Partisipasi Masyarakat Petani Dalam Pencegahan Penyakit Filariasis Di Kabupaten Asahan Tahun 2007.
PARTISIPASI MASYARAKAT PETANI DALAM
PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN
ASAHAN TAHUN 2007
TESIS
Oleh
AZHARI
057012007/ AKK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
(2)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Filariasis atau Elephantiasis atau disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit menular yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Sumber tempat penularan (hospes definitif), adalah lingkungan geografis seperti ; persawahan, perkebunan karet, rawa-rawa, hutan belukar, sehingga masyarakat yang terkena gigitan nyamuk ini kebanyakan masyarakat berdomisili berdekatan dengan daerah lingkungan geografis tersebut yang salah satunya masyarakat petani, yang menimbulkan banyak masalah.
Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis seperti cacat fisik yang ditimbulkan tetapi meluas sampai masalah ekonomi/kemiskinan, dan masalah-masalah sosial lainnya. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila tidak ditangani secara cermat baik gejala klinis akut dan kronis dapat menurunkan derajat kesehatan dan kualitas sumber daya manusia dan berpengaruh pada produktivitas, yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup besar karena penderita tidak dapat bekerja secara optimal dalam waktu yang lama (seumur hidup), yang membuat penderita akan menjadi beban keluarga dan negara (Depkes RI 2005).
Di Indonesia Filariasis pertama dilaporkan pada tahun 1889. Sejak tahun 2001, mf rate tertinggi terdapat di Propinsi Papua, Aceh, Maluku dan NTT dengan kisaran 6,9 % - 11,6 %. Berdasarkan hasil survei cepat yang dilakukan oleh Depkes RI tahun 2000, diperkirakan lebih 10 juta penduduk sudah terinfeksi Filariasis,
(3)
dengan jumlah penderita kronis lebih 65,000 orang yang tersebar di 1,553 desa, 231 Kabupaten, 26 Propinsi. Beberapa daerah tersebut terisolir karena tidak adanya pengobatan, keadaan ekonomi yang sulit, konflik dan kerusuhan (Depkes RI 2001).
Tingkat endemisitas penyakit filariasis di Indonesia, hasil survei darah jari pada tahun 1999 mencapai rata-rata Mf – rate 3,1 % dengan kisaran 0,5 - 19,64 %, hal ini berdasarkan perhitungan jumlah semua yang positif dibagi dengan jumlah yang diperiksa dikali seratus persen (Depkes RI.2001).
Pemberantasan penyakit Filariasis terus dilaksanakan di seluruh Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari segi kegiatan dan program yang dilakukan untuk menangani persoalan pemberantasan penyakit Filariasis. Pada tahun 1994, WHO menyatakan bahwa penyakit kaki gajah dapat di eliminasi.
Selanjutnya pada tahun 1997 WHA (The World Health Assembly) membuat
resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah. Pada tahun 2000 WHO menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah. Menyusul kesepakatan global tersebut, pada tahun 2002, Indonesia mencanangkan gerakan eliminasi penyakit kaki gajah disingkat Elkaga pada tahun 2020 (Depkes RI 2002), eliminasi Filariasis bertujuan untuk menurunkan prevalensi Microfilaria (Mf) hingga di bawah 1 %. Sehingga Filariasis tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2005).
Di Propinsi Sumatera Utara, program pemberantasan penyakit Filariasis juga telah dilaksanakan dengan berbagai kebijakan dan strategi, seperti mengadakan program penyuluhan kepada masyarakat, surveilans dini, pegobatan massal, Survei
(4)
Darah Jari. Namun hasilnya belum optimal karena masih ada daerah endemis filariasis, bahkan Survei Darah jari (SDJ) yang dilakukan Depkes RI pada tahun 2005, menunjukkan ada 6 (enam) Kabupaten yang dinyatakan endemis Filariasis, yakni berturut-turut : Asahan dengan Mf (2,1 %), Serdang Bedagai dengan Mf (1,3 %), Deli Serdang dengan Mf (1,4 %), Nias dengan Mf (2,2 %), Tapanuli Selatan dengan Mf (3 %) dan Labuhan Batu dengan Mf (1,4 %). Hal ini menunjukkan prevalens Mf-rate Filariasis secara umum di Propinsi Sumatera Utara, masih tinggi dan jauh dari angka yang telah ditetapkan oleh WHO yaitu prevalens SDJ Mf (< 1 %). Artinya bahwa daerah tersebut sudah dalam kategori endemis filariasis dan memenuhi syarat untuk dilakukan pengobatan massal, (Depkes RI 2005).
Di Kabupaten Asahan, telah dilakukan 3 tahun berturut-turut Survei Darah Jari oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan. Pertama pada tahun 2003 di Desa Simodong, Kecamatan Air Putih menunjukkan Mf 1,66 % yang kedua pada tahun 2004 di Desa Kuala Si Kasim Kecamatan Sei Balai dan hasilnya menunjukkan Mf 1,9 %, kemudian terakhir dilakukan pada tahun 2005 oleh Depkes RI di Desa Sei Paham Kecamatan Sei Kepayang di mana Mf semakin meningkat yaitu 2,1 % (Subdinas Kesehatan Kabupaten Asahan 2006).
Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan dalam program pencegahan penyakit filariasis telah melaksanakan program tersebut, seperti mengadakan penyuluhan kepada masyarakat, surveilans dini, pengobatan massal, Survei Darah Jari, tetapi hasilnya belum optimal karena Mf masih di > 1 %.
(5)
Menurut keterangan petugas P2P Penyakit Filariasis pada observasi awal, peningkatan prevalens Mf rate Filariasis diduga disebabkan oleh perilaku masyarakat itu sendiri yang kurang aktif dalam program pencegahan penyakit filariasis, seperti tidak mau ikut dalam pemeriksaan darah jari, karena pemeriksaannya dilakukan pada malam hari. Dari hal kurang aktifnya masyarakat berpartisipasi dalam pencegahan penyakit filariasis, yang salah satunya dalam kegiatan survey darah jari pada malam hari dapat terlihat dari dua kali kegiatan dilakukan pada bulan Nopember tahun 2006, dan bulan Januari 2007, di daerah yang sama di Desa Sei Paham Kecamatan Sei Kepayang, hanya sebagian kecil masyarakat yang berkunjung (Subdinas P2P Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan 2006/2007).
Selain hal tersebut, menolak sewaktu diadakan penyemprotan rumah penduduk dengan alasan ternaknya akan mati terkena racunnya, rumah menjadi kotor, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya yang ditimbulkan oleh penyakit filariasis, menolak memakan obat yang diberikan pada program pengobatan massal, alasannya obat tersebut mengandung rasa yang kurang enak dan mempunyai efek samping seperti mual, pusing dan lain-lain, perilaku yang tidak aktif dalam mencegah tidak digigit nyamuk (tidur tidak pakai kelambu atau tidak memakai anti nyamuk), alasannya kurang nyaman tidur bahkan sebagian masyarakat pedesaan menganggap bahwa penyakit ini merupakan penyakit keturunan dan ada juga yang mengatakan karena mistik dan lain sebagainya.
Padahal jika dicermati data hasil SDJ yang dilakukan Depkes RI tersebut, Sumatera Utara harus segera melakukan berbagai tindakan nyata di lapangan untuk
(6)
mengurangi bertambahnya penderita penyakit yang dapat menimbulkan cacat menetap pada tubuh.
Perilaku manusia menjadi faktor yang menentukan terjangkitnya seseorang akan penyakit ini, sebab sebagus apapun program yang dilakukan oleh pemerintah tanpa peran aktif masyarakat program tersebut tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. (Yustina I 2005)
Khairuddin ( 2005), mengemukakan penelitian tentang penyakit filariasis di daerah Jawa Tengah (Solo) penyebab terjadinya penyakit filariasis antara lain tingginya populasi nyamuk Culex, Anopheles dan perantara lainnya, serta adanya hospes definitive (hewan), selain itu juga disebabkan oleh faktor lingkungan, kebersihan diri, kepercayaan, pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang penyakit filariasis (kaki gajah)
Parewasi (2001), pernah mengadakan penelitian tentang penyakit filariasis di daerah Budong-Budong Mamuju, Sulawesi Selatan, hasil penelitiannya bahwa faktor yang paling mendukung dalam meningkatnya Mf filariasis di daerah tersebut adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam program termasuk lingkungan, budaya, kepercayaan masyarakat itu sendiri. Sedangkan faktor pendidikan dan pengetahuan sangat besar pengaruhnya terhadap keikutsertaan masyarakat dalam program tersebut. Populasi yang menjadi penelitian adalah masyarakat asli setempat yang mayoritas masyarakat petani.
Sumarni dan Soeyoko (Tarigan 2000), pernah melakukan penelitian di Kabupaten Jambi, mengemukakan hasilnya bahwa penularan penyakit filariasis
(7)
banyak berkaitan dengan aspek sosial budaya, antara lain, pengetahuan, kepercayaan, sikap dan kebiasaan masyarakat setempat. Populasi yang diteliti masyarakat petani (bersawah), petani penyadap karet, pencari rotan banyak terinfeksi penyakit filariasis, penelitian tersebut dilakukan pada tahun 1998.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Apakah ada Pengaruh Karakteristik Masyarakat Petani meliputi : Umur, Pendapatan, Tingkat Pendidikan, Pengetahuan dan Sikap terhadap Partisipasi dalam Pencegahan penyakit Filariasis di Kabupaten Asahan Tahun 2007.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis Pengaruh Karakteristik Masyarakat petani meliputi : Umur, Pendapatan, Tingkat Pendidikan, Pengetahuan dan Sikap terhadap Partisipasi dalam Pencegahan Penyakit filariasis di Kabupaten Asahan tahun 2007
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan dalam mengambil kebijakan dan strategi dalam pelaksanaan program pencegahan penyakit filariasis. 2 Sebagai tambahan informasi dan referensi mengenai filarisasi sehingga menjadi
(8)
3. Sebagai sumbangan pikiran yang mungkin dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan bacaan yang dapat menimbulkan aksi terhadap epidemiologi untuk meneliti penyakit filariasis.
1.5. Hipotesis
Ada pengaruh karakteristik masyarakat petani meliputi ; umur, pendapatan, tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap terhadap partisipasi masyarakat petani dalam pencegahan penyakit filariasis di Kabupaten Asahan tahun 2007.
(9)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Partisipasi Masyarakat
Mikkelsen dalam Soetomo (2006), mengatakan bahwa pembangunan pada dasarnya merupakan proses perubahan, dan salah satu bentuk perubahan yang diharapkan adalah perubahan sikap dan perilaku. Partisipasi masyarakat yang semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap dan perilaku tersebut. Ada enam jenis tafsiran mengenai partisipasi masyarakat tersebut antara lain :
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek atau program pembangunan tanpa ikut serta dalam pengambil keputusan.
2. Partisipasi adalah usaha membuat masyarakat semakin peka dalam meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menanggapi proyek-proyek atau program-program pembangunan.
3. Partisipasi adalah proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok terkait mengambil insiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu.
4. Partisipasi adalah penetapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek/program agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial.
5. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri.
(10)
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.
Conyers dalam Soetomo (2006), mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat secara sukarela yang didasari oleh determinan dan kesadaran diri masyarakat itu sendiri dalam proyek/program pembangunan.
Ada lima cara untuk melibatkan keikutsertaan masyarakat yaitu :
1. Survei dan konsultasi lokal untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan. 2. Memanfaatkan petugas lapangan, agar melaksanakan tugasnya sebagai agen
pembaharu juga menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan dalam perencanaan.
3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang yang semakin besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi.
4. Perencanaan melalui pemerintah lokal.
5. Menggunakan strategi pengembangan komunitas (community development). Cary dalam Notoatmodjo (2005), mengatakan bahwa partisipasi dapat tumbuh jika tiga kondisi berikut terpenuhi :
1. Merdeka untuk berpartisipasi, berarti adanya kondisi yang memungkinkan anggota-anggota masyarakat untuk berpartisipasi.
2. Mampu untuk berpartisipasi, adanya kapasitas dan kompetensi anggota masyarakat sehingga mampu untuk memberikan sumbang saran yang konstruktif untuk program.
(11)
3. Mau berpartisipasi, kemauan atau kesediaan anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam program.
Ketiga kondisi itu harus hadir secara bersama-sama. Apabila orang mau dan mampu tetapi tidak merdeka untuk berpartisipasi, maka orang tidak akan berpartisipasi.
Ross dalam Notoatmodjo (2005), berpendapat ada tiga prakondisi tumbuhnya partisipasi, yaitu :
1. Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang pendidikan yang memadai sehingga dapat mengidentifikasi masalah, prioritas masalah dan melihat secara komprehensif.
2. Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan, dan belajar untuk mengambil keputusan.
3. Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.
4. Mempunyai persepsi/Sikap serta keyakinan yang positif tentang masalah yang dihadapi.
Chapin dalam Notoatmodjo (2005), mengemukakan partisipasi dapat diukur dari yang terendah sampai yang tertinggi, yaitu :
1. Kehadiran individu dalam pertemuan-pertemuan 2. Memberikan bantuan dan sumbangan keuangan 3. Keanggotaan dalam kepanitiaan
(12)
Sutton dan Kolaja dalam Notoatmodjo (2005), membagi peran-peran dalam partisipasi program menjadi tiga, yaitu :
1. Pelaku adalah pihak yang mengambil peran dan tindakan yang aktif dalam program 2. Penerima adalah pihak yang nantinya akan menerima manfaat dari program yang
dijalankan
3. Publik adalah pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan program, tetapi dapat membantu pihak pelaku.
Dirjen PP & PL Depkes RI (1994), mengemukakan bahwa partisipasi adalah keadaan di mana individu, keluarga, maupun masyarakat umum ikut serta bertanggung jawab terhadap kesehatan diri, keluarga, ataupun kesehatan masyarakat lingkungannya.
Dalam suatu masyarakat, bagaimanapun sederhananya, selalu ada suatu stimulus. Mekanisme ini disebut mekanisme pemecahan masalah atau proses pemecahan masalah.
Mengembangkan dan membina partisipasi masyarakat sebenarnya tidak lain dari pada mengembangkan mekanisme atau proses pemecahan masalah tersebut agar berlangsung lebih rasional. Sayangnya seringkali apa yang rasional menurut petugas kesehatan, tidak selamanya dianggap rasional pula oleh masyarakat. Perbedaan persepsi tersebut menyebabkan hambatan dalam perkembangannya mekanisme atau proses pemecahan masalah tersebut, sehingga berpengaruh pula terhadap perkembangan dan pembinaan partisipasi itu sendiri. Sesuai dengan tahap-tahap
(13)
dalam proses pemecahan masalah, maka tahap-tahap partisipasi juga dapat dikelompokkan menjadi :
1. Partisipasi dalam tahap pengenalan masalah dan penentuan prioritas masalah. 2. Partisipasi dalam tahap penentuan cara pemecahan alias tahap perencanaan. 3. Partisipasi dalam tahap pelaksanaan, termasuk penyediaan sumber daya. 4. Partisipasi dalam tahap penelitian dan pemantapan.
Dari tahap-tahap partisipasi ini jelas bahwa pada setiap tahap, bentuk ikut sertanya masyarakat bertanggung jawab dalam perencanaan, dan sebagainya.
Dirjen PP & PL Depkes RI (2005), mengemukakan bahwa, partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan seseorang atau kelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan. Wujud dari keikutsertaan dimaksud tentu saja adalah perilaku tertentu, yang positif bagi pencapaian tujuan kegiatan. Dalam program pemberantasan penyakit filariasis partisipasi masyarakat salah satu kunci keberhasilannya.
Craig dan Mayo dalam Yustina (2005), mengatakan Empowerment is road to
participation. Pemberdayaan merupakan syarat bagi terciptanya suatu partisipasi dalam masyarakat. Belum adanya partisipasi aktif dalam masyarakat untuk menciptakan kondisi yang kondusif pada proses pembangunan mengisyaratkan belum berdayanya sebagian masyarakat kita. Keberdayaan memang menjadi syarat untuk berpartisipasi, karena merupakan sesuatu yang sulit bagi masyarakat ketika mereka dikehendaki berpartisipasi namun tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang segala aktivitas yang mendukung proses pembangunan.
(14)
Blum dalam Notoatmodjo (2003), mengemukakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat yaitu :
1. Lingkungan.
2. Pelayanan Kesehatan. 3. Keturunan
4. Perilaku.
Menurut hasil penelitian Blum tersebut lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan masyarakat, disusul oleh perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Namun demikian pula negara-negara sedang berkembang, seperti halnya Indonesia, perilaku memiliki kontribusi yang paling besar pengaruhnya terhadap status kesehatan masyarakat. Mengingat pentingnya perilaku, aspek ini dijadikan sebagai pilar utama dalam standar derajat kesehatan masyarakat.
Berbagai strategi ditetapkan oleh Depkes untuk mengeliminasi filariasis, seperti memutuskan mata rantai penularan melalui pengobatan massal di daerah endemis, mengendalikan vektor, memperkuat kerja sama lintas batas daerah, dan memperkuat surveilans. Namun demikian, langkah strategis lainnya yang perlu dilakukan adalah memberdayakan masyarakat melalui berbagai pendidikan non formal. Masyarakat perlu diberi pemahaman yang utuh tentang apa, mengapa, dan untuk apa mereka menghindari penyakit filariasis. Meningkatnya pengetahuan masyarakat diharapkan dapat mengubah sikap dan tindakan mereka tentang filariasis ke arah yang positif Depkes RI (Yustina .I , 2005).
(15)
2.2. Keadaan Lingkungan
Keadaan lingkungan sangat mempengaruhi penyebaran dan keberadaan serta transmisi penularan penyakit filariasis. Lingkungan rawa-rawa, hutan bakau, kolam-kolam yang ditumbuhi tumbuhan air merupakan daerah endemis filariasis. Lingkungan ini dibedakan atas beberapa jenis yaitu :
1 Lingkungan Fisik.
Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan gegrafis,
struktur geologi dan sebagainya. Faktor lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan nyamuk, keadaan lingkungan yang cocok dan serasi untuk siklus hidup nyamuk, maka akan sangat potensial untuk terjadinya penyebaran dan penularan penyakit filariasis. Lingkungan fisik diperlukan nyamuk untuk terjadinya penyebaran dan penularan penyakit filariasis, lingkungan fisik diperlukan nyamuk untuk tempat perindukan dan istirahat. Keadaan suhu dan kelembaban juga dapat mempengaruhi tempat perindukan nyamuk. Keadaan lingkungan yang banyak ditumbuhi tumbuhan air (merupakan tempat perindukan) yang biasanya berada di daerah rawa-rawa dan adanya binatang sebagai hospes reserpoir seperti kera, lutung, sangat mempengaruhi terjadinya penyebaran penyakit filarisis (Priyanto, 1998).
2. Lingkungan Biologik.
Lingkungan biologik erat kaitannya dengan sistem tranmisi untuk penyebaran
dan penularan penyakit filariasis. Lingkungan biologik yang paling dominan terhadap sistem transmisi adalah lingkungan hayati.
(16)
Lingkungan hayati yaitu lingkungan yang terdapat banyak tumbuh-tumbuhan seperti tumbuhan air, daerah perkebunan, daerah yang masih terdapat hutan serta tanaman-tanaman lainya. Ekosistem lingkungan hayati merupakan salah satu tempat perindukan nyamuk dan juga merupakan lingkungan tempat mayarakat berinteraksi. Oleh sebab itu dengan adanya kontak antara lingkungan hayati, masyarakat dan nyamuk terjadilah system transmisi penularan penyakit filariasis.
3. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya.
Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya adalah lingkungan yang timbul
sebagai akibat adanya interaksi antara manusia di dalam bermasyarakat. Di dalam lingkungan ini termasuk perilaku, adat istiadat, kebudayaan dan tradisi-tradisi penduduk. Perilaku masyarakat setempat yang perlu diperhatikan antara lain adalah kebiasaan masyarakat dalam bekerja dalam hal ini bertani atau berkebun, kebiasaan masyarakat dalam bekerja pada malam hari atau siang hari, kebiasaan keluar rumah pada malam hari (sebelum tidur) atau siang hari (Depkes RI, 2002)
2.3. Konsep Perilaku 2.3.1. Pengertian Perilaku
Pengertian perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa (berpikir,
berpendapat, bersikap) untuk memberikan respon terhadap situasi di luar subjek tersebut. Respon ini dapat bersikap pasif (tanpa tindakan) dan juga bersikap aktif (dengan tindakan).
(17)
Pada dasarnya bentuk perilaku itu hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakan saja, Sedangkan perilaku manusia adalah hasil pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang berwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dapat juga diartikan sebagai suatu kegiatan yang dapat diamati secara langsung maupun dengan menggunakan alat (Sarwono, 2004).
Manusia adalah makhluk hidup yang unik, perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkungan lingkup yang sangat luas, Blum (1908), dikutif dari Notoatmodjo (1993), membedakan perilaku dalam tiga bagian yaitu Kognitif (menyakut kesadaran atau gerakan). Afektif (menyangkut sikap atau emosi) dan psikomotoric (tindakan atau gerakan). Menurut Guilbert yang dikutip dari
Notoatmodjo (1993), perilaku dibagi menjadi tiga bidang (domain) yaitu bidang
tindakan (motoric domain).
Terbentuknya suatu perilaku baru terutama pada orang dewasa dimulai pada saat domain kognitif, dalam arti subjek atau terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek diluarnya. Sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut dan selanjut menimbulkan respon bathin dalam bentuk respon subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi berupa tindakan terhadap stimulus atau objek tadi.
Namun pada kenyataannya stimulus yang diterima oleh subjek dapat langsung
menimbulkan tindakan. Dengan kata lain tindakan seseorang tidak selalu didasari oleh pengetahuan dan sikap (Notoatmodjo, 2003).
(18)
2.3.2. Pengertian Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang atau organisme
terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan serta lingkungan. Respon atau reaksi manusia dapat bersifat (pengetahuan, persepsi, keyakinan, dan sikap) maupun bersifat aktif (tindakan nyata). Stimulus atau rangsangan dibagi menjadi empat unsur antara lain :
1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia merespon baik pasif (mengetahui, bersikap dan berperspsi) tentang penyakit yang ada pada dasarnya dari luar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang dilaksanakan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut disesuaikan dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit.
a. Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behavior)
b. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking behavior)
c. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation
behavior)
2. Perilaku terhadap system pelayanan kesehatan merupakan respon terhadap system pelayanan kesehatan baik modern maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respon terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan petugas kesehatan, dan obat-obatannya, yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap, keyakinan, penggunaan fasilitas/petugas dan obat-obatan.
(19)
3. Perilaku terhadap makanan adalah respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital kehidupan yang meliputi pengetahuan, persepsi, sikap, dan praktek terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (zat gizi), pengolahan makanan yang berhubungan dengan kebutuhan tubuh kita.
4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan adalah respon seseorang terhadap
lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan lingkungan itu sendiri yang mencakup perilaku yang sehubungan dengan rumah yang sehat, perilaku sehubungan dengan kebersihan sarang-sarang nyamuk (vector dan sebagainya)
2.4. Karakteristik Masyarakat 2.4.1 Umur
Vaughant (1983) mengemukakan bahwa umur adalah usia manusia sejak lahir sampai meninggal dan membedakan proses pertumbuhan dan perkembangan dalam beberapa tahap menurut periode tertentu
2.4.2. Pendapatan
Purwani (Mufidah, 2001), mengatakan pendapatan atau penghasilan merupakan suatu gambaran tentang posisi ekonomi seseorang atau keluarga dalam perkapita di masyarakat yang dihitung berdasarkan bulanan, yang kemudian ditambah dengan penghasilan tambahan lainnya. Hal ini diukur dan disesuaikan dengan pengeluaran seseorang atau keluarga tersebut.
(20)
2.4.3 Pendidikan
Cumming, dkk dalam Azhari (2002), mengemukakan bahwa pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan individu atau masyarakat. Ini berarti bahwa pendidikan adalah suatu pembentukan watak yaitu nilai dan sikap disertai dengan kemampuan dalam bentuk kecerdasan, pengetahuan, dan keterampilan.
Seperti diketahui bahwa pendidikan formal yang ada di Indonesia adalah tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah lanjutan tingkat atas dan tingkat akademi/perguruan tinggi. Tingkat pendidikan sangat menentukan daya nalar seseorang, yang lebih baik sehingga memungkinkan untuk menyerap informasi-informasi juga dapat berpikir secara rasional dalam menanggapi informasi-informasi atau setiap masalah yang dihadapi (Syahrial, 1997).
2.4.4 Pengetahuan
Purwodarminto dalam Syahrial (1997), menyatakan bahwa pengetahuan adalah segala apa yang diketahui berkenaan dengan sesuatu hal objek. Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan hal ini terjadi setelah orang melakukan pengideraan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Margono dalam Zulkifli (1978), menyatakan bahwa pengetahuan adalah kemampuan untuk mengerti dan menggunakan informasi.
(21)
Hwakins dan Carry (1975), menyatakan bahwa pengetahuan menunjukkan kemampuan seseorang untuk memikirkan orang lain atau objek yang dihadapi.
Notoatmodjo (1985), menyatakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur yang diperlukan seseorang agar dapat melakukan sesuatu, unsur – unsur tersebut adalah :
1. Pengetahuan/pengertian dan pemahaman tentang apa yang akan dilakukannya. 2 .Keyakinan dan kepercayaan tentang manfaat dan kebenaran dari apa yang
dilakukannya.
3. Sarana yang diperlukan untuk melakukannya.
4. Dorongan atau motivasi untuk berbuat yang dilandasi oleh kebutuhan yang dirasakan.
Staton dalam Azhari(2002), menyebutkan pengetahuan atau knowlwdge adalah individu tahu apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya.
2.4.5 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap stimulasi atau objek. Sikap juga menggambarkan suka atau tidak suka, setuju atau tidak setujunya seseorang terhadap semua objek dan sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain. Sikap cenderung memberikan pendapat, penelitian terhadap sesuatu hal (Syahrial, 1979).
Purwanto (1999), menyatakan bahwa sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap yang objektif. Jadi
(22)
sikap senantiasa terarah terhadap sesuatu hal. Manusia dapat mempunyai sikap terhadap bermacam-macam hal. Sikap juga mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang
perkembangan seseorang.
2. Sikap dapat berubah-ubah karena dapat dipelajari.
3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan terhadap suatu objek.
4. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat inilah yang membedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan yang dimiliki seseorang.
Allport dalam Syahrial (1979), mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan dapat bersifat negative. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan pada sikap negative terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, tidak menyukai objek tertentu. Sikap tersebut mempunyai 3 komponen pokok yaitu :
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek 3. Kecenderungan untuk bertindak
Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh, dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.
(23)
2.5. Penyakit Filariasis
Filariasis pertama dilaporkan di Indonesia pada 1889. Ada tiga jenis spesies cacing filaria di Indonesia. 1) Wucheria bancrofti, 2) Brugia malayi, 3) Brugia timori. Dari ketiga jenis cacing B. Malayi mempunyai penyebaran paling luas di Indonesia. B.timori hanya terdapat di Indonesia Timur di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur.
Filariasis limfatik adalah infeksi oleh cacing parasit yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan berdampak pada kerusakan system limfa di tubuh manusia. Pada saat nyamuk betina menggigit manusia, larva infektif keluar dari kelenjar ludah nyamuk dan jatuh di kulit serta masuk ke tubuh melewati luka yang telah dibuat oleh probosis nyamuk. Selanjutnya apabila sudah masuk ke dalam tubuh, larva-larva tersebut akan berpindah ke system limfa yang merupakan system pertahanan tubuh manusia (bagian tubuh yang memberikan perlindungan) terhadap infeksi dan penyakit). Dalam system limfa, selama 3 – 12 bulan larva tumbuh menjadi cacing dewasa jantan dan betina kemudian kawin dalam kelenjar limfa dan menghasilkan berjuta-juta microfilariae (Mf) selama hidupnya sekitar 7 tahun atau lebih. Adanya cacing dewasa dan Mf yang dihasilkan dapat mengakibatkan kerusakan pada system limfa karena pada awalnya terjadi pelebaran saluran limfa sehingga mengganggu jalannya cairan limfa dan sirkulasi sel-sel kekebalan. Akibatnya, cairan terkumpul dan menyebabkan odema. Lama kelamaan akan terjadi pembentukan jaringan ikat fibrosis sehingga terjadi limfodema berupa pembengkakan pada kaki, lengan, payudara, atau alat kelamin, kerusakan saluran sistem limfa yang disebabkan
(24)
cacing dewasa ini bersifat permanen, walaupun cacing dewasa sudah mati (Oemijati 1999).
Di Indonesia ada 23 spesies nyamuk dari 5 genus yang salah satunya jenis Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres, yang menularkan penyakit filariasis. Sebagian besar spesies cacing Filaria tersebut bersifat periodic noctural, artinya mirofilaria ada dalam sirkulasi darah pada waktu malam hari dimulai pukul 20.00 malam waktu setempat dan puncaknya antara pukul 24 malam – 02 dini hari. Pada waktu siang hari, microfilaria tidak berasa dalam darah tetapi karena mereka hidup dalam organ-organ tubuh seperti lien, paru-paru dan organ lain. WHO (Oemijati, 1999).
Filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria di dalam darah/jaringan, dan dapat disebarkan dari sumber infeksi ke manusia sehat
yang rentan (susceptible) dengan perantara berbagai jenis nyamukdari genus
Mansonia, culex, Anopheles dan berdampak pada kerusakan sistem limfa di tubuh manusia. Beradanya mikrofilaria di dalam darah tepi menentukan periodesitasnya. Faktor ini berhubungan erat dengan kebiasaan makan/menghisap darah dari nyamuk-nyamuk penular. Terlihat bahwa aktivitas vektor utama di suatu daerah sesuai dengan priodesitas mikrofilaria di daerah tersebut. Nyamuk-nyamuk penular (vektor) filaria di Indonesia merupakan nyamuk-nyamuk aktif menggigit terutama pada malam hari. (Oemijati 1999). .
Lingkungan memang sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia Malayi adalah daerah
(25)
dengan hutan rawan, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman
air. Adapun daerah endemis Wuchereria Bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah
daerah-daerah perkotaan yang kumuh. Padat penduduknya dan banyak genangan air kotor (rural) secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis Brugia Malayi, WHO (Oemijiati, 1999).
2.5.1. Gejala Penyakit Filariasis
Pada tahap awal, penderita yang terkena penyakit ini mengalami demam berulang 1 – 2 kali atau lebih setiap bulan selama 3 – 5 hari, terutama bila bekerja berat. Demam ini dapat sembuh sendiri tanpa diobati. Setelah itu timbul benjolan dan terasa nyeri pada lipat paha atau ketiak tanpa adanya luka badan. Selain itu teraba adanya urat seperti tali yang berwarna merah dan sakit mulai dari pangkal paha atau ketiak, berjalan searah ujung kaki, atau tangan. Pada tahap lanjut, terjadi pembesaran yang hilang timbul pada kaki, tangan, kantong buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita, yang lama kelamaan menjadi cacat menetap. Namun demikian, tidak semua penderita menunjukkan gejala yang dimaksud. Bisa saja tubuhnya terlihat sehat. Tetapi dalam tubuh sudah terdapat cacing dewasa dan anak cacing yang beredar dalam darah.
Pengambilan darah jari untuk memeriksa adanya cacing filaritas dalam tubuh seseorang dilakukan pada malam hari karena anak cacing beredar di darah pada malam hari. (Depkes RI, 2000).
(26)
2.5.2. Pengobatan Penderita
Penanggulangan penyakit filariasis telah banyak dilakukan antara lain dengan melalui program pemberantasan penyakit filariasis dengan pengobatan Massal (MDA) yang bertujuan untuk menurunkan prevalens (Mf-rate) hingga dibawah 1 %. Pengobatan kepada penderita filariasis dan masyarakat salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Pengobatan jangka pendek dapat mencegah penularan penyakit dan mencegah kecacatan, sedangkan jangka panjang dapat menyembuhkan penderita. Pengobatan penderita filariasis di Indonesia adalah dengan pemberian obat,
yaitu Mass Drug Administration MDA dan Garam DEC Deithylcarbamazine,
(Depkes RI, 2000).
2.5.3. Pencegahan Penyakit Filariasis
Mengingat nyamuk merupakan penular dari penyakit ini, tentu saja upaya pencegahannya yang utama adalah terhindar dari gigitan nyamuk dengan berbagai cara seperti : tidur memakai kelambu, menutup ventilasi rumah dengan kawat kasa halus, memasang obat nyamuk, dan memakai anti nyamuk.
Upaya penting lain yang perlu dilakukan adalah membersihkan tempat-tempat perindukan nyamuk, dan juga penyemprotan untuk membunuh nyamuk dewasa. Depkes RI, 2000).
2.6. Eliminasi Filariasis
Untuk mencapai tujuan nasional eliminasi filariasis, pemerintah dalam melaksanakan program pemberantasan filariasis dengan memutuskan mata rantai
(27)
penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, serta mencegah timbulnya cacat. Secara nasional tujuan tersebut terbagi menjadi : tujuan jangka panjang yaitu eradikasi filariasis di Indonesia, Tujuan Jangka Menengah yaitu menurunnya angka kesakitan filariasis lebih kecil dari 1/1000 penduduk atau Mf < 1 %, dan Tujuan Jangka Pendek yaitu penemuan penderita (Case Finding) sedini mungkin, meningkatkan pengobatan yaitu dengan melakukan pengobatan MDA dengan memakai dua jenis obat selama minimal lima tahun berturut-turut untuk semua masyarakat di daerah endemis atau pengobatan massal
dengan menggunakan garam DEC (Diethycarbamazine), sebagai obat standar bagi
penderita terdaftar atau penderita baru, pembinaan pengobatan (Case Holding),
mencegah cacat pada penderita yang telah terdaftar sehingga tidak akan cacat baru, melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat tentang penyakit filariasis, agar masyarakat mengerti, memahami filariasis yang sebenarnya, dan mengurangi filariaphobia, pengawasan sesudah pengobatan dengan memberikan motivasi kepada masyarakat dan penderita agar datang memeriksakan diri setiap 1 tahun setelah selesai masa pengobatan, selama 5 tahun berturut masyarakat dan penderita. Melaksanakan survey darah jari diwaktu malam hari untuk mendeteksi sedini mungkin timbulnya kasus baru, (Depkes RI, 1998).
Dalam konteks kampanye eliminasi filariasis, perilaku manusia jelas menjadi faktor yang menentukan terjangkitnya seseorang akan penyakit ini sebab sebagus apapun program yang dilakukan oleh Pemerintah, tanpa peran serta aktif masyarakat program tersebut tidak akan mencapai hasil yang optimal.
(28)
Program pengobatan massal (MDA) yang bertujuan untuk menurunkan prevalensi (Mf) rate hingga dibawah 1 % misalnya, tentu saja menuntut partisipasi aktif masyarakat di daerah endemis untuk mengkonsumsi obat sekali setahun selama 5 tahun. Dengan berbagai pendidikan, budaya, dan sebagainya, tentunya diperlukan kerja keras untuk meyakinkan masyarakat pentingnya mengkonsumsi obat dimaksud. Terkait dengan perilaku masyarakat, permasalahan yang ditemui, diantaranya kurangnya partisipasi dalam pemeriksaan dan pengambilan darah pada malam hari, tidak tuntasnya pengobatan massal, dan perilaku yang tidak aktif dalam mencegah agar tidak digigit nyamuk. (Depkes RI, 2000)
2.7. Landasan Teori
Secara umum partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai keikutsertaan, keterlibatan, dan kebersamaan anggota masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan tersebut dimulai dari gagasan, perumusan kebijaksanaan, hingga pelaksanaan program. Partisipasi secara langsung berarti anggota masyarakat tersebut ikut memberikan bantuan tenaga dalam kegiatan yang dilaksanakan. Partisipasi tidak lansung berupa bantuan keuangan, pemikiran, dan materi yan dibutuhkan. Partisipasi juga sering diartikan sebagai sumbangan dana, material, tanah atau pada suatu proram atau kegiatan pembangunan yang belum tentu dikehendaki atau menjadi prioritas masyarakat tersebut, karena prakarsa dan rencana datang dari luar atau dari atas, partisipasi semacam ini dapat diterima masyarakat sebagai suatu beban.
(29)
Meningkatkan partisispasi masyarakat tidaklah semata-mata berarti melibatkan masyarakat dalam tahap perencanaan atau dalam evaluasi program belaka. Dalam partisipasi tersirat makna dan integritas keseluruhan program itu. Partisipasi merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan pihak lain : partisipasi berarti perhatian mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu program sehubungan dengan kehidupan masyarakat.
Partisipasi masyarakat dapat menjadi kunci keberhasilan pembangunan sampai pada tingkat bawah. Partisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program dapat mengembangkan kemandirian (self-reliance) yang dibutuhkan oleh para anggota masyarakat pedesaan demi akselerasi pembangunan. (Depkes 1994)
Dalam upaya mengembangkan dan membina partisipasi masyarakat ada beberapa faktor yang bisa membantu atau mendorong upaya tersebut. Faktor-faktor tersebut sebagian kita jumpai di masyarakat, sebagian di provider dan dapat dibagi dalam :
1. Faktor Pendorong
a. Faktor-faktor di masyarakat
Konsep partisipasi masyarakat sebenarnya bukan hal baru bagi kita di Indonesia. Dari sejak nenek moyang kita, telah adanya semangat gotong royong ini bertolak dari nilai-nilai budaya yang menyangkut hubungan antar manusia. semangat ini mendorong timbulnya partisipasi masyarakat.
(30)
Faktor pendororng terpenting yang ada dipihak provider ialah adanya kesadaran di lingkungan provider, bahwa perilaku merupakan faktor penting dan besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan. Kesadaran ini melandasi pemikiran pentingnya partisipasi masyarakat. Selain itu keterbatasan sumber daya di pihak provider juga merupakan faktor yang sangat mendorong pihak provider untuk mengembangkan partisipasi masyarakat.
2. Faktor Penghambat
Seperti halnya faktor pendorong, faktor penghambat juga bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Faktor penghambat yang terdapat di masyarakat terdiri dari ;
1. Sikap/Persepsi masyarakat yang sangat berbeda dengan persepsi provider tentang masalah kesehatan yang dihadapi
2. Susunan masyarakat yang sangat heterogen dengan kondisi sosial budaya yang sangat berbeda-beda pula
3. Pengalaman pahit masyarakat tentang program sebelumnya 4. Adanya vested interest dari beberapa pihak di masyarakat 5. Sistem pengambilan keputusan dari atas ke bawah
6. Adanya berbagai macam kesenjangan sosial 7. Ekonomi sosial masyarakat
8. Pengetahuan masyarakat 9. Pendidikan masyarakat
(31)
b. Faktor penghambat yang terdapat di pihak provider.
1. Terlalu mengejar target, hingga terjerumus dalam pendekatan yang tidak partisipatif
2. Pelaporan yang tidak objektif (ABS), hingga provider keliru menafsirkan situasi birokrasi, yang sering memperlambat kecepatan dan ketepatan respons pihak provider terhadap perkembangan masyarakat.
3. Persepsi yang berbeda antara provider dan masyarakat. (Sunber I.B Mantara (1994), dalam Pendekatan edukatif suatu alternative pendekatan dalam membangun masyarakat)
Ada tiga prakondisi tumbuhnya partisipasi, yaitu :
1. Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang pendidikan yang memadai sehingga dapat mengidentifikasi masalah, prioritas masalah dan melihat secara komprehensif.
2. Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan, dan belajar untuk mengambil keputusan.
3. Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.
4. Mempunyai Sikap serta keyakinan yang positif tentang masalah yang dihadapi. (Ross dalam Notoatmodjo 2005)
(32)
2.8. Kerangka Konsep
Karakteristik Masyarakat
Petani 1. Umur
2. Pendapatan.
3. Tingkat Pendidikan 4. Pengetahuan 5. Sikap
Partisipasi Masyarakat Petani dalam Pencegahan
Penyakit Filariasis
Faktor Pendukung 1. Lingkungan Fisik 2. Fasilitas Program
3. Jarak Fasilitas Kesehatan Faktor Pendorong 1. Sikap Petugas
2. Pengetahuan
Variabel Independen
Variabel Dependen
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Keterangan
Diteliti
(33)
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah explanatory research. Penelitian explanatory
(penjelasan) adalah suatu penelitian untuk menjelaskan hubungan kausal antara variable – variabel melalui pengujian hipotesa ( Singarimbun, 1989). Penelitian ini menekankan variabel karakteristik masyarakat petani meliputi ; umur, pendapatan, tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap terhadap partisipasi masyarakat petani dalam pencegahan penyakit filariasis.
3.2. Lokasi dan waktu penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Sei Kepayang Kabupaten Asahan dengan mengambil lokasi desa Sei Paham.
Adapun alasan pengambilan lokasi adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil survei darah jari oleh Depkes RI (2005) merupakan daerah endemis filariasis dan angka Mf rate > 1%.
2. Belum pernah dilakukan penelitian yang sejenis.
3.2.2 Waktu Penelitian
(34)
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga penduduk (bekerja sebagai petani sawah) Desa Sei Paham Kecamatan Sei Kepayang dengan jumlah kepala keluarga yang tercatat sebanyak 569 KK.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2005).
Teknik sampling dalam penelitian ini adalah probability sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik probability sampling yang
dipilih adalah simple random sampling karena pengambilan anggota sampel dari
populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi. Pertimbangan atau persyaratan yang mendasari dalam pengambilan sampel adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat petani 2. Kepala keluarga
(35)
Besarnya sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus uji hipotesis satu sampel (Lemeshow, 1997)
Z1 – √ Po (1 – Po) + Z1 – √ Pa (1 – Pa) 2
n =
(Pa – Po)2
Keterangan :
n = Besar Sampel.
a = 5 % = 0,05 maka Z1 – = 1,645
Po = Tingkat Partisipasi Masyarakat Petani = 2,7 %
Pa = 12,7 %
Power (kekuatan uji) = 90% ( = 10%), maka Z1 – = 1,282
Berdasarkan perhitungan diperoleh jumlah sampel yang akan diteliti sebanyak 75 orang.
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data primer
Data primer penelitian diperoleh dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun dan mengacu pada variabel yang diteliti.
(36)
3.4.2. Data sekunder
Data sekunder penelitian diperoleh dari laporan – laporan maupun dokumen – dokumen resmi yang digunakan untuk membantu analisa terhadap data primer.
3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas
Pengukuran validitas dan reliabilitas instrumen pada penelitian ini dilakukan kepada 20 orang masyarakat petani di desa Sei Paham tahun 2007.
Uji validitas kuesioner dilakukan dengan membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hitung. Nilai r tabel dilihat dengan tabel r dengan menggunakan df = n – 2, pada tingkat kemaknaan 5 % maka angka r tabel adalah :
df = n - 2 = 20 – 2
= 18 = r tabel = 0,444
Nilai r hasil dari masing-masing pertanyaan dibandingkan dengan nilai r tabel (0,444), bila r hasil > r tabel, maka pertanyaan tersebut valid, sedangkan hasil perhitungan r alpha adalah (0,8262, variabel pengetahuan), (0,8244 variabel sikap) dan (0,8539 variabel partisipasi) sehingga bila r alpha > r tabel maka pertanyaan tersebut adalah reliabel.
Dari hasil uji tersebut terlihat bahwa semua pertanyaan nilai r hasil lebih besar dari r tabel demikian juga alpha lebih besar dari r tabel, dengan demikian kuesioner yang digunakan untuk penelitian tentang partisipasi masyarakat petani
(37)
dalam pencegahan penyakit filariasis di Kabupaten Asahan tahun 2007, adalah valid dan reliabel. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Pengetahuan, Sikap dan Partisipasi
No Variabel r tabel r hasil Alpha Keterangan Pengetahuan
P1 0,444 0,5014 0,8262 Valid dan reliabel P2 0,444 0,4978 0,8262 Valid dan reliabel P3 0,444 0,6139 0,8262 Valid dan reliabel P4 0,444 0,5171 0,8262 Valid dan reliabel 1. P5 0,444 0,4574 0,8262 Valid dan reliabel
P6 0,444 0,5006 0,8262 Valid dan reliabel P7 0,444 0,5906 0,8262 Valid dan reliabel P8 0,444 0,5545 0,8262 Valid dan reliabel P9 0,444 0,4607 0,8262 Valid dan reliabel P10 0,444 0,4570 0,8262 Valid dan reliabel Sikap
P11 0,444 0,5132 0,8244 Valid dan reliabel P12 0,444 0,4618 0,8244 Valid dan reliabel P13 0,444 0,5008 0,8244 Valid dan reliabel P14 0,444 0,5335 0,8244 Valid dan reliabel 2. P15 0,444 0,4679 0,8244 Valid dan reliabel
P16 0,444 0,4542 0,8244 Valid dan reliabel P17 0,444 0,6361 0,8244 Valid dan reliabel P18 0,444 0,4770 0,8244 Valid dan reliabel P19 0,444 0,4833 0,8244 Valid dan reliabel P20 0,444 0,5899 0,8244 Valid dan reliabel Partisipasi
P21 0,444 0,5506 0,8244 Valid dan reliabel P22 0,444 0,4636 0,8244 Valid dan reliabel P23 0,444 0,4709 0,8244 Valid dan reliabel P24 0,444 0,5259 0,8244 Valid dan reliabel 3. P25 0,444 0,4856 0,8244 Valid dan reliabel
P26 0,444 0,6394 0,8244 Valid dan reliabel P27 0,444 0,5848 0,8244 Valid dan reliabel P28 0,444 0,6115 0,8244 Valid dan reliabel P29 0,444 0,5848 0,8244 Valid dan reliabel
(38)
3.5. Definisi Operasional Variabel 3.5.1. Variabel Independen
1. Umur adalah usia responden dalam tahun yang disampaikan pada saat diwawancarai.
2. Pendapatan adalah penghasilan atau posisi ekonomi masyarakat atau keluarga yang dihitung dalam sebulan menurut upah minimum daerah Kabupaten Asahan 3. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang dicapai oleh responden. 4. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh responden tentang
penyakit filariasis yang meliputi, pengertian, gejala-gejala, penyebab, cara penularan, cara pencegahan, dan cara penyembuhannya.
5. Sikap adalah pendapat/kesiapan/kesediaan responden dalam peran serta /partisipasi pada pencegahan penyakit filariasis.
3.5.2. Variabel Dependen
1. Penyuluhan adalah keikutsertaan/kesediaan masyarakat dalam bimbingan dan arahan oleh petugas kesehatan tentang penyakit dan pencegahan penyakit filariasis.
2. Penyemprotan adalah keikutsertaan/kesediaan masyarakat dalam salah satu usaha atau cara untuk membunuh nyamuk dewasa sebagai vektor penularan filariasis yang dilakukan ke rumah-rumah penduduk dan lingkugannya pada daerah endemis filariasis, menggunakan racun serangga.
(39)
3. Pengobatan massal adalah keikutsertaan/kesediaan masyarakat dalam pengobatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan di daerah endemis filariasis setelah diketahui terinfeksi penyakit filariasis.
4. Survei Darah Jari adalah keikutsertaan/kesediaan masyarakat dalam pengambilan darah jari yang dilakukan di malam hari untuk mengetahui dan survey tingkat infeksitas masyarakat yang dicurigai di daerah endemis filariasis.
5. Kelambunisasi adalah keikutsertaan/kesediaan masyarakat dalam salah satu upaya mengatasi atau tindakan preventif terhadap atau menghindari dari gigitan nyamuk sebagai vektor penularan di daerah endemis penyakit filariasis.
3.6. Aspek Pengukuran
3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas (Independen)
Aspek pengukuran variabel bebas adalah karakteristik masyarakat petani yang meliputi : umur, pendapatan, tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap.
1. Variabel Umur
Untuk mengetahui umur responden diajukan satu butir pertanyaan berbentuk kuesioner yang didasarkan pada skala rasio
2. Variabel pendapatan
Untuk mengetahui pendapatan responden diberikan satu butir pertanyaan berbentuk kuesioner yang didasarkan pada skala interval
(40)
3 Variabel tingkat pendidikan
Untuk mengetahui tingkat pendidikan responden diajukan satu butir pertanyaan berbentuk kuesioner yang didasarkan pada skala ordinal.
4. Variabel pengetahuan
Untuk mengetahui pengetahuan responden tentang penyakit filariasis diajukan sepuluh butir pertanyaan berbentuk kuesioner, dengan perincian kategori baik diberi skor 3, kategori kurang baik diberi skor 2 dan kategori tidak baik diberi skor 1, maka interval skor untuk variabel pengetahuan adalah 30 paling tinggi dan 10 paling rendah dengan demikian pengelompokan rentang skor variabel pengetahuan dibagi menjadi 3 kelompok sama besar yaitu :
1. Baik : apabila total skor berada di antara 24 - 30
2. Kurang baik : apabila total skor berada di antara 17 – 23. 3. Tidak baik : apabila total skor berada di antara 10 – 16.
5. Variabel sikap
Untuk mengetahui sikap responden tentang penyakit filariasis diajukan sepuluh butir pertanyaan berbentuk kuesioner, dengan perincian kategori baik diberi skor 3, kategori kurang baik diberi skor 2 dan kategori tidak baik diberi skor 1, maka interval skor untuk variabel sikap adalah 30, paling tinggi dan 10 paling rendah rentang skor variabel sikap dibagi menjadi 3 kelompok sama besar yaitu :
1. Baik : apabila total skor berada di antara 24 – 30.
(41)
3. Tidak baik : apabila total skor berada di antara 10 - 16. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3.2
Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Bebas (Independen)
No. Variabel Indi Kategori Bobot Total Range Skala kator nilai nilai ukur
1. Umur 1 a. < 20 tahun Rasio b 21 – 50 tahun
c. > 50 tahun
2. Pendapatan 1 a. < Rp. 740.000 Ordinal b. Rp. 750,000,- Rp 1.000,000,- c. > Rp. 1.000.000
33. Pendidikan 1 a. SD Ordinal b. SLTP/SLTA
c. D.III/S1/S2
4. Pengetahuan 10 a. Baik 3 30 24 - 30 Interval b. Kurang baik 2 20 17 - 23
c. Tidak baik 1 10 10 - 16
5. Sikap 10 a. Baik 3 30 24 - 30 Interval b. Kurang baik 2 20 17 - 23
c. Tidak baik 1 10 10 - 16
3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat (Dependen) Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan Penyakit Filarisasi
Untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam pencegahan penyakit filariasis, diajukan sembilan butir pertanyaan berbentuk kuesioner. dengan perincian kategori baik diberi skor 3, kategori kurang baik diberi skor 2 dan kategori tidak baik diberi skor 1, maka interval skor untuk variabel partisipasi masyarakat dalam pencegahan penyakit filariasis adalah 27 , paling tinggi dan 9 paling rendah dengan
(42)
demikian pengelompokan rentang skor variabel partisipasi masyarakat dalam pencegahan penyakit filariasis dibagi menjadi 3 kelompok sama besar yaitu :
1. Baik apabila total skor berada di antara 21 – 27. 2. Kurang baik apabila total skor berada di antara 15 – 20. 3. Tidak baik : apabila total skor berada di antara 9 – 14
Pada partisipasi yang menjadi aspek pengukuran diaplikasi pada , Penyuluhan, Penyemprotan, Pengobatan massal dan Survei darah jari.
Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 : Aspek Pengukuran Variabel Terikat (Dependen)
No. Variabel Indi Kategori Bobot Total Range Skala kator nilai nilai ukur
1. Partisipasi Masyarakat
Petani 1. SDJ
2.P.Massal a. Baik 3 27 21 - 27
3. Penyuluhan 9 b. Kurang baik 2 18 15 - 20 Interval 4. Penyemprotan c. Tidak baik 1 9 9 - 14
5. Kelambunisasi
3.7. Metode Analisa Data
Sesuai dengan tujuan penelitian, teknik analisis statistik yang digunakan adalah uji statistik Regresi linier berganda.
(43)
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara mempunyai 20 kecamatan, salah satunya Kecamatan Sei Kepayang yang mempunyai luas wilayah 46.400 km², terdiri dari 17 desa dengan jumlah penduduk sebanyak 39.225 jiwa (8.221 KK). Tingkat hunian rumah adalah 4.77 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 85 orang/km².
Kecamatan Sei Kepayang memiliki 1 buah Puskesmas Induk yang berlokasi di kota kecamatan dengan 8 Puskesmas Pembantu (Pustu). Pustu tersebut adalah : Pustu Sei Paham, Pustu Sarang Helang, Pustu Sei Sembilang, Pustu Sei Tempurung, Pustu Bangun Baru, Pustu Sei Pasir, Pustu Desa Pertahanan dan Pustu Sei Nangka. Tenaga kesehatan yang bekerja di puskesmas induk dan puskesmas pembantu tersebut berjumlah 35 orang, 25 orang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 10 orang Tenaga Kerja Sukarela (TKS). Tabel 4.1. menunjukkan distribusi kualifikasi tenaga kesehatan yang bekerja di puskesmas induk dan puskesmas pembantu Kecamatan Sei Kepayang. Lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Distribusi Kualifikasi Tenaga Kesehatan di Puskesmas Induk dan Puskesmas Pembantu Kecamatan Sei Kepayang
No. Kualifikasi Jumlah Persentase
1. Dokter Umum 2 5,7
2. Akademi Perawat 3 8,6
3. SPK 5 14,3
4. Bidan 21 60,0
5. SMA 3 8,6
Jumlah 35 100,0
(44)
4.2. Karakteristik Masyarakat Petani 1. Umur
Dari hasil penelitian menunjukkan sebanyak 53,3 % mayoritas responden memiliki usia antara 21 sampai dengan 50 tahun dimana seusia ini masyarakat masih mampu untuk ikut berpartisipasi seperti menghadiri penyuluhan, survei darah jari serta masih mampu untuk ikut serta bergotong royong membersihkan lingkungan rumah dan sekitarnya dan serta membasmi sarang nyamuk, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Distribusi Umur Responden
No Kelompok Umur Jumlah Persentase 1. < 20 tahun 25 33,3 2. 21 – 50 tahun 40 53,3 3. > 51 tahun 10 13,3 Jumlah 75 100,0
1. Pendapatan
Dari hasil penelitian menunjukkan sebanyak 92,0 % penghasilan yang diperoleh responden rata-rata di bawah Upah Minimum Daerah Kabupaten yaitu < Rp 740,000,-. Penghasilan ini hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Di sisi lain penghasilan masyarakat petani tidak mempunyai penghasilan lain hanya semata-mata terfokus kepada pertanian yang hasilnya enam bulan sekali yang sistem pengairannya mengharapkan turun curah hujan (petani tradisional). Tingginya biaya hidup di Kabupaten Asahan menjadikan masyarakat
(45)
daerah perdesaan tidak dapat mengalokasikan penghasilan yang diperoleh untuk kesehatan berupa dana pencegahan penyakit menular seperti penyakit filariasis walaupun program penanggulang filariasis ini ditanggung oleh pemerintah, tetapi masalah kebutuhan masyarakat dalam hal transportasi mengingat mahalnya biaya untuk menuju lokasi pertemuan jika ada pertemuan-pertemuan seperti penyuluhan, survey darah jari, pengobatan massal yang difokuskan pada balai desa setempat. Di samping itu juga masyarakat perlu biaya untuk pembelian alat-alat seperti kawat kasa untuk menutup semua ventilasi, dan membeli obat anti nyamuk secara rutin, lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 4.3
Tabel 4.3. Distribusi Besarnya Penghasilan Responden
No Kelompok Penghasilan Jumlah Persentase 1. < Rp. 740.000,- 69 92,0 2. Rp. 750.000,- - Rp. 1.000.000,- 4 5,3 3. > Rp. 1.000.000,- 2 2,7 Jumlah 75 100,0
2. Tingkat Pendidikan
Dari hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan masih merupakan suatu masalah dimana dari aspek pengukuran yang dilakukan terhadap tingkat pendidikan responden tersebut sebagian besar atau mayoritas dengan kategori rendah SD yaitu sebanyak 43 orang (57,3 %).
Tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pencegahan penyakit filariasis. Demikian juga hal ini berdampak pada cara
(46)
masyarakat untuk dapat mengetahui dan memahami pengetahuan tentang penyakit filariasis dengan baik, lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 4.4
Tabel 4.4. Distribusi Tingkat Pendidikan Responden
No Kelompok Pendidikan Jumlah Persentase 1. SD 43 57,3 2. SLTP, SLTA 29 38,7 3. DIII, S1, S2 3 4,0 Jumlah 75 100,0
4. Pengetahuan
Untuk memperoleh gambaran tingkat pengetahuan responden tentang penyakit filariasis (penyakit kaki gajah), diajukan 10 butir pertanyaan berbentuk pilihan berganda. Penilaian jawaban responden atas 10 butir pertanyaan tersebut dikategorikan dengan baik, kurang baik, tidak baik. Secara lebih rinci distribusi uraian pengetahuan responden terlihat pada Tabel 4.5
Tabel 4.5. Distribusi Uraian Pengetahuan Responden tentang Filariasis No Pertanyaan Jumlah Persentase 1. Pengetahuan responden tentang
pengertian filariasis
a. Pembengkakan pada kaki 31 41,3 b. Penyakit demam tinggi 40 53,3 c. Penyakit rematik 4 5,3 Total 75 100,0 2. Pengetahuan responden tentang
pembawa (Vektor) filariasis.
a. Nyamuk 5 6,7
b. Cacing 65 86,7
c. Lalat 5 6,7 Total 75 100,0
(47)
Tabel. 4.5 Lanjutan
No Pertanyaan Jumlah Persentase 3. Pengetahuan responden tentang
penularan filariasis
a. Menular 2 2,7
b. Tidak menular 66 88,0
c. Penyakit keturunan 7 9,3
Total 75 100,0 4. Pengetahuan responden tentang
informasi filariasis
a. Petugas Kesehatan 30 40,0
b Kepala desa 42 56,0
c. Tetangga/teman 3 4,0
Total 75 100,0 5. Pengetahuan responden tentang
cara pengobatan filariasis
a. Medis 62 82,7
b. Dukun 6 8,0
c. Sendiri 7 9,3
Total 75 100,0 6. Pengetahuan responden tentang
Survey Darah Jari
a. Malam hari 48 64,0
b. Siang hari 5 6,7
c. Pagi hari 22 29,3
Total 75 100,0 7. Pegetahuan responden tentang
waktu menggunakan anti nyamuk
a. Sewaktu mau tidur 30 40,0
b. Sewaktu santai 34 45,3
c. Sewaktu bekerja 11 14,7
Total 75 100,0 8. Pengetahuan responden tentang
waktu penggunaan kelambu
a. malam hari 62 84,0
b. Sore hari 8 9,3
c. Siang hari 5 6,7
(48)
Tabel. 4.5 Lanjutan
No Pertanyaan Jumlah Persentase 9. Pengetahuan responden tentang
waktu makan obat Diethycarbamazine dan Albendazole
a. Malam hari setelah makan 4 5,3
b. Siang hari setelah makan 11 14,7
c. Pagi hari setelah makan 60 80,0 Total 75 100,0 10. Pengetahuan responden tentang
lokasi penyemprotan
a. Rumah dan lingkungannya 7 9,3
b. Tempat sarang nyamuk 62 82,7
c. Rawa – rawa 6 8,0
Total 75 100,0
Dari hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan responden tentang penyakit filariasis masih merupakan suatu masalah di mana dari aspek pengukuran yang dilakukan terhadap tingkat pengetahuan responden sebanyak 59 orang (78,7%) kategori kurang baik. Hal ini memperlihatkan pengetahuan responden kategori kurang baik relatif tinggi
Pengetahuan yang kurang baik meliputi tentang penyakit filariasis antara lain : pengetahuan responden tentang pengertian filariasis, pengetahuan ntang pembawa (vektor) filariasis, pengetahuan tentang penularan penyakit filariasis, pengetahuan tentang informasi penyakit filariasis, pengetahuan tentang memakan obat pencegahan penyakit filariasis, pengetahuan tentang lokasi penyemprotan.
Uraian pengetahuan selanjutnya dikategorikan atas 3 yaitu : Baik, Kurang baik dan Tidak baik lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.6
(49)
Tabel 4.6. Distribusi Kategori Pengetahuan Responden
No Kategori Jumlah Persentase 1. Baik 16 21,3 2. Kurang baik 59 78,7
Jumlah 75 100,0
5. Sikap
Untuk memperoleh gambaran sikap responden tentang penyakit filariasis (penyakit kaki gajah), diajukan 10 butir pertanyaan berbentuk pilihan berganda. Penilaian jawaban responden atas 10 butir pertanyaan tersebut dikategorikan dengan baik, kurang baik, tidak baik.
Secara lebih rinci uraian distribusi sikap responden dapat dilihat pada Tabel 4.7
Tabel 4.7. Distribusi Uraian Sikap Responden tentang Filariasis
No Pertanyaan Jumlah Persentase 1. Sikap responden tentang penyuluhan.
a. Setuju. 56 74,7 b. Kurang Setuju. 19 25,5 c. Tidak setuju 0 0,0
Total 75 100,0 2 Sikap responden tentang kehadiran.
a. Setuju. 1 1,3 b. Kurang Setuju. 73 97,3 c. Tidak setuju 1 1,3 Total 75 100,0 3. Sikap responden tentang
survey darah jari.
a. Setuju 1 1,3 b. Kurang setuju. 72 96,0 c. Tidak setuju 2 2,7 Total 75 100,0
(50)
Tabel 4.7 Lanjutan
No Pertanyaan Jumlah Persentase 4. Sikap responden tentang penyemprotan
rumah dan lingkungannya.
a. Setuju. 13 17,3 b. Kurang Setuju. 56 74,7 c. Tidak setuju 6 8,0 Total 75 100,0 5. Sikap responden tentang
gotong royong
a. Sangat setuju. 19 25,3 b. Kurang setuju. 56 74,7 c. Tidak setuju 0 0,0 Total 75 100,0 6. Sikap responden tentang
tanggung jawab gotong royong
a. Setuju. 4 5,3 b. Kurang setuju 66 88,0 c. Tidak setuju 5 6,7
Total 75 100,0 7. Sikap responden tentang
penggunaan kelambu.
a. Setuju. 33 44,0 b. Kurang Setuju. 40 53,3 c. Tidak setuju 2 2,7
Total 75 100,0 8. Sikap responden tentang
penggunaan anti nyamuk.
a. Setuju. 53 70,7 b. Kurang Setuju. 22 29,3 c. Tidak setuju 0 0,0 Total 75 100,0 9. Sikap responden tentang
pengobatan penyakit filariasis.
a. Setuju. 50 66,7 b. Kurang setuju 25 33,3 c. Tidak setuju 0 0,0 Total 75 100,0
(51)
Tabel. 4.7 Lanjutan
No Pertanyaan Jumlah Persentase 10. Sikap reponden tentang
pengobatan massal.
a. Setuju. 25 33,3 b. Kurang setuju. 50 66,7 c. Tidak setuju 0 0,0
Total 75 100,0
Dari hasil penelitian menunjukkan sikap responden tentang penyakit filariasis masih merupakan suatu masalah di mana dari aspek pengukuran yang dilakukan terhadap sikap responden sebanyak 42 orang (56,0 %) kurang baik, sedangkan kategori baik sebesar 33 orang 44,0 %, hal ini memperlihatkan bahwa sikap responden dengan kategori kurang baik masih relatif tinggi.
Sikap yang kurang baik tersebut meliputi sikap responden tentang waktu kehadiran penyuluhan penyakit filariasis, tentang Survey darah jari, tentang sikap responden terhadap penyemprotan rumah dan lingkungannya, sikap responden tentang penggunaan kelambu dan sikap responden tentang pengobatan massal.
Uraian sikap selanjutnya dikategorikan atas 3 yaitu : baik, kurang baik dan tidak baik lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.8
Tabel 4.8. Distribusi Kategori Sikap Responden
No Kategori Jumlah Persentase . 1. Baik 33 44,0
2. Kurang baik 42 56,0 Jumlah 75 100,0
(1)
penyuluhan penyakit filariasis, tentang Survey darah jari, tentang sikap responden terhadap penyemprotan rumah dan lingkungannya, sikap responden tentang penggunaan kelambu dan sikap responden tentang pengobatan massal. Dari hasil penelitian menunjukkan partisipasi responden tentang penyakit filariasis masih merupakan suatu masalah dimana dari aspek pengukuran yang dilakukan terhadap partisipasi responden sebanyak 66 orang (88,0 %) kurang baik sedangkan kategori baik sebesar 9 orang 12,0 %, hal ini memperlihatkan bahwa partisipasi responden/masyarakat terhadap pencegahan penyakit filariasis dengan kategori kurang baik masih relatif tinggi.
Partisipasi yang kurang baik tersebut meliputi partisipasi responden tentang waktu penggunaan kelambu, tentang penyemprotan rumah dan lingkungan sekitarnya, partisipasi tentang menghadiri survey darh jari, partisipasi tentang menghadiri pengobatan massal
Pembahasan
Dalam Bab ini akan diuraikan variabel - variabel yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat petani dalam pencegahan penyakit filarisasis.
5.1. Pengaruh Umur terhadap Partisipasi Masyarakat Petani dalam Pencegahan Penyakitfilariasis.
Berdasarkan hasil analisa statistik dengan uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa variabel umur tidak berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi masyarakat dalam pencegahan penyakit filariasis p = 0,425 > = 0,05
Berdasarkan pada hasil penelitian ini partisipasi secara individu dilihat dari aspek umur tidak berpengaruh. Secara statistik dapat dijelaskan bahwa masyarakat pada kelompok umur tertentu (tua atau muda) tidak berbeda partisipasinya dalam program kesehatan, khususnya dalam program filariasis. Dengan demikian secara umum peningkatan partisipasi masyarakat tidak perlu diprioritaskan pada kelompok umur tertentu.
Dari hasil penelitian menunjukkan sebanyak 53,3 % mayoritas responden memiliki usia antara 21 sampai dengan 50 tahun dimana
seusia ini masyarakat masih mampu untuk ikut berpartisipasi seperti menghadiri penyuluhan, survei darah jari serta masih mampu dan sanggup untuk ikut serta bergotong royong membersihkan lingkungan rumah dan sekitarnya.
5.2. Pengaruh Pendapatan terhadap Partisipasi Masyarakat Petani dalam Pencegahan Penyakitfilariasis.
Berdasarkan hasil analisa statistik dengan uji regresi berganda menunjukkan bahwa variabel pendapatan berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi masyarakat dalam pencegahan penyakit filariasis p = 0,015 < = 0,05.
Dari hasil penelitian menunjukkan sebanyak 92% penghasilan yang diperoleh responden rata-rata di bawah Upah Minimum Daerah Kabupaten (UMDK) yaitu < Rp 740,000,-. Penghasilan ini hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Tingginya biaya hidup di Kabupaten Asahan menjadikan masyarakat daerah pedesaan tidak dapat mengalokasikan penghasilan yang diperoleh untuk kesehatan berupa dana pencegahan penyakit menular seperti penyakit filariasis, Hal yang menjadi masalah yaitu kebutuhan masyarakat dalam hal transportasi mengingat mahalnya biaya untuk menuju lokasi pertemuan jika ada pertemuan-pertemuan seperti penyuluhan, survey darah jari, pengobatan massal yang difokuskan pada balai desa setempat, diaspek lainnya masyarakat membutuhkan dana untuk pencegahan gigitan nyamuk seperti pemasangan kawat kasa pada semua ventilasi, pembelian anti nyamuk secara rutin memerlukan biaya, secara umum masyarakat atau responden tidak mampu untuk membiayainya.
Sarwono (2005), mengemukakan pendapatan yang tinggi memungkinkan orang untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan atau kebutuhan lainnya lebih baik karena cukupnya dana yang mereka miliki. Sebaliknya mereka yang berpendapatan rendah lebih mengutamakan kebutuhan-kebutuhan pokoknya, seperti keperluan bahan makanan, sedangkan untuk biaya kesehatan lingkungan belum menjadi kebutuhan primer.
(2)
5.3 Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Partisipasi Masyarakat Petani dalam Pencegahan Penyakit filariasis.
Berdasarkan hasil analisa statistik dengan uji regresi berganda menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi masyarakat dalam pencegahan penyakit filariasis p = 0,037 < = 0,05.
Adanya pengaruh tersebut sesuai menurut Chapin dalam Notoadmojo (2005), mengemukan ada beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi di antaranya variabel pendidikan. Dari hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan masih merupakan suatu masalah dimana dari aspek pengukuran yang dilakukan terhadap tingkat pendidikan responden tersebut sebagian besar atau mayoritas dengan kategori rendah
Berdasarkan pernyataan diatas dapat digambarkan bahwa masyarakat di desa Sei Paham masih sangat rendah tingkat pendidikannya hal ini sangat mempengaruhi Ini dapat dilihat dimana sebagian besar responden berpendidikan Sekolah Dasar yaitu 43 orang (53,7 %). Hal ini berdampak pada cara masyarakat untuk dapat mengetahui dan memahami pengetahuan tentang penyakit filariasis dengan baik
Beberapa pakar kesehatan dan sosiologi seperti Gani (1991), dalam penelitiannya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan menyimpulkan bahwa, dengan semakin tingginya tingkat pendidikan maka seseorang akan lebih cendrung ikut serta dalam sesuatu kegiatan yang ada di masyarakat.
Menurut Kneller dalam Sumantri (1995), mendefinisikan bahwa pendidikan secara luas dapat diartikan sebagai usaha yang sadar dan sistematis dalam membantu anak didik untuk mengembangkan pikiran, kepribadian, dan kemampuan fisiknya,
Ross dalam Notoatmodjo (2005), berpendapat ada tiga prakondisi tumbuhnya partisipasi, yaitu :
1.Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang pendidikan yang memadai sehingga dapat mengidentifikasi masalah, prioritas masalah dan melihat secara komprehensif.
2.Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan, dan belajar untuk mengambil keputusan.
3.Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.
4.Mempunyai persepsi/Sikap serta keyakinan yang positif tentang masalah yang dihadapi. Dari definisi tersebut diatas, sehubungan dengan partisipasi masyarakat petani, maka tingkat pendidikan yang tinggi cendrung lebih mempunyai cara pikir yang relatif tinggi pula, sehingga dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan dirinya termasuk upaya untuk menjaga kesehatan akan dilakukan seobjektif dan sepositif mungkin.
5.4. Pengaruh Pengetahuan terhadap Partisipasi Masyarakat Petani dalam Pencegahan Penyakit filariasis.
Berdasarkan hasil analisa statistik dengan uji regresi berganda menunjukkan bahwa variabel pengetahuan berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi masyarakat dalam pencegahan penyakit filariasis p = 0,026 < = 0,05.
Dari hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan responden tentang peyakit filariasis masih merupakan suatu masalah dimana dari aspek pengukuran yang dilakukan terhadap tingkat pengetahuan responden tersebut sebagian besar atau mayoritas dengan kategori kurang baik yaitu sebanyak 59 orang (78,7 %)
Berdasarkan pernyataan diatas dapat digambarkan bahwa masyarakat di desa Sei Paham masih sangat rendah tingkat pengetahuannya tentang penyakit filariasis. Ini dapat dilihat dimana sebagian besar responden berpendidikan Sekolah Dasar yaitu 43 orang (53,7 %). Hal ini berdampak pada cara masyarakat untuk dapat mengetahui dan memahami pengetahuan tentang penyakit filariasis dengan baik
Menurut Notoadmodjo (1993), perilaku seseorang akan lebih baik dan dapat berlangsung lama untuk bertahan apabila didasari dengan tingkat pengetahuan yang baik, oleh sebab itu pengetahuan sangat dibutuhkan agar masyarakat dapat mengetahui mengapa mereka harus melakukan sesuatu dan bagaimana tentang penyakit filariasis
(3)
Dalam perogram pencegahan penyakit filariasis akan dapat terlaksana dengan baik apabila semua komponen yang ada di dalam lingkungan masyarakat sama-sama mendukung. Manusia merupakan salah satu komponen yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu penyakit. Dimana manusia yang selalu berinteraksi dengan lingkungan dan ini merupakan rantai terjadinya penularan penyakit. Seseorang yang memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik akan cendrung melakukan sesuatu tindakan dan pemikiran yang lebih baik dalam melakukan sesuatu hal, terutama dibidang kesehatan. Dengan cara meningkatkan tingkat pengetahuan masyarakat atau responden tentang penyakit filariasis melalui berbagai media dan cara yang tepat, akan dapat membantu terlaksananya pencegahan penyakit filariasis.
Tingkat pengetahuan masyarakat atau responden secara umum dapat ditingkatkan melalui penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan-pelatihan kader kesehatan oleh pemerintah melalui dinas terkait agar dapat memiliki ilmu pengetahuan dengan baik, terutama mengenai lingkungan dan permasalahannya terhadap masyarakat tentang penyakit filariasis. Hal ini sangat membantu mengingat di desa Sei Paham merupakan daerah endemi penyakit filariasis.
Dengan terlaksananya program-program untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat atau responden dengan baik, maka diharapkan masyarakat dapat mengetahui bahwa penyakit filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh berbagai jenis cacing filaria dan penularannya melalui berbagai jenis nyamuk dan masyarakat juga mengetahui dengan baik gejala-gejala penyakit filariasis serta mengetahui cara pencegahan dan penanggulangan penyakit tesebut
Menurut Soewasono (1980), pengetahuan adalah mencakup apa yang dialami sebagai hasil tentang hal-hal yang terjadi atau ada dilingkungannya, sebagai hasil refleksi intern atau proses berpikir.
Craig dan Mayo dalam Yustina I (2005), mengatakan Empowerment is road to participation. Pemberdayaan merupakan syarat bagi terciptanya suatu partisipasi dalam masyarakat. Belum adanya partisipasi aktif dalam masyarakat untuk menciptakan kondisi
yang kondusif pada proses pembangunan mengisyaratkan belum berdayanya sebagian masyarakat kita. Keberdayaan memang menjadi syarat untuk berpartisipasi, karena merupakan sesuatu yang sulit bagi masyarakat ketika mereka dikehendaki berpartisipasi namun tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang segala aktivitas yang mendukung proses pembangunan
Ross dalam Notoatmodjo (2005), berpendapat ada tiga prakondisi tumbuhnya partisipasi, yaitu :
1.Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang pendidikan yang memadai sehingga dapat mengidentifikasi masalah, prioritas masalah dan melihat secara komprehensif. 2.Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat
tentang permasalahan, dan belajar untuk mengambil keputusan.
3. Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.
4.Mempunyai persepsi/Sikap serta keyakinan yang positif tentang masalah yang dihadapi. Notoatmodjo (1985), menyatakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur yang diperlukan seseorang agar dapat melakukan sesuatu, unsur-unsur tersebut adalah :
5. Pengetahuan/pengertian dan pemahaman tentang apa yang akan dilakukannya.
6. Keyakinan dan kepercayaan tentang manfaat dan kebenaran dari apa dan mengapa dilakukannya.
7. Sarana yang diperlukan untuk melakukannya. 8. Dorongan atau motivasi untuk berbuat yang
dilandasi oleh kebutuhan yang dirasakan. Hal yang dapat disarankan peneliti untuk mengatasi dan membantu meningkatkan keadaan dan kondisi pengetahuan masyarakat tentang penyakit filariasis antara lain adalah melaksanakan sosialisasi dalam hal program pemberantasan penyakit filariasis secara berkelanjutan yang dilakukan oleh semua pihak yang terkait. Antara lain Dinas Kesehatan, Puskesmas, dan pemerintah setempat. Selain dari pada itu perlu juga adanya motivasi dari pemerintah yang positif terhadap masyarakat dengan mengadakan perlombaan di bidang kesehatan lingkungan, mengadakan pelatihan-pelatihan kepada kader kesehatan tentang pencegahan secara dini penyakit filariaisis serta pemutaran film-film dokumenter yang bersifat
(4)
memperkenalkan secara dini dan memberikan informasi yang benar-benar tentang penyakit filariasis
5.6. Pengaruh Sikap terhadap Partisipasi Masyarakat Petani dalam Pencegahan Penyakit filariasis.
Berdasarkan hasil analisa statistik dengan uji regresi berganda menunjukkan bahwa variabel Sikap berpengaruh signifikan terhadap partisipasi masyarakat dalam penyakit filariasis p = 0,005 < = 0,05.
Dari hasil penelitian menunjukkan sikap responden tentang penyakit filariasis masih merupakan suatu masalah dimana dari aspek pengukuran yang dilakukan terhadap sikap responden tersebut sebagian besar atau mayoritas dengan kategori kurang baik yaitu sebanyak 42 orang (56,0 %), sedangkan kategori baik sebesar 33 orang 44,0 %, hal ini memperlihatkan bahwa penilaian sikap dengan kategori kurang baiik masih relatif tinggi. Dengan demikian kondisi sikap masyarakat tentang penyakit filariasis masih perlu ditingkatkan lagi, hal ini sangat membantu terlaksananya program-program pencegahan penyakit filariasis di wilayah masyarakat desa Sei Paham.
Allport dalam Syahrial (1979), mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan pada sikap negative terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, tidak menyukai objek tertentu. Sikap tersebut mempunyai 3 komponen pokok yaitu : 1.Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep
suatu objek
2.Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
3. Kecenderungan untuk bertindak
Masyarakat atau responden dalam memenuhi ketiga komponen diatas masih dikategorikan kurang baik, hal ini dapat dilihat bdimana masyarakat secara umum menganggap atau mempercayai bahwa penyakit filariasis merupakan penyakit keturunan atau kena guna-guna.yang tidak perlu diobati dan akan sembuh sendiri
Menurut Notoatmodjo (1993), sikap adalah anggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang diketahuinya, tidak dapat dilihat secara nyata, tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai perilaku yang tertutup.
Sikap yang kurang baik dari masyarakat atau responden tentang penyakit filariasis ini juga dapat disebabkan dengan kurangnya pengetahuan dan rendahnya tingkat pendidikan yang dimilki oleh masyarakat dan kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat atau responden di desa Sei Paham mengenai penyakit filariasis. Ross dalam Notoatmodjo (2005), berpendapat ada tiga prakondisi tumbuhnya partisipasi, yaitu :
1. Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang pendidikan yang memadai sehingga dapat mengidentifikasi masalah, prioritas masalah dan melihat secara komprehensif. 2.Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat
tentang permasalahan, dan belajar untuk mengambil keputusan.
3.Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.
4.Mempunyai Persepsi/Sikap serta keyakinan yang positif tentang masalah yang dihadapi. Hal yang dapat disarankan peneliti untuk mengatasi dan membantu meningkatkan keadaan dan kondisi sikap masyarakat tentang penyakit filariasis antara lain adalah melaksanakan sosialisasi dalam hal program pencegahan penyakit filariasis secara berkelanjutan yang dilakukan oleh semua pihak yang terkait. Selain dari pada itu perlu juga meyakinkan masyarakat setempat dengan melalui penyuluhan bahwa penyakit filariasis dapat dicegah dengan memakan obat, dan memeriksakan diri setelah makan obat minimal satu tahun sekali selama lima tahun yang diberikan oleh pemerintah, dan menyatakan bahwa penyakit filariasis bukanlah penyakit keturunan, bukan karena mistik atau bukan penyakit kutukan yang tanpa diobati akan sembuh sendiri melainkan penyakit filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk yang dapat dicegah oleh masyarakat itu sendiri.
(5)
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Sebesar 88,0 % responden memiliki
partisipasi dengan kategori kurang baik terhadap pencegahan penyakit filariasis. 2. Sebanyak 78,7 % responden memiliki
pengetahuan kategori kurang baik ; sedangkan 56,0 % responden mempunyai sikap dengan kategori kurang baik
3. Variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi masyarakat dalam pencegahan penyakit filariasis yaitu, pendapatan (p = 0,015), tingkat pendidikan (p = 0,037), pengetahuan (p = 0,026), sikap (p = 0,005)
4. Variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi masyarakat dalam pencegahan penyakit filariasis yaitu umur (p = 0,425).
5. Variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat petani dalam pencegahan penyakit filariasis adalah variabel Sikap hal ini sejalan dengan hasil uji statistik menunjukkan kekuatan pengaruh sikap sebesar ( ß= 0,649) dan nilai (Probability = 0,005 ), dibanding dengan kekuatan pengaruh variabel lain seperti pendapatan sebesar ß = 0,290, variabel tingkat pendidikan sebesar ß = 0,366 , variabel pengetahuan sebesar ß = 0,488
S a r a n
Untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan, a. Meningkatkan penyuluhan tentang penyakit
filariasis yang disampaikan oleh petugas filariasis secara berperiodik minimal sebulan sekali
b. Menitik beratkan pada pengobatan massal, dan kebersihan lingkungan. serta mengalokasikan dana di APBD untuk mendukung kegiatan tersebut.
Untuk Peneliti lainnya.
a. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui variabel lain yang diasumsikan berpengaruh terhadap partisipasi dalam pencegahan penyakit filariasis.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen RI, 1990, Pedoman Pelaksanaan Penyuluhan Dalam Pemberantasan Demam Kaki Gajah (Filariasis)Ditjen PPM & PPL Depkes RI, Jakarta. …………, 1994, Pendekatan Edukatif, PPKM,
Depkes RI, Jakarta.
………,1998,Penentuan Eliminasi Penyakit
Kaki Gajah, Dirjrn PPM & Depkes RI, Jakarta…………, 2000, Penentuan Eliminasi Penyakit Kaki Gajah, Dirjrn PPM & Depkes RI, Jakarta.
…………...., 2002, Penentuan Daerah Endemis Penyakit Kaki Gajah, Dirjen PPM & PL Depkes RI, Jakarta
…………., 2005, Hasil Survey Darah Jari, Medan Sumatera Utara
Dinas Kesehatan, 2006 Profil Kesahatan, Kabupaten Asahan
Franssiscus A.P, 2004, Tool Kit Handbook for the Elimination of Lymphatic Filariasis, Kupang
Gani, 1991, Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta
Halimah, 1998 Pengaruh Lingkungan terhadap pemberantasan penyakit filariasis, Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan.
Lemeshow S, 1997, Besar Sampel dalam penelitian
Mantra I.B, 1994, Pendekatan Edukatip, PPKM, Depkes RI, Jakarta.
Margono, 2003, Membentuk Pola Perilaku Manusia Dalam Pembangunan, Bandung
(6)
Mayo ,M, 1995, Community Empower, A. Reader Participation and Development, London
Notoatmodjo S, 1993, Pengantar Ilmu Perilaku dan Kesehatan, BPKM, FKM UI, Jakarta
………, 2003, Pendidikan dan Perilaku Manusia, Rineka Cipta, Jakarta
..….…., 2005, Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta
Oemijiati 1999, Tool Kit Handbook for the Elimination of Lymphatic Filariasis, Indonesia, Hal 11)
Singarimbun, 1989 Teknik dalam Metode penelitian, Jakarta
Soetomo, 2006, Strategi-Strategi Pembangunan masyarakat, Pustaka Pelajar, Yokyakarta.
Yustina. I., 2005, Membentuk Pola Perilaku Manusia Dalam Pembangunan, IPB Press, Bogor
……….., 2005, Waspadai Ancaman Filariasis, Medan
Zulkifli, 1978, Prinsip-prinsip Ilmu prilaku, Universitas Indonesia, Jakarta