan alasan:
1 Para hakim yang bertindak sebagai pemutus perkara merupakan orang yang tidak mereka kenal, sehingga menimbulkan rasa tidak simpati dan tidak percaya;
Universitas Sumatera Utara
2 Tim yang terlibat dalam persidangan di pengadilan adalah semuanya dari pihak luar lingkungan masyarakat adat dan tidak melibatkan perwakilan dari
masyarakat adat Dalihan na Tolu, sehingga semua produk putusan yang lahir dari pengadilan tersebut dianggap tidak adil;
3 Tidak ada rasa tanggung jawab bagi masyarakat adat, termasuk pihak Harajaon, tokoh adat, hatobango untuk mengawal dan mengawasi atas dilaksanakannya
hasil putusan itu sendiri di tengah-tengah masyarakat. Lain halnya dengan hasil putusan yang lahir dari majelis adat, semua masyarakat ikut bertanggung jawab
dalam mengawasi dan mengontrol jalannya hasil putusan itu sendiri. Andaikan tidak dijalankan putusannya, niscaya masyarakat secara umum akan menegor dan
menghukum kembali para pihak yang tidak mau menjalankan hasil putusannya; 4 Hasil putusan yang diproduk oleh pengadilan biasanya melahirkan sebuah
dendam baru bagi pihak yang kalah, sehingga memicu munculnya sengketa baru yang diwariskan kepada saudara dan generasi lainnya.
Hasil keputusan yang dikeluarkan berdasarkan hasil musyawarah masyarakat Mandailing dengan hasil keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri adalah
sangat berbeda di tengah-tengah masyarakat. lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4. Jawaban responden tentang pilihan peradilan dalam penyelesaian
sengketa warisan pada masyrakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas
No Jawaban Responden
Jenis Kelamin Jumlah
L P
1. Peradilan Adat
8 5
13 86,67
2. Pengadilan Agama
1 1
2 13,33
3. Pengadilan Negeri
- -
- -
Jumlah 9
6 15
100 Sumber: Hasil Wawancara 2014
Data di atas menunjukkan bahwa terdapat 86,67 responden yang terdiri dari 8 orang laki-laki dan 5 orang perempuan menjawab bahwa penyelesaian sengketa
warisan yang dilakukan di peradilan adat lebih banyak diminati oleh masyarakat adat batak Mandailing di Padang Lawas, dan terdapat 13,33 yang terdiri dari 1
orang laki-laki dan 1 orang perempuan yang menjawab untuk memilih penyelesaian sengketa warisan dilakukan di Pengadilan Agama.
Mayoritas masyarakat Mandailing lebih memercayai penyelesaian sengketa warisan menggunakan hukum adat karena penyelesaian sengketa warisan dengan
menggunakan hukum adat dilakukan dengan cara musyawarah dan mereka menganggap putusan yang dilahirkan berdasarkan hasil musyawarah adalah lebih
membawa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa hal:
a Penyelesaian sengketa melalui musyawarah adalah penyelesaian yang
sudah lama dipertahankan sejak jaman nenek moyang dahulu;
Universitas Sumatera Utara
b Para pihak yang bertindak sebagai pemutus adalah orang yang dihormati
dan disegani karena mereka berasal dari keturunan raja, tokoh adat dan perwakilan dari keluarga Dalihan na Tolu;
c Penyelesaian sengketa berdasarkan muyawarah memiliki persyaratan
dan prosedur yang sangat ketat, sehingga akar permasalahan bisa diketahui. Setelah itu baru diberikan putusan yang pantas kepada para
pihak dengan disaksikan oleh seluruh masyarakat; d
Sanksi yang dijatuhkan atas hasil musyawarah adalah sanksi yang bersifat moral dengan tidak mengesampingkan sanksi perdata seperti
ganti rugi, denda, pencabutan hak, pemutusan hubungan dan lainnya.
120
Setiap musyawarah dalam penyelesaian sengketa dan pengambilan mufakan yang berkenaan dengan keidupan masyarakat, sosial dan budaya baru dikatakan
sempurna apabila telah didukung oleh ketiga kelompok kekerabatan tadi, bagaikan tiga tungku dalihan yang mendukung satu dengan yang lain. Pada dasarnya
Dalihan na Tolu memiliki prinsip pembagian tugas setiap kelompok masyarakat, mengerjakan dan menyelesaikan tugasnya dengan disiplin nurani serta bertanggung
jawab. Melalui wadah Dalihan na Tolu masyarakat mandailin mampu mengendalikan diri dengan berbagai ikatan prinsip yan ditentukan sendiri oleh
individu dan bukan karena perintah atau komando tetapi karena kesadaran diri sendiri.
121
Dalam prinsip Dalihan na Tolu mengajarkan bahwa kahanggi sebagai keluarga besar yang diikat oleh keturunan sedarah memiliki prinsip kekeluargagan
dan persaudaraan yang cukup tinggi dan kental sekali, sekalipun terjadi perbedaan
120
Anwar Sadat Harahap, Op. Cit., h. 35-36
121
Tolen Sinuhaji, Hasanuddin, P.A. Simanjuntak, Dalihan na Tolu Dahulu dan Sekarang Medan: Depdikbud, 1998, h. 40.
Universitas Sumatera Utara
agama diantara mereka
122
. Sebab semua orang yang masuk dalam kelompok kahanggi adalah dianggap sebagai saudara kandung yang wajib dihormati dan
dilindungi.
123
Jenis kegiatan adat yang membutuhkan musyawarah lainnya adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam masyarakat, terutama menyangkut
warisan. Setiap sengketa yang timbul di dalam masyarakat, harus diselesaikan dengan cara musyawarah sebagaimana yang telah diatur dalam masyarakat
Mandailing di Kabupaten Padang Lawas. Tidak boleh suatu sengketa yang telah mengganggu kepentingan adat, diselesaikan tanpa melalui musyawarah adat.
Setiap sengketa yang dibawa dalam musyawarah adat, biasanya dapat diselesaikan dengan baik, arif, bijaksana, berkeadilan dan berterima kepada semua
pihak yang bersengketa. Sedangkan sengketa yang diselesaikan dengan tidak melalui jalan musyawarah adat, biasanya tidak dapat diselesaikan dengan tuntas, malah bisa
memicu sengketa baru yang lebih besar lagi. Tidak semua jenis sengketa yang ada dalam masyarakat harus diselesaikan melalui musyawarah adat dalam tingkatan
kedua, yakni musyawarah Dalihan na Tolu, tapi hanya terbatas pada sengketa yang dapat mengganggu kepentingan masyarakat adat semata.
Musyawarah merupakan asas hukum adat yang penting, karena melalui musyawarah, masyarakat adat dapat mencapai kesepakatan terhadap pelaksanaan
suatu kegiatan dan penyelesaian sengketa. Melalui musyawarah suatu masalah dan sengketa dapat diselesaikan dengan baik, arif, bijaksana dan berkeadian.
Musyawarah yang didasari dengan kerelaan dan keikhlasan adalah sangat dibudayakan dalam masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas. Sebaiknya
122
Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman, h. 80
123
Anwar Sadat Harahap, Kajian Hukum Islam tentang Pengaruh Tutur poda terhadap Pelaksanaan Perkawinan Masyarakat Adat Padang Bolak, h.57.
Universitas Sumatera Utara
setiap hasil musyawarah dibarengi dengan perjanjian, supaya mempunyai kekuatan hukum tetap.
Musyawarah merupakan bentuk dasar dari “syawara”, yang artinya menampakkan, menawarkan dan mengambil sesuatu. Syura berarti dirundingkan,
permusyawaratan, hal bermusyawarah dan konsultasi. Jadi musyawarah atau syura berarti saling membandingkan atau bertukar pendapat mengenai suatu perkara.
Musyawarah merupakan asas hukum adat yang penting, karena melalui musyawarah, masyarakat adat dapat mencapai kesepakatan terhadap pelaksanaan
suatu kegiatan dan penyelesaian sengketa. Melalui musyawarah suatu masalah dan sengketa dapat diselesaikan dengan
baik, arif, bijaksana dan berkeadilan. Musyawarah yang didasari dengan kerelaan dan keikhlasan adalah sangat dibudayakan dalam masyarakat adat Dalihan na Tolu.
Masyarakat adat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas telah memiliki seperangkat aturan yang tertuang dalam adat Dalihan na Tolu. Siapa saja yang
melakukan tindakan yang menimbulkan munculnya sengketa dalam rumah tangga, maka akan diberi sanksi sesuai ketentuan yang telah diatur.
Setiap peraturan adat yang tidak boleh dilanggar disebut patik. Patik adalah nilai mengenai benar dan salah yang merupakan kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak. Jadi patik adalah etika prilaku orang batak, baik sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat. Sedangkan ugari adalah
kebiasaan yang diangkat sebagai peraturan selama tidak merusak adat-istiadat yang berlaku sebagaimana tertuang dalam patik. Sedangkan uhum adalah sanksi hukum
terhadap pelanggaan atas peraturan adat, seperti patik dan ugari. Uhum atau sanksi
Universitas Sumatera Utara
pelanggaran adalah bertingkat-tingkat. Pada umumnya terdapat 3tiga macam jenis sanksi dalam masyarakat adat di Kabupaten Padang Lawas, yakni:
124
a Sanksi yang dilahirkan berdasarkan hasil keputusan sidang adat; b Sanksi yang dijatuhkan dengan pembayaran denda;
c Sanksi yang dijatuhkan berupa nasehat dari pihak harajaon dan hatobangun. Sanksi jenis ini hanya berlaku pada jenis pelanggaran ringan.
Masyarakat Mandailing menganggap sanksi yang di atur dalam hukum adat merupakan sanksi yang paling berat dibandingkan dengan sanksi yang telah diatur
dalam hukum Islam maupun hukum perdata. Hal ini terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 5. Jawaban responden mengenai sanksi hukum yang paling berat
dirasakan oleh masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas dalam bidang pembagian warisan
No Jawaban Responden
Jenis Kelamin Jumlah L
P
1. Sanksi hukum yang dijatuhkan
berdasarkan hukum adat 7
3 10
66,67
2. Sanksi hukum yang dijatuhkan
berdasarkan hukum waris Islam 2
3 5
26,67
Jumlah 9
6 15
100 Sumber: Hasil Wawancara 2014
Data di atas menunjukkan bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan berdasarkan hukum adat dalam masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas adalah
124
Anwar Sadat Harahap, Disertasi Penyelesaian Sengketa Perkawinan Pada Masyarakat Batak Muslim di Tapanuli Selatan, 2012, IAIN, h. 207.
Universitas Sumatera Utara
berat. Hal ini dibuktikan bahwa terdapat 66,67 sampel yang terdiri dari 7 orang laki-laki dan 3 orang perempuan yang menjawab sanksi yang berat adalah sanksi
yang dijatuhkan oleh hukum adat yang berlaku di Padang Lawas, sedangkan sanksi yang dijatuhkan oleh hukum Islam hanya terdapat 26,67 dimana terdiri dari 2
orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Mayoritas masyarakat Mandailing menyakini bahwa sanksi yang dijatuhkan
melalui hukum adat lebih berat dirasakan jika dibandingkan dengan sanksi-sanksi hukum yang lain karena mereka menganggap bahwa sanksi yang diterima lebih
langsung terasa kepada pihak yang dijatuhkan sanksi adat tersebut, sedangkan sanksi yang dijatuhkan berdasrkan hukum Islam mereka beranggapan bahwa sanksi
tersebut berupa dosa dan mereka baru akan merasakannya ketika di akhirat. Setiap pelanggaran adat selalu mendapat sanksi sesuai dengan ketentuan adat.
Adapun jenis sanksi yang dijatuhkan adalah bervariasi tergantung pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan seseorang.
Masyarakat adat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas menganggap bahwa putusan yang dijatuhkan melalui hukum adat lebih membawa keadilan, kepastian
dan kemanfaatan, juga bentuk sanksi yang dijatuhkan adalah lebih, sehingga memiliki efek jera bagi pelakunya.
Masing-masing orang dalam hidup di dunia ini mempunyai kondisi dan situasi tertentu yang berbeda satu sama lainya, baik dalam kondisi perekonomian, kondisi
kesehatan, kondisi pengetahuan, kondisi keamanan. Perbedaan kondisi tersebut menyebabkan perbedaan hukum yang akan diberlakukan padanya, oleh karena itu
jenis hukum yang akan berlaku pada seseorang adalah ditentukan oleh situasi dan kondisi yang melatar belakangi kehidupannya. Prinsip semacam ini sejalan dengan
qaidah fiqhiyyah yang artinya:”Hukum itu berputar bersama illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum”.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan qaidah fiqhiyyah di atas menunjukkan bahwa penerapan hukum di lapangan perlu kehati-hatian yang mendalam agar tidak terjadi kesalahan yang
akan membawa kerugian bagi diri seseorang. Khusus menyangkut masalah pemindahan hak milik kepada orang lain dalam
harta, Allah SWT memberikan beberapa cara yang menjadi alternatif pilihan bagi manusia, diantaranya lewat cara wasiat, hibah, hukum waris dan lain sebagainya.
Semua cara yang ditawarkan Allah SWT di atas adalah pasti baik dan akan membawa kemaslatan bagi sekalian manusia.
Walaupun semua cara tersebut di atas adalah baik, namun masing-masing mempunyai situasi dan kondisi sehari-hari yang berbeda satu dengan lainnya. Jadi
pelaksanaan setiap cara yang di atas baru dapat membawa kemaslatan bagi manusia apabila dilakukan sesuai dengan kondisinya. Apabila salah satu cara tersebut
dilaksanakan pada situasi dan kondisi yang tidak tepat, maka tidak akan banyak mendatangkan manfaat, malah akan menimbulkan fitnah dan pertikaian sesame
keluarga di kemudian hari. Pembagian harta menurut cara manapun, dibolehkan dalam Islam, asal saja
aturan pelaksananya sesuai dengan syari’at Allah SWT. Walaupun pada dasarnya dibolehkan memindahkan hak kepemilikan lewat cara manapun, namun perlu diingat
bahwa masing-masing cara tersebut harus juga diperhatikan situasi dan kondisi yang melatar belakangi si pemilik dan si penerima harta tersebut, supaya membawa
kemaslahatan bagi seluruh manusia.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN