28
Kedua keputusan tersebut menunjukkan bahwa itikad baik menguasai para pihak pada periode praperjanjian, yaitu dengan memerhatikan kepentingan-
kepentingan yang wajar dari pihak lain.
43
Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap
perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.
44
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk
dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada
kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan
mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh
para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama “penawaran”. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih
4. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 empat syarat untuk menentukan sahnya perjanjian, yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
43
Ibid., hal. 6
44
Ibid., hal. 7
Universitas Sumatera Utara
29
pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak
yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia akan menerima penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran
tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika
pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang
memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal
yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai
kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari
serangkaian penawaran atau bahkan tawar menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah
benar untuk perjanjian konsensuil, dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.
45
45
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal. 95-96
Cara-cara untuk terjadinya penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas, yang penting dapat dipahami atau
dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi penawaran atau penerimaan.
Universitas Sumatera Utara
30
Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, sebagai cara terjadinya kesepakatanterjadinya penawaran dan penerimaan adalah:
1 dengan cara tertulis; 2 dengan cara lisan;
3 dengan simbol-simbol tertentu; bahkan 4 dengan berdiam diri.
Berdasarkan berbagai cara terjadinya kesepakatan tersebut di atas, secara garis besar terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis atau tidak tertulis,
yang mana kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan lisan, simbol-simbol tertentu, atau diam-diam.
Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik.
46
46
Ahmadi Miru., Op.Cit., hal. 14
Kesepakatan secara lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi dalam masyarakat, namun kesepakatan secara lisan ini kadang tidak
disadari sebagai suatu perjanjian padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, misalnya seorang membeli
keperluan sehari-hari di toko maka tidak perlu ada perjanjian tertulis, tetapi cukup dilakukan secara lisan antara para pihak.
Kesepakatan yang terjadi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu macam jualan pokok,
misalnya penjual soto, pembeli hanya mengacungkan jari telunjuknya saja. Maka, penjual soto akan mengantarkan satu mangkok soto.
Universitas Sumatera Utara
31
Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya berdiam diri, misalnya dalam hal perjanjian pengangkutan. Jika kita mengetahui jurusan mobil-mobil
penumpang umum, kita biasanya tanpa bertanya mau ke mana tujuan mobil tersebut dan berapa biayanya, tetapi kita hanya langsung naik dan bila sampai di
tujuan kita pun turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya sehingga kita tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun kepada sopir mobil tersebut, namun
pada dasarnya sudah terjadi perjanjian pengangkutan.
47
47
Ibid., hal. 16
Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, khususnya syarat kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti
bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, tidak terjadi kontrak. Akan tetapi, walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat
kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan sehingga
memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.
Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena terjadinya hal- hal diantaranya :
1 kekhilafan atau kesesatan; 2 paksaan;
3 penipuan; dan 4 penyalahgunaan keadaan.
Universitas Sumatera Utara
32
Tiga cacat kehendak yang pertama diatur dalam BW sedangkan cacat kehendak yang terakhir tidak diatur dalam BW, namun lahir kemudian dalam
perkembangan hukum kontrak.
48
Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat posisi tawarnya dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan
sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya. Ketiga cacat kehendak tersebut diatur dalan
Pasal 1321 dan Pasal 1449 KUH Perdata. Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang
diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru. Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan kesepakatannya karena
ditekan dipaksa secara psikologis, jadi yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan fisik karena jika yang terjadi adalah paksaan fisik pada dasarnya tidak
ada kesepakatan. Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif memengaruhi pihak lain
sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu.
49
3 Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk
membuat perjanjian tertentu. b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah : 1 Anak yang belum dewasa;
2 Orang yang ditaruh dibawah pengampuan;
50
48
Ibid., hal. 17
49
Ibid., hal. 18
Universitas Sumatera Utara
33
Orang yang belum dewasa minderjarige adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah
kawin Pasal 330 ayat 1 KUH Perdata. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali
lagi dalam kedudukan belum dewasa Pasal 330 ayat 2 KUH Perdata. Orang- orang yang belum dewasa apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dapat mohon
pendewasaan agar mereka dapat melakukan tindakan hukum. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan adalah orang dewasa yang
selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau gelap mata, meskipun kadang- kadang cakap mempergunakan pikirannya dan pemboros Pasal 433 KUH
Perdata. Apabila akan menggunakan kewenangan hukumnya, maka bagi orang- orang yang belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya, sedangkan bagi
orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili PengampuCuratornya, bagi perempuan yang sudah kawin diwakili oleh
suaminya. Namun dengan berlakunya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka Pasal 1330 KUH Perdata sub 3 ini orang-orang perempuan yang sudah
berkeluarga tidak cakap bertindak dalam hukum, tidak berlaku lagi. Karena menurut UU No. 1 Tahun 1974 tersebut masing-masing fihak suami-istri berhak
melakukan perbuatan hukum Pasal 31 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974. Dari uraian di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa seseorang
telah bertindak dalam hukumcakap bertindak dalam hukum handelingsbekwaam apabila sudah dewasa dan tidak ditaruh di bawah
50
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal. 128
Universitas Sumatera Utara
34
pengampuan. Sedangkan kedewasaan meerderjarige dapat dicapai dengan: telah genap berumur 21 tahun, karena perkawinan, dan
karena pendewasaanhandelichting.
51
Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya” tampaknya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika kita perhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak
menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari
suatu kebendaan yang tertentu. c. Suatu hal tertentu
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan
jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
52
Hal tertentu adalah hal yang merupakan obyek dari suatu kontrak. Terdapat beberapa syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
terhadap obyek tertentu dari suatu kontrak, khususnya jika obyek kontrak tersebut
51
Komariah, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2010, hal. 25
52
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal. 155
Universitas Sumatera Utara
35
berupa barang, yaitu : 1 merupakan barang yang dapat diperdagangkan, 2 pada saat kontrak dibuat, barang telah dapat ditentukan jenisnya, 3 jumlah barang
tersebut tidak boleh tertentu, 4 boleh merupakan barang yang aka nada di kemudian hari, 5 bukan merupakan barang yang termasuk ke dalam warisan
yang belum terbuka.
53
Istilah halal bukanlah lawan kata haram dalam dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. d. Suatu sebab yang halal
54
53
Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, selanjutnya disingkat Munir Fuady II hal. 37
54
Ahmadi Miru., Op.Cit., hal. 30
Sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 hingga Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai
kekuatan”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan pengertian atau
definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya saja dalam pasal 1335 Kitab Undan-Undang Hukum
Perdata. Dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah : 1 bukan tanpa sebab;
2 bukan sebab yang palsu; 3 bukan sebab yang terlarang;
Universitas Sumatera Utara
36
Dalam Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum perdata dinyatakan lebih lanjut bahwa: “ Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak
terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah”.
Dari rumusan Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jelas dapat kita lihat bahwa memang pada dasarnya undang-undang tidak pernah
mempersoalkan apakah yang menjadi alasan atau dasar dibentuknya perjanjian tertentu, yang ada di antara para pihak. Mungkin saja suatu perjanjian dibuat
berdasarkan alasan yang tidak mutlak sama antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Dalam perjanjian pinjam uang yang diberikan
oleh bank misalnya, alasan pihak yang memberikan pinjaman, dalam hal ini bank adalah untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk selisih suku bunga pinjaman
dengan suku bunga tabungan atau deposito yang berlaku pada bank tersubut. Sedangkan pada sisi peminjam, pinjaman tersebut dapat dipergunakan untuk
berbagai macam keperluan, dari modal kerja yang bersifat cepat dan berjangka waktu pendek hingga keperluan investasi yang berjangka waktu relatif lama
hingga dua puluh tahun. Demikianlah sesungguhnya undang-undang memang tidak memperdulikan apakah yang merupakan dan yang ada di dalam benak setiap
manusia yang membuat dan mengadakan perjanjian, undang-undang hanya memperhatikan apakah prestasi yang disebutkan dalam perjanjian yang dibuat
tersebut merupakan prestasi yang tidak dilarang oleh hukum, dan oleh karenanya maka dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.
Jadi dalam perjanjian tersebut harus ada pihak yang dapat dimintakan
Universitas Sumatera Utara
37
pertanggungjawabannya agar perikatan yang terbentuk dari perjanjian tersebut dapat dilaksanakan.
Dengan membatasi sendiri, rumusan mengenai sebab yang halal menjadi hanya sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyatakan bahwa : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum” Dalam rumusan yang sedemikian pun sesungguhnya undang-undang tidak
memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak terlarang. Melalui rumusan negatif mengenai sebab yang terlarang, undang-undang juga tidak
menjelaskan bagaimana alasan atau sebab yang menjadi dasar pembentukan suatu perjanjian dapat digali atau ditetapkan hingga memang benar bahwa sebab itu
adalah terlarang.
55
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan
perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang, digolongkan ke dalam: 1 dua unsur pokok yang menyangkut subyek pihak yang mengadakan
perjanjian unsur subyektif, dan 2 dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek
perjanjian unsur obyektif.
55
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit., hal. 161-163
Universitas Sumatera Utara
38
yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak
dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian
tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan jika terdpat pelanggaran terhadap unsur subyektif, maupun batal demi hukum dalam
hal tidak terpenuhinya unsur obyektif, dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.
56
Istilah modal ventura merupakan terjemahan dari terminologi bahasa Inggris yaitu Venture Capital. Venture sendiri berarti usaha mengandung risiko,
sehingga modal ventura banyak yang mengartikan sebagai penanaman modal yang mengandung risiko pada suatu usaha atau perusahaan,
B. Tinjauan Umum Modal Ventura 1. Pengertian Modal Ventura