Analisa Kandungan Boraks Pada Lontong Di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009

(1)

ANALISA KANDUNGAN BORAKS PADA LONTONG DI KELURAHAN PADANG BULAN KOTA MEDAN

TAHUN 2009

SKRIPSI

Oleh :

ANISYAH NASUTION 051000132

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

ABSTRAK

Lontong adalah makanan yang digemari oleh banyak masyarakat Indonesia. Lontong terbuat dari beras dan dimasak dengan air hingga terbenam, mempunyai tekstur yang lembut dan kenyal. Biasanya masyarakat mengkonsumsi lontong sebagai sarapan. Penjual berusaha menampilkan lontongnya agar kelihatan menarik bagi konsumen baik dari segi fisik, warna maupun rasa. Hal inilah yang membuat beberapa penjual menggunakan boraks sebagai bahan pengawet dan pengenyal agar lontong yang dihasilkan lebih kenyal, tahan lama serta biaya produksinya rendah. Penjual menggunakan boraks karena lebih praktis, mudah diperoleh dan tidak menimbulkan bau.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan. Penelitian ini adalah studi deskriptif yaitu untuk mengetahui kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif dengan metode pengabuan dan kuantitatif dengan metode titrasi asam basa. Sampel diambil secara purposif yaitu lontong dari 24 penjual lontong di lima lokasi penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 62,5% lontong mengandung boraks. Secara fisik ciri-ciri lontong yang mengandung boraks dapat diketahui dengan melihat bentuk lontong yang padat dan kenyal, warnanya bersih, serta tahan disimpan lebih dari 5 hari. Berdasarkan Permenkes RI No. 1168/Menkes/Per/1999 boraks dilarang digunakan dalam makanan, oleh karena itu penulis menyarankan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Medan agar melakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi secara berkala, khususnya bagi penjual lontong sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dalam penggunaan bahan-bahan berbahaya sebagai bahan tambahan dalam makanan.


(3)

ABSTRACT

Lontong is a food interested to many people of Indonesia. It is made of rice and cooked with some water until embedded, having a soft and elastic texture. Usually, people consume lontong for breakfast. The traders makes an effort to present lontong to be more attractive for consumers, either physically, color or taste. There are many reasons for traders to use borax as the preserving and elasticity agents to make lontong more elastic, longer last and cheaper production cost. They used borax due to more practice, easier to find and without odor.

The objective of the present stud is to know the content of borax in lontong product sold in Kelurahan Padang Bulan of Medan. The study is a descriptive survey to know the content of borax in lontong sold in Kelurahan Padang Bulan using a laboratory test qualitatively with dusting method and quantitative with acid-base titration method. The samples were taken purposively of 24 retailers of lontong in five locations of study.

The result of the study showed that 62,5% of the lontong contained borax. Physically, the characteristics of lontong containing borax included the dense and elastic, clear color and last for longer than 5 days. Based on the Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/1999, borax is prohibited to use in any food, therefore, the writer recommends that the Drug and Food Administration Board (BPOM) Medan to makes a guidence, control and evaluation periodically especially for those traders of lontong to take preventive action in the use of dangerous substances for supplemental additive in any foods.


(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Anisyah Nasution

Tempat/Tanggal Lahir : Padangsidimpuan/28 September 1986 Jenis kelamin : Perempuan

Anak ke : 2 dari 5 bersaudara

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jl. Merdeka gang Setia no.11 Padangsidimpuan

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. TK Aisyah Padangsidimpuan : 1991-1993

2. SDN 26 Padasidimpuan : 1993-1999

3. MTsN Model Padangsidimpuan : 1999-2002

4. SMAN 2 Padangsidimpuan : 2002-2005


(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, segala puji dan syukur penulis hantarkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan limpahan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ Analisa Kandungan Boraks pada Lontong di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Hal ini dikarenakan keterbatasan penulis sebagai manusia dengan segala kekurangan dan kekhilafan.

Selama proses penyusunan skripsi ini, telah banyak bantuan, nasehat dan bimbingan yang penulis terima dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Albiner Siagian, Msi dan Ibu Fitri Ardiani SKM, MPH, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dengan keikhlasan untuk memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis.

Selanjutnya, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, Msi selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Jumirah, Apt, MKes selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, Msi, selaku Dosen Penguji II dan Bapak Prof. Dr. David H Simanjuntak, selaku Dosen Penguji III.

4. Ibu dr. Linda Trimurni Maas, MPH selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk kepada penulis.


(6)

5. Abang Marihot Oloan Samosir, ST selaku pembimbing laboratorium dan staf pegawai di Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU yang telah membantu dalam proses penelitian.

6. Seluruh Bapak/Ibu dosen dan seluruh staf pegawai di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada ayahanda dan ibunda tercinta Ir. H. Akhmad Nasution dan Hj. Melliani Dalimunthe, S.Pd yang telah banyak memberikan dukungan, materi, doa dan semangat kepada penulis yang tidak ternilai harganya selama proses pengerjaan skripsi ini.

8. Abang, kakak dan adik-adikku (B’ Ahyar, K’Aminah, Yusuf, Zubaidah dan Ismail) tersayang yang selalu mendukungku dan mendoakanku selama pengerjaan skripsi ini.

9. Buat bang Ibrahim yang selalu ada disampingku untuk mendukung dan memberi semangat serta doa selama dalam pengerjaan skripsi ini.

10. Sahabat-sahabat tersayang Nita, Ika, Onna, Siti, Ira, Kasur, Octa sebagai teman berbagi ilmu, dukungan, motivasi dan yang selalu mendoakanku.

11. Seluruh teman-teman seperjuangan Ade, Nery, Kak Etri, Evi, Christin, Ade Nofe, Dita, Nisha, Winda, B’Sadar, Agus dan rekan-rekan peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat serta semua rekan stambuk 2005.

12. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terimakasih.


(7)

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan dan bagi siapa saja yang membacanya, setidaknya bagi penulis sendiri dan sebagai bahan bacaan di perpustakaan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Medan, Desember 2009


(8)

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan ... i

Abstrak ... ii

Riwayat Hidup Penulis ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1. Tujuan Umum ... 5

1.3.2. Tujuan Khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Pangan ... 7

2.2. Keamanan Pangan ... 8

2.3. Bahan Tambahan Pangan ... 10

2.3.1. Pengertian Bahan Tambahan Pangan ... 10

2.3.2. Fungsi Bahan Tambahan Pangan ... 11

2.3.3. Jenis Bahan Tambahan Pangan ... 12

2.3.4. Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan ... 13

2.3.5. Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan ... 16

2.4. Zat Pengawet ... 17

2.5. Boraks ... 20

2.5.1. Kegunaan Boraks ... 23

2.5.2. Pengawet Boraks pada Makanan ... 23

2.5.3. Penyalahgunaan Boraks pada Lontong ... 23

2.5.4. Dampak Boraks Terhadap Kesehatan ... 24

2.6. Lontong ... 26

2.6.1. Karakteristik Lontong ... 26

2.6.2. Pembuatan Lontong ... 27

2.7. Kerangka Konsep ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 29

3.1. Jenis Penelitian ... 29

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 29


(9)

3.3. Populasi dan sampel ... 30

3.3.1. Populasi ... 30

3.3.2. Sampel ... 31

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 31

3.4.1. Data Primer ... 31

3.4.2. Data Sekunder ... 31

3.5. Defenisi Operasional ... 31

3.6. Aspek Pengukuran ... 32

3.7. Prosedur Kerja Pemeriksaan Boraks Secara Kualitatif dan Kuantitatif ... 33

3.8. Analisa Data ... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 37

4.1. Gambaran Umum Kota Medan ... 37

4.1.1. Letak ... 37

4.1.2. Batas ... 37

4.2. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 37

4.3. Deskripsi Sampel ... 37

4.4. Pemeriksaan Kandungan Boraks pada Lontong di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009 ... 38

4.4.1. Hasil Pemeriksaan Boraks pada Lontong Secara Kualitatif di kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009 ... 39

4.4.2. Hasil Pemeriksaan Boraks pada Lontong Secara Kuantitatif di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009 ... 41

BAB V PEMBAHASAN ... 43

5.1. Hasil Pemeriksaan Boraks Secara Kualitatif ... 44

5.2. Hasil Pemeriksaan Boraks Secara Kuantitatif ... 45

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

6.1. Kesimpulan ... 48

6.2. Saran ... 49 DAFTAR PUSTAKA

Lampiran

1. Perhitungan Kadar Boraks

2. Permenkes RI No. 1168/Per/Menkes/X/1999

3. Surat Keterangan Penelitian Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Sumatera Utara


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Kualitatif Boraks pada Lontong

di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009 ... 40 Tabel 4.2. Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Boraks pada Lontong


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Kimia Boraks ... 20

Gambar 2. Kerangka Konsep ... 28

Gambar 3. Skema Cara Penganbilan Sampel ... 30

Gambar 4. Lontong di kelurahan padang Bulan ... 38


(12)

ABSTRAK

Lontong adalah makanan yang digemari oleh banyak masyarakat Indonesia. Lontong terbuat dari beras dan dimasak dengan air hingga terbenam, mempunyai tekstur yang lembut dan kenyal. Biasanya masyarakat mengkonsumsi lontong sebagai sarapan. Penjual berusaha menampilkan lontongnya agar kelihatan menarik bagi konsumen baik dari segi fisik, warna maupun rasa. Hal inilah yang membuat beberapa penjual menggunakan boraks sebagai bahan pengawet dan pengenyal agar lontong yang dihasilkan lebih kenyal, tahan lama serta biaya produksinya rendah. Penjual menggunakan boraks karena lebih praktis, mudah diperoleh dan tidak menimbulkan bau.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan. Penelitian ini adalah studi deskriptif yaitu untuk mengetahui kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif dengan metode pengabuan dan kuantitatif dengan metode titrasi asam basa. Sampel diambil secara purposif yaitu lontong dari 24 penjual lontong di lima lokasi penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 62,5% lontong mengandung boraks. Secara fisik ciri-ciri lontong yang mengandung boraks dapat diketahui dengan melihat bentuk lontong yang padat dan kenyal, warnanya bersih, serta tahan disimpan lebih dari 5 hari. Berdasarkan Permenkes RI No. 1168/Menkes/Per/1999 boraks dilarang digunakan dalam makanan, oleh karena itu penulis menyarankan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Medan agar melakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi secara berkala, khususnya bagi penjual lontong sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dalam penggunaan bahan-bahan berbahaya sebagai bahan tambahan dalam makanan.


(13)

ABSTRACT

Lontong is a food interested to many people of Indonesia. It is made of rice and cooked with some water until embedded, having a soft and elastic texture. Usually, people consume lontong for breakfast. The traders makes an effort to present lontong to be more attractive for consumers, either physically, color or taste. There are many reasons for traders to use borax as the preserving and elasticity agents to make lontong more elastic, longer last and cheaper production cost. They used borax due to more practice, easier to find and without odor.

The objective of the present stud is to know the content of borax in lontong product sold in Kelurahan Padang Bulan of Medan. The study is a descriptive survey to know the content of borax in lontong sold in Kelurahan Padang Bulan using a laboratory test qualitatively with dusting method and quantitative with acid-base titration method. The samples were taken purposively of 24 retailers of lontong in five locations of study.

The result of the study showed that 62,5% of the lontong contained borax. Physically, the characteristics of lontong containing borax included the dense and elastic, clear color and last for longer than 5 days. Based on the Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/1999, borax is prohibited to use in any food, therefore, the writer recommends that the Drug and Food Administration Board (BPOM) Medan to makes a guidence, control and evaluation periodically especially for those traders of lontong to take preventive action in the use of dangerous substances for supplemental additive in any foods.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Salah satu isi dari dasar-dasar pembangunan kesehatan di Indonesia adalah adil dan merata. Maksudnya bahwa dalam pembangunan kesehatan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Hal ini hanya dapat terjadi dengan menyelenggarakan pembangunan nasional di segala aspek kehidupan dan lapisan masyarakat mulai dari usia anak-anak sampai usia dewasa. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah masalah pangan (Depkes RI, 2001).

Keselamatan dan kesehatan masyarakat harus dilindungi terhadap pangan yang tidak memenuhi syarat dan terhadap kerugian sebagai akibat produksi, peredaran dan perdagangan pangan yang tidak benar. Cara produksi dan peredaran pangan yang tidak benar dapat merugikan dan membahayakan kesehatan masyarakat. Penjaminan pangan yang bermutu dan aman merupakan tanggung jawab pemerintah, industri pangan dan konsumen, sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing (Cahyadi, 2008).

Pada umumnya sasaran pembangunan pangan adalah menyediakan pangan yang cukup dan bermutu, mencegah masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan dan yang bertentangan dengan keyakinan masyarakat, memantapkan kelembagaan pangan dengan diterapkannya peraturan dan perundang-undangan yang mengatur mutu gizi dan keamanan pangan baik oleh industri pangan maupun masyarakat konsumen (Hardinsyah dan Sumali, 2001).


(15)

Keamanan pangan diartikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Makanan yang kita makan sehari-hari tentu saja juga mempunyai resiko menjadi tidak aman untuk dikonsumsi, karena kemungkinan dicemari bahan-bahan yang berbahaya seperti mikroba, bahan kimia atau benda-benda lainnya yang dapat meracuni atau dapat mengakibatkan kecelakaan. Karena itu, tindakan-tindakan untuk mencegah timbulnya bahaya dalam makanan, baik kimia, fisik maupun mikrobiologi dalam seluruh rantai pangan harus dipahami sepenuhnya. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam konstalasi ini adalah bahan-bahan yang ditambahkan terhadap bahan pangan, yang kemudian dikenal dengan nama Bahan Tambahan Pangan (BTP).

BTP ditambahkan untuk memperbaiki karakter pangan agar memiliki kualitas yang meningkat. BTP pada umumnya merupakan bahan kimia yang telah diteliti dan diuji sesuai dengan kaidah- kaidah ilmiah yang ada. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan berbagai aturan yang diperlukan untuk mengatur pemakaian BTP secara optimal (Syah, 2005).

Pengawet merupakan salah satu bentuk BTP. Penambahan pengawet dimaksudkan untuk menghambat ataupun menghentikan aktivitas mikroorganisme seperti bakteri, kapang dan khamir sehingga produk makanan dapat disimpan lebih lama. Selain itu, suatu pengawet ditambahkan dengan tujuan untuk lebih


(16)

meningkatkan cita rasa, memperbaiki warna, tekstur, sebagai bahan penstabil, pencegah lengket maupun memperkaya vitamin serta mineral. Sebenarnya, makanan yang menggunakan pengawet yang tepat (menggunakan pengawet makanan yang dinyatakan aman) dengan dosis di bawah ambang batas yang ditentukan tidaklah berbahaya bagi konsumen. Namun demikian, seringkali produsen yang nakal menggunakan pengawet yang tidak tepat seperti pengawet nonmakanan ataupun pengawet yang tidak diizinkan oleh badan POM sehingga merugikan konsumen. Salah satu contohnya adalah boraks (Hardinsyah dan Sumali, 2001).

Boraks merupakan garam Natrium Na2B4O7 10H2O yang banyak digunakan dalam berbagai industri non pangan khususnya industri kertas, gelas, pengawet kayu, dan keramik. Gelas pyrex yang terkenal dibuat dengan campuran boraks. Di Indonesia boraks merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang dilarang digunakan pada produk makanan, karena asam borat dan senyawanya merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat karsinogen. Boraks sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi, kerupuk gendar, atau kerupuk puli yang secara tradisional di Jawa disebut “Karak” atau “Lempeng”. Disamping itu boraks digunakan untuk industri makanan seperti dalam pembuatan mie basah, lontong, ketupat, bakso bahkan dalam pembuatan kecap (Oliveoile, 2008).

Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di sejumlah sekolah di Depok Jawa Barat, ditemukan adanya zat pengawet yang diduga boraks di dalam jajanan berupa lontong yang berbahan dasar beras (Virdhani, 2009). Selain itu Agus Purnomo (2009), seorang dosen Politeknik Kesehatan Tanjungkarang Lampung, melakukan penelitian tentang boraks pada


(17)

makanan berupa mi basah, lontong, bakso, pempek, dan kerupuk udang yang diambil secara acak di Pasar SMEP, Tugu, Bambu Kuning, Kampung Sawah, dan swalayan Bandar Lampung. Setelah dilakukan uji laboratorium, dari 30 contoh mi basah, 84% positif mengandung boraks. Dari 9 sampel lontong, 11,1% mengandung boraks, dan dari 13 sampel pempek, 85% juga positif mengandung borak. Yang lebih parah lagi adalah 12 sampel bakso, 7 sampel cincau hitam dan 12 sampel kerupuk undang, 100% positif mengandung boraks.

Mengkonsumsi boraks dalam makanan tidak secara langsung berakibat buruk, namun sifatnya terakumulasi (tertimbun) sedikit demi sedikit dalam organ hati, otak dan testis. Boraks tidak hanya diserap melalui pencernaan namun juga dapat diserap melalui kulit. Boraks yang terserap dalam tubuh dalam jumlah kecil akan dikeluarkan melalui air kemih dan tinja, serta sangat sedikit melalui keringat. Boraks bukan hanya menganggu enzim-enzim metabolisme tetapi juga menganggu alat reproduksi pria. Boraks yang dikonsumsi cukup tinggi dapat menyebabkan gejala pusing, muntah, mencret, kejang perut, kerusakan ginjal, hilang nafsu makan (Oliveoile, 2008).

Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan, penjual lontong di Kelurahan Padang Bulan mengatakan bahwa lontong yang mereka masak tahan sampai 3 hari pada suhu ruangan normal tanpa pemanasan dan pendinginan. Selain itu warnanya putih bersih dan teksturnya pun sangat kenyal. Penulis membeli 6 lontong pada penjual yang berbeda, kemudian lontong tersebut disimpan pada suhu ruangan normal. Setelah 3 hari, tenyata ditemukan 2 lontong yang masih bagus (tidak bau, warna tetap bersih, kering dan kenyal).


(18)

Alasan inilah yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penelitian tentang penggunaan zat kimia yaitu boraks pada lontong yang dijual di sekitar Kelurahan Padang Bulan Kota Medan. Mengingat lontong merupakan jajanan yang biasa dijual dan banyak disukai oleh masyarakat.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah ada kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009.

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum

Untuk mengetahui kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan.

1.3.2.Tujuan Khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui ada tidaknya kandungan boraks pada lontong yang dijual di

Kelurahan Padang Bulan Kota Medan.

2. Untuk mengetahui kadar boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan.


(19)

1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan dan Badan POM untuk lebih memperhatikan penggunaan bahan pengawet berbahaya pada makanan yang dilarang di Indonesia seperti boraks pada lontong.

2. Sebagai bahan masukan dan petunjuk bagi produsen maupun pengolah makanan dalam memproduksi lontong.

3. Sebagai informasi bagi masyarakat dalam memilih makanan olahan yang aman untuk dikonsumsi.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan ataupun minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk di dalamnya adalah bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan atau minumam (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Kualitas pangan dapat ditinjau dari aspek mikrobiologis, fisik (warna, bau, rasa dan tekstur) dan kandungan gizinya. Pangan yang tersedia secara alamiah tidak selalu bebas dari senyawa yang tidak diperlukan oleh tubuh, bahkan dapat mengandung senyawa yang merugikan kesehatan orang yang mengkonsumsinya. Senyawa-senyawa yang dapat merugikan kesehatan dan tidak seharusnya terdapat di dalam suatu bahan pangan dapat dihasilkan melalui reaksi kimia dan biokimia yang terjadi selama pengolahan maupun penyimpanan, baik karena kontaminasi ataupun terdapat secara alamiah. Selain itu sering dengan sengaja ditambahkan bahan tambahan pangan (BTP) atau bahan untuk memperbaiki tekstur, warna dan komponen mutu lainnya ke dalam proses pengolahan pangan (Hardiansyah dan Sumali, 2001).

Berdasarkan cara perolehannya, pangan dapat dibedakan menjadi 3 (Saparinto dan Hidayati, 2006) :

1. Pangan segar

Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan. Pangan segar dapat dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung.


(21)

2. Pangan Olahan

Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses pengolahan dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Contoh: teh manis, nasi, pisang goreng dan sebagainya. Pangan olahan bisa dibedakan lagi menjadi pangan olahan siap saji dan tidak siap saji.

a. Pangan olahan siap saji adalah makanan dan minuman yang sudah diolah dan

siap disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan.

b. Pangan olahan tidak siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah

mengalami proses pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan pengolahan lanjutkan untuk dapat dimakan atau minuman.

3. Pangan Olahan Tertentu

Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan. Contoh: ekstrak tanaman stevia untuk penderita diabetes, susu rendah lemak untuk orang yang menjalani diet rendah lemak dan sebagainya.

2.2. Keamanan Pangan

Untuk melaksanakan Undang-Undang nomor 7 tahun 1996 dan memberikan perlindungan kepada masyarakat maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi penting perannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan


(22)

dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat (Cahyadi, 2008).

Karena keamanan pangan muncul sebagai suatu masalah yang dinamis seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan kemajuan ilmu dan teknologi, maka diperlukan suatu sistem dalam mengawasi pangan sejak diproduksi, diolah, ditangani, diangkut, disimpan dan didistribusikan serta dihidangkan kepada konsumen. Toksisitas mikrobiologik dan toksisitas kimiawi terhadap bahan pangan dapat terjadi pada rantai penanganan pangan dari mulai saat pra-panen, pascapanen/pengolahan sampai saat produk pangan didistribusikan dan dikonsumsi (Seto, 2001).

Sistem pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan, pembinaan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi makanan dan peranannya sampai siap dikonsumsi manusia. Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan produksi pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Untuk itu keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering mengakibatkan terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya proses penyiapan dan penyajian sampai resiko munculnya penyakit kanker akibat penggunaan bahan tambahan (food additive) yang berbahaya (Syah, 2005).


(23)

2.3. Bahan Tambahan Pangan

2.3.1. Pengertian Bahan Tambahan Pangan

BTP adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur dan memperpanjang daya simpan. Selain itu, juga dapat meningkatkan nilai gizi seperti protein, mineral dan vitamin (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/1988, Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredient khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi (temasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut (Budiyanto, 2004).

Penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Dampak penggunaanya dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat. Penyimpangan dalam penggunaannya akan membahayakan kita bersama, khusunya generasi muda sebagai penerus pembangunan bamgsa. Di bidang pangan kita memerlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang akan datang, yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi dan lebih mampu bersaing dalam pasar global. Kebijakan keamanan pangan (food safety) dan pembangunan gizi


(24)

nasional (food nutrient) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan nasional, termasuk pengunaan bahan tambahan pangan (Cahyadi, 2008).

2.3.2. Fungsi Bahan Tambahan Pangan

Fungsi dasar bahan tambahan pangan yaitu (Hughes, 1987):

1. Untuk mengembangkan nilai gizi suatu makanan, biasanya untuk makanan diet

denganjumlah secukupnya. Di banyak negara, termasuk Amerika dan Inggris, nutrisi tertentu harus ditambahkan ke dalam makanan pokok berdasarkan peraturan mereka.

2. Untuk mengawetkan dan memproduksi makanan.

Demi kesehatan kita dan untuk mencegah penggunaan bumbu dengan masa singkat dan fluktuasi harga, sangatlah penting makanan itu dibuat mampu menahan pengaruh racun dalam jangka waktu selama mungkin.

3. Menolong produksi

Fungsi ini memiliki peranan yang penting untuk menjamin bahwa makanan di proses seefisien mungkin dan juga dapat menjaga keadaan makanan selama penyimpanan.

4. Untuk memodifikasi pandangan kita.

Bahan tambahan ini mengubah cara kita memandang, mengecap, mencium, merasa dan bahkan mendengar bunyi makanan yang kita makan (kerenyahan). Ada dua alasan utama mengapa menggunakan bahan tambahan ini, pertama karena ekonomi, misalnya makanan dengan bahan dan bentuk yang kurang bagus dapat dibuat lebih menarik dengan meniru produksi yang lebih berkualitas. Kedua,


(25)

adalah karena permintaan publik, misalnya dalam masakan modern dimana bahan makanan dasar dimodifikasi.

2.3.3. Jenis Bahan Tambahan Pangan

Pada umumnya bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu: 1. Aditif sengaja : yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk atau rupa dan lain sebagainya.

2. Aditif tidak sengaja, yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah

sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan.

Bila dilihat dari asalnya, aditif dapat berasal dari sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya, dapat juga disintesis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa benar dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan kimia maupun sifat metabolismenya seperti misalnya β-karoten, asam askorbat, dan lain-lain. Pada umumnya bahan sintetik mempunyai kelebihan yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah. Walaupun demikian ada kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat merangsang terjadi kanker pada hewan atau manusia (Winarno, 1992).


(26)

2.3.4.Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan

Bahan tambahan pangan yang diizinkan untuk digunakan pada makanan berdasarkan Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/1988 adalah (Fardiaz, 2007):

1. Anti oksidan dan oksidan sinergisi

Bahan tambahan pangan yang digunakan untuk mencegah terjadinya proses oksidasi. Contoh : asam askorbat dan asam eritrobat serta garamnya untuk produk daging, ikan dan buah-buahan kaleng. Butilhidroksi anisol (BHA) atau butilhidroksi toluen (BHT) untuk lemak, minyak dan margarin.

2. Anti kempal

Bahan tambahan pangan yang dapat mencegah mengempalnya makanan yang berupa serbuk, tepung atau bubuk. Contoh: Ca silikat, Mg karbonat, dan SI dioksida untuk merica dan rempah lainnya. Garam stearat dan tri Ca fosfat pada gula, kaldu dan susu bubuk.

3. Pengatur keasaman

Bahan tanbahan pangan yang dapat mengasamkan, menetralkan, dan mempertahankan derajat keasaman makanan. Contoh: Asam laktat, sitrat, dan malat digunakan pada jeli. Natrium bikarbonat, karbonat, dan hidroksida digunakan sebagai penetral pada mentega.

4. Pemanis buatan

Bahan tambahan pangan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi. Contoh: sakarin dan siklamat.


(27)

5. Pemutih dan pematang tepung

Bahan tambahan pangan yang dapat mempercepat proses pemutihan tepung dan atau pematangan tepung hingga dapat memperbaiki mutu penanganan.

6. Pengemulsi, pemantap dan pengental

Bahan tambahan pangan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan. Biasa digunakan untuk makanan yang mengandung air atau minyak. Contoh: polisorbat untuk pengemulsi es krim dan kue, peltin untuk pengental pada jamu, jeli, minuman ringan dan es krim, gelatin pemantap dan pengental untuk sediaan keju, karagenen dan agar-agar untuk pemantap dan pengental produk susu dan keju.

7. Pengawet

Bahan tambahan pangan yang dapat mencegah fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Biasa ditambahkan pada makanan yang mudah rusak atau yang disukai sebagai medium pertumbuhan bakteri atau jamur. Contoh: asam benzoat dan garamnya dan ester para hidroksi benzoat untuk produk buah-buahan, kecap, keju dan margarin, asam propionat untuk keju dan roti.

8. Pengeras

Bahan tambahan pangan yang dapat memperkeras atau mencegah lunaknya makanan. Contoh: Al sulfat, Al Na sulfat untuk pengeras pada acar ketimun dalam botol, Ca glukonat dan Ca sulfat pada buah kaleng seperti tomat dan kaleng.


(28)

9. Pewarna

Bahan tambahan pangan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Contoh: karmin, ponceau 4R, eritrosin warna merah, green FCF, green S warna hijau, kurkumin, karoten, yellow kuinolin, tartazin warna kuning dan karamel warna coklat.

10. Penyedap rasa dan aroma serta penguat rasa

Bahan tambahan pangan yang dapat memberikan, menambahkan atau mempertegas rasa dan aroma. Contoh: monosodium glutamat pada produk daging. 11. Sekuestran

Bahan tambahan pangan yang dapat mengikat ion logam yang ada pada makanan sehingga dicegah terjadinya oksidasi yang dapat menimbulkan perubahan warna dan aroma. Biasa ditambahkan pada produk lemak dan minyak atau produk yang mengandung lemak atau minyak seperti daging dan ikan. Contoh: asam folat dan garamnya.

Selain itu terjadi juga beberapa bahan tambahan pangan yang bisa digunakan dalam makanan antara lain (Depkes RI, 1988):

1. Enzim

Bahan tambahan pangan yang berasal dari hewan, tanaman atau jasad renik yang dapat menguraikan makanan secara enzimatik. Biasa untuk mengatur proses fermentasi makanan. Contoh: amilase dari aspergillus niger untuk tepung gandum dan rennet dalam pembuatan keju.


(29)

2. Penambahan gizi

Bahan tambahan pangan berupa asam amino, mineral atau vitamin, baik tunggal maupun campuran yang dapat memperbaiki atau memperkaya gizi makanan. Contoh: asam askorbat, feri fosfat, inositol, tokoferol, vitamin A, B12 dan vitamin D.

3. Humektan

Bahan tambahan pangan yang dapat menyerap lembab sehingga dapat mempertahankan kadar air dalam makanan. Contoh: gliserol untuk keju, es krim dan sejenisnya dan triaseti untuk adonan kue.

4. Antibusa

Bahan tambahan pangan yang dapat menghilangkan busa yang dapat timbul karena pengocokan atau pemasakan. Contoh: dimetil polisiloksan pada jeli, minyak dan lemak, sari buah dan buah nanas kalengan, silikon dioksida amorf pada minyak dan lemak.

2.3.5.Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan

BTP yang tidak diizinkan atau dilarang digunakan dalam makanan menurut Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/X/1999 adalah (Cahyadi, 2008):

1. Natrium tetraborat (boraks) 2. Formalin (formaldehyd)

3. Minyak nabati yang dibrominasi (brominated vegetable oils)

4. Kloramfenikol (chloramphenicol)

5. Kalium klorat (potassium chlorate)


(30)

7. Nitrofurazon (nitrofurazone)

8. P-Phenetilkarbamida (p-phenethycarbamide, dulcin, 4-ethoxyphenyl urea) 9. Asam salisilat dan garamnya (salicylic acid andm its salt)

10. Rhodamin B (pewarna merah)

11. Methanil yellow (pewarna kuning) 12. Dulsin (pemanis sintesis)

13. Potasium bromat (pengeras). 2.4.Zat Pengawet

Zat pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat tumbuhnya bakteri, sehingga tidak terjadi fermentasi (pembusukan), pengasaman atau penguraian makanan karena aktifitas jasad-jasad renik (bakteri) (Fardiaz, 2007).

Pengertian bahan pengawet sangat bervariasi tergantung dari negara yang membuat batasan pengertian tentang bahan pengawet. Meskipun demikian, penggunaan bahan pengawet memiliki tujuan yang sama, yaitu mempertahankan kualitas dan memperpanjang umur simpan bahan pangan (Cahyadi, 2008).

Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan senyawa anorganik dalam bentuk asam dan garamnya (Rohman dan Sumantri, 2007).

1. Pengawet Organik

Zat pengawet organik lebih banyak dipakai dari pada zat pengawet anorganik karena pengawet organik lebih mudah dibuat dan dapat terdegradasi sehingga mudah diekskresikan. Bahan pengawet organik yang sering digunakan adalah: asam sorbat, asam propianat, dan asam benzoat.


(31)

2. Pengawet Anorganik

Pengawet anorganik yang masih sering dipakai dalam bahan makanan adalah: nitrit, nitrat dan sulfit.

Banyak cara yang telah dilakukan untuk mengawetkan bahan pangan, misalnya pengalengan makanan, diawetkan (asinan/manisan) dalam botol, pendinginan, pemanasan, pengeringan dan penggaraman. Dalam melakukan pengawetan biasanya digunakan bahan kimia dan dewasa ini penggunaanya semakin bertambah karena merupakan salah satu pilihan yang menguntungkan bagi produsen makanan olahan. Alasan produsen dalam penggunaan bahan pengawet adalah (Fardiaz, 2007): 1. Kebutuhan teknis

Dewasa ini banyak perubahan yang terjadi, misalnya pengawet pada mentega, banyak digunakan asam sitrat dan vitamin E dari pada BHA/BHT.

2. Memperpanjang masa simpan

Hal ini merupakan masalah yang sukar. Produsen dan konsumen sama-sama berkepentingan, artinya konsumen menginginkan produk lebih awet supaya tidak belanja setiap hari dan produsen pun ingin makanan cukup waktu untuk pendisribusian dan penjualannya.

3. Melengkapi teknik pengawetan

Adanya pengawet membuat warna tetap selama masa distribusi. Teknik pengawetan misalnya dengan pemanasan menjadi lebih sempurna. Artinya untuk mengawetkan suatu bahan tidak diperlukan suhu yang terlalu tinggi lagi.


(32)

4. Mengganti kehilangan antioksidan dan pengawet alami secara proses

Pengawet juga berfungsi untuk menambah antioksidan yang ada pada bahan makanan secara alami dan oleh karena perlakuan pada prosesnya menjadi hilang atau berkurang.

5. Menanggulangi masalah higienis

Segi higienis dalam pabrik, jauh dari memadai. Bahan pengawet dapat membantu membuat makanan tidak cepat rusak, akibat sanitasi pabrik yang kurang baik.

6. Kebutuhan ekonomi

Bahan pengawet yang digunakan adalah sangat sedikit. Tetapi untungnya sangat besar karena makanan menjadi awet dan dapat disimpan dalam waktu lama.

Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi tidak jarang produsen menggunakannya pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur (Syah, 2005).

Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya maupun mikrobial non patogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila pemakaian bahan pangan dan dosisnya tidak diatur dan diawasi, kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya, baik yang bersifat


(33)

langsung, misalnya keracunan; maupun yang bersifat tidak langsung atau kumulatif, misalnya apabila bahan pengawet yang digunakan bersifat karsinogenik (Cahyadi, 2008).

2.5.Boraks

Boraks atau dalam nama ilmiahnya dikenal sebagai sodium tetraborate decahydrate merupakan bahan pengawet yang dikenal masyarakat awam untuk mengawetkan kayu, antiseptik kayu dan pengontrol kecoa. Tampilan fisik boraks adalah berbentuk serbuk kristal putih. Boraks tidak memiliki bau jika dihirup menggunakan indera pencium serta tidak larut dalam alkohol. Indeks keasaman dari boraks diuji dengan kertas lakmus adalah 9,5, ini menunjukkan tingkat keasaman boraks cukup tinggi (Bambang, 2008).

Asam borat atau boraks (boric acid) merupakan zat pengawet berbahaya yang tidak diizinkan digunakan sebagai campuran bahan makanan. Boraks adalah senyawa kimia dengan rumus Na2B4O7 10H2O berbentuk kristal putih, tidak berbau dan stabil

pada suhu dan tekanan normal. Dalam air, boraks berubah menjadi natrium hidroksida dan asam borat (Syah, 2005).

Gambar 1. Stuktur Kimia Boraks


(34)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/IX/1988, asam borat dan senyawanya merupakan salah satu dari jenis bahan tambahan makanan yang dilarang digunakan dalam produk makanan. Karena asam borat dan senyawanya merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat karsinogen. Meskipun boraks berbahaya bagi kesehatan ternyata masih banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan tambahan makanan, karena selain berfungsi sebagai pengawet, boraks juga dapat memperbaiki tekstur bakso dan kerupuk hingga lebih kenyal dan lebih disukai konsumen (Mujianto, 2003).

Asam borat (H3BO3) merupakan senyawa bor yang dikenal juga dengan nama

borax. Di Jawa Barat dikenal juga dengan nama “bleng”, di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikenal dengan nama “pijer”. Digunakan/ditambahkan ke dalam pangan/bahan pangan sebagai pengental ataupun sebagai pengawet (Cahyadi, 2008).

Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan diperoleh data bahwa senyawa asam borat ini dipakai pada lontong agar teksturnya menjadi bagus dan kebanyakan ditambahkan pada proses pembuatan bakso. Komposisi dan bentuk asam borat

mengandung 99,0% dan 100% H3BO3. Mempunyai bobot molekul 61,83 dengan B =

17,50% ; H = 4,88% ; O = 77,62% berbentuk serbuk hablur kristal transparan atau granul putih tak berwarna dan tak berbau serta agak manis (Cahyadi, 2008).

Karekteristik boraks antara lain (Riandini, 2008): a. Warna adalah jelas bersih

b. Kilau seperti kaca

c. Kristal ketransparanan adalah transparan ke tembus cahaya


(35)

e. Perpecahan sempurna di satu arah f. Warna lapisan putih

g. Mineral yang sejenis adalah kalsit, halit, hanksite, colemanite, ulexite dan garam asam bor yang lain.

h. Karakteristik yang lain: suatu rasa manis yang bersifat alkali.

Senyawa asam borat ini mempunyai sifat-sifat kimia sebagai berikut: jarak lebur sekitar 171°C, larut dalam 18 bagian air dingin, 4 bagian air mendidih, 5 bagian gliserol 85% dan tak larut dalam eter. Kelarutan dalam air bertambah dengan penambahan asam klorida, asam sitrat atau asam tetrat. Mudah menguap dengan pemanasan dan kehilangan satu molekul airnya pada suhu 100°C yang secara

perlahan berubah menjadi asam metaborat (HBO2). Asam borat merupakan asam

lemah dan garam alkalinya bersifat basa. Satu gram asam borat larut sempurna dalam 30 bagian air, menghasilkan larutan yang jernih dan tak berwarna. Asam borat tidak tercampur dengan alkali karbonat dan hidroksida (Cahyadi, 2008).

Efek boraks yang diberikan pada makanan dapat memperbaiki struktur dan tekstur makanan. Seperti contohnya bila boraks diberikan pada bakso dan lontong akan membuat bakso/lontong tersebut sangat kenyal dan tahan lama, sedangkan pada kerupuk yang mengandung boraks jika digoreng akan mengembang dan empuk serta memiliki tekstur yang bagus dan renyah. Parahnya, makanan yang telah diberi boraks dengan yang tidak atau masih alami, sulit untuk dibedakan jika hanya dengan panca indera, namun harus dilakukan uji khusus boraks di Laboratorium (Depkes RI, 2002).


(36)

2.5.1. Kegunaan Boraks

Boraks bisa didapatkan dalam bentuk padat atau cair (natrium hidroksida atau asam borat). Baik boraks maupun asam borat memiliki sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri farmasi sebagai ramuan obat, misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut dan obat pencuci mata. Selain itu boraks juga digunakan sebagai bahan solder, pembuatan gelas,bahan pembersih/pelicin porselin, pengawet kayu dan antiseptik kayu (Aminah dan Himawan, 2009).

2.5.2.Pengawet Boraks pada Makanan

Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula digunakan sebagai pengawet makanan. Selain sebagai pengawet, bahan ini berfungsi pula mengenyalkan makanan. Makanan yang sering ditambahkan boraks diantaranya adalah bakso, lontong, mie, kerupuk, dan berbagai makanan tradisional seperti “lempeng” dan “alen-alen”. Di masyarakat daerah tertentu boraks juga dikenal dengan sebutan garam bleng, bleng atau pijer dan sering digunakan untuk mengawetkan nasi untuk dibuat makanan yang sering disebut legendar atau gendar (Yuliarti, 2007).

2.5.3.Penyalahgunaan Boraks pada Lontong

Dalam pemeriksaan yang digelar di sejumlah sekolah di Depok, Jawa Barat, ditemukan adanya zat pengawet yang diduga boraks di dalam jajanan berupa lontong yang berbahan dasar beras. Menurut Kepala Seksi Pengawas Obat dan Makanan (POM) Dinas Kesehatan Kota Depok, boraks digunakan sebagai bahan campuran untuk membuat lontong agar lebih tahan lama, teksturnya padat, lebih kenyal dan tidak lembek (Virdhani, 2009).


(37)

Selain itu, makanan berupa mi basah, lontong, bakso, pempek, dan kerupuk udang diambil secara acak di Pasar SMEP, Tugu, Bambu Kuning, Kampung Sawah, dan swalayan Bandar Lampung. Setelah dilakukan ujian laboratorium, dari 30 contoh mi basah, 84% positif mengandung boraks. Dari 9 sampel lontong, 11,1% mengandung boraks, dan dari 13 sampel pempek, 85% juga positif mengandung borak. Dan yang lebih parah adalah 12 sampel bakso, 7 sampel cincau hitam, dan 12 sampel kerupuk undang, 100% positif mengandung boraks (Agus, 2009).

Ciri-ciri lontong yang mengandung boraks adalah (Anonim, 2008):

a. Tahan lama

b. Tekstur kenyal c. Warna putih bersih d. Rasanya getir

2.5.4.Dampak Boraks terhadap Kesehatan

Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Karena kadar tertinggi tercapai pada waktu diekskresi maka ginjal merupakan organ yang paling terpengaruh dibandingkan dengan organ yang lain. Dosis tertinggi yaitu 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa dan 5 gr/kg berat badan anak-anak akan menyebabkan keracunan bahkan kematian. Sedangkan dosis terendah yaitu dibawah 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa dan kurang dari 5 gr/kg berat badan anak-anak (Saparinto dan Hidayati, 2006).


(38)

Efek negatif dari penggunaan boraks dalam pemanfaatannya yang salah pada kehidupan dapat berdampak sangat buruk pada kesehatan manusia. Boraks memiliki efek racun yang sangat berbahaya pada sistem metabolisme manusia sebagai halnya zat-zat tambahan makanan lain yang merusak kesehatan manusia.

Mengkonsumsi boraks dalam makanan tidak secara langsung berakibat buruk, namun sifatnya terakumulasi (tertimbun) sedikit-demi sedikit dalam organ hati, otak dan testis. Boraks tidak hanya diserap melalui pencernaan namun juga dapat diserap melalui kulit. Boraks yang terserap dalam tubuh dalam jumlah kecil akan dikelurkan melalui air kemih dan tinja, serta sangat sedikit melalui keringat. Boraks bukan hanya menganggu enzim-enzim metabolisme tetapi juga menganggu alat reproduksi pria (Artika, 2009).

Sering mengkonsumsi makanan berboraks akan menyebabkan gangguan otak, hati, lemak dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya urin), koma, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan bahkan kematian (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Keracunan kronis dapat disebabkan oleh absorpsi dalam waktu lama. Akibat yang timbul diantaranya anoreksia, berat badan turun, muntah, diare, ruam kulit, alposia, anemia dan konvulsi. Penggunaan boraks apabila dikonsumsi secara terus-menerus dapat mengganggu gerak pencernaan usus, kelainan pada susunan saraf, depresi dan kekacauan mental. Dalam jumlah serta dosis tertentu, boraks bisa mengakibatkan degradasi mental, serta rusaknya saluran pencernaan, ginjal, hati dan


(39)

kulit karena boraks cepat diabsorbsi oleh saluran pernapasan dan pencernaan, kulit yang luka atau membran mukosa (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam hingga seminggu setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis toksis. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan hal-hal berikut (Saparinto dan Hidayati, 2006):

a. Sakit perut sebelah atas, muntah dan mencret b. Sakit kepala, gelisah

c. Penyakit kulit berat

d. Muka pucat dan kadang-kadang kulit kebiruan e. Sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah f.Hilangnya cairan dalam tubuh

g. Degenerasi lemak hati dan ginjal

h. Otot-otot muka dan anggota badan bergetar diikuti dengan kejang-kejang i.Kadang-kadang tidak kencing dan sakit kuning

j.Tidak memiliki nafsu makan, diare ringan dan sakit kepala k. Kematian

2.6.Lontong

2.6.1.Karekteristik Lontong

Lontong merupakan salah satu cara penyajian nasi berbahan dasar beras. Lontong berbentuk nasi yang dipadatkan karena dimasak dengan air namun ditekan dengan pembungkus biasanya daun pisang atau plastik. Lontong mempunyai tekstur


(40)

kenyal dan lembut serta dapat bertahan hingga dua hari jika disimpan dalam lemari pendingin (Tarwodjo,1998).

2.6.2.Pembuatan Lontong

Pada proses pembuatan lontong dapat dilakukan dengan memasukkan beras ke dalam panci. Tuangkan air hingga setinggi satu ruas jari dari permukaan beras. Masak sampai menjadi aron. Ambil selembar daun pisang, taruh 3 hingga 4 sendok makan beras aron di atasnya. Gulung hingga berbentuk bulat panjang bergaris tengah 4 cm. Semat kedua ujungnya dengan lidi. Lakukan hingga semua beras aron terbungkus. Didihkan air yang banyak dalam panci, masukkan gulungan beras ke dalamnya hingga terendam air. Rebus selama 4 jam, bila air berkurang tambahkan air panas secukupnya. Setelah lontong matang, angkat, tiriskan kemudian didinginkan (Anonim, 2004).


(41)

2.7.Kerangka Konsep

Boraks

1. Tahan Lama

2. Kenyal Lontong

Analisa Laboratorium

Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/IX/1999

Kuantitatif Kualitatif

Gambar 2. Kerangka Konsep

Keterangan :

Lontong yang dijual di daerah Padang Bulan Kota Medan jika diberi boraks maka lontong tersebut akan tahan lama dan teksturnya pun kenyal. Untuk mengetahui ada tidaknya dan berapa kadar boraks yang terkandung pada lontong tersebut dilakukan analisa laboratorium secara kualitatif dan kuantitatif yang disesuaikan dengan Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/IX/1999.


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui ada tidaknya kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif dengan metode pengabuan dan kuantitatif dengan metode titrasi asam basa.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di Kelurahan Padang Bulan yaitu di sekitar Kampus USU, Jalan Jamin Ginting (Simpang Kampus-Sumber), Pasar I, Pasar II dan Pasar III.

Alasan pemilihan lokasi:

1. Lokasi tersebut banyak menjual lontong sehingga sesuai dengan tempat

melakukan penelitian.

2. Di lokasi tersebut terdapat 2 (dua) Perguruan Tinggi yang mahasiswanya dan

masyarakat di sekitar lokasi sering menikmati lontong untuk sarapan. 3.2.2.Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Agustus-Desember 2009.


(43)

3.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan yaitu di 5 lokasi: Kampus USU, Jalan Jamin Ginting (Simpang Kampus-Sumber), Pasar I, Pasar II dan Pasar III. Dimana jumlah penjual lontong di (lima) lokasi tersebut adalah 47.

3.3.2. Sampel

Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan pertimbangan bahwa lontong banyak dijual di lokasi tersebut (Kampus USU, Simpang Kampus-Sumber, Pasar I, Pasar II, Pasar III), lontong banyak dibeli masyarakat untuk sarapan, dimana lontong yang dijual memiliki kekenyalan yang berbeda. Kelurahan Padang Bulan Lokasi Populasi 3 lontong 6 lontong Pasar III 3 lontong 6 lontong Pasar II 5 lontong 10 lontong Pasar I 6 lontong 12 lontong Simpang kampus-Sumber Kampus USU 13 lontong 7 lontong Sampel

Gambar 3. Skema Cara Pengambilan Sampel Keterangan :


(44)

Di Kampus USU terdapat 13 penjual lontong sehingga sampel yang diambil sebanyak 7, Jalan Jamin Ginting (Simpang Kampus-Sumber) terdapat 12 penjual lontong dan sampel yang diambil sebanyak 6, Pasar I terdapat 10 penjual lontong dan sampel yang diambil sebanyak 5. Pasar II terdapat 6 penjual lontong dan sampel yang diambil sebanyak 3. Sedangkan di Pasar III terdapat 6 penjual lontong sehingga sampel yang diambil sebanyak 3. Terdapat 47 penjual lontong di (lima) lokasi tersebut, sehingga dalam pengambilan sampel diambil setengah dari jumlah penjual lontong yang ada di setiap lokasi yaitu 24 sampel dan dianggap telah mewakili dari semua populasi.

3.4.Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium terhadap kandungan boraks pada lontong.

3.4.2.Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Kantor Kelurahan Padang Bulan Medan berupa data wilayah Kelurahan Padang Bulan Kota Medan.

3.5.Defenisi Operasional

1. Lontong adalah makanan tradisional Indonesia yang terbuat dari beras dan

dimasak dengan air hingga terbenam, mempunyai tekstur yang lembut dan kenyal dan disajikan dengan kuah.

2. Pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk

menentukan boraks pada lontong yang dilakukan di Laboratorium Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(45)

3. Uji kualitatif adalah pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya boraks pada sampel (lontong) dengan menggunakan metode pengabuan.

4. Uji kuantitatif adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan kadar boraks yang terkandung dalam sampel (lontong) dengan metode titrasi asam basa.

5. Kadar Boraks (mg) adalah jumlah boraks yang terkandung dalam sampel lontong

yang ditentukan berdasarkan volume larutan NaOH yang menitrasi. 3.6.Aspek Pengukuran

Adapun aspek pengukuran dari pemeriksaan boraks pada lontong adalah:

1. Ada boraks yaitu jika pada sampel lontong yang diperiksa secara kualitatif

ditemukan perubahan warna kertas kurkumin kuning menjadi merah kecoklatan (reaksi kurkumin). Sedangkan pada reaksi nyala api apabila dibakar akan terjadi nyala api berwarna hijau.

2. Tidak ada boraks, yaitu tidak ditemukannya perubahan warna pada reaksi

kurkumin dan reaksi nyala api dalam sampel lontong yang diperiksa secara kualitatif. Atau boraks = 0.


(46)

Sebanyak 100 gram lontong dimasukkan ke dalam masing-masing plastik lalu sampel dibawa untuk diperiksa di Laboratorium Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

A. Bahan Pemeriksaan

Sampel atau bahan yang digunakan untuk analisa adalah lontong yang diambil dari beberapa penjual lontong di Kelurahan Padang Bulan.

B. Alat-alat

1. Beaker glass 250 ml

2. Cawan porselen

3. Corong pisah

4. Kertas Kurkumin

5. Kertas saring

6. Labu erlenmeyer 250 ml

7. Lumpang dan alu

8. Pipet tetes

9. Timbangan elektrik

10.Tanur/Furnace 11.Kompor listrik

C. Reagensia yang Digunakan

1. Aquadest

2. Asam klorida (HCl)

3. Asam sulfat 4. Fenolptalen


(47)

5. Gliserol

6. Natrium hidroksida

7. Metanol

8. Kapur (CaCO3)

D. Pembuatan Larutan Reagensia

1. Pembuatan Larutan Aquadest Bebas CO2

Aquadest dididihkan dalam labu erlenmeyer yang mulutnya ditutup kapas yang di dalamnya berisi beberapa butir batu didih selama 15 menit.

2. Pembuatan Indikator Fenolptalen

Fenolptalen sebanyak 1 gram dilarutkan dalam 100 ml etanol (96%) kemudian aquadest ditambahkan secukupnya hingga 100 ml.

3. Pembuatan Larutan Gliserol Netral

a. Masukan 250 ml larutan gliserol kedalam erlenmeyer b. Tambahkan 3 tetes indikatot fenolptalen

c. Teteskan larutan NaOH 0,2 N sampai terjadi warna merah jambu muda

4. Pembuatan Larutan NaOH 0.1 N dalam 500 ml

Kristal NaOH ditimbang sebanyak 2,001 gram kemudian dilarutkan dalam aquadest bebas CO2 sampai 500 ml.


(48)

E. Cara Kerja

1. Secara Kualitatif dengan Metode Pengabuan

Prosedur kerja secara kualitatif dengan metode pengabuan (Rohman dan Sumantri,2007):

a. 50 gram lontong ditambahkan dengan 10 gram kapur (CaCO3)

b. Lontong digerus di dalam lumpang batu lalu masukkan ke dalam cawan.

Kemudian masukkan ke dalam tanur/furnace hingga menjadi abu selama 3-4 jam dan dinginkan.

c. Abu dimasukkan ke dalam 2 buah cawan dan diberi kode sampel

d. Abu digunakan untuk tes berikutnya. Reaksi Kurkumin

Abu dimasukkan ke dalam cawan uap porselin kemudian tambahkan 1 ml asam klorida 2 N, celupkan kertas kurkumin. Bila di dalam sampel terdapat boraks, kertas kurkumin yang berwarna kuning menjadi berwarna merah kecoklatan.

2. Secara Kuantitatif dengan Metode Titrasi Asam Basa

Prosedur kerja secara kuantitatif dengan metode titrasi asam basa (Cahyadi, 2006):

a. Timbang sampel setara 5 g masukkan ke dalam corong pisah

b. Kocok tiap kali dengan 25 ml aquadest c. Saring, lakukan tiga kali pengocokan d. Kumpulkan filtrat dalam erlenmeyer


(49)

f. Tambahkan 50 ml gliserol netral dan 5 tetes indikator fenolptalen

g. Titrasi dengan larutan NaOH 0,1 N hingga terjadi warna merah jambu muda h. Lakukan tiga kali percobaan

i. Tiap ml larutan NaOH 0,1 N setara dengan 6,183 mg atau 0,006183 g asam

borat.

Penghitungan kadar boraks =

x 100%

Keterangan :

V = Volume titrasi sampel

N = Normalitas NaOH yang dipakai B = Berat sampel

3.8.Analisa Data

Sesuai dengan jenis penelitian, maka analisa terhadap data yang terkumpul dilakukan secara deskriptif yang disertai dengan tabel, narasi dan pembahasan serta diambil kesimpulan apakah lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan memenuhi persyaratan untuk dikonsumsi sesuai dengan Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/IX/1999 tentang Bahan Tambahan Makanan.


(50)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Kota Medan 4.1.1. Letak

Medan adalah ibukota provinsi Sumatera Utara yang terletak diantara Kabupaten Deli Serdang dan terletak pada 2,5 - 37,5 m diatas permukaan laut. Dengan jumlah penduduk 2.036.018 jiwa, yang terdiri dari 995.968 jiwa penduduk laki-laki dan 1.010.174 jiwa penduduk perempuan.

4.1.2. Batas

Luas wilayah Kota Medan adalah 265,10 km2, dengan batas-batas wilayah

secara administratif sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

2. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

3. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

4. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

4.2.Deskripsi Lokasi Penelitian

Kelurahan Padang Bulan memiliki luas wilayah 1,30 km2 dimana terdapat

pemukiman, taman, perkantoran, perguruan tinggi, kuburan dan prasarana umum lainnya. Jumlah penduduk sebanyak 8832 jiwa, yang terdiri dari 4244 jiwa penduduk laki-laki dan 4588 jiwa penduduk perempuan.

Batas-batas wilayah kelurahan Padang Bulan tersebut antara lain :

1. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kelurahan Merdeka


(51)

3. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Padang Bulan Selayang

4. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Titi Rantai

4.3.Deskripsi Sampel

Sampel lontong diambil sebanyak 100 gr dari lima lokasi (Kampus USU, Simpang Kampus-Sumber, Pasar I, Pasar II dan Pasar III) di Kelurahan Padang Bulan. Sampel yang diambil berasal dari pedagang yang memproduksi sendiri lontong tersebut. Di daerah ini lontong banyak dijual karena lokasinya padat penduduk dan terdapat dua Perguruan Tinggi yang masyarakat dan mahasiswanya sering menikmati lontong sebagai sarapan.

Berdasarkan hasil observasi langsung di lima lokasi tersebut, lontong yang

dijual mempunyai kekenyalan dan daya simpan yang berbeda. Terdapat 47 penjual

lontong di lokasi tersebut sehingga sampel yang diambil sebanyak 24 lontong dari penjual yang berbeda.


(52)

4.4.Pemeriksaan Kandungan Boraks Pada Lontong di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009

Penelitian ini dilakukan karena banyaknya pedagang yang menambahkan boraks pada lontong dengan tujuan agar tahan lama dan teksturnya pun kenyal. Padahal boraks dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan, namun masih banyak pedagang yang menggunakannya dengan maksud agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Pada proses pemasakan, lontong yang tidak mengandung boraks memerlukan waktu lebih dari 4 jam namun jika ditambahkan boraks maka pemasakannya hanya 2 jam sehingga lebih menguntungkan bagi pedagang dalam hal bahan bakarnya. Hal inilah yang mendorong para pedagang menambahkan boraks pada lontong tersebut.

Ada bahan pengawet alami makanan yang dapat menjadi alternatif pengganti boraks, salah satunya adalah karagenan. Karagenan merupakan bahan pengenyal yang terbuat dari rumput laut (Euchena sp) dan aman dikonsumsi manusia. Bentuknya seperti tepung agar-agar dan sudah banyak beredar di pasar. Satu kg adonan lontong membutuhkan 0,5-1,5 gr karagenan dan dijual dengan harga Rp750 sampai Rp1000. Harga karegenan memang sedikit lebih mahal jika dibandingkan dengan boraks sebanyak 0,5-1,5 gr dijual dengan harga Rp.500. Walaupun demikian tetap saja pedagang lontong tidak boleh menggunakan boraks karena berbahaya bagi kesehatan konsumen sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/X/1999.


(53)

4.4.1.Hasil Pemeriksaan Kandungan Boraks Pada Lontong Secara Kualitatif di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009

Hasil pemeriksaan kualitatif boraks pada 24 sampel lontong yang berasal dari 5 (lima) lokasi di Kelurahan Padang Bulan dilakukan di Laboratorium Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan dapat dilihat pada tabel 4.1. berikut ini :

Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Kualitatif Boraks Pada Lontong di KelurahanPadang Bulan Kota Medan Tahun 2009 No. Lokasi Pengambilan

Sampel

Kode Sampel

Uji Kualitatif Reaksi Kurkumin

1. A1 Warna kuning ( - )

2. A2 Warna kuning ( - )

3. A3 Warna kuning ( - )

4. A4 Warna kuning ( - )

5. A5 Warna kuning ( - )

6. A6 Warna merah kecoklatan ( + )

7.

Kampus USU

A7 Warna merah kecoklatan ( + )

8. B1 Warna kuning ( - )

9. B2 Warna merah kecoklatan ( + )

10. B3 Warna merah kecoklatan ( + )

11. B4 Warna merah kecoklatan ( + )

12. B5 Warna merah kecoklatan ( + )

13.

Jl.Jamin Ginting (Simpang

Kampus-Sumber)

B6 Warna merah kecoklatan ( + )

14. C1 Warna merah kecoklatan ( + )

15. C2 Warna merah kecoklatan ( + )

16. C3 Warna merah kecoklatan ( + )

17. C4 Warna merah kecoklatan ( + )

18.

Pasar I

C5 Warna merah kecoklatan ( + )

19. D1 Warna kuning ( - )

20. D2 Warna kuning ( - )

21.

Pasar II

D3 Warna merah kecoklatan ( + )

22. E1 Warna merah kecoklatan ( + )

23. E2 Warna kuning ( - )

24.

Pasar III


(54)

Berdasarkan Tabel 4.1. di atas dapat diketahui bahwa pada 24 sampel lontong yang diperiksa secara kualitatif dengan reaksi kurkumin, terjadi perubahan warna kuning menjadi merah kecoklatan pada 15 sampel. Hal ini menunjukkan bahwa 15 sampel tersebut mengandung boraks. Dan pada sampel yang positif menggunakan boraks selanjutnya dilakukan pemeriksaan kuantitatif untuk mengetahui kadar dari boraks tersebut.

4.4.2.Hasil Pemeriksaan Kandungan Boraks Pada Lontong Secara Kuantitatif di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009

Hasil pemeriksaan secara kuantitatif terhadap penggunaan boraks pada lontong menunjukkan bahwa terdapat 15 sampel lontong yang mengandung boraks dengan kadar yang bervariasi. Kadar boraks untuk masing-masing sampel dapat dilihat pada tabel 4.2.


(55)

Tabel 4.2. Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Boraks Pada Lontong di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009

No. Lokasi Pengambilan Sampel Kode Sampel Volume Titrasi (ml) Kadar Boraks (gr/kg)

1. A1 - -

2. A2 - -

3. A3 - -

4. A4 - -

5. A5 - -

6. A6 2,7 3,338

7.

Kampus USU

A7 0,8 0,989

8. B1 - -

9. B2 2,2 2,721

10. B3 2,4 2,967

11. B4 2,2 2,721

12. B5 2,0 2,473

13.

Jl.Jamin Ginting (Simpang

Kampus-Sumber)

B6 2,1 2,596

14. C1 2,2 2,671

15. C2 3,3 4,081

16. C3 2,0 2,473

17. C4 2,1 2,721

18.

Pasar I

C5 2,5 3,091

19. D1 - -

20. D2 - -

21.

Pasar II

D3 2,2 2,721

22. E1 1,9 2,349

23. E2 - -

24.

Pasar III

E3 1,8 2,225

Tabel 4.2. menunjukkan kadar boraks yang bervariasi dari ke lima lokasi tersebut. Kadar boraks yang tertinggi terdapat pada sampel C2 yang berasal dari lokasi Pasar I yaitu sebesar 4,081 gr/kg dan kadar boraks yang terendah terdapat pada sampel A7 yang berasal dari lokasi Kampus USU yaitu sebesar 0,989 gr/kg.


(56)

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian ini mengenai ada tidaknya penggunaan boraks pada lontong. Penelitian dilakukan karena boraks sering disalahgunakan sebagai bahan tambahan pangan, padahal boraks tidak diizinkan penggunaannya dalam makanan yang disesuaikan dengan Permenkes RI No. 1168/Menkes/Per/X/1999 tentang bahan pangan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditemukan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan dengan kadar yang berbeda. Lontong yang mengandung boraks sebanyak 62,5% diperiksa secara kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini sama halnya dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di sejumlah sekolah di Depok Jawa Barat, ditemukan adanya zat pengawet yaitu boraks di dalam jajanan berupa lontong yang berbahan dasar beras (Virdhani, 2009).

Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Agus (2009), di Bandar Lampung makanan berupa mi basah, lontong, bakso, pempek, dan kerupuk udang positif mengandung boraks. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan boraks telah menyebar di seluruh Indonesia, untuk itu sebaiknya Dinas Kesehatan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang dampak penggunaan boraks terhadap kesehatan agar masyarakat lebih hati-hati dalam memilih dan menggunakan bahan tambahan pangan.


(57)

5.1. Hasil Pemeriksaan Boraks Secara Kualitatif

Berdasarkan pemeriksaan boraks secara kualitatif pada lontong di Laboratorium Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, diperoleh hasil bahwa di dalam 24 lontong yang diperiksa ternyata terdapat 15 yang mengandung boraks sebagai BTP berupa pengawet dan pengenyal pada lontong. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan warna pada kertas kurkumin menjadi warna merah kecoklatan. Lontong yang mengandung boraks tersebut diperoleh dari lima lokasi penelitian, yaitu di Kampus USU terdapat 2 lontong, Simpang Kampus-Sumber ada 5 lontong, Pasar I ada 5 lontong, Pasar II ada 1 lontong dan Pasar III ada 2 lontong.

Gambar 5.1. Perubahan Warna Kertas Kurkumin pada Sampel Lontong Pada proses pembuatan lontong penambahan boraks dilakukan dengan dua cara yaitu ditaburkan pada air rebusan atau ditambahkan pada adonan lontong, hal bertujuan untuk mendapatkan efek kenyal dan lebih cepat masak, tekstur yang baik dan tahan lama jika dibandingkan dengan lontong yang tidak diberi boraks sehingga lebih menguntungkan bagi penjual. Ciri fisik lontong yang mengandung boraks dapat diketahui dengan melihat bentuk lontong yang padat dan kenyal, warnanya bersih, serta tahan disimpan lebih dari 5 hari.


(58)

Harga boraks yang murah yaitu berkisar Rp.500/bungkus yang mudah didapatkan di warung atau pasar serta lebih menguntungkan dari segi ekonomi, menjadi alasan bagi produsen bebas menggunakannya sebagai BTP pada lontong. Semakin tinggi tingkat penjualan lontong yang mengandung boraks dalam satu hari, semakin banyak pula masyarakat yang akan terpapar oleh boraks tersebut.

Meskipun lontong yang dikonsumsi sudah dimasak, tidak berarti bahwa boraks yang ditambahkan pada waktu pembuatan lontong menjadi hilang, karena dalam pemeriksaan untuk menentukan ada tidaknya boraks dengan metode pengabuan, sampel harus dibakar terlebih dahulu sehingga menjadi abu untuk mengetahui kandungan boraks pada lontong tersebut.

5.1.2. Hasil Pemeriksaan Boraks pada Lontong Secara Kuantitatif

Pada lontong yang positif mengandung boraks selanjutnya dilakukan pemeriksaan kuantitatif dengan metode titrasi asam basa untuk mengetahui kadar boraks pada lontong tersebut. Hasil titrasi yang dijumpai yaitu perubahan warna menjadi merah jambu muda. Dari hasil pemeriksaan kuantitatif ditemukan kadar boraks yang tertinggi yaitu 4,081 gr/kg artinya dalam 1 kg sampel lontong yang diperiksa terdapat kandungan boraks sebanyak 4,081 gr. Sedangkan kadar boraks yang terendah adalah 0,989 gr/kg artinya dalam 1 kg lontong yang diperiksa terdapat boraks sebanyak 0,989 gr.

Dampak negatif boraks bagi tubuh dimana pada dosis tertinggi yaitu 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa dan 5 gr/kg berat badan anak-anak akan menyebabkan keracunan bahkan kematian. Sedangkan dosis terendah yaitu dibawah 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa dan kurang dari 5 gr/kg berat badan anak-anak,


(59)

jika sering dikonsumsi akan menumpuk/terakumulasi pada jaringan tubuh di otak, hati, lemak dan ginjal yang pada akhirnya dapt menyebabkan kanker. Manusia dengan berat badan 50 kg dapat meninggal dunia jika mengonsumsi 5-25 gr boraks. Yuliarti (2007) menyebutkan bahwa orang dewasa dapat meninggal dunia apabila mengonsumsi asam borat sebanyak 15-25 gr, sedangkan anak-anak 5-6 gr.

Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam hingga seminggu setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis toksis. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan sakit perut sebelah atas, muntah, mencret, sakit kepala, penyakit kulit berat, sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah, tidak nafsu makan, dehidrasi, koma dan jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan kematian.

Walaupun boraks memiliki dampak yang sangat berbahaya bagi tubuh, tetap saja masyarakat menggunakan boraks sebagai BTP. Masih banyak masyarakat Indonesia kurang mampu untuk membeli makanan yang bermutu tinggi dan memenuhi persyaratan. Hal ini disebabkan karena tingkat ekonomi masyarakat yang rendah dan juga pengetahuan yang kurang sehingga kondisi inilah yang menyebabkan pedagang makanan memproduksi makanan dengan harga yang murah dengan menggunakan bahan-bahan yang berbahaya. Kurangnya kepedulian pedagang terhadap keselamatan masyarakat menyebabkan banyaknya penyakit yang timbul akibat mengonsumsi makanan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut.

Berdasarkan penelitian mahasiswa Teknologi Pangan IPB Dody (2003), penggunaan boraks pada makanan dapat digantikan dengan pengawet Kalium Karbonat atau Natrium Karbonat (air abu) sesuai dengan dosis yang diizinkan Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/X/1999 yaitu 50 gr/kg. Air abu ini mudah


(60)

diperoleh karena banyak dijual di warung/kedai sekitar pemukiman masyarakat dan harganya pun tidak terlalu mahal sekitar Rp 1000/botol. Selain itu pengenyal alami yang dapat digunakan sebagi pengganti boraks pada lontong adalah karagenan. Karegenan aman dikonsumsi karena terbuat dari bahan alami rumput laut dan sangat efektif untuk mengenyalkan lontong. Walaupun harganya lebih mahal dari boraks kareganan harus digunakan sebagai alternatif pengganti boraks agar konsumen terjaga dari bahaya bahan tambahan pangan.


(61)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan pemeriksaan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat 62,5% pedagang lontong di Kelurahan Padang Bulan menjual

lontong yang mengandung boraks.

2. Berdasarkan hasil pemeriksaan di laboratorium diperoleh kadar boraks

tertinggi dalam lontong sebesar 4,081 dari 1 kg adonan lontong yaitu pada sampel C2 yang berasal dari lokasi Pasar I dan kadar terendah sebesar 0,989 yaitu sampel A7 yang berasal dari lokasi Kampus USU. Dimana boraks merupakan salah satu pengawet yang dilarang penggunaanya dalam makanan, tidak boleh digunakan walaupun dalam jumlah kecil yang disesuaikan dengan Permenkes RI No.722/Menkes/Per/X/1999 tentang Bahan Tambahan Pangan.

3. Ciri-ciri lontong yang mengandung borak dapat diketahui dengan melihat

bentuk lontong yang padat dan kenyal, warnanya bersih, serta tahan disimpan lebih dari 5 hari.


(62)

6.2. Saran

1. Perlu dilakukan penyuluhan tentang dampak penggunaan pengawet boraks

dalam pembuatan lontong sebagai bahan tambahan dalam makanan oleh Dinas Kesehatan Kota Medan kepada para produsen sekaligus penjual lontong sebagai makanan yang selalu dijajakan kepada masyarakat.

2. Perlu dilakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi secara berkala oleh

Balai Pengawasan Obat dan Makanan khususnya lontong sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dalam penggunaan bahan-bahan berbahaya sebagai bahan tambahan dalam makanan.

3. Perlu dilakukan pengawasan terhadap boraks agar tidak diperjual belikan

secara bebas.

4. Perlu dilakukan upaya pendidikan bagi masyarakat baik produsen dan

konsumen makanan jajanan melalui medi cetak dan elektronik tentang keamanan pangan.

5. Kepada produsen sekaligus penjual lontong sebaiknya menggunakan

karagenan sebagai pengenyal alami pengganti boraks karena aman untuk dikonsumsi masyarakat.


(63)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Makanan Yang Mengandung Boraks. http://klubpompi. Multiply-

com/ journal/item/18/Makanan_yang_Mengandung_Boraks. Diakses tanggal

15 September 2008.

---. 2009. Dampak Bahan Pengawet Makanan Pada Kemunduran Fungsi Otak Anak-Anak. Lampung. http://www.lampungpost.com. Diakses tanggal 19 April 2009.

---. 2009. Pengaruh Penggunaan Boraks pada Makanan Terhadap Kualitas Kesehatan Manusia. http://mysundaesunday.blogspot.com/2009/01/ -pengaruh-penggunaan-boraks-pada-makanan.html. Diakses tanggal 3 Januari 2009.

Aminah, MS. dan Candra H. 2009. Bahan-Bahan Berbahaya dalam Kehidupan. Salamadani. Bandung.

Bambang. 2008. Dampak Penggunaan Formalin dan Borax. Lampung. http://smk.putraindonesiamalang.or.id/dampak-penggunaan-formalin-dan-borax.Diakses tanggal 29 April 2008.

Budiyanto, AK. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Cahyadi, W. 2008. Analisis Dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara. Jakarta.

Fardiaz, S. 2007. Bahan Tambahan Makanan. Institut Pertanian Bogor. Bandung. Hardinsyah dan Atmodjo SM. 2001. Pengendalian Mutu Dan Keamanan Pangan.

Koswara. Jakarta.

Hughes, Christopher C. 1987. The Additive Guide. Photographics. Honiton, De Great Britain.

Medhioen. 2009. Lempeng, What is it.

http://puri75.blogspot.com/2009/01/-lempeng-what-is-this.html. Jakarta. Diakses tanggal 21 Januari 2009.

Oliveoile. 2008. Formalin & Boraks. http://oliveoile.wordpress.com. Diakses tanggal 7 Januari 2008.

Ra’ike. 2007. Borax-Struktur.

http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Borax-Struktur.jpg. Diakses tanggal 27 September 2007.

Riandini, N. 2008. Bahan Kimia dalam Makanan dan Minuman. Shakti Adiluhung. Bandung.


(64)

Rohman, A. dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Saparinto, C. dan Hidayati, D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Cetakan I. Kanisius. Yogyakarta.

Seto, S. 2001. Pangan Dan Gizi : Ilmu Teknoligi, Industri Dan Perdagangan Internasional. Institut Pertanian Bogor. Bandung.

Syah, D, dkk. 2005. Manfaat Dan Bahaya Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bandung.

Tarwotjo, I. 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Virdhani. 2009. Waspada Jajanan Lontong Mengandung Boraks. Jakarta. http://news.okezone.com. Diakses tanggal 10 Juni 2009.

Widyaningsih, Tri D. dan Murtini, ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus agrisarana. Jakarta.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Yahya, H. 2006. Boraks. http://www.vaksin.com/2006/0506/borax.htm. Diakses

tanggal 5 Juni 2006.


(65)

Perhitungan Kadar Boraks

Kadar Boraks = x 100%

= x 100%

= 0,3338 %

= 0,3338 gr/100gr


(66)

Gambar Lontong

Lontong di Kampus USU Lontong di Simpang Kampus-Sumber

Lontong Pasar I Lontong Pasar II


(67)

Langkah-langkah Pengabuan

Penghalusan Furnace/Tanur


(68)

Uji Kualitatif

Reaksi Kurkumin Kertas menjadi merah kecoklatan

Uji Kuantitatif


(69)


(1)

Rohman, A. dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Saparinto, C. dan Hidayati, D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Cetakan I. Kanisius. Yogyakarta.

Seto, S. 2001. Pangan Dan Gizi : Ilmu Teknoligi, Industri Dan Perdagangan Internasional. Institut Pertanian Bogor. Bandung.

Syah, D, dkk. 2005. Manfaat Dan Bahaya Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bandung.

Tarwotjo, I. 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Virdhani. 2009. Waspada Jajanan Lontong Mengandung Boraks. Jakarta.

http://news.okezone.com. Diakses tanggal 10 Juni 2009.

Widyaningsih, Tri D. dan Murtini, ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus agrisarana. Jakarta.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Yahya, H. 2006. Boraks. http://www.vaksin.com/2006/0506/borax.htm. Diakses

tanggal 5 Juni 2006.

Yuliarti, N. 2007. Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan. Andi. Yogyakarta.


(2)

Perhitungan Kadar Boraks

Kadar Boraks = x 100%

= x 100%

= 0,3338 %

= 0,3338 gr/100gr


(3)

Gambar Lontong

Lontong di Kampus USU Lontong di Simpang Kampus-Sumber

Lontong Pasar I Lontong Pasar II

Lontong Pasar III


(4)

Langkah-langkah Pengabuan

Penghalusan Furnace/Tanur


(5)

Uji Kualitatif

Reaksi Kurkumin Kertas menjadi merah kecoklatan Uji Kuantitatif

Proses Pemasakan Penambahan Gliserol


(6)