Hubungan Karakteristik Masyarakat Petani Dengan Upaya Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Peunayan Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara

(1)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT PETANI DENGAN UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS

DI DESA PEUNAYAN KECAMATAN NISAM KABUPATEN ACEH UTARA

TESIS

OLEH

A G U S R I 05701002/AKK

0

OLEH : A G U S R I

SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT PETANI DENGAN UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS

DI DESA PEUNAYAN KECAMATAN NISAM KABUPATEN ACEH UTARA

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

A G U S R I 057012002/AKK

SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT PETANI DENGAN UAPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS DI DESA PEUNAYAN KECAMATAN NISAM KABUPATEN

ACEH UTARA Nama Mahasiswa : Agusri

Nomor Pokok : 057012002

Program Magister : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Dr. Erman Munir, MSc) (Ir. Indra Chahaya, S, MSi)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur SPs USU,

(Dr.Drs. Surya Utama, MS) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,MSc)


(4)

Telah diuji pada : Tanggal 29 Mei 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr. Erman Munir, MSc Anggota : 1. Ir. Indra Chahaya, S, MSi.

2. Drs. Tukiman, MKM. 3. Drs. Amir Purba, MSi


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT PETANI DENGAN UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS

DI DESA PEUNAYAN KECAMATAN NISAM KABUPATEN ACEH UTARA

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, April 2008


(6)

ABSTRAK

Penyakit kaki gajah (filariasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria. Penyakit filariasis menimbulkan gejala berupa demam berulang, peradangan kelenjar/ saluran getah bening, oedema. Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan bersifat menahun (kronis)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik masyarakat petani dengan upaya pencegahan penyakit filariasis di Desa Penayan kecamatan Nisam kabupaten Aceh Utara. Jenis penelitian ini adalah survey dengan tipe explanatory research. Metode pengumpulan data adalah dengan daftar pertanyaan, studi dokumentasi, wawancara dan pengamatan. Populasi penelitian adalah masyarakat petani yang berada di desa Peunayan. Sampel penelitian berjumlah 71 orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan status sosial ekonomi, pendidikan, pengetahuan, sarana prasarana, penyuluhan, dan informasi terhadap upaya pencegahan penyakit filariasis di Desa Peunayan Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara. Ada hubungan sikap, keyakinan, dan perilaku petugas terhadap upaya pencegahan penyakit filariasis di Desa Peunayan Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.

Hasil penelitian selanjutnya menyarankan kepada petugas untuk meningkatkan perilakunya kearah yang lebih baik dalam memberi pelayanan yang optimal kepada masyarakat, agar lebih yakin terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan, memberikan penyuluhan yang kontinyu oleh petugas kepada masyarakat, adanya minat dan motivasi bagi peneliti yang lain untuk mengembangkan hasil penelitian dengan melakukan penelitian lebih mendalam di tempat-tempat yang lain. Kata Kunci : Karakteristik Masyarakat, Filariasis.


(7)

ABSTRACT

The elephantiasis (filariasis) disease is a contagious chronically disease, which caused by filaria worm infection. The disease emerge symptom such as periodic fever, lymph gland chafe, edema. This spread by many kinds of mosquitoes and become chronic.

This research is an explanatory survey research, which was done hypothesis examination on the research. The method of collecting the data conducted by questionnaire, by documentasion study, doing interview, and by research perhaps. The research location was held ini Peunayan Village in Nisam region of North Aceh, based on the highest MF-rate endemic area, and population was 71 responden.

Based on the research outcome there is no relationship berween social, economic, education, knowledge, infrastructure and manufacture, information status with the prevention program of filariasis desease ini Peunayan village of Nisam region in North Aceh.

Suggest to the heath officer to improve their behavior by giving continues counseling, give optimum health service to the society, so that the people become sure on the given health service, and also to give interest and motivation for other researchers to improve the research output by doing deeper research in other place. Keywods : The community Characteristic, Filariasis.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Hubungan Karakteristik Masyarakat Petani Dengan Upaya Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Peunayan Kecamatan Nisam Kabupaaten Aceh Utara”.

Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari dukungan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini izinkanlah penulis untuk menyampaikan terima ksih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana (SPs) Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

2. Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pasca Sarjana (SPs) Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

3. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pasca Sarjana (SPs) Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

4. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, selaku ketua komisi pembimbing dalam penulisan tesis ini.

5. Ir. Indra Chahaya S, M.Si, selaku anggota pembimbing dalam penulisan tesis ini. 6. Dr. M. Nahrawi J. Hanafiah, Sp.OG, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten


(9)

7. Isteri, anak-anak dan keluargaku yang tercinta yang senantiasa memberikan dorongan dan do’a dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Rekan-rekan Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan USU seangkatan dan semua pihak atas dukungan moril dan material yang diberikan.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi bahasa maupun isinya, sehingga saran dan masukan sangat diharapkan untuk kesempurnaan tesis ini.

Medan, April 2008


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Agusri

Tempat/ Tanggal Lahir : Kecamatan Jeumpa, 17 Agustus 1968 Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : 1. Dosen FKM Unmuha Aceh 2. Dosen Stikes Mhd Lhokseumawe Nama Isteri : Ns. Sri Andala, S.Kep

Pekerjaan Isteri : Pegawai Puskesmas Nama Anak : 1. Naufal Gusti

2. Kaisar Arif

Nama Ayah : Ismail Husen Nama Ibu : Saidah Mahmud

Alamat : Jl. Darussalam No.4.F - Lhokseumawe

Pendidikan :

1. SD Negeri Cot Gadong Bireuen : Tamat Tahun 1981 2. SMP M.6 Lhokseumawe : Tamat Tahun 1985 3. SMA Negeri 1 Lhokseumawe : Tamat Tahun 1988 4. Akper Pemda Lhokseumawe : Tamat Tahun 1995 5. FKM Unmuha Aceh : Tamat Tahun 2001 6. Pasca Sarjana USU : 2005 - sekarang


(11)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK ...

ABSTRACT... KATA PENGANTAR ... RIWAYAT HIDUP ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1.2. Permasalahan ... 1.3. Tujuan Penelitian ……… 1.4. Hipotesis Penelitian ... 1.5. Manfaat Penelitian ... BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Penyakit Filariasis ... 2.2. Mekanisme Penyebaran Penyakit Filariasis ... 2.2.1. Agen (Penyebab Filariasis) ... 2.2.2. Hospes ... 2.3. Vektor ... 2.4. Transmisi Filariasis ... 2.5. Topografi ... 2.6. Demografi ... 2.7. Iklim ... ... 2.7.1. Curah Hujan ... 2.7.2. Suhu Udara ... ... 2.7.3. Kelembaban Udara ... ...

i ii iii v vi ix x 1 5 6 6 6 7 8 8 10 11 15 17 17 18 19 20 20


(12)

2.8. Karakteristik Masyarakat yang berhubungan dengan

penyakit filariasis ... 2.9. Kerangka Teoritis ... 2.10. Model kerangka teori ... 2.11.Model kepercayaan kesehatan ... 2.12.Kerangka Konsep ... BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian ... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... ... 3.3. Populasi dan Sampel ... 3.4. Metode Pengumpulan Data ... ... 3.5. Definisi Operasional ... 3.6. Metode Pengukuran ... ... 3.7. Metode Analisis Data... BAB IV. HASIL PENELITIAN

4.1. Geografi ... ... 4.2. Demografi ... ... 4.3. Sarana Kesehatan ... ... 4.4. Data Univariat ... ... BAB V. PEMBAHASAN

5.1. Status Sosial Ekonomi ... 5.2. Pendidikan ... 5.3. Pengretahuan ... 5.4. Sikap ... 5.5.Keyakinan kepada Petugas ... 5.6. Sarana Prasarana ... 5.7. Penyuluhan ... 5.8. Perilaku Petugas ...

21 37 37 37 40 41 41 41 43 43 45 50 51 51 51 52 61 62 64 66 67 68 69 70


(13)

5.9. Informasi ... BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 6.2. Saran-saran ... ... DAFTAR PUSTAKA ...

71

73 73 75


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1 Distribusi Frekuensi Status Sosial Ekonomi, Pendidikan dan

Pengetahuan di Desa Peunayan ... 52 4.2 Distribusi Frekuensi Sikap, Keyakinan,

Sarana prasarana, Penyuluhan Perilaku Petugas dan

Informasi di Desa Peunayan... 52 4.3 Distribusi Frekuensi Tindakan Upaya Pencegahan

penyakit filariasis di Desa Peunayan . ... 52 4.4. Hubungan Status Sosial Ekonomi dan Tindakan Upaya Pencegahan

Penyakit Filariasis di Desa Peunayan ... 53 4.5. Hubungan Pendidikan dan Tindakan Upaya Pencegahan

Penyakit Filariasis di Desa Peunayan ... 54 4.6. Hubungan Pengetahuan dan Tindakan Upaya Pencegahan

Penyakit Filariasis di Desa Peunayan ... 55 4.7. Hubungan Sikap dan Tindakan Upaya Pencegahan

Penyakit Filariasis di Desa Peunayan ... 56 4.8. Hubungan Keyakinan dan Tindakan Upaya Pencegahan

Penyakit Filariasis di Desa Peunayan ... 56 4.9. Hubungan Sarana Prasarana dan Tindakan Upaya Pencegahan

Penyakit Filariasis di Desa Peunayan Kecamatan Nisam

Kabupaten Aceh Utara Tahun 2007 ……… 57 Tabel 4.10. Hubungan Penyuluhan dan Tindakan Upaya Pencegahan

Penyakit Filariasis di Desa Peunayan Kecamatan Nisam

Kabupaten Aceh Utara Tahun 2007 ……… 58 4.11. Hubungan Perilaku Petugas dan Tindakan Upaya Pencegahan

Penyakit Filariasis di Desa Peunayan ... 59 4.12. Hubungan Informasi dan Tindakan Upaya Pencegahan


(15)

Penyakit Filariasis di Desa Peunayan ... 60 4.13 Koefisien Korelasi – Guilford


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran 1 : Daftar Pertanyaan / Kuesioner ………. 82

Lampiran 2 : Master Data ………. 90

Lampiran 3 : Pengujian Data ... 110

Lampiran 4 : Surat Izin Penelitian ... 131

Lampiran 5 : Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian ... 132


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Derajat kesehatan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produktifitas Sumber Daya Manusia (SDM), untuk itu pembangunan kesehatan menempati peran penting dan strategis bagi pembangunan nasional, terutama bagi peningkatan SDM yang sehat, lebih produktif dan berdaya saing. Keberhasilan pembangunan kesehatan tidak terlepas dari faktor tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mendukung terwujudnya perubahan-perubahan yang semakin nyata dalam pola hidup sehat bagi masyarakat (Depkes RI,1997) dalam Nuryanti (2005).

“Indonesia Sehat 2010” yang telah dicanangkan oleh Departemen Kesehatan, mempunyai visi yang sangat ideal, yakni masyarakat Indonesia yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Dari visi tersebut ada 3 prakondisi yang perlu dilakukan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, yakni : lingkungan sehat, misalnya ; bebas polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan memadai, perumahan dan pemukiman sehat, dan sebagainya. Perilaku sehat adalah perilaku masyarakat yang proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari penyakit, serta berperan aktif dalam gerakan


(18)

atau kegiatan-kegiatan kesehatan masyarakat. Sedangkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat diartikan masyarakat memperoleh pelayanan dengan mudah dari tenaga kesehatan yang profesional.

Untuk mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010” tersebut telah ditetapkan 4 misi pembangunan kesehatan, yaitu menegakkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya. Selanjutnya, untuk merealisasi misi ini, jelas tidak mungkin hanya dibebankan pada sektor kesehatan saja, karena masalah kesehatan merupakan dampak dari semua sektor-sektor pembangunan. Oleh sebab itu, masalah kesehatan adalah tanggung jawab bersama setiap individu, masyarakat, pemerintah, dan swasta (Notoatmodjo, 2005).

Penyakit kaki gajah (filariasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria. Gejala-gejala berupa ; demam berulang-ulang selama 3-5 hari. Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan bersifat menahun (kronis), ini dikarenakan adanya pembesaran kaki, lengan, payudara dan alat kelamin, baik pada pria (scrotum) maupun pada wanita, bila tidak mendapat pengobatan dengan baik dapat menimbulkan kecacatan, hambatan psikososial dan penurunan produktivitas kerja individu, keluarga dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Diperkirakan penyakit tersebut menginfeksi sekitar 120 juta penduduk di 80 negara terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis seperti India, Banglades, Taiwan, China, Philipina, Africa,


(19)

Amerika Latin, daerah Pasifik dan negara-negara di Asia Tenggara. Di Indonesia diperkirakan kurang lebih 10 juta orang sudah terinfeksi penyakit kaki gajah terutama didaerah pedesaan dan sekitar 6500 orang sudah menjadi kronis (elephantiasis) (Depkes RI, 2001).

Tingkat endemisitas penyakit kaki gajah hasil survei darah jari pada tahun 1999 masih tinggi dengan rata-rata Mf- rate 3,1% dengan rentangan 0,5 – 19,64%. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat penularan penyakit kaki gajah di Indonesia masih tinggi, karena Mf rate yang dapat memutuskan rantai penularan adalah < 1%. Penyakit kaki gajah umumnya endemis di daerah dataran rendah, terutama di pedesaan di daerah pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan daerah hutan. Secara umum, penyakit kaki gajah brancofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Penyakit kaki gajah brancofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Indonesia. Penyakit kaki gajah malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Pulau Seram. Penyakit kaki gajah timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timori dan Sumba, umumnya endemik di daerah persawahan (Depkes RI, 2001).

Dari segi epidemiologi, penyakit ini memerlukan beberapa faktor untuk terjadinya penularan, diantaranya adanya manusia sebagai hospes, nyamuk sebagai vektor dan lingkungan yang mendukung kehidupan vektor. Di Indonesia telah diketahui ada 23 species nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonis, Aedes dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor penular penyakit filariasis. Nyamuk


(20)

tersebut tersebar luas di seluruh tanah air sesuai dengan keadaan lingkungan fisik dan biologik sebagai habitatnya.

Selanjutnya pada tahun 1997 WHO membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah. Pada tahun 2000, WHO menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah, (The Global Goal of Elimination of Limphatic Filariasis as a Public Health Problem By The Year 2020). Menyusul kesepakatan global tersebut, pada tahun 2002 Indonesia mencanangkan gerakan eliminasi penyakit kaki gajah disingkat Elkaga pada tahun 2020. Eliminasi Filariasis bertujuan untuk menurunkan prevalensi microfilaria - rate hingga dibawah 1% , sehingga filariasis tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat (http ://www.infeksi.com/article php?Ing=in&pg=3, 2007).

Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), terutama di Kabupaten Aceh Utara, dari hasil survei di Kecamatan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara yaitu Kecamatan Langkahan ; di Desa Simpang Tiga dengan mf-rate 10,6%. Juga di Kecamatan Sawang ; di Desa Kuta Meuligo dengan mf-rate 8%. Serta di Kecamatan Nisam ; di Desa Peunayan, Seuneubok, Jeuleukat, Alue Sijeungkai dan Paloh Mambu dengan mf-rate 10,4% (Dinkes Kabupaten Aceh Utara, 2006).

Hal ini menunjukkan prevalens microfilaria-rate filariasis secara umum di Kabupaten Aceh Utara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) cukup tinggi, angka ini jauh di atas angka Survei Darah Jari (SDJ) yang telah dilakukan oleh Departemen Kesehatan tahun 1999 dengan rata-rata mikro Mf-rate 3,2%. Penelitian


(21)

terdahulu yang dilakukan di daerah Budong-budong Mamuju Sulawesi Selatan tahun 1991-1992, terhadap anggota masyarakat dari penduduk asli setempat diperoleh data bahwa lingkungan pedesaan mempunyai kecenderungan masyarakatnya mendapatkan mikrofilaria positif dibanding dengan masyarakat yang bermukim di pesisir pantai dimana ditemukan 87 orang penderita filariasis dari 480 orang yang diperiksa, yang terdiri dari laki-laki 22,6%, wanita 15,1% dengan perbandingan 1,5 dibanding 1, hal ini disebabkan laki-laki lebih sering terpapar dibanding dengan kaum wanita, bagi laki-laki lebih sering berada diluar rumah pada malam hari (Parewasi, 2001).

Secara umum masyarakat petani di Kecamatan Nisam merupakan penduduk dengan pendidikan dan pengetahuan yang sangat rendah., daerah yang terpencil, ini menjadi hambatan bagi kelangsungan pencegahan penyakit filariasis di masyarakat tersebut.

Mengacu pada kondisi masyarakat petani yang telah diuraikan di atas, dan didukung oleh data Mf-rate Filariasis masih tinggi, maka di kabupaten Aceh Utara perlu dilakukan penelitian tentang hubungan karakteristik masyarakat petani terhadap upaya pencegahan penyakit filariasis.

1.2. Perumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang penelitian dalam uraian di atas, maka permasalahan penelitian yaitu; sampai sejauh mana hubungan karakteristik masyarakat petani dengan upaya pencegahan penyakit filariasis di Desa Peunayan.


(22)

1.3. Tujuan Penelitian.

Untuk mengetahui hubungan karakteristik masyarakat petani dengan upaya pencegahan penyakit filariasis di Desa Peunayan.

1.4. Manfaat Penelitian.

1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara, sebagai bahan masukan atau informasi untuk mengambil langkah-langkah kebijakan dimasa mendatang dalam rangka pencegahan penyakit filariasis.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan menambah perbendaharaan perpustakaan yang telah ada yang dapat menjadi dasar pemikiran untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya.

3. Untuk mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari peneliti dan merupakan proses berfikir ilmiah dalam memahami dan menganalisa serta mengantisipasi masalah kesehatan yang ada.

1.5. Hipotesis

Ada hubungan karakteristik masyarakat petani dengan upaya pencegahan penyakit filariasis di Desa Peunayan.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Penyakit Filariasis

Filariasis atau yang disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi jenis parasit nematode atau oleh cacing filaria limfatik yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan merusak jaringan pada manusia yang mengenai kelenjar/saluran getah bening, dengan gejala akut berupa demam berulang, disertai tanda-tanda peradangan kelenjar/saluran getah bening serta pada stadium lanjut berupa cacat anggota tubuh. Cacing tersebut hidup dikelenjar dan saluran getah bening (limfe) sehingga menimbulkan peradangan pada kelenjar dan saluran getah bening (adenolymphangitis) terutama didaerah pangkal paha dan ketiak. Peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan jaringan parut. Filariasis dapat menyerang laki-laki dan perempuan untuk semua golongan umur. Apabila tidak mendapatkan pengobatan yang sempurna dapat menimbulkan cacat menetap yang sukar disembuhkan berupa pembesaran pada kaki (seperti kaki gajah), lengan, payudara, buah zakar (scrotum) dan kelamin wanita ( http ://health-Irc.or.id/SPM , 2004).

Penyakit kaki gajah banyak ditemukan di daerah khatulistiwa dan penyakit ini endemis di daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, daerah pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan daerah hutan. Secara umum, penyakit kaki gajah


(24)

bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Penyakit kaki gajah Wuhereria bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Provinsi Irian Jaya dan beberapa daerah lain di Indonesia, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe perkotaan dan sekitarnya seperti Jakarta, Bekasi, Semarang, tangerang, Pekalongan dan Lebak (Banten). Penyakit kaki gajah malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Pulau Seram. Penyakit kaki gajah timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timori dan Sumba, umumnya endemik di daerah persawahan. Pengetahuan tentang epidemiologi penyakit kaki gajah harus dipahami untuk mencapai keberhasilan upaya pencegahan. Epidemiologi penyakit kaki gajah mencakup pengetahuan tentang penyebab penyakit (agen), (hospes) manusia yang rentan dan beberapa jenis hewan, vektor sebagai penular penyakit, lingkungan yang sesuai untuk tertahannya penyakit ( Achmadi, 2004b, http://health-IRc.or.id/SPM, 2004)

2.2. Mekanisme Penyebaran Penyakit Filariasis 2.2.1. Agen (Penyebab filariasis)

Penyebab filariasis adalah parasit nematode jaringan. Ada tiga jenis nematoda jaringan yang ditemukan di Indonesia sebagai penyebab filariasis yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori (Ditjen PPM & PL, 2002).

a. Wuchereria bancrofti.

Wuchereria bancrofti merupakan parasit manusia yang menyebabkan filariasis bancrofti atau wuchereriais bancrofti. Penyakit ini tergolong ke dalam


(25)

filariasis limfatik. Parasit ini tersebar luas di daerah yang beriklim tropis. Cacing dewasa jantan dan betina hidup disaluran dan kelenjar limfe, bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 65-100 mmx0,25 mm dan yang jantan 40 mm x 0,1 mm. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran 250-300. Mikrofilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat dialiran darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas. Pada umumnya mikrofilaria Wuchereria bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam hari. Pada siang hari, mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam (paru-paru, jantung, ginjal dan sebagainya). Daur hidup Wuchereria bancrofti memerlukan waktu sangat panjang. Masa pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk kira-kira 2 minggu dan masa pertumbuhan parasit didalam tubuh manusia kira-kira 7 bulan. Di daerah perkotaan parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinguefasciatus. Di pedesaan vektor penularannya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes (Ditjen PPM&PL, 2002).

b. Brugia malayi

Brugia malayi dapat dibagi dalam dua varian yaitu yang hidup pada manusia dan yang hidup manusia dan hewan, misalnya kucing, kera dan lain-lain. Penyakit yang disebabkan oleh Brugia malayi disebut filariasis malayi. Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 55 mm x 0,16 mm dan yang jantan 22-23 mm x 0,09 mm, dan cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung.


(26)

Ukuran mikrofilaria Brugia malayi adalah 200-260 mikron x 8 mikron. Perioditas mikrofilaria Brugia malayi adalah periodik nokturna, sub periodik nokturna, atau non periodik mikrofilaria terdapat dalam darah tepi siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu malam hari. Daur hidup didalam nyamuk kurang dari 10 hari dan pada manusia kurang dari 3 bulan. Brugia malayi yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris dan yang hidup pada hewan di tularkan nyamuk mansonia (Ditjen PPM&PL, 2002).

c. Brugia timori

Penyakit yang di sebabkan oleh Brugia timori disebut filariasis timori. Cacing dewasa betina dan jantan hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 21-39 mm x 0,1 mm dan yang jantan 13-23 mm x 0,08 mm. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Ukuran mikrofilaria Brugia timori adalah 280 – 310 mikron x 7 mikron. Perioditas mikrofilaria Brugia timori adalah periodik nokturna.

Daur hidup didalam nyamuk kurang dari 10 hari dan pada manusia kurang dari 3 bulan. Brugia timori yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris.

2.2.2. Hospes

Pada dasarnya semua manusia dapat terjangkit penyakit kaki gajah apabila digigit nyamuk vektor yang infektif (mengandung larva stadium 3). Vektor infektif mendapat mikrofilaria dari orang-orang setempat yang mengidap mikrofilaria dalam darahnya. Pada kenyataannya disuatu daerah endemis tidak semua orang terinfeksi


(27)

dan semua orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala. Meskipun tanpa gejala tetapi sudah terjadi perubahan-perubahan patologis. Semakin lama pendatang menempati daerah endemis kaki gajah maka akan lebih besar kemungkinan terkena infeksi (misalnya transmigran) lebih banyak menunjukkan gejala, tetapi pada pemeriksaan darah jari lebih sedikit yang mengandung mikrofilaria atau dengan kata lain biasanya pendatang baru ke daerah endemik lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumnya laki-laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan infeksi (exposure) sebagai contoh sering melakukan kerja malam atau berkumpul di luar pada waktu tengah malam. Juga gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki karena pekerjaan fisik yang lebih berat dari pada pekerjaan fisik wanita. Tipe Brugia malayi sub periodik yang dapat hidup pada hewan yang dapat hidup di hospes perantara. Hospes perantara yang terpenting adalah kera terutama jenis presbytis, di samping kucing walaupun tingkat prevalensi umumnya rendah (Ditjen PPM&PL, 2002).

2.3. Vektor

Banyak species nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya. Wuchereria bancrofti yang terdapat didaerah perkotaan (urban) ditularkan oleh Cx.quinguefasciatus yang menggunakan air kotor dan tercemar sebagai tempat perindukannya. Sedangkan untuk di daerah pedesaan (rural) dapat ditularkan oleh berbagai macam species nyamuk. Brugia malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya ditularkan oleh berbagai species nyamuk


(28)

mansonia seperti Mn.uniformis, Mn.bonneae, Mn.dives dan lain-lain, yang berkembang didaerah rawa. Brugia timori yang periodik ditularkan oleh An.barbirostis yang memakai sawah sebagai tempat perindukannya. Brugia timori merupakan species baru yang ditemukan di Indonesia sejak 1965 hingga sekarang hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor Timur, ditularkan oleh An.barbirostis yang berkembang biak di daerah sawah, baik didekat pantai maupun di daerah pedalaman (Ditjen PPM&PL, 2002).

a. Daur hidup nyamuk

Dalam hidupnya nyamuk mengalami metamorfosis sempurna, yaitu bentuk telur, larva, pupae dan bentuk nyamuk dewasa. Nyamuk dewasa hidup di alam bebas, sedangkan ketiga stadium lainnya hidup dan berkembang di dalam air. Telur culex berkelompok membentuk rakit banyak dijumpai pada genangan air kotor (comberan, got, parit, dll). Pada Mansonia telur diletakkan di balik permukaan tumbuhan air dan banyak dijumpai pada genangan air dengan tumbuhan tertentu (pistia, enceng, dll) (Depkes RI, 2001).

Setelah satu atau dua hari di dalam air telur akan menetas, keluarlah jentik yang pertumbuhannya mengalami pergantian kulit sebanyak 4 kali. Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan jentik adalah 8 – 10 hari tergantung pada makanan, suhu serta species nyamuk. Masing-masing stadium larva dari masing-masing genus adalah berbeda. Larva Culicini membentuk sudut permukaan air, Mansonia larvanya tergantung/melekat pada akar tumbuhan air, pada Culicini waktu yang diperlukan sejak telur diletakkan hingga dewasa adalah 1 – 2 minggu.. Dari stadium jentik


(29)

kemudian akan tumbuh menjadi kepompong yaitu stadium tidak makan dan pada tingkatan ini dibentuk alat-alat nyamuk dewasa. Jumlah nyamuk jantan dan nyamuk betina yang menetas dari kelompok telur pada umumnya hampir sama banyaknya (1:1). Setelah menetas nyamuk melakukan perkawinan yang biasanya terjadi pada waktu senja. Perkawinan hanya terjadi cukup satu kali, sebelum nyamuk betina pergi untuk menghisap darah. Nyamuk jantan umurnya lebih pendek dari nyamuk betina dengan jarak terbang tidak jauh dari tempat perindukannya. Nyamuk betina umurnya lebih panjang dari nyamuk jantan, perlu menghisap darah untuk pertumbuhan telurnya. Dapat terbang jauh antara 0,5 sampai lebih kurang 2 Km (Depkes RI, 2001).

b. Perilaku nyamuk

Menurut Depkes RI (2001), perilaku dan hidup nyamuk selalu memerlukan 3 tempat untuk kelangsungan hidupnya, yaitu :

(i). Perilaku mencari darah

Beberapa species nyamuk aktif mencari darah pada malam hari saja, tetapi ada pula yang aktif mencari darah pada siang hari saja, serta ada pula yang menggigit baik siang maupun malam hari. Keaktifan nyamuk berbeda-beda ada yang aktif mencari darah ketika mulai senja, tetapi ada juga yang aktif mencari darah mulai tengah malam hingga pagi hari. Dihubungkan dengan tempat, ada species nyamuk yang aktifitas menggigit lebih cenderung di dalam rumah (Indofagik), namun ada pula yang cenderung menggigit diluar rumah saja (Eksofagik). Berdasarkan pada macam darah yang disenangi, dapat dibedakan antara nyamuk yang menggigit


(30)

manusia saja (anthropopilik) dan ada pula yang hanya menggigit hewan (zoopilik). Untuk mempertahankan hidupnya nyamuk betina memerlukan darah bagi proses pertumbuhan telurnya. Tiap beberapa hari secara periodik nyamuk akan mencari darah. Interval tersebut tergantung pada masing-masing species dan sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, seperti suhu dan kelembaban.

(ii). Perilaku istirahat

Istirahat bagi nyamuk memiliki arti, istirahat yang sebenarnya menunggu proses pematangan telur dan istirahat sementara yaitu pada saat nyamuk masih aktif mencari darah. Pada waktu malam hari ada nyamuk yang masuk ke dalam rumah hanya untuk menghisap darah dan kemudian keluar, ada pula yang sebelum menggigit maupun yang sudah menggigit hinggap pada dinding rumah untuk istirahat.

(iii). Perilaku berkembang biak

Nyamuk mempunyai kemampuan untuk memilih perindukan atau tempat untuk berkembang biak sesuai dengan kebutuhannya. Ada species yang senang terkena matahari langsung dan ada pula yang memilih pada tempat yang teduh, ada yang senang di air payau, ada yang di air jernih tetapi ada pula yang senang di air kotor.

c. Tempat berkembang biak nyamuk

Tempat berkembang biak nyamuk adalah pada genangan-genangan air. Pemilihan tempat peletakan telur dilakukan oleh nyamuk betina dewasa. Pemilihan tempat yang disenangi sebagai tempat pembiakan dilakukan secara turun temurun


(31)

oleh seleksi alam. Satu tempat perindukan Cx.Fatigans, menyukai genangan air dengan populasi tinggi. Berdasarkan ukuran, lamanya air (genangan air tetap atau sementara) dan macam tempat air, klasifikasi genangan air dibedakan dalam beberapa tipe sebagai berikut :

(i). Genangan air yang besar :

(a). Genangan air sementara atau tetap, yang terdiri atas tawar atau air payau ; rawa-rawa, danau, kolam ikan, muara sungai, waduk, paya-paya, lagun, sawah.

(b). Air mengalir : mata air, anak sungai, terusan atau kanal, sungai.

(c). Genangan air sementara : alamiah (air hujan, air ditepi sungai, kubakan), buatan (parit-parit irigasi dari kanal, sawah, got buangan air limbah). (ii). Genangan air yang kecil :

(a). Alamiah (lubang dipohon, pelepah daun, tonggak bambu atau kecil).

(b). Buatan manusia (tangki air, bak mandi, drum, tempayan, vas bunga, tempat minum burung, sumur, jamban yang tidak terpakai) (Depkes RI, 2001). 2.4. Transmisi Filariasis

Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk vektor yang mengandung larva infektif atau larva stadium-3 (L3). Nyamuk vektor dapat menjadi infektif apabila nyamuk tersebut menghisap darah dari orang atau binatang reservoir yang mengandung mikrofilaria. Dengan demikian, manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya merupakan sumber penularan. Kemampuan nyamuk vektor untuk


(32)

mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah terbatas. Apabila mikrofilaria terlalu banyak terhisap oleh nyamuk vektor maka dapat menyebabkan kematian nyamuk vektor tersebut. Sebaliknya apabila mikrofilaria yang terhisap oleh nyamuk vektor terlalu sedikit maka kemungkinan terjadinya transmisi menjadi kecil (Ditjen PPM & PL, 2002).

Pada saat nyamuk menggigit kulit manusia maka larva L3 akan keluar dari proboscis bersama air liur nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya maka larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk menuju ke system limfe. Untuk Brugia malayi dan Brugia timori dalam kurun waktu lebih 3,5 bulan, larva L3 akan menjadi cacing dewasa, sedangkan untuk Wuchereria bancrofti diperlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Bila seseorang yang rentan terhadap penyakit kaki gajah terinfeksi maka orang tersebut akan menunjukkan gejala penyakit kaki gajah. Seseorang dapat terinfeksi penyakit kaki gajah, apabila orang tersebut mendapat gigitan dari nyamuk vektor ribuan kali. Hal ini sangat berbeda dengan transmisi yang terjadi pada penyakit malaria dan demam berdarah. Dengan demikian, kepadatan vektor dalam penularan penyakit kaki gajah sangat berperan. Selain itu pengaruh faktor lingkungan terutama suhu dan kelembaban udara mempengaruhi umur nyamuk dalam vektor. Transmisi tidak dapat terjadi apabila umur nyamuk vektor kurang dari masa inkubasi ekstrinsik dari parasit. Masa inkubasi ekstrinsik yaitu waktu yang diperlukan untuk perkembangan mikrofilaria. Masa inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari (Ditjen PPM & PL, 2002).


(33)

2.5. Topografi

Topografi adalah rata-rata jarak ketinggian (kontur) suatu wilayah yang dihitung dari permukaan laut. Topografi berpengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk. Setiap kenaikan 100 meter suatu tempat maka selisih suhu udara dengan tempat semula adalah setengah derajat celcius. Bila perbedaan tempat cukup tinggi maka perbedaan suhu udara juga akan cukup banyak dan akan mempengaruhi pula faktor-faktor yang lain, seperti penyebaran nyamuk, siklus pertumbuhan parasit/larva didalam tubuh nyamuk dan musim penularan. Susunan geologi mempengaruhi kesuburan tanah dan penyerapan air oleh tanah. Kesuburan tanah akan mempengaruhi kehidupan nyamuk seperti tempat hinggap istirahat, sumber makanan serta musuh alami nyamuk. Penyerapan air oleh tanah akan mempengaruhi lama genangan air di tanah, yang berarti dapat tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk (breading places). Jentik-jentik nyamuk Mansonia sp dan Culex sp lebih menyukai genangan air yang sudah lama, tetapi jentik Anopheles ada yang menyukai genangan-genangan air yang baru (Depkes RI, 2001).

2.6. Demografi

Pola penyakit di wilayah yang penduduknya belum berkembang secara sosial dan ekonomi, berlainan dengan pola penyakit disuatu wilayah yang penduduknya lebih maju secara sosial dan ekonomi. Perubahan dalam pola penyebaran dan prevalensi penyakit banyak disebabkan oleh pengaruh dan intervensi manusia (Loedin, 1992) dalam Raharjo, 1998).


(34)

2.7. Iklim

Iklim adalah salah satu komponen lingkungan fisik yang terdiri atas suhu, kelembaban, curah hujan, cahaya dan angin. Iklim ada dua macam, yaitu iklim makro dan iklim mikro. Iklim makro adalah keadaan cuaca rata-rata di suatu daerah. Sedangkan iklim mikro adalah modifikasi sampai satu tingkat tertentu dari keadaan-keadaan iklim makro. Perbedaan suhu dan kelembaban udara dalam beberapa derajat dapat terjadi diantara iklim mikro dan iklim makro. Faktor iklim mempengaruhi kejadian dan penyebaran penyakit infeksi secara langsung maupun tidak langsung baik terhadap mikroorganisme pathogennya, vektor, reservoir dan penjamu seperti malaria, schistosomiasis, filariasis, pes, rift valolley dan DBD. Perubahan iklim dapat berdampak negatif terhadap kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung berakibat pada peningkatan berbagai kejadian penyakit, termasuk penyakit-penyakit yang ditularkan melalui vektor (Suroso, 2001).

Iklim juga berpengaruh terhadap media transmisi penyakit, misalnya vektor akan berkembang biak dengan optimum apabila suhu, kelembaban, zat hara semua semua tersedia dalam jumlah yang optimum untuk kehidupannya. Pada keadaan optimum, nyamuk akan cepat sekali berubah dari fase telur mencapai fase dewasa, misalnya 7 hari atau kurang. Sedangkan apabila lingkungan tidak mengizinkan, maka siklus ini akan sangat berlangsung lama (Sumirat, 2000).

Menurut Tjasyono (1995) dalam Setyawati (2004), ada 2 aspek dasar pengaruh iklim pada penyakit, pertama adalah hubungan faktor iklim terhadap organisme penyakit atau penyebarannya dan kedua adalah pengaruh cuaca dan iklim


(35)

terhadap ketahanan tubuh. Banyak penyakit yang berkaitan dengan iklim dan musim tertentu, terutama dengan suhu dan kebasahan. Sejumlah parasit yang menyerang manusia terbatas pada daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Beberapa penyakit tergantung pada binatang perantara dan terbatas pada lingkungan yang menguntungkan hewan tersebut, seperti demam kuning dan penyakit malaria disebabkan oleh jenis nyamuk tertentu yang berkembang biak dengan pesat didaerah beriklim tropis.

Dampak perubahan iklim yang mungkin pada sisi kesehatan adalah pengaruh langsung terhadap fisik dan psikis manusia dan tidak langsung melalui perantara seperti virus, bakteri, nyamuk, lalat dan lain-lain atau kejadian lingkungan yang ekstrem seperti banjir atau kekeringan (Winarso, 2001).

2.7.1. Curah Hujan

Banyaknya hujan mempengaruhi kelembaban udara dan suhu. Hujan selain menyebabkan naiknya kelembaban nisbi udara juga menambah jumlah tempat perkembangbiakan (breading places). Curah hujan yang lebat menyebabkan bersihnya tempat perkembangbiakan vektor, karena jentiknya hanyut dan mati. Kejadian penyakit yang disebabkan oleh nyamuk biasanya meningkat beberapa waktu sebelum atau sesudah musim hujan lebat. Curah hujan yang tidak terlalu lebat tetapi dalam jangka waktu lama, akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik (Raharjo, 1998).


(36)

2.7.2. Suhu udara

Nyamuk adalah hewan berdarah dingin dan karenanya proses-proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu lingkungan. Suhu rata-rata optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-27 derajat celcius. Nyamuk dapat bertahan hidup dalam suhu rendah, tetapi proses metabolismenya menurun bahkan terhenti bila suhu turun sampai di bawah suhu kritis dan pada suhu yang sangat tinggi akan mengalami perubahan proses fisiologisnya. Pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10 derajat celcius atau lebih dari 40 derajat celcius. Toleransi terhadap suhu tergantung pada species nyamuknya, tetapi umumnya suatu species tidak akan tahan lama bila suhu lingkungan meninggi 5-6 derajat celcius diatas batas dimana species secara normal dapat beradaptasi. Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan proses metabolisme yang sebagian diatur oleh suhu. Suhu yang tetap lebih dari 27-30 derajat celcius akan mengurangi rata-rata umur populasi nyamuk (Depkes RI, 2001).

2.7.3. Kelembaban udara

Umur (Longevity) nyamuk dipengaruhi oleh kelembaban udara. Kalau dalam udara ada kekurangan air yang besar, maka udara ini mempunyai daya penguapan yang besar. Sistem pernafasan pada nyamuk adalah menggunakan pipa udara yang disebut spiracle. Adanya spiracle yang terbuka tanpa ada mekanisme pengaturnya, pada waktu kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh nyamuk mengakibatkan keringnya cairan tubuh nyamuk. Salah satu musuh nyamuk adalah penguapan. Kebutuhan kelembaban yang tinggi mempengaruhi nyamuk untuk


(37)

mencari tempat yang lembab dan basah di luar rumah sebagai tempat istirahat pada siang hari, oleh karena kelembaban yang tinggi tidak terdapat di dalam rumah kecuali di daerah-daerah tertentu. Pada kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk akan menjadi pendek sehingga tidak cukup untuk siklus pertumbuhan mikrofilaria di dalam tubuh nyamuk (Achmadi, 2001a).

2.8. Karakteristik masyarakat yang berhubungan dengan penyakit filariasis Karakteristik yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit infeksi, salah satunya penyakit filariasis di samping adanya bibit atau kuman penyakit, dapat juga berhubungan dengan beberapa karakteristik antara lain status sosial ekonomi, pendidikan, pengetahuan, sikap, keyakinan, sarana prasaran, perilaku petugas, peyuluhan dan informasi.

2.8.1. Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi adalah tingkat pendapatan penduduk, semakin tinggi pendapatan penduduk semakin tinggi pula persentase pengeluaran yang dibelanjakan untuk barang makanan, juga semakin tinggi pendapatan keluarga semakin baik pula status gizi masyarakat (BPS, 2006).

Tingkat ekonomi yang mapan memungkinkan anggota keluarga untuk memperoleh kebutuhan yang lebih misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, pengembangan karir dan sebagainya. Demikian pula sebaliknya jika ekonomi lemah maka menjadi hambatan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Keadaan sosial ekonomi (kemiskinan, orang tua yang bekerja atau penghasilan rendah) yang memegang peranan penting dalam meningkatkan status kesehatan keluarga. Jenis


(38)

pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan tingkat penghasilan dan lingkungan kerja, dimana bila penghasilan tinggi maka pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pencegahan penyakit juga meningkat dibanding dengan penghasilan rendah, akan berdampak pada kurangnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam hal pemeliharaan kesehatan karena daya beli obat maupun biaya transportasi dalam hal mengunjungi pusat pelayanan kesehatan (Zacler, 1969 dalam Notoatmodjo, 1997).

Pendapatan merupakan ukuran yang sering digunakan untuk melihat kondisi status sosial ekonomi pada suatu kelompok masyarakat. Semakin baik kondisi ekonomi masyarakat semakin tinggi persentase yang menggunakan jasa kesehatan, data survey kesehatan nasional tahun 1992 memperlihatkan rata-rata penggunaan pelayanan kesehatan berhubungan dengan meningkatnya pendapatan, baik pada pria maupun wanita, oleh karena itu status sosial ekonomi berhubungan dengan kondisi seseorang, keluarga dan masyarakat (Depkes RI, 2000).

2.8.2. Pendidikan

Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju pada kedewasaan. Sedangkan pendidikan dalam arti formal adalah suatu proses penyampaian materi guna mencapai perubahan dan tingkah laku (Notoatmodjo, 1997).

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan yakni :


(39)

a. Input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat), dan pendidikan (pelaku pendidikan).

b. Proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain).

c. Output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Notoatmodjo (1996) konsep dasar dari pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, perubahan kearah yang lebih baik, lebih dewasa dan lebih matang sehingga dapat menghasilkan perubahan perilaku pada diri individu, kelompok atau masyarakat).

Mariani (1998) mengatakan bahwa pengetahuan dan pendidikan formal serta keikutsertaan dalam pendidikan non formal dari orang tua dan anak-anak sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fasilitas dan status gizi keluarga seperti halnya pelayanan kesehatan dan keluarga berencana. Hal ini akan membantu pula memperlancar komunikasi serta mempengaruhi pemberian dan penerimaan informasi tentang kesehatan dan dapat lebih mudah diterima oleh individu dan masyarakat sehingga mereka mampu menerjemahkan apa yang telah diketahui tentang kesehatan kedalam kehidupan sehari-hari.

Koentjoroningrat (1997) mengatakan pendidikan adalah kemahiran menyerap pengetahuan akan meningkat sesuai dengan pendidikan seseorang dan kemampuan ini berhubungan erat dengan sikap seseorang terhadap pengetahuan yang diserapnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah untuk dapat menyerap pengetahuan.


(40)

2.8.3. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior) (Bloom, 1908) dalam Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan indera peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

a. Proses adaptasi perilaku

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003), dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam dirinya orang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu :

(i). Awarenes (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).


(41)

(iii).Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

(iv).Trial, dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.

(v).Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

b. Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif (i). Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

(ii). Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang dilakukan dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan sebagainya terhadap yang dipelajari.

(iii). Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real. Aplikasi disini diartikan sebagai


(42)

penggunaan hukum-hukum, rumus, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi lain.

(iv). Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

(v). Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek, penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2003).

2.8.4. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan


(43)

tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2003).

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Menurut Newcomb, menyatakan sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu, sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang ada dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi bersifat emosional terhadap stimulus sosial.

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (1993), sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yaitu ; kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu obyek, kehidupan emosional dan evaluasi terhadap suatu obyek, dan kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude).

Menurut Purwanto (1999) sikap dapat dibedakan dalam :

a. Sikap positif, yaitu kecenderungan pendidikan mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu.

b. Sikap negatif terhadap kecenderungan pendidikan untuk menjalani, menghindari, membenci dan tidak menyukai obyek tertentu.

Purwanto (1999) juga mengatakan bahwa sikap mempunyai tingkatan-tingkatannya yakni:


(44)

a. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.

b. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti bahwa orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu-ibu lain untuk pergi menimbang anaknya ke Posyandu, atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

d. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko, adalah merupakan sikap yang paling tinggi, meski mendapat tantangan dari pihak lainnya. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung, dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan


(45)

pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden (Notoatmodjo, 2003).

Sebagaimana dikemukakan oleh para ahli seperti Gerungan (1996), Ahmadi (1999), Sarwono (2000) dan Walgito dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan ciri-ciri sikap yaitu :

a. Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan seseorang dalam hubungan dengan obyeknya.

b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah-ubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada seseorang tersebut.

c. Sikap tidak berdiri sendiri tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap sesuatu.

d. Obyek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

e. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan. 5. Pembentukan dan perubahan sikap

Menurut Sarwono (2000) dalam Sumaryono (2004) pembentukan dan perubahan sikap melalui beberapa cara yaitu :

a. Adopsi yaitu kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang dan terus-menerus, lama kelamaan secara bertahap diserap kedalam diri individu dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap.


(46)

b. Diferensiasi yaitu dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri.

c. Integrasi yaitu pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan satu hal tertentu.

d. Trauma adalah pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan, yang meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan.

2.8.5. Keyakinan

Menurut Adler dan Rodman (1991) dalam Purwanto (2000) suatu kepercayaan adalah keyakinan tentang kebenaran sesuatu yang didasarkan pada budaya dimana ia dibesarkan. Ia merupakan kepercayaan (keyakinan) pada harga sebuah konsep. Nilai-nilai biasanya diwujudkan dalam sistem moral atau agama yang kompleks yang ditemukan pada semua budaya dan masyarakat.

Kepercayaan (keyakinan) menurut Niven (1989) dalam Purwanto (2000) adalah sesuatu yang didapatkan ; dengan kata lain orang tidak lahir dengan membawa mereka. Hampir semua kepercayaan (keyakinan) dan nilai-nila dasar didapatkan dari mereka yang paling berpengaruh dalam hidup seseorang, orang tua, kakak-adik, guru, teman dan tokoh-tokoh media.

Menurut Anderson (1974) dalam Notoatmodjo (2003) tenaga kesehatan dapat mengajak (kerja sama) tokoh (model peran) yang dianggap sangat berpengaruh didalam masyarakat, agar dapat diupayakan perubahan-perubahan dari kebiasaan-kebiasaan yang dapat memperburuk bagi kesehatannya, meliputi pencegahan


(47)

penyakit, pelaksanaan pengobatan terhadap penyakitnya serta manfaat kesehatan, seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses penyembuhan penyakit.

2.8.6. Sarana prasarana

Sarana prasarana mencakup fasilitas-fasilitas, uang, waktu, tenaga dan sebagainya, semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Pengaruh sumber-sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif. Misalnya pelayanan puskesmas, dapat berpengaruh positif terhadap perilaku penggunaan puskesmas tetapi dapat juga berpengaruh sebaliknya.

Menurut Azwar (1999) dalam Rifai (2004) bila seseorang akan memasuki bidang pelayanan kesehatan yang pertama akan dilihat ialah sarananya. Sarana itu dapat berbentuk material seperti, gedung dan alat, tetapi dapat juga berbentuk manusia seperti, tenaga dokter dan perawat. Beberapa sarana harus tersedia demi terlaksananya kualitas pelayanan kesehatan yang baik (seperti tersedianya beberapa jenis ukuran manset, tensi meter, timbangan badan, poster anatomi tubuh manusia), meskipun jarang dipergunakan.

2.8.7. Perilaku petugas

Perilaku petugas dalam memberikan pelayanan pengobatan adalah perilaku petugas mulai dari tempat pendaftaran pasien, pembelian karcis, pelayanan pengobatan, pelayanan laboratorium, pelayanan apotik, dan pelayanan pasien.

Hal ini juga didukung oleh penelitian Aziz (1998) dalam Rifai (2004) dimana mutu pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi ketanggapan petugas dalam


(48)

memenuhi kebutuhan pasien, keprihatinan serta keramah tamahan petugas dalam melayani pasien, kelancaran komunikasi dan kesembuhan penyakit yang sedang diderita pasien.

2.8.8. Penyuluhan

Penyuluhan adalah salah satu media, cara dan proses penyampaian pesan yang dilakukan dari pengirim pesan (komunikasi) kepada penerima pesan (komunikasi). Dalam pelayanan kesehatan penyuluhan dikenal dengan pendidikan kesehatan masyarakat atau komunikasi, informasi dan edukasi. Penyuluhan kesehatan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan bertujuan untuk terjadinya perubahan perilaku individu, kelompok atau masyarakat (Depkes RI, 1986 dalam Hasibuan (2004). Dalam penyampaian pesan, keefektifan komunikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti isi pesan, bahasa, arah komunikasi (penerima pesan), kurangnya pengetahuan, kebisingan dan faktor teknis lainnya (Widjaja, 1998). Notoatmodjo (1998) menganggap penyuluhan dan ceramah bukan merupakan media penyampaian yang efektif karena tidak memberikan kesempatan kepada pendengarnya untuk berpartisipasi, lebih menekankan pada pola komunikasi satu arah, ide hanya timbul dari satu orang. Pengertian pendidikan kesehatan identik dengan penyuluhan kesehatan, karena keduanya berorientasi kepada perubahan perilaku yang diharapkan, yaitu perilaku sehat, sehingga mempunyai kemampuan mengenal masalah kesehatan dirinya, keluarga dan kelompoknya dalam meningkatkan kesehatannya. Penyuluhan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti,


(49)

tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. Penyuluhan kesehatan adalah gabungan berbagai kegiatan dan kesempatannya yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan, dimana individu, keluarga, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya dan melakukan apa yang bisa dilakukan, secara perseorangan maupun secara kelompok dan meminta pertolongan bila perlu. 2.8.9. Informasi

Komunikasi dan informasi disini diperlukan untuk mengkondisikan faktor predisposisi. Kurangnya pengetahuan dan sikap, masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit, adanya tradisi, kepercayaan yang negatif tentang penyakit, makanan, lingkungan dan sebagainya, mengakibatkan mereka tidak berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Untuk memberikan informasi dan komunikasi yang efektif para petugas kesehatan perlu dibekali ilmu komunikasi, termasuk media komunikasinya (Notoatmodjo, 1993).

2.8.10. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.


(50)

a. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. Misalnya seorang ibu dapat memilih makanan yang bergizi bagi anak balitanya.

b. Respon terpimpin (Guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua. Misalnya seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotongnya, lamanya memasak, menutup pancinya dan sebagainya.

c. Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

d. Adaptasi (Adaptation)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 1993).

2.9. Kerangka Teoritis

Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), faktor-faktor yang mepengaruhi perilaku ada tiga faktor utama, yakni :


(51)

a. Faktor-faktor predisposisi

Yang terdiri dari; pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, misalnya ; pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat periksa hamil, baik bagi kesehatan ibu sendiri dan janinnya. Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu untuk periksa hamil. Misalnya, orang hamil tidak boleh disuntik (periksa hamil termasuk memperoleh suntikan anti tetanus), karena suntikan biasa menyebabkan anak cacat. Faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah.

b. Faktor-faktor pendukung

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya ; air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta, dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya ; perilaku pemeriksaan kehamilan. Ibu hamil yang mau periksa hamil tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat periksa hamil saja, melainkan ibu tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat periksa hamil, misalnya;


(52)

puskesmas, polindes, bidan praktek, atau rumah sakit. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau faktor pemungkin.

c. Faktor-faktor penguat

Faktor-faktor penguat ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perlakuan contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan. Di samping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut.


(53)

2.10. Model kerangka teori menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003):

Proses Perubahan

Enabling Factors

(Ketersediaan sumber-sumber/fasilitas)

Pemberdayaan masyarakat Pemberdayaan sosial Komunikasi

Penyuluhan Predisposising

Factors (Pengetahuan,

sikap, kepercayaan,

tradisi, nilai, dsb)

Training Reinforcing

Factors (Sikap dan

Perilaku petugas

Pendidikan kesehatan (Promosi kesehatan)

2.11. Model Kepercayaan Kesehatan (the health beliefs models)

Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan orang atau masyarakata untuk menerima usaha-usaha pencegahan penyakit yang diselenggarakan oleh provider. Kegagalan ini akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (Preventive


(54)

health behavior), yang oleh Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2003), dikembangkan teori lapangan (Field theory), (Lewis, 1954) menjadi model kepercayaan kesehatan (health belief models).

Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada empat variabel kunci yang terlibat didalam tindakan tersebut, yakni ketentuan yang dirasakan terhadap suatu penyakit, keseriusan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang dialam dalam tindakan melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut.

1. Ketentuan yang dirasakan (Perceived Susceptibility)

Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan (susceptible) terhadap penyakitnya tersebut. Dengan perkataan lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut.

2. Keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness)

Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut. Paenyakit filariasis, misalnya, akan dirasakan lebih serius bila dibandingkan dengan penyakit flu.

Oleh karena itu pencegahan filariasis akan lebih banyak dilakukan bila dibandingkan dengan pencegahan (pengobatan) flu.


(55)

3. Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (perceived benefits and barriers)

Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang dianggap gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini akan tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat tindakan lebih menentukan dari pada rintangan-rintangan yang mungkin ditemukan di dalam melakukan tindakan tersbut.

4. Isyarat atau tanda-tanda (cues)

Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut, pesan-pesan pada media massa, nasehat atau anjuran kawan-kawan atau keluarga lain dari si sakit, dan sebagainya.


(56)

2.12. Kerangka Konsep.

Berdasarkan tujuan penelitian maka kerangka konsep dapat digambarkan sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Karakteristik Masyarakat Petani - Status sosial ekonomi - Pendidikan

- Pengetahuan - Sikap - Keyakinan

Tindakan pencegahan Filariasis - Sarana prasarana

- Penyuluhan - Perilaku petugas - Informasi


(57)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian.

Penelitian ini adalah survey dengan tipe Explanatory Research yakni untuk menjelaskan hubungan antara variabel penelitian melalui pengujian hipotesa pada penelitian.

3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara dengan mengambil lokasi pada Kecamatan Nisam (Lampiran 6).

Pemilihan lokasi ini di dasarkan pada daerah endemis yang paling tinggi angka Mf- rate Filariasis yaitu 10,4% , sesuai dengan hasil suvei darah jari yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara. Penelitian ini di laksanakan pada tanggal 4 Juli sampai dengan 31 Juli 2007.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah semua masyarakat petani yang ada di Desa Peunayan, yaitu sebanyak 569 KK.


(58)

Menyadari berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh penulis baik berupa tenaga waktu, maupun biaya maka penulis menggunakan sample dengan rumus;

n = N.z².p [1 – p ]

d². [ N - 1 ] + z . p(1 – p ] Keterangan :

n = Ukuran sampel z = Harga kurva normal

d = Penyimpangan yang ditolerir [ Kesalahan yang dapat ditolerir dalam pengambilan sampel] yaitu tidak lebih dari 5 % N = Jumlah populasi

p = Proporsi dari penduduk pada daerah endemis filarisis Dengan menggunakan confidence interval sebesar 95 %, p = 0.05 ; g = 0.05 serta diketahui jumlah populasi dengan menggunakan tehknik random

sampling di Desa Peunayan Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara sebagai berikut ;

n = 569 (1,96)² . [0.05) . [0.95)

(0.05)² . (569 – 1) + (0,05) . (0,95) n = 70,75 dibulatkan menjadi 71 responden


(59)

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan cara:

a. Daftar pertanyaan (questionaire), yang diberikan kepada sampel/responden pada penelitian ini adalah masyarakat petani di Desa Peunayan.

b. Studi Dokumentasi, yaitu mengumpulkan dan mempelajari laporan pelaksanaan kegiatan Dinas Kesehatan Aceh Utara.

c. Wawancara (interview) kepada pihak yang berhak dan berwenang memberikan data dan informasi di Dinas Kesehatan Aceh Utara.

d. Pengamatan (observation), yaitu mengamati secara langsung kondisi yang terjadi di lapangan.

3.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji kuisioner sebagai alat ukur penelitian dilakukan melalui uji validitas terhadap pengukuran pengetahuan, sikap dan tindakan upaya pencegahan filariasis dengan menggunakan uji korelasi Pearson. Setelah dilakukan ujicoba kuisioner diketahui bahwa item-item pertanyaan valid dan reliabel untuk digunakan dalam penelitian ini dengan hasil:

1. Variabel pengetahuan dengan 11 item pertanyaan dengan nilai koefesien korelasi = > 0,05 dan p=0,05 dengan nilai r-tabel = 0,514. Dari 11 item pertanyaan didapatkan r hasil (Corrected item-Total Correction) > r tabel artinya item pertanyaan untuk pengetahuan valid (sahih) untuk dilanjutkan sebagai pedoman wawancara kepada responden. Uji reliabilitas mendapatkan


(60)

nilai r Alpha (Alpha cronbach) > r tabel, artinya item pertanyaan untuk pengetahuan dikatakan reliabel untuk dapat dilanjutkan sebagai pedoman. 2. Variabel sikap dengan 7 item pertanyaan dengan nilai koefesien korelasi = >

0,05 dan p = 0,05 dengan nilai r-tabel = 0,514. Dari 7 item pertanyaan didapatkan r hasil (Corrected item-Total Correction) > r tabel artinya item pertanyaan untuk sikap valid (sahih) untuk dilanjutkan sebagai pedoman wawancara kepada responden. Uji reliabilitas mendapatkan nilai r Alpha (Alpha cronbach) > r tabel, artinya item pertanyaan untuk sikap dikatakan reliabel untuk dapat dilanjutkan sebagai pedoman

3. Variabel keyakinan dengan 9 item pertanyaan dengan nilai koefesien korelasi = > 0,05 dan p = 0,05 dengan nilai r-tabel = 0,514. Dari 9 item pertanyaan didapatkan r hasil (Corrected item-Total Correction) > r tabel artinya item pertanyaan untuk keyakinan valid (sahih) untuk dilanjutkan sebagai pedoman wawancara kepada responden. Uji reliabilitas mendapatkan nilai r Alpha (Alpha cronbach) > r tabel, artinya item pertanyaan untuk tindakan dikatakan reliabel untuk dapat dilanjutkan sebagai pedoman

4. Variabel sarana dan prasarana dengan 3 item pertanyaan dengan nilai koefesien korelasi = > 0,05 dan p = 0,05 dengan nilai r-tabel = 0,514. Dari 3 item pertanyaan didapatkan r hasil (Corrected item-Total Correction) > r tabel artinya item pertanyaan untuk sarana dan prasarana valid (sahih) untuk dilanjutkan sebagai pedoman wawancara kepada responden. Uji reliabilitas mendapatkan nilai r Alpha (Alpha cronbach) > r tabel, artinya item


(61)

pertanyaan untuk tindakan dikatakan reliabel untuk dapat dilanjutkan sebagai pedoman .

5. Variabel perilkau petugas dengan 8 item pertanyaan dengan nilai koefesien korelasi = > 0,05 dan p = 0,05 dengan nilai r-tabel = 0,514. Dari 8 item pertanyaan didapatkan r hasil (Corrected item-Total Correction) > r tabel artinya item pertanyaan untuk perilkau petugas valid (sahih) untuk dilanjutkan sebagai pedoman wawancara kepada responden. Uji reliabilitas mendapatkan nilai r Alpha (Alpha cronbach) > r tabel, artinya item pertanyaan untuk tindakan dikatakan reliabel untuk dapat dilanjutkan sebagai pedoman

6. Variabel informasi dengan 3 item pertanyaan dengan nilai koefesien korelasi = > 0,05 dan p = 0,05 dengan nilai r-tabel = 0,514. Dari 3 item pertanyaan didapatkan r hasil (Corrected item-Total Correction) > r tabel artinya item pertanyaan untuk informasi valid (sahih) untuk dilanjutkan sebagai pedoman wawancara kepada responden. Uji reliabilitas mendapatkan nilai r Alpha (Alpha cronbach) > r tabel, artinya item pertanyaan untuk tindakan dikatakan reliabel untuk dapat dilanjutkan sebagai pedoman

7. Variabel tindakan dengan 7 item pertanyaan dengan nilai koefesien korelasi = > 0,05 dan p = 0,05 dengan nilai r-tabel = 0,514. Dari 3 item pertanyaan didapatkan r hasil (Corrected item-Total Correction) > r tabel artinya item pertanyaan untuk tindakan valid (sahih) untuk dilanjutkan sebagai pedoman wawancara kepada responden. Uji reliabilitas mendapatkan nilai r Alpha (Alpha cronbach) > r tabel, artinya item pertanyaan untuk tindakan dikatakan


(62)

reliabel untuk dapat dilanjutkan sebagai pedoman (Hasil uji terlampir pada lampiran 4).

3.5. Definisi Operasional

Variabel Independen dan Dependen

1. Status sosial ekonomi : adalah tingkat pendapatan masing-masing kepala keluarga masyarakat petani.

2. Pendidikan : adalah pendidikan formal yang ditamatkan oleh masyarakat, dikelompokkan dalam kategori : 1) Tamat SD 2) Tamat SLTP 3) Tamat SLTA 4) Tamat Perguan Tinggi

3. Pengetahuan : adalah segala sesuatu yang diketahui karena mempelajari/segala sesuatu karena mengalami, melihat dan mendengar tentang upaya pencegahan penyakit filariasis yang dimiliki masyarakat daerah endemis filariasis digali berdasarkan kemampuan menjawab pertanyaan tentang upaya pencegahan penyakit Filariasis

4. Sikap : adalah kesiapan/kesedian masyarakat dalam mendukung upaya pencegahan penyakit filariasis

5. Keyakinan : adalah Keyakinan masyarakat ikut berperan dalam upaya pencegahan penyakit filariasis seperti keyakinan dan kepatuhan makan obat dan lain-lain

6. Sarana prasarana: adalah adanya ketersediaan fasilitas-fasilitas seperti; uang, waktu, tenaga kesehatan, untuk mendukung upaya pencegahan filariasis.


(63)

7. Penyuluhan: adalah media, cara dan proses penyampaian pesan oleh petugas kesehatan tentang upaya pencegahan filariasis.

8. Perilaku petugas : adalah perilaku petugas mulai tempat pendaftaran pasien, Pemberian karcis, pelayanan pengobatan, pelayanan laboratorium, pelayanan apotik dan pelayanan kasir.

9. Informasi : adalah informasi tentang penyakit filariasis dan upaya pencegahannya.

10.Tindakan Upaya Pencegahan:

a.Menghindari kontak dengan nyamuk. b.Membersihkan saluran yang tersumbat. c. Memakai kelambu.

d.Mengolesi badan dengan obat nyamuk.

e.Membiasakan diri berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). 3.6. Metode Pengukuran

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Independent dan Dependent

No Variabel Independen

Definisi Operasional Teknik

Ukur

Alat Ukur Hasil Ukur

Skala Ukur

1 Status sosial

ekonomi

Tingkat pendapatan masing-masing kepala keluarga masyarakat petani

Wawancara Kuesioner 1)Tinggi 2)Sedang 3)Rendah

Ordinal

2 Pendidikan Pendidikan masyarakat

terhadap upaya pencegahan penyakit filariasis

Wawancara Kuesioner 1)Tinggi 2)Sedang 3)Rendah

Ordinal

3 Pengetahuan Pengetahuan masyarakat

tentang upaya pencegahan penyakit filariasis

Wawancara Kuesioner 1)Tinggi 2)Sedang 3)Rendah

Ordinal

4 Sikap Kesiapan masyarakat ikut

berperan dalam upaya pencegahan

Wawancara Kuesioner 1)Baik 2)Sedang 3)Kurang

Ordinal


(64)

terhadap obat yang diberikan petugas 2)Sedang 3)Kurang 6 Sarana prasarana Adanya ketersediaan fasilitas-fasilitas seperti ; uang, waktu, tenaga kesehatan, untuk mendukung upaya pencegahan filariasis

Wawancara Kuesioner 1)Baik 2)Tidak baik

Ordinal

7 Penyuluhan Adanya media, cara dan

proses penyampaian pesan oleh petugas kesehatan tentang upaya pencegahan filariasis

Wawancara Kuesioner 1)Baik 2)Sedang 3)Kurang

Ordinal

8 Perilaku petugas

Perilaku petugas mulai tempat pendaftaran pasien, pemberian karcis, pelayanan pengobatan, pelayanan laboratorium, pelayanan apotik dan pelayanan kasir

Wawancara Kuesioner 1)Baik 2)Sedang 3)Kurang

Ordinal

9 Informasi Informasi tentang upaya

pencegahan penyakit filariasis

Wawancara Kuesioner 1)Baik 2)Sedang 3)Kurang Ordinal 10 Tindakan upaya pencegahan

Menghindari kontak dengan nyamuk, membersihkan saluran yang tersumbat, memakai kelambu,

mengolesi badan dengan obat nyamuk, membiasakan diri berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)

Observasi Cheklis 1)Baik 2)Tidak baik

Ordinal

Keterangan:

a. Variabel Status Sosial Ekonomi

Untuk mengetahui status sosial ekonomi responden di dasarkan pada jawaban yang diberikan atas pertanyaan, jika responden menjawab ; 1=1, 2=2 dan 3=3, maka dapat diperoleh kategori tingkat status sosial ekonomi yang terdiri dari :

1. Rendah, jika < Rp. 850.000 perbulan

2. Sedang, jika Rp. 850.000 – Rp. 1.500.000 perbulan 3. Tinggi, jika > Rp. 1.500.000 perbulan


(65)

Untuk mengetahui pendidikan responden didasarkan pada jawaban yang diberikan atas pertanyaan, jika responden menjawab ; 1=1, 2=2 dan 3=3, maka diperoleh kategori tingkat pendidikan yang terdiri dari :

a. Rendah, jika tidak tamat/ tamat SD b. Sedang, jika tamat SLTP/SLTA

c. Tinggi, jika tamat Akademi/Perguruan Tinggi c. Variabel Pengetahuan

Untuk mengetahui pengetahuan responden didasarkan pada jawaban yang diberikan atas pertanyaan, jika responden menjawab ; a=3, b=2, dan c=1, maka diperoleh kategori tingkat pengetahuan yang terdiri dari :

a. Rendah, jika responden menjawab benar < 40% = <8,8, dari pertanyaan yang diajukan

b. Sedang, jika responden menjawab benar > 40 – 75% = > 8,8 – 16,5, dari pertanyaan yang diajukan

c. Tinggi, jika responden menjawab benar > 75% = > 16,5, dari pertanyaan yang diajukan

(Pertanyaan untuk pengetahuan No 1 s/d 11) d. Variabel Sikap

Untuk mengetahui sikap responden didasarkan pada jawaban yang diberikan atas pertanyaan, jika responden menjawab ; 1=3, 2=2 dan 3=1, maka diperoleh kategori tingkat sikap yang terdiri dari :


(66)

a. Baik, jika responden menjawab benar > 75% = > 15,75, dari pertanyaan yang diajukan

b. Sedang, jika responden menjawab benar > 40 – 75% = 8,4 – 15,75, dari pertanyaan yang diajukan

c. Kurang, jika responden menjawab benar < 40% = 8,4, dari pertanyaan yang diajukan

(Pertanyaan untuk sikap No 1 s/d 7) e. Variabel Keyakinan

Untuk mengetahui keyakinan responden didasarkan pada jawaban yang diberikan atas pertanyaan, jika responden menjawab ; 1=3, 2=2 dan 3=1, maka diperoleh kategori tingkat keyakinan yang terdiri dari :

a. Baik, jika responden menjawab benar > 75% = 7,5, dari pertanyaan yang diajukan b. Sedang, jika responden menjawab benar > 40 – 75% = > 7,2 – 13,5, dari

pertanyaan yang diajukan

c. Kurang, jika responden menjawab benar < 40% = < 4, dari pertanyaan yang diajukan

(Pertanyaan untuk keyakinan No 1 s/d 9) f. Variabel Sarana prasarana

Untuk mengetahui sarana prasarana didasarkan pada jawaban yang diberikan atas pertanyaan, jika responden menjawab ; 1=3, 2=2 dan 3=1, maka diperoleh kategori tingkat sarana prasarana yang terdiri dari :


(67)

a. Baik, jika responden menjawab benar > 75% = > 4,5, dari pertanyaan yang diajukan

b. Sedang, jika responden menjawab benar > 40 – 75% = 2,5 – 4,5, dari pertanyaan yang diajukan

c. Kurang, jika responden menjawab benar < 40% = 2,5, dari pertanyaan yang diajukan

(Pertanyaan untuk sarana prasarana No 1 s/d 3) g. Variabel Penyuluhan

Untuk mengetahui penyuluhan didasarkan pada jawaban yang diberikan atas pertanyaan, jika responden menjawab; ada maka maasing-masing pertanyaan nilainya 2 dan jika tidak maka nilainya 1, maka diperoleh kategori tingkat penyuluhan yang terdiri dari :

a. Baik, jika responden menjawab benar > 75% = > 1,5, dari pertanyaan yang diajukan

b. Sedang, jika responden menjawab benar > 40 – 75% = 0,8 – 1,5, dari pertanyaan yang diajukan

c. Kurang, jika responden menjawab benar < 40% = < 0,8, dari pertanyaan yang diajukan


(68)

h. Variabel Perilaku petugas

Untuk mengetahui perilaku petugas didasarkan pada jawaban yang diberikan atas pertanyaan, jika responden menjawab ; 1=3, 2=2 dan 3=1, maka diperoleh kategori tingkat perilaku petugas yang terdiri dari :

a. Baik, jika responden menjawab benar > 75% = > 12, dari pertanyaan yang diajukan

b. Sedang, jika responden menjawab benar > 40 – 75% = 6,4 – 12, dari pertanyaan yang diajukan

c. Kurang, jika responden menjawab benar < 40% = < 6,4, dari pertanyaan yang diajukan

(Pertanyaan untuk perilaku petugas No 1 s/d 8) i. Variabel Informasi

Untuk mengetahui informasi didasarkan pada jawaban yang diberikan atas pertanyaan, jika responden menjawab ; 1=3, 2=2 dan 3=1, maka diperoleh tingkat informasi yang terdiri dari :

a. Baik, jika responden menjawab benar > 75% = > 6,75, dari pertanyaan yang diajukan

b. Sedang, jika responden menjawab benar > 40 – 75% = 3,6 – 6,75, dari pertanyaan yang diajukan

c. Kurang, jika responden menjawab benar < 40% = < 3,6, dari pertanyaan yang diajukan


(1)

lingkungan dan sebagainya, mengakibatkan mereka tidak berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Untuk itu maka diperlukan komunikasi, pemberian informasi-informasi kesehatan. Untuk memberikan informasi-informasi dan komunikasi yang efektif para petugas kesehatan perlu dibekali ilmu komunikasi, termasuk media komunikasinya.


(2)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Tidak ada hubungan status sosial ekonomi, pendidikan, pengetahuan, sarana prasarana, penyuluhan, dan informasi dengan upaya pencegahan penyakit filariasis di Desa Peunayan.

2. Ada hubungan sikap, keyakinan, dan perilaku petugas dengan upaya pencegahan penyakit filariasis di Desa Peunayan.

6.2. Saran-saran

1. Kepada Dinas kesehatan lebih pro aktif melibatkan tokoh-tokoh masyarakat agar sikap masyarakat dapat berubah terhadap pencegahan penyakit filariasis. 2. Kepada petugas kesehatan untuk meningkatkan perilakunya kearah yang lebih

baik dalam memberi pelayanan kepada masyarakat.

3. Kepada petugas kesehatan agar dapat memberikan pelayanan yang serius kepada masyarakat, agar masyarakat yakin terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan.

4. Kepada petugas kesehatan agar dapat memberikan penjelasan yang memadai terhadap segala tindakan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat.


(3)

5. Adanya minat dan motivasi bagi peneliti yang lain untuk mengembangkan hasil penelitian, dengan melakukan penelitian lebih mendalam di tempat-tempat yang lain.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F, 2001a, Pengukuran Dampak Kesehatan (penyakit Akibat Perubahan Lingkungan, Materi perkuliahan Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Epidemiologi Kesehatan Lingkungan, UI, Depok.

Achmadi, U.F, 2001b, Perubahan Ekologidan Aspek Perilaku Vektor, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI.

Badan Pusat Statistik, 2006, Aceh Utara Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe.

Departemen Kesehatan RI, 2000, Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan Penanggulangannya, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2001, Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan.

Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara, 2006, Profil Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe.

Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular & Pemberantasan Lingkungan, 1999, Pedoman Pemberantasan Filariasis Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan, Jakarta.

Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan, 2002, Eliminasi Penyakit Kaki Gajah, Filariasis di Indonesia, Jakarta.

Entjang, I, 1993, Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT. Cipta Aditya Bakti, Jakarta.

Hasibuan, H, 2005, Faktor-faktor yang mempengaruhi Tingkat Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah Tangga di Lokasi Proyek Kesehatan Keluarga dan Gizi (KKG) Kabupaten Tapanuli Selatan.

http:/www.health-Irc.or.id/Spm, 2004, SK Gubernur Provinsi Jawa Tengah, Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah.

http:/www.infeksi.com/article.php?=Ing=in&pg=3, 2007, Filariasis, Pusat Informasi Penyakit Infeksi Khususnya Hiv/Aids, infeksi.com, Jakarta.


(5)

Khalid, 2007, Perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga.

Koentjoroningrat, 1997, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta. Mariani, S, 1998, Kesehatan Keluarga dan Lingkungan, Kanisus, Yogyakarta.

Notoatmodjo, S, 1993, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, FKM-UI, Jakarta.

Notoatmodjo, S, 1996, Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Notoatmodjo, S, 1997, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, FKM –

UI, Jakarta.

Notoatmodjo, S, 1998, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta. Notoatmodjo, S, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatn, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Notoatmodjo, S, 2005, Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, PT. Rineka Cipta,

Jakarta.

Nuryanti, 2005, Faktor-faktor yang mempengaruhi Perokok bagi Pegawai Laki-laki Pada Badan Rumah Sakit Umum dr. Fauziah, Bireuen.

Parawesi, H, 2001, Beberapa Aspek Filariasis di Daerah Endemik Budong-budong Mamuju, Pustaka FKM-UH, Sulawesi Selatan.

Purwanto, S, 2000, Komunikasi Interpersonal dalam Keperawatan, EGC, Jakarta. Rahardjo, S, 1998, Dampak Pada Iklim, Makalah Pada Pelatihan AMDAL,

Kerjasama PPSML-UI dan BAPPEDA, tanggal 15-17 Juni, 1998.

Rakhmat, 1995, Metode Penelitian Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Rifai, A, 2004, Pengaruh Persepsi Masyarakat Terhadap Pemanfatan Pelayanan

Pengobatan di Puskesmas Binjai Kota.

Sandi I. M, 1996, Republik Indonesia Geografi Regional, Buku Teks, PT. Indograf Bakti, Jakarta.

Setyawati, E, 2003, Analisis Spasial Kejadian Penyakit Filariasis di Kabupaten Bekasi, Depok, Jakarta.


(6)

Siagian, S.P, 1995, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta.

Slameto, 1999, Sosiologi Kesehatan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Sucipto, 2003, Penderita TB Paru yang berobat di RSU Sarjito Yogyakarta.

Sumaryani, 2005, Karakteriktik Penderita Paru yang berobat di RSUCM Kab. A. Utara.

Sumaryono, 2004, Psikologi Untuk Keperawatan, EGC, Jakarta.

Sumirat, J, 2000, Epidemiologi Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Suroso, T, 2001, Perubahan Iklim dan Kejadian Penyakit Yang Ditularkan Vektor, Makalah Dalam Semiloka Perubahan Iklim dan Kesehatan, Ciloto, 27-29 Maret, 2001.

Widjaja, H.A.W, 2000, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Winarso, P,A, 2001, Kecenderungan Variabilitas/ Perubahan Cuaca dan Iklim dan


Dokumen yang terkait

Pengaruh Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara

0 33 173

Pengaruh Karakteristik Masyarakat Petani Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Malaria di Desa Alue Drien Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur Tahun 2005

1 35 79

Partisipasi Masyarakat Petani Dalam Pencegahan Penyakit Filariasis Di Kabupaten Asahan Tahun 2007.

0 27 101

PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TENTANG FILARIASIS TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT Pengaruh Promosi Kesehatan Tentang Filariasis Terhadap Sikap Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Penyakit Filariasis Di Daerah Pantura Kabupaten Su

0 4 16

SKRIPSI PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TENTANG FILARIASIS TERHADAP Pengaruh Promosi Kesehatan Tentang Filariasis Terhadap Sikap Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Penyakit Filariasis Di Daerah Pantura Kabupaten Subang.

0 3 17

PENDAHULUAN Pengaruh Promosi Kesehatan Tentang Filariasis Terhadap Sikap Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Penyakit Filariasis Di Daerah Pantura Kabupaten Subang.

0 3 11

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT DBD DENGAN UPAYA PENCEGAHAN DBD Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit DBD Dengan Upaya Pencegahan DBD Di Desa Sukorejo Musuk Boyolali.

0 1 15

UPAYA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PRIMER FILARIASIS DI DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG.

0 0 1

Pengaruh Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara

0 0 44

PENGARUH LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN NISAM KABUPATEN ACEH UTARA

0 0 18