Pemberdayaan Masyarakat Desa Di Kecamatan Panombeian Panei Kabupaten Simalungun (Studi Tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (Bpn / K)

(1)

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

DI KECAMATAN PANOMBEIAN PANEI

KABUPATEN SIMALUNGUN

(Studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K)

TESIS

O l e h :

JUSTINA NURIATI PURBA

057024036

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

DI KECAMATAN PANOMBEIAN PANEI

KABUPATEN SIMALUNGUN

(Studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Program Magister Studi Pembangunan

Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

O l e h :

JUSTINA NURIATI PURBA

057024036

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2008


(3)

Judul Tesis : PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DI KECAMATAN PANOMBEIAN PANEI KABUPATEN SIMALUNGUN

(Studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K)

Nama Mahasiswa : Justina Nuriati Purba Nomor Pokok : 057024036

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui, Komisi Pembimbing :

Anggota,

(Drs. Agus Suriadi, M.Si)

Ketua,

(Prof. Dr. Erika Revida, MS)

Ketua Program Studi,

(Subhilhar, MA, Ph.D) NIP. 131 754 528

Direktur SPs USU,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc) NIP. 130 535 852


(4)

PERNYATAAN

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

DI KECAMATAN PANOMBEIAN PANEI

KABUPATEN SIMALUNGUN

(Studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 4 Februari 2008


(5)

ABSTRAK

Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) Tahun Anggaran 2006 yang menghasilkan partisipasi swadaya masyarakat sebesar Rp. 40.000.000,- (10 %), dari dana stimulan sebesar Rp. 400.000.000,- untuk 8 desa serta jumlah kegiatan sebanyak 10 kegiatan sangat rendah. Pelaksanaannya pun dianggap belum optimal, bahkan sebagian dianggap bermasalah akibat salah persepsi antara masyarakat dan pemerintah.

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara yang tidak terstruktur dan mendalam, pengamatan (kajian secara langsung) serta Studi Kepustakaan dan Arsip.

Temuan Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam tahap perencanaan sudah berjalan dengan baik. Namun dalam Tahap pelaksanaan pembangunan, masyarakat kurang terlibat karena sikap masyarakat yang susah diajak bergotong royong sehingga harus melibatkan pihak ketiga. Keterlibatan pihak ketiga tersebut juga telah diatur dalam petunjuk Teknis Pelaksanaan BPN / K sehingga dari segi peraturan hal tersebut dapat dikatakan sah dan resmi namun dari segi konsep pemberdayaan hal tersebut tidak memberikan proses belajar sebagaimana yang dikatakan Korten (1988:247). Dalam tahap pengawasan yang dilakukan oleh pihak Kabupaten, Kecamatan dan Nagori serta Masyarakat (dalam hal ini Maujana Nagori) telah berjalan dengan baik, karena aturan dan sistem sanksi yang diberikan telah diatur secara jelas. Saran yang diberikan dalam penelitian ini adalah Pemerintah Kabupaten Simalungun hendaknya meminimalisir pembangunan yang lebih bernuansa proyek dan atau keterlibatan pihak ketiga seperti rekanan kontraktor, sepanjang masyarakat masih mampu melaksanakannya secara langsung. Dengan demikian masyarakat diberikan kesempatan untuk belajar memahami sendiri tentang seluk beluk pembangunan, menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat dan pada sisi lain hal tersebut juga akan mengurangi rasa apriori masyarakat.


(6)

ABSTRACT

People participations on applicating Villages Development Aid Program for 2006 years fund produce Rp.40.000.000.- (10%) from stimulan fund as much as Rp.400.000.000.-. The Rp.40.000.000.- for 8 villages and 10 projects is poor. The application of the projects is considered not optimal, thus some of those projects are considered poor because of misunderstanding between community and local government.

The method used in this research is descriptive method. In this research writer had done unstructural deep interview, direct observation, and library research.

The results of this research show that the society participations on development preparing step has been done well, however people are less include on its applicating step. The less of people participation on applicating step is caused by society behaviour itself, where they do not care if they are asked to participate on working together so the outsiders include in this step. The outsiders involvement has been also regulated in Villages Development Aid Program technical manual so those things can be said legal based on regulation, but based on the efficiency concept, those things not give learning process as Korten said. (1988:247). On Controlling step by Regencies, Sub-Districts, Villages, and societies control board (Muajana Nagori) has been done well because of rules and punishment sistem has been regulated clearly. Simalungun Regency should minimalize the development that nuancing of projects and outsiders involvement such as contractors, as long society can do it directly. Therefore people has been given a chance to learn development problems by themselves, Raising owning sense and reducing people apriory in other side.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang Maha Penyayang, yang senantiasa memberikan berkat, anugerah dan penyertaanNya dalam proses penyusunan sejak awal hingga selesainya Tesis ini. Tesis yang berjudul “Pemberdayaan Masyarakat Desa Di Kecamatan Panombeian Panei Kabupaten Simalungun dengan Studi Tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) ini ditulis sebagai salah satu persyaratan akhir, guna memperoleh gelar Magister Studi Pembangunan (M.SP) pada Program Pasca Sarjana Jurusan Studi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara.

Andil yang sangat besar telah diberikan sejak proses perkuliahan, penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, pengolahan data hingga rampung menjadi sebuah Tesis telah diberikan banyak pihak, maka pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis menghaturkan rasa hormat dan terima-kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Erika Revida, MS, selaku Pembimbing Pertama yang penuh kesabaran meluangkan waktu untuk senantiasa memberikan motivasi, bimbingan serta pencerahan intelektual yang sangat berkesan bagi penulis, sejak proses awal penyusunan, Proposal sampai penulisan Tesis ini.


(8)

2. Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku Pembimbing Kedua yang telah banyak memberikan dorongan dan saran dalam upaya pencerahan intelektual, sehingga menjadi pengetahuan yang monumental bagi penulis.

3. Pemerintah Kabupaten Simalungun, atas komitmen peningkatan kualitas sumber daya manusia para aparatur di lingkungan Pemerintah Kabupaten Simalungun, dengan memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis.

4. Suami tercinta Rizal Edi Praja Saragih, AP, M.Si (Cia) yang juga selaku Camat Panombeian Panei yang telah banyak memberikan dorongan, semangat dan kasihnya kepada penulis. Demikian juga terhadap Keluarga Besar Saragih yang senantiasa memberikan dorongan bagi penulis. Terima kasih.

5. Ayahanda R.B. Purba dan Ibunda S. Sipayung, yang senantiasa berdoa dan berjuang untuk keberhasilan penulis serta dorongan dan semangat yang selalu diberikan. Warisan pendidikan yang beliau berikan sangat berharga bagi penulis hingga kelak diakhir hayat. Demikian juga terhadap Keluarga Besar Purba yang senantiasa memberikan dorongan bagi penulis. Terima kasih.

6. Seluruh rekan-rekan seperjuangan, Mahasiswa MSP Angkatan VIII, atas segala dorongan dan kerja samanya. Mudah-mudahan kita tidak saling melupakan.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang sedikit banyak memberi bantuan dan peluang untuk penyelesaian penulisan tesis ini, baik langsung maupun tidak langsung.


(9)

Penulis sangat menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu penulis dengan lapang dada

mengharapkan saran dan kritik membangun yang penuh keikhlasan, demi kesempurnaan karya tulis ini. Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat.

Syaloom...

Medan, 2008


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Justina Nuriati Purba, SSTP

NIM : 057024036

Tempat / Tanggal Lahir : P. Siantar / 7 Agustus 1983

Alamat : Jln. Rajamin Purba No 20 Kompleks Kantor Bupati Simalungun – Rambung Merah - P. Siantar Status Perkawinan : Sudah Kawin

Suami : Rizal Edi Praja Saragih, AP, M.Si Anak ke : 6 dari 7 bersaudara

1. Dasnita Seniwati Purba, Amd 2. Abdi Gofrelin Purba, ST 3. Diana Rita Purba

4. Fitri Mayani Purba, SE

5. Martha Evi Riana Purba, S.Kep 6. Justina Nuriati Purba, SSTP 7. Bertha Purba, S.Pd

Pendidikan : 1. SD RK No 4 Cinta Rakyat (1989 - 1995) 2. SMP RK Bintang Timur (1995 - 1998) 3. SMA RK Budi Mulia (1998 - 2001) 4. STPDN Jatinangor (2001 - 2005)

5. Mahasiswa Program S2 MSP FISIP Universitas Sumatera Utara (2006 - sekarang) Riwayat Pekerjaan : 1. CPNS Pusat / Mahasiswa Ikatan Dinas pada

STPDN Jatinangor JABAR (2001-2005) 2. Staf Pemerintah Kabupaten Simalungun


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

RIWAYAT HIDUP ... x BAB I PENDAHULUAN ...

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1.2 Perumusan Masalah ... 1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ...

1 1 7 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...

2.1. Pembangunan ... 2.1.1. Program dan Proyek Pembangunan... 2.1.2. Pembangunan Desa... 2.2. Pemberdayaan Masyarakat ... 2.2.1. Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat ... 2.2.2. Hakekat Pemberdayaan Masyarakat ...

9 9 11 12 15 16 18


(12)

2.3. Program Dana Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) ... 2.4. Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan Studi Program

Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) ...

28

33

BAB III METODE PENELITIAN ……….

3.1. Jenis Penelitian ... 3.2. Definisi Konsep ... 3.3. Informan ... 3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 3.5. Lokasi Penelitian ... 3.6. Metode Analisis Data ...

36 36 37 38 39 41 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...

4.1. Keadaan Geografis dan Demografis ... 4.2. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi ... 4.3. Gambaran Umum Pemerintahan ... 4.4. Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan Studi Tentang

Program Bantuan Pambangunan Nagori / Kelurahan ... 4.4.1 Tahap Perencanaan Pemberdayaan Masyarakat

Desa dengan Studi Tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) ... 4.4.2 Tahap Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat

Desa dengan Studi Tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) ... 4.4.3 Tahap Pengawasan Pemberdayaan Masyarakat

Desa dengan Studi Tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) ...

43 43 47 54 57 69 81 93


(13)

BAB V PENUTUP ...

5.1. Kesimpulan ... 5.2. Saran ...

97 97 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Luas Wilayah Menurut Nagori dan Jarak Ke Ibu Kota

Kecamatan ... 44 Tabel 4.2 Luas Wilayah Menurut Nagori dan Jenis Penggunaan

Lahan ... 45 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk dan KK Di Kecamatan Panombeian

Panei (Keadaan Akhir Desember 2006) ..………... 46 Tabel 4.4 Penduduk Kecamatan Panombeian Panei Menurut

Kelompok Umur dan Jenis Kelamin ... 47 Tabel 4.5 Penduduk Kecamatan Panombeian Panei Menurut Mata

Pencaharian ... 48 Tabel 4.6 Jumlah Rumah Tangga Pengguna Lahan Tanaman

Padi, Palawija dan Holtikultura ...

49

Tabel 4.7 Penyebaran Sarana Pendidkan di Setiap Nagori se Kecamatan Panombeian Panei Keadaan Tahun 2006 ... 50 Tabel 4.8 Penduduk Menurut Nagori dan Pendidikan

Tertinggi Yang Ditamatkan

...

51

Tabel 4.9 Jumlah Fasilitas Kesehatan Menurut Nagori ... 52 Tabel 4.10 Jumlah Penduduk Menurut Agama Yang Dianut ... 53 Tabel 4.11 Perubahan Nomenclatur Pemerintahan Desa menjadi


(15)

Tabel 4.12 Kegiatan Program BPN/K di Kecamatan Panombeian Panei yang bersumber dari Tahun Anggaran 2005 ...

62

Tabel 4.13 Kegiatan Program BPN/K di Kecamatan Panombeian Panei yang bersumber dari Tahun Anggaran 2006 ...

63

Tabel 4.14 Rangkuman Temuan Penelitian tentang

Karakteristik Program BPN/K

...

66

Tabel 4.15 Rangkuman Temuan Penelitian tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Program BPN/K ... 68 Tabel 4.16 Proses Pemberdayaan Masyarakat dalam Program


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1. Daftar Pedoman Wawancara ... 104 2. Ringkasan Hasil Wawancara ... 107


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan desa memegang peranan yang penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan pada hakikatnya bersinergi terhadap pembangunan daerah dan nasional. Hal tersebut terlihat melalui banyaknya program pembangunan yang dirancang pemerintah untuk pembangunan desa. Hampir seluruh instansi, terutama pemerintah daerah mengakomodir pembangunan desa dalam program kerjanya. Tentunya berlandaskan pemahaman bahwa desa sebagai kesatuan geografis terdepan yang merupakan tempat sebagian besar penduduk bermukim. Dalam struktur pemerintahan, desa menempati posisi terbawah, akan tetapi justru terdepan dan langsung berada di tengah masyarakat. Karenanya dapat dipastikan apapun bentuk setiap program pembangunan dari pemerintah akan selalu bermuara ke desa.

Meskipun demikian, pembangunan desa masih memiliki berbagai permasalahan, seperti adanya desa terpencil atau terisolir dari pusat-pusat pembangunan (centre of excellent), masih minimnya prasarana sosial ekonomi serta penyebaran jumlah tenaga kerja produktif yang tidak seimbang, termasuk tingkat produktivitas, tingkat pendapatan masyarakat dan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah. Semuanya itu pada akhirnya berkontribusi pada kemiskinan penduduk.


(18)

Fakta tersebut menyebabkan pemerintah semakin intensif menggulirkan program dan proyek pembangunan dalam pelaksanaan pembangunan desa. Namun demikian program atau proyek yang diarahkan dalam pembangunan desa justru tidak dapat berjalan optimal, karena kebanyakan direncanakan jauh dari desa (Korten, 1988:247). Masyarakat masih dianggap sebagai obyek/sasaran yang akan dibangun. Hubungan yang terbangun adalah pemerintah sebagai subyek/pelaku pembangunan dan masyarakat desa sebagai obyek/sasaran pembangunan (Kartasasmita, 1996:144). Partisipasi yang ada masih sebatas pemanfaatan hasil. Tingkat partisipasi dalam pembangunan masih terbatas, misalnya masih sebatas peran serta secara fisik tanpa berperan secara luas sejak dari perencanaan sampai evaluasi.

Kondisi tersebut mengakibatkan peranan pemerintah semakin besar. Pemerintah berperan dominan sejak dari perencanaan hingga pelaksanaan program atau proyek pembangunan. Fakta ini berangkat dari perspektif stakeholders pemerintahan bahwa berhasilnya program atau proyek pembangunan diukur dari penyelesaian yang tepat pada waktunya (efisiensi dan efektifitas) serta sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Dengan orientasi seperti ini, tentunya masyarakat desa beserta stakeholder lainnya di desa yang seharusnya memiliki peranan yang besar tidak dapat mengembangkan kemampuannya dan menjadi “terbelenggu” dalam berinovasi. Hal tersebut misalnya dapat dilihat dari implementasi program bantuan desa (Bangdes) selama ini, justru peranan birokrat pemerintah yang amat menonjol. Walaupun sesungguhnya program tersebut sudah lama dilaksanakan dan cukup


(19)

dikenal luas di desa, namun masyarakat selalu dianggap kurang mampu, sehingga bimbingan dan arahan dari pemerintah begitu kuat pengaruhnya dan merasuk (internalisasi) dalam masyarakat. Pada akhirnya masyarakat tergantung pada bimbingan dan arahan dari pemerintah. Bila kondisi tersebut tetap dipertahankan, maka masyarakat tidak akan pernah dapat menunjukkan kemampuannya dalam mengelola pembangunan di desanya.

Apapun bentuk pembangunan, secara substantif akan selalu diartikan mengandung unsur proses dan adanya suatu perubahan yang direncanakan untuk mencapai kemajuan masyarakat. Karena ditujukan untuk merubah masyarakat itulah maka sewajarnya masyarakatlah sebagai pemilik (owner) kegiatan pembangunan. Hal ini dimaksudkan supaya perubahan yang hendak dituju adalah perubahan yang diketahui dan sebenarnya yang dikehendaki oleh masyarakat (Conyers, 1991:154-155). Ada kesiapan masyarakat untuk menghadapi dan menerima perubahan itu. Untuk itu keterlibatannya harus diperluas sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi hingga pemanfaatannya, sehingga proses pembangunan yang dijalankan dapat memberdayakan masyarakat, bukan memperdayakan.

Pembangunan desa secara konseptual mengandung makna proses dimana usaha-usaha dari masyarakat desa terpadu dengan usaha-usaha dari pemerintah. Tujuannya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Sehingga dalam konteks pembangunan desa, paling tidak terdapat dua stakeholder yang berperan utama dan sejajar (equal) yaitu pemerintah dan masyarakat (Korten,


(20)

1988:378). Meskipun demikian, dalam konteks yang lebih luas, juga terdapat peranan “Agen Eksternal” seperti LSM, Konsultan, Lembaga Donor dll.

Domain pembangunan desa juga tidak terlepas dari wacana tentang model perencanaan pembangunan yaitu dari atas ke bawah (top down planning) dan dari bawah ke atas (bottom up planning). Pada dasarnya setiap program dari pemerintah senantiasa mencerminkan kombinasi kedua model tersebut, hanya intensitasnya yang berbeda. Sesuai dengan tuntutan paradigma baru tentang pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), maka pendekatan bottom up planning sudah sewajarnya diperbesar dan menjadi inti dari proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat.

Berlatar belakang pokok pikiran tersebut, penelitian ini bermaksud mengambil suatu dimensi yang lebih khusus yaitu menganalisis tentang pemberdayaaan masyarakat desa dengan studi tentang Program Pembangunan Bantuan Nagori / Kelurahan (BPN / K) di Kecamatan Panombeian Panei.

Pemilihan program tersebut, didasarkan atas pertimbangan bahwa desain dan implementasinya dapat memberikan gambaran tentang proses pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, dengan pengkajian pembangunan di desa. Selain itu, saat ini khususnya di Kecamatan Panombeian Panei, umumnya di Kabupaten Simalungun, program tersebut sangat mewarnai dinamika pembangunan desa, sehingga melalui implementasinya diharapkan dapat mewujudkan proses pemberdayaan masyarakat.


(21)

Penelitian ini dikhususkan pada desa-desa di Kecamatan Panombeian Panei Kabupaten Simalungun. Pengalaman selama ini menunjukkan banyak program pembangunan yang digulirkan oleh Pemerintah kurang optimal melibatkan masyarakat dalam perencanaan sampai evaluasi pembangunan di desa, sehingga muncul kesenjangan persepsi antara masyarakat dengan pemerintah. Hal tersebut berakibat rendahnya kepedulian masyarakat itu sendiri, yang pada akhirnya mengakibatkan rendahnya tingkat keberdayaan masyarakat. Hal ini dapat terbukti dengan rendahnya tingkat partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan, karena tanpa disadari sebenarnya peranan pemerintah masih lebih besar, meskipun tidak secara fisik, akan tetapi dalam wujud regulasi yang kurang memberikan keleluasaan bagi masyarakat secara optimal. Kondisi tersebut tercermin dari pelaksanaan Proyek P2KT (Program Pemberdayaan Kecamatan Terpadu) sebelumnya yang didominasi oleh birokrat kecamatan, demikian juga dengan pelaksanaan program BPN / K yang masih didominasi oleh elit formal di tingkat lokal.

Rendahnya partisipasi masyarakat terlihat dari pelaksanaan program BPN / K Tahun Anggaran 2006 yang menghasilkan partisipasi swadaya masyarakat sebesar Rp. 40.000.000,- (10 %), dari dana stimulan sebesar Rp. 400.000.000,- untuk 8 desa serta jumlah kegiatan sebanyak 10 kegiatan. Pelaksanaannya pun dianggap belum optimal, bahkan sebagian dianggap “bermasalah” akibat salah persepsi antara masyarakat dan pemerintah.


(22)

Penelitian ini dikhususkan pada desa di Kecamatan Panombeian Panei Kabupaten Simalungun, mengingat kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan pemekaran sejak tahun 2002 yang mempunyai karakteristik daerah pertanian (+ 80 %), merupakan kecamatan yang paling dekat dan berbatas langsung dengan wilayah Kota Pematang Siantar dibandingkan dengan kecamatan yang lain di Kabupaten Simalungun. Selain itu juga banyak warga kota yang bermukim di kecamatan ini. Dengan demikian terjadi interaksi karakter masyarakat pertanian dengan sifat wilayah sebagai hinter-land nya Kota. Berarti hal tersebut akan berkontribusi dalam pengembangan peranan masyarakatnya dalam pembangunan.

Secara khusus berdasarkan pengamatan dan analisis para stakeholder pembangunan di Kabupaten Simalungun, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, pemberdayaan masyarakat desa di Kecamatan Panombeian Panei tidak berjalan optimal karena rendahya partisipasi masyarakat terhadap pembangunan yang disebabkan terlalu dominan program pembangunan yang diluncurkan ke daerah tersebut, tanpa melibatkan masyarakat. Kondisi tersebut secara khusus juga disebabkan oleh peranan Bupati Simalungun periode 2000 s/d 2005 yang merupakan putra asli daerah tersebut, sehingga banyak dialokasikan program pembangunan, yang prosesnya tidak melibatkan masyarakat secara aktif.

Hal tersebut tidak memberikan dampak yang berarti bagi masyarakat. Terbukti dari realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kecamatan Panombeian Panei yang berada pada rangking terakhir (dari 30 kecamatan). Target


(23)

PBB dari tahun ke tahun berkisar Rp 60.000.000,- s/d Rp 70.000.000,- dan realisasinya hanya sekitar 30 %, sehingga kondisi tersebut menunjukkan adanya ketidakberdayaan masyarakat.

Tentunya penelitian ini bukan untuk mencari siapa yang salah, atau bagaimana fomat yang paling ideal, namun berangkat dari proses pembangunan yang sejak awal melibatkan kepentingan masyarakat desa yang berperan didalamnya. Dengan demikian dapat dianalisis karakteristik Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) di Kecamatan Panombeian Panei.

1.2. Perumusan Masalah

Pembangunan yang memberdayakan masyarakat adalah pembangunan yang memberi “ruang” dan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat berperan dalam menggerakkan dan mengerahkan segala sumber daya (resources) yang dimilikinya, baik sumber daya material maupun non material, terutama sumber daya manusianya sendiri untuk mandiri (Uphoff dalam Cernea, 1988:501). Dengan kata lain masyarakat mempunyai akses dalam pengambilan keputusan sampai pelaksanaan pembangunan.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat memiliki makna lebih luas dari model pembangunan


(24)

partisipatif, sebagaimana dinyatakan Soetrisno (dalam Lasito, 2002:7), sebagai berikut :

Dalam model pemberdayaan, masyarakat tidak hanya aktif berpartisipasi dalam proses pemilikan program, perencanaan dan pelaksanaannya, akan tetapi mereka juga menguasai dana pelaksanaan program itu. Sementara dalam model partisipasi, keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan hanya sebatas pada pemilikan, perencanaan dan pelaksanaan, sedangkan pemerintah tetap menguasai dana guna mendukung pelaksanaan program itu.

Dari pembedaan tersebut dapat diartikan bahwa dalam model pemberdayaan, masyarakatlah yang memiliki peran yang besar (termasuk pendanaan) serta sangat menentukan bagi arah kegiatan pembangunan, sesuai dengan aspirasi dan perspektif masyarakat, maksudnya tanpa terlalu intervensi struktur pemerintahan yang cenderung birokratis.

Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah penelitian adalah bagaimana Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) di Kecamatan Panombeian Panei?

1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Bertitik tolak dari perumusan masalah yang diajukan diatas, tujuan penelitian ini adalah menganalisis Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) di Kecamatan Panombeian Panei.


(25)

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat menguatkan kajian teoritis tentang pemberdayaan masyarakat desa dengan studi tentang Program BPN / K di Kecamatan Panombeian Panei.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan kepada Pemerintah Kabupaten Simalungun dalam memformulasikan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan desa (bottom up planning) secara partisipatif, terdesentralisasi dan bersifat lokalitas.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan

Banyak pendekatan pembangunan yang telah diterapkan, yakni dari pertumbuhan, pemenuhan kebutuhan dasar hingga yang paling mutakhir yakni pemberdayaan masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai sentral (objek sekaligus subjek) pembangunan. Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang dilaksanakan selama ini lebih menekankan pada pembangunan fisik, bukan pada pembangunan karakter masyarakat. Dengan demikian pendekatan pembangunan yang relevan adalah masyarakat mampu melaksanakan pembangunan secara mandiri, terdesentralisasi dan tepat sasaran.

Konsep pembangunan yang berpusat manusia memandang inisiatif kreatif masyarakat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan pembangunan. Visi ini menjadikan pembangunan dianggap sebagai gerakan rakyat daripada hanya sekedar sebagai proyek pemerintah.

Visi pembangunan yang mengutamakan manusia sangat relevan karena adanya pergeseran peranan pemerintah dalam konteks pembangunan, yang pada hakekatnya dilaksanakan oleh masyarakat. Sejak perencanaan hingga implementasi


(27)

dan pemanfaatannya, peranan masyarakat yang menonjol. Peran itu lebih efektif apabila masyarakat juga berperan dalam penggunaan alokasi anggaran.

Selanjutnya Korten (1988:242-245) mengemukakan bahwa pembangunan itu sendiri haruslah merupakan suatu proses belajar, yaitu :

Maksudnya peningkatan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif yang tidak hanya menyesuaikan diri pada perubahan, melainkan juga untuk mengarahkan perubahan itu sehingga sesuai dengan tujuannya sendiri. Untuk mewujudkan itu, perlu ada perubahan pada berbagai segi kehidupan. Perubahan tersebut menyangkut kebijakan politik, kehidupan demokrasi, sistem pendidikan dan penyediaan saluran informasi yang terbuka dan luas bagi masyarakat, karena pada hakekatnya masyarakat berhak untuk memilih. Untuk itu ketersediaan informasi harus dibuka seluas-luasnya bagi mereka agar dapat menentukan pilihannya.

Untuk dapat menerapkan pendekatan proses belajar itu, Korten (1988:247) mengemukakan dua cara, yaitu: “Pertama, dengan membangun sebuah program dan organisasi yang sama sekali baru dari bawah. Kedua, dengan “mencangkok” proses tersebut pada organisasi yang ada, sehingga mempunyai kemampuan baru untuk bekerja di pedesaan”.

Tantangan ke depan pembangunan sebagai proses belajar adalah pemaduan antara pelaksanaan kerja, pendidikan dan kelembagaan ke dalam sebuah proses belajar yang koheren. Pengalaman selama ini telah memberi dasar bagi perumusan kerangka kerja dan metode penyusunan pembangunan yang lebih sesuai dengan proses belajar di antara masyarakat desa dan outsider stakeholder, sebab tingkat pengetahuan outsider stakeholder dan kemampuan kelembagaan sangat terbatas untuk memahami tentang apa sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat.


(28)

Muara seluruh proses pembangunan adalah desa, sehingga desain pembangunan harus mengakomodir seluruh aspek yang berkembang dinamis dan berorientasi membangun desa beserta masyarakatnya. Pembangunan desa memegang peranan penting yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan pada hakikatnya bersinergi terhadap pembangunan daerah dan nasional. Dengan kata lain, sesungguhnya makna pembangunan negara dan bangsa adalah pembangunan desa sebagai wajah yang nyata, bersifat lokalitas dan patut dikedepankan.

2.1.1. Program dan Proyek Pembangunan

Output dari pembangunan adalah menghasilkan program-program dan

proyek-proyek pembangunan. Gettinger (dalam Bryant dan White, 1987:135) mengatakan sebagai berikut :

Bahwa proyek-proyek merupakan sisi tajam pembangunan. Dengan demikian benar bahwa proyek harus erat kaitannya dengan program-program (nasional atau daerah). Program merupakan kumpulan proyek-proyek. Suatu hal yang keliru jika memandang atau merencanakan suatu proyek yang terpisah sama sekali dari program yang mencakup proyek itu sebagai bagiannya.

Bryant dan White (1987:137) menggaris bawahi pentingnya perspektif ini dengan menyatakan bahwa lebih tepatlah jika proyek dipandang sebagai ungkapan lokal dari program nasional secara luas dan bukan sebagai kegiatan tersendiri yang


(29)

lepas. Proyek dapat dirancang antara lain untuk menyajikan informasi yang menentukan bagi perencanaan program, kemudian dapat untuk menyusun proyek-proyek lain dan dapat dilaksanakan sebagai kegiatan-kegiatan berantai.

Bryant dan White (1987:142) mengatakan ada empat aspek dalam konseptualisasi proyek dan program sebagai bagian dari proses pembangunan yang berinteraksi, yaitu sebagai berikut :

a. Proyek-proyek harus diseleksi dalam hubungan dengan kebutuhan-kebutuhan programnya, proyek harus dirancang untuk mendorong agar program dapat memanfaatkan pelajaran yang ada dan proyek-proyek itu harus dievaluasi antara lain dalam kaitan dengan keefektifannya memacu kemampuan organisasi dalam menanggapi prakarsa-prakarsa lokal.

b. Baik organisasi proyek maupun organisasi program haruslah merupakan learning

organization yang terbuka terhadap umpan balik dari lingkungan, memproses

informasi itu dan terus menerus memperbaharui pendekatan-pendekatan yang ditempuhnya. Merancang suatu proyek agar cocok dengan konteks lingkungannya memerlukan adanya perkiraan sumber-sumber daya, kemungkinan-kemungkinan dan kendala-kendala ekonomi, sosial, budaya & politik.

c. Aspek ketiga menyangkut struktur insentif bagi perilaku dalam suatu proyek. Apakah perilaku-perilaku yang dirancang oleh insentif-insentif itu selaras dengan tujuan proyek ? Akankah insentif-insentif itu memotivasi para pemimpin dan staf proyek melakukan hal yang paling kondusif bagi pencapaian tujuan-tujuan proyek ? Apakah organisasi proyeknya disusun demi mendapatkan serta memproses informasi untuk memaksimalkan pelajaran dari kesalahan maupun keberhasilan. d. Penting untuk memikirkan dan mengevaluasi efisiensi serta keadilan yang ada

dalam proyek itu sendiri, tingkat imbalan investasi dan dampak serta distribusi manfaat-manfaat proyek seperti tercantum dalam usulan seperti disampaikan sebelumnya, administrasi pembangunan harus bertanya setelah jangka waktu tertentu, siapa mendapat apa ? Evaluasi setelah proyek selesai dilaksanakan akan mengisyaratkan “siapa mendapat seberapa bagian” dari manfaat proyek yang mengalir itu ; rancangan yang baik mengenai proyek itu meletakkan dasar bagi evaluasi efektif pada waktu kemudian.


(30)

Wujud pembangunan desa adalah adanya berbagai program dan proyek pembangunan yang bertujuan menciptakan kemajuan desa. Program dan proyek itu tidak hanya untuk mencapai kemajuan fisik saja, tetapi juga meningkatkan kemampuan masyarakat. Dengan demikian, makna pembangunan tidak semata-mata mengadakan sesuatu yang baru dalam arti fisik, akan tetapi lebih luas. Sasaran pembangunan desa meliputi perbaikan dan peningkatan taraf hidup masyarakat desa, pengerahan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa serta penumbuhan kemampuan untuk berkembang secara mandiri yang mengandung makna kemampuan masyarakat (empowerment) untuk dapat mengidentifikasi berbagai kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi serta dapat menyusun perencanaan untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah, sehingga dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Makna pembangunan desa adalah partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Partisipasi itu diartikan tidak saja sebagai keikutsertaan dalam pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pihak luar desa (outsider stakeholder) atau keterlibatan dalam upaya menyukseskan program pembangunan yang masuk ke desanya, akan tetapi lebih dari sekedar itu. Dalam partisipasi yang terpenting adalah bagaimana pembangunan desa itu berjalan atas inisiatif dan prakarsa dari warga setempat (lokal) sehingga dalam pelaksanaannya dapat menggunakan kekuatan sumber daya dan pengetahuan yang mereka miliki.

Sejalan dengan itu, segala potensi lokal betapapun kecilnya tidak dapat diabaikan, karena ia akan menjadi sumber dan entry point dari sebuah pembangunan.


(31)

Midgley (1995:78-79) mengemukakan ada beberapa aspek dalam pembangunan desa, diantaranya mementingkan proses dan adanya intervensi. Dua hal tersebut perlu disoroti karena terkait dengan konsep pemberdayaan. Suatu program pembangunan yang hanya mementingkan hasilnya untuk dipersembahkan pada masyarakat justru mengingkari martabat masyarakat, karena hal tersebut menghambat masyarakat untuk berperan serta dalam proses. Sedangkan intervensi dimaksudkan bahwa dalam pencapaian perubahan sosial dengan pemerataan kesejahteraan bagi semua penduduk tidak terlepas dari campur tangan pemerintah, karena pemerintah yang menguasai berbagai sumber daya (Strategies for Social Development by Governments).

Hal tersebut juga berkaitan dengan penumbuhan keberdayaan mereka dalam program-program pembangunan, apalagi yang memang berskala lokal dan menyangkut kebutuhan dasar masyarakat sudah sewajarnya didesentralisasikan pada masyarakat setempat untuk direncanakan dan dilaksanakan. Peran pemerintah terbatas dalam hal penyediaan dana stimulan dan memfasilitasinya.

Banyak pembahasan yang dinamis tentang pembangunan desa, dan diantara berbagai tema yang berulang-ulang dimunculkan, Bryant & White (1987:389) menyebutkan tiga hal yang penting dan menentukan tentang pembahasan tersebut, yakni :

a. Pentingnya organisasi lokal yang partisipatif dan beorientasi pada belajar dari pengalaman, yang merupakan salah satu cara pokok untuk menanggulangi kekeliruan-kekeliruan dan ketidakpastian dalam lingkungan pembangunan yang sangat tidak pasti.


(32)

menggunakan top down planning yang kecenderungannya bukannya merupakan bagian dari jalan keluar, melainkan justru merupakan bagian dari permasalahan. c. Pentingnya menyimak kebutuhan-kebutuhan yang spesifik dari masyarakat lokal

yang dipengaruhi oleh aspek sosial dan budayanya. Kompleksitas budaya lingkungan itu merupakan bagian penting dari kehidupan lokal.

Secara khusus, Bryant & White (1987:391) menyikapi pembangunan desa sebagai suatu proses yang mempunyai banyak dimensi permasalahan dan penyelesaiannya tidak bersifat instant, lebih jelasnya, yaitu :

Bahwa pemecahan yang cepat dan tepat bagi pembangunan desa tidak ada, khususnya jika pembangunan dipahami dalam hubungan dengan kapasitas, keadilan dan penumbuhan kekuasaan (empowerment) dalam suatu dunia yang lestari, berkecukupan dan saling bergantung. Dengan demikian siapapun yang terlibat dalam pengelolaan pembangunan desa harus menghindari dua hal yang sangat merugikan yaitu sikap pesimistik dan metode pemecahan yang simplimistik.

Kemudian dapat disimpulkan bahwa konsep pembangunan desa telah menempatkan perlakuan terhadap masyarakat dalam pembangunan pada posisi yang begitu berarti dan sentral. Sehingga keterlibatannya dalam proses pembangunan menjadi titik penentu apakah proses pembangunan itu menjadi wahana proses belajar atau hanya sekedar sebuah rekayasa yang mana pemerintah menjadi pemain tunggal. Dengan demikian penekanan pada aspek “proses” memiliki arti penting. Proses belajar mengandung makna bahwa setiap kekurangan dan kelemahan yang muncul dalam proses pelaksanaan program pembangunan menjadi informasi yang penting dan untuk itu dilakukan upaya-upaya penanggulangannya.


(33)

Pemberdayaan masyarakat adalah konsep yang berkembang dari masyarakat budaya barat sejak lahirnya Eropa modern pada pertengahan abad 18. Dalam perjalanannya sampai kini telah mengalami proses dialektika dan akhirnya menemukan konsep ke-masa kini-an, yang telah umum digunakan.

Secara umum pemberdayaan dalam pembangunan meliputi proses pemberian kekuasaan untuk meningkatkan posisi sosial, ekonomi, budaya dan politik dari masyarakat yang bersifat lokal, sehingga masyarakat mampu memainkan peranan yang signifikan dalam pembangunan.

2.2.1. Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Perspektif partisipasi hendaknya diarahkan untuk keberdayaan masyarakat, bukan justru untuk mobilisasi. Hal tersebut sesuai pernyataan Tjokrowinoto (1987:44-45) yakni :

Partisipasi telah cukup lama menjadi acuan pembangunan masyarakat. Akan tetapi makna partisipasi itu sendiri seringkali samar-samar dan kabur.

Partisipasi malahan sering berbentuk mobilisasi dengan pendekatan cetak biru

(blueprint) atau pendekatan yang datangnya dari atas. Dengan kondisi ini,

peran serta masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program, masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil. Sehingga makna partisipasi menjadi pasif.


(34)

Jika partisipasi yang ada ternyata berasal dari atas, maka ia akan menjadi mobilisasi, yakni sekedar alat untuk mencapai apa yang diinginkan. Akan tetapi jika partisipasi sungguh-sungguh berasal dari bawah, maka akan mengarah pada distribusi kekuasaan atau pemberdayaan yang akan memampukan masyarakat memperoleh buah pembangunan yang lebih besar.

Dari pemahaman tentang pentingnya mengedepankan proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat, maka partisipasi masyarakat menjadi penting guna kelangsungan proses pembangunan itu sendiri, sebagaimana Uphoff (dalam Cernea, 1988:461) menyatakan penting menyesuaikan perencanaan dan pelaksanaan program dengan kebutuhan dan kemampuan penduduk yang diharapkan untuk meraih manfaat darinya, sehingga mereka tidak lagi harus diidentifikasikan sebagai “kelompok sasaran”. Harus memandang mereka sebagai “pemanfaat yang diharapkan”. Merekalah yang akan diuntungkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Namun demikian, partisipasi hendaknya diletakkan pada posisi yang proporsional dan sesuai dengan hakikatnya pada masyarakat dalam suasana keberdayaan yang aktif, bukan secara pasif, apalagi sampai dimobilisasi oleh outsider

stakeholder. Lebih jelasnya dapat disimak dari pernyataan Uphoff dalam Cernea

(1988:500), yang menyatakan :

Salah satu paradoks dalam mendorong partisipasi adalah bahwa dalam mempromosikan pembangunan dari bawah (bottom up planning), justru sering pula membutuhkan upaya dari atas. Hal ini terlihat dalam wacana yang menggunakan pendukung atau promotor yang direkrut, dilatih dan


(35)

ditempatkan di lapangan dari pusat untuk bekerja dengan penduduk pedesaan dan mengembangkan kapasitas organisasi diantara mereka.

Dengan demikian, pemberdayaan adalah partisipasi aktif, nyata dan

mengutamakan potensi-potensi masyarakat yang dinamis dan hasilnya benar-benar terukur, sehingga pemberdayaan menjadi upaya korektif terhadap konsep pemberdayaan yang pasif itu. Pemberdayaan bertujuan menumbuhkan partisipasi aktif masyarakat dengan mengandalkan daya yang ada padanya. Dengan

demikian makna partisipasi sebagaimana dinyatakan diatas, akan mengacu pada proses aktif, dimana masyarakat penerima (beneficiaries) mempengaruhi arah dan pelaksanaan proyek pembangunan daripada hanya sekedar menerima manfaatnya saja.

2.2.2. Hakekat Pemberdayaan Masyarakat

Pengalaman empirik dan historis dari format sosial ekonomi kultural yang dikotomis selama ini telah melahirkan berbagai pandangan mengenai

pemberdayaan. Pandangan mengenai pemberdayaan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Pranarka (1996:45-70), yaitu :

a. Pandangan pertama, pemberdayaan adalah penghancuran kekuasaan atau power

to nobody. Pandangan ini didasari oleh keyakinan, bahwa kekuasaan telah

menterasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan, maka kekuasaan harus dihapuskan.

b. Pandangan kedua, pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to everybody). Pandangan ini didasarkan pada keyakinan, bahwa


(36)

hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang dikuasai. Oleh sebab itu, kekuasaan harus didistribusikan kesemua orang, agar semua orang dapat mengaktualisasikan diri.

c. Pandangan ketiga, pemberdayaan adalah penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah pandangan yang paling moderat dari dua pandangan lainnya. Pandangan ini adalah antitesis dari pandangan power

to nobody dan pandangan power to everybody. Menurut pandangan ini, power to nobody adalah kemustahilan dan power everybody adalah chaos dan anarki. Oleh

sebab itu menurut pandangan ketiga yang paling realistis adalah power to

powerless.

Pemberdayaan menurut ketiga pandangan tersebut diatas, kalau dikaji secara seksama, ternyata berpengaruh signifikan dalam konsep dan praktek pemberdayaan.

Pemberdayaan dapat dibedakan dalam dua hal. Pertama, bahwa pemberdayaan sebagai upaya memberikan kekuatan dan kemampuan pada individu atau kelompok agar lebih berdaya. Ada unsur luar (baik dalam bentuk lembaga atau individu) yang memberikan kekuatan (power to powerless) sehingga punya kekuatan untuk dapat mengambil peran yang berharga bagi lingkungannya. Kedua, memunculkan kekuatan dan kemampuan individu dan kelompok yang selama ini masih terpendam melalui stimulasi dan motivasi sehingga menumbuhkan kepercayaan pada dirinya akan kemampuan yang dimiliki.

Pranarka (1996:57) menyebut kedua hal diatas sebagai kecenderungan primer dan sekunder. Kedua kecenderungan tersebut akan merubah individu atau kelompok dari kondisi serba keterbatasan dan ketidakberdayaan menjadi mampu untuk mendobrak segala keterbatasan hingga lebih dapat mengembangkan dirinya. Proses pemberdayaan muncul dari kondisi sosial ekonomi budaya yang dikotomis yaitu masyarakat yang berkuasa dan masyarakat yang dikuasai. Untuk membebaskan


(37)

situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless). Sehingga pemberdayaan hendaknya menyangkut kondisi sosial, ekonomi dan budaya dari yang diberdayakan.

Kemudian Pranarka (1996:139-145) menyatakan dalam mengimplementasikan proses pemberdayaan, bahwa terdapat dua aspek penting yaitu partisipatif dan terdesentralisasi. Aspek partisipatif melibatkan warga masyarakat, khususnya kelompok sasaran dalam pengambilan keputusan sejak dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, hingga pemanfaatan hasil-hasilnya. Sedangkan aspek terdesentralisasi mementingkan penurunan wewenang pembuatan keputusan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kepada pemerintahan (desa) yang terdekat dengan penduduk miskin. Penduduk miskin dianggap yang paling mengetahui usaha yang dapat mereka lakukan dan kebutuhan mana yang paling mendesak.

Pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mengubah keadaan seseorang atau kelompok agar yang bersangkutan menjadi lebih berdaya.

Pranarka mengutip pendapat Hulme & Turner (1996:62-63), menyatakan bahwa : Pemberdayaan mendorong terjadinya suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar di arena politik secara lokal maupun nasional. Karena itu, pemberdayaan sifatnya individual sekaligus kolektif.


(38)

Pemberdayaan juga merupakan suatu proses yang menyangkut hubungan-hubungan kekuasaan (kekuatan) yang berubah antara individu, kelompok, dan lembaga-lembaga sosial. Pemberdayaan juga merupakan proses perubahan pribadi, karena masing-masing individu mengambil tindakan atas nama diri mereka sendiri dan kemudian mempertegas kembali pemahamannya terhadap dunia tempat ia tinggal.

Kemudian Sumodiningrat (1997:165) menyatakan, bahwa pemberdayaan masyarakat bertalian erat dengan upaya penanggulangan masalah-masalah pembangunan, seperti pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan. Upaya memberdayakan masyarakat tersebut harus dilakukan melalui tiga cara, yaitu :

a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya dalam memanfaatkan peluang. c. Memberdayakan juga berarti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus

dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Jadi pemberdayaan memerlukan cara-cara atau langkah konkrit untuk mewujudkannya. Tanpa langkah-langkah yang tepat, upaya pemberdayaan akan mengalami banyak kendala.

Pemberdayaan sebagai proses ataupun sebagai tujuan pada dasarnya akan memunculkan keberanian pada individu ataupun kelompok. Kondisi semula yang cenderung hanya menerima keadaan akan lebih berani bertindak untuk merubah


(39)

keadaan. Bentuk keberanian itu juga dapat berupa menghadapi kekuasaan formal guna menghapus ketergantungannya pada kekuatan itu.

Secara khusus Kartasasmita (1996:144) meninjau tentang peranan pihak-pihak yang terlibat dalam pemberdayaan, yaitu :

Sebagai upaya untuk memberikan kekuatan dan kemampuan, berarti di dalam pemberdayaan mengandung dua pihak yang perlu ditinjau dengan seksama yaitu pihak yang diberdayakan dan pihak yang memberdayakan. Agar dapat diperoleh hasil yang memuaskan diperlukan komitmen yang tinggi dari kedua pihak. Dari pihak pemberdaya harus beranjak dari pendekatan bahwa masyarakat tidak dijadikan obyek dari berbagai program dan proyek pembangunan, akan tetapi merupakan subyek dari upaya pembangunannya sendiri. Untuk itu, maka dalam pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan yang terarah, dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi kelompok sasaran dan menggunakan pendekatan kelompok.

Pihak pemberdaya harus mempunyai komitmen untuk membuat atau melakukan suatu program yang juga memberdayakan. Sebab pengalaman menunjukkan bahwa banyak program pembangunan dalam pelaksanaannya kurang atau bahkan tidak mencerminkan aspek pemberdayaan. Hal ini tidak sesuai dengan pemberdayaan yang memberikan kekuatan dan kemampuan pada masyarakat. Komitmen yang rendah dari pihak pemberdaya dapat saja muncul dari kekhawatiran bahwa dengan upaya pemberdayaan akan mengurangi kekuatan dan kekuasaan mereka.

Pemberdayaan sebagai cara pembangunan yang mengacu pada pembangunan yang berpusat rakyat di dalamnya mengandung upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia serta partisipasi masyarakat. Karakteristik dari pembangunan yang


(40)

a. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dibuat di tingkat lokal dimana didalamnya rakyat memiliki identitas dan peran yang dilakukan sebagai partisipasi aktif.

b. Fokus utama pembangunan adalah memperkuat kemampuan rakyat miskin dalam mengawasi dan menggerakkan aset-aset guna memenuhi kebutuhan yang khas menurut daerah mereka sendiri.

c. Pendekatan ini mempunyai toleransi terhadap perbedaan.

d. Pendekatan pembangunan dengan menekankan pada proses “social learning”. e. Budaya kelembagaan yang ditandai oleh adanya organisasi yang bisa mengatur

diri dan lebih terdistribusi.

f. Proses pembentukan jaringan koalisi dan komunikasi antara birokrasi dan lembaga lokal, satuan organisasi tradisional yang mandiri, merupakan bagian yang integral dan pendekatan ini baik untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengidentifikasikan dan mengelola berbagai sumber maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal dan horizontal.

Sebagai sesuatu yang baru dalam pembangunan, pemberdayaan masyarakat tidak luput dari berbagai bias, seperti :

a. Bahwa pemberdayaan masyarakat banyak dilakukan di tingkat bawah yang lebih memerlukan bantuan material daripada keterampilan teknis dan manajerial. Akibatnya sering terjadi pemborosan sumber daya dan dana karena kurang persiapan keterampilan teknis dan manajerial dalam pengembangan sumber daya manusia.

b. Anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan jauh lebih ampuh daripada teknologi masyarakat itu sendiri.

c. Anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah berkembang dikalangan masyarakat cenderung tidak efisien dan kurang bahkan menghambat proses pembangunan. Akibatnya lembaga-lembaga tersebut kurang dimanfaatkan dan kurang ada ikhtiar untuk memperbaharui, memperkuat serta memberdayakannya (Kartasasmita, 1996:146-149).

Berkenaan dengan hal tersebut, Schumacher (dalam Lasito, 2002:28) menyarankan sebagai berikut :

Bantuan yang terbaik yang dapat diberikan pada masyarakat adalah bantuan intelektual yaitu berupa pemberian pengetahuan yang berguna. Bantuan ini jelas lebih baik daripada bantuan dalam bentuk barang. Karena sesuatu yang tidak diperoleh dengan usaha atau pengorbanan yang sungguh-sungguh tidak akan menjadi “milik sendiri”. Bantuan barang dapat diterima oleh penerima


(41)

bantuan tanpa usaha dan pengorbanan. Karenanya jarang menjadi “milik sendiri”.

Memang disadari bahwa saat ini bantuan berupa pengetahuan itu sudah ada yang diberikan. Namun hal itu didasarkan pada anggapan bahwa “apa yang baik untuk si kaya pasti baik pula untuk si miskin”. Anggapan inilah yang ditentang Schumacher (1993:187) sebagai sesuatu yang salah. “Selama kita mengaku tahu, padahal sesungguhnya tidak tahu, maka kita akan terus datang ke negara miskin dan memperagakan pada mereka segala yang indah yang dapat mereka lakukan kalau mereka sudah kaya.”

Salah satu prasyarat bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat adalah perlunya kondisi keterbukaan yang lebih besar dalam masyarakat. Akan tetapi tampaknya masih ada kekhawatiran pemerintah terhadap proses politik yang terbuka. Kalau tidak ada keterbukaan, gerakan pengembangan masyarakat yang berkembang dapat menjadi gerakan yang destruktif, karena dapat tampil sebagai reaksi terhadap kontrol. Akibatnya, ketegangan dapat timbul antara kebutuhan mengembangkan keberdayaan rakyat dan kecendrungan pemerintah untuk mempertahankan kontrol terhadap masyarakat (Pranarka, 1996:106).

Proses pemberdayaan memerlukan tindakan aktif subyek untuk mengakui daya yang dimiliki obyek dengan memberinya kesempatan untuk mengembangkan diri sebelum akhirnya obyek akan beralih fungsi menjadi subyek yang baru. Karena proses tersebut didukung oleh faktor atau stimulus dari luar, maka subyek tersebut


(42)

obyek atau masyarakat miskin sendiri juga merupakan prasyarat penting yang dapat mendukung proses pemberdayaan yang efektif (Pranarka, 1996:137).

Pada umumnya “negara” hampir selalu takut pada aksi politik tingkat bawah yang murni. Istilah yang lebih disukai adalah “partisipasi”, bukan pemberian wewenang (empowerment) yang kemudian dikenal dengan istilah “pemberdayaan”. Walau bagaimanapun, partisipasi sebagai ranah dalam pembangunan tetap mensyaratkan suatu komunitas lokal yang aktif, yang melakukan sebagian pengawasan terhadap kondisi-kondisi kehidupannya sendiri, dan bahkan dapat meminta pertanggung-jawaban pemerintah. Hal tersebut yang merupakan perwujudan keberdayaan mereka dalam berpartisipasi. Gagasan utama dari perencanaan dari “bawah” tersebut akhirnya yang dapat mencerminkan dengan tepat kepentingan sesungguhnya dari rakyat yang terlibat dalam kehidupan masyarakat, (Friedmann dalam Korten, 1988:257).

Senada dengan Friedmann, Berger dan Neuhaus (dalam Korten, 1988:345) juga menyorot tentang pentingnya pemberian wewenang (empowerment) tersebut, karena pada tingkat operasional di lapangan, masih adanya kontrol yang “kuat” pada masyarakat, sebagaimana pengalaman yang ditunjukkan, yaitu: “Salah satu hasil dari modernisasi yang paling melemahkan adalah rasa tidak berdaya dalam menghadapi lembaga-lembaga yang dikontrol oleh mereka yang tidak dikenal oleh masyarakat lokal dan nilai-nilai yang dibawapun juga seringkali tidak sesuai dengan yang dianut oleh masyarakat lokal tersebut”.


(43)

Sehingga bagaimanapun, masyarakat selalu lebih mampu memahami kebutuhan mereka sendiri dengan lebih baik dari siapapun juga, sehingga sudah pada tempatnya, pemerintah atau outsider stakeholder mengambil posisi yang proporsional dan lebih mengedepankan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.

Pemberdayaan masyarakat juga dipandang sebagai proses yang lebih bernuansa humanis, sebagaimana dinyatakan oleh Kusnaka (dalam Hikmat, 2001:xi), sebagai berikut :

Bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat martabat, rasa percaya diri dan harga diri serta terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuhkembangkan nilai tambah ekonomi tetapi juga nilai tambah sosial budaya.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, tampak bahwa hakekat pemberdayaan masyarakat adalah upaya dan proses yang dilakukan supaya masyarakat memiliki keleluasaan dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya yang lebih khas dan lokal itu. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan desa. Mereka dapat menggerakkan segala potensi yang dimilikinya untuk dapat turut mewarnai hasil pembangunan yang diharapkan akan lebih sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat. Namun yang terpenting adalah bagaimana mengakomodir domain sosial, ekonomi, kultural dalam proses pemberdayaan masyarakat, disamping domain politik. Berbicara tentang pemberdayaan masyarakat, akan lebih efektif kalau menyentuh domain-domain tersebut.


(44)

Friedmann (1992) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat harus dimulai dari rumah tangga. Pemberdayaan rumah tangga adalah pemberdayaan yang mencakup aspek sosial, politik, dan psikologis. Yang dimaksud dengan pemberdayaan sosial adalah usaha bagaimana rumah tangga lemah memperoleh akses informasi, akses pengetahuan dan keterampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial, dan akses ke sumber-sumber keuangan.

Yang dimaksud dengan pemberdayaan politik adalah usaha bagaimana rumah tangga yang lemah memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik yang mempengaruhi masa depan mereka. Sedangkan pemberdayaan psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang lemah.

Lebih lanjut, Friedmann menyatakan bahwa pemberdayaan adalah penguatan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, penguatan masyarakat untuk dapat memperoleh faktor-faktor produksi, dan penguatan masyarakat untuk dapat menentukan pilihan masa depannya.

Senada dengan pandangan tersebut, Friedmann juga berpendapat bahwa pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri masyarakat sendiri merupakan unsur yang sungguh penting dalam hal ini. Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengalaman demokrasi. (Friedmann,1992: 34).


(45)

Pada dasarnya pemberdayaan bermaksud membantu klien (warga masyarakat) memperoleh kekuasaan dalam pengambilan keputusan (perencanaan) dan bertindak dalam menentukan kehidupannya dengan mengurangi dampak dari hambatan sosial atau individu dalam penerapan kekuasaan dengan meningkatkan kemampuan dan percaya diri dalam mempergunakan kekuasaan serta memindahkan kekuasaan dari lingkungan kepada warga masyarakat.

Selain itu untuk dapat melakukan pemberdayaan masyarakat perlu didukung oleh situasi dan kondisi yang kondusif, khususnya political will dari pemerintah, alokasi dana yang memadai serta kesungguhan dari para stakeholders yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat. Yang terpenting dalam pemberdayaan adalah prosesnya, bukan sekedar hasil, karena proses akan terkait dengan kesinambungan. Demikian juga halnya dengan para stakeholders yang terlibat hendaknya tetap dalam hubungan yang equal sesuai dengan paradigma pemberdayaan yang modern (bukan sekedar paradigma pemberdayaan klasik yang berangkat dari persepsi dikotomi “yang berdaya” dan “yang tidak berdaya”).

2.3. Program Bantuan Pembangunan Nagori/Kelurahan (BPN / K)

Program BPN / K adalah program yang dana dialokasikan langsung kepada Pemerintah Nagori / Kelurahan dan digunakan untuk melaksanakan kegiatan pembangunan sekaligus guna meningkatkan sarana pelayanan masyarakat dan kelembagaan Nagori / Kelurahan. Dengan diberikannya dana


(46)

kepada Nagori / Kelurahan, partisipasi aktif dari masyarakat tetap sangat

diharapkan dalam pelaksanaan pembangunan, karena dana yang diberikan sangat terbatas dan belum maksimal untuk pelaksanaan pembangunan Nagori /

Kelurahan yang seutuhnya.

Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) merupakan kelanjutan dari program bangdes (Pembangunan Desa) dan Dana Pembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K). Dalam perkembangannya Program Bangdes dikelola oleh LKMD, sedangkan program DPD/K yang digulirkan sejak tahun anggaran 1999/2000 sampai dengan 2000 dikelola oleh PjOK (Penanggungjawab

Operasional Kegiatan) dan PjAK(Penanggungjawab Administrasi Kegiatan). Sejak digulirkannya Era Otonomi Daerah, Pemerintah Kabupaten Simalungun telah memodifikasi program bantuan langsung pembangunan desa menjadi program BPN / K. Program BPN / K ini dimulai sejak tahun 2001 dan dikelola oleh LKMD.

Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Simalungun Nomor 412.6/5950-BPMN/2002, pengelolaan Program BPN / K dialihkan kepada Kepala Desa (dalam istilah lokal disebut Pangulu) serta Lurah sebagai PjOK dan Sekretaris Nagori sebagai PjAK sejak tahun anggaran 2002. Pengalihan tersebut untuk lebih mengefektifkan tertib administrasi, karena pada tahun-tahun sebelumnya dana bangdes dikelola oleh LKMD secara kolektif. Sehingga cenderung mengaburkan


(47)

pihak yang paling bertanggung-jawab dan tidak jarang saling melempar tanggung-jawab.

Tujuan pengalokasian Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan adalah : 1. Meningkatkan sarana pelayanan masyarakat pada tingkat nagori/kelurahan dalam

rangka pembangunan kegiatan sosial ekonomi masyarakat,

2. Mendorong dan meningkatkan swadaya gotong-royong serta untuk menumbuhkan kreatifitas dan aktifitas masyarakat dalam pembangunan nagori/kelurahan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada secara optimal dan lestari,

3. Meningkatkan fungsi dan peranan kelembagaan masyarakat di nagori/kelurahan yang mencakup Maujana Nagori, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagori/Kelurahan (LPMN/K) dan lembaga sosial masyarakat lainnya untuk mencapai pemberdayaan masyarakat dan

4. Meningkatkan kemampuan lembaga pengelolaan keuangan dan lembaga usaha milik masyarakat dalam rangka meningkatkan produksi pertanian meliputi perikanan, peternakan, perkebunan dan industri rumah tangga untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai subyek dan obyek pembangunan.

Penggunaan dana BPN / K sebesar Rp. 50.000.000,- / Nagori dibagi dalam tiga alokasi yaitu :

1. Bantuan biaya pembangunan fisik nagori/kelurahan sebesar Rp. 45.000.000,- yang penggunaannya sesuai kebutuhan berdasarkan musyawarah,

2. Bantuan biaya kegiatan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) dan anak remaja sebesar Rp. 2.500.000,- dan

3. Biaya operasional kegiatan pembangunan (BOP) nagori/kelurahan sebesar Rp. 2.500.000,-.

Khusus tentang bantuan biaya pembangunan dialokasikan pada empat jenis prasarana yaitu :

1. Sarana dan prasarana perhubungan, misalnya : pembatuan jalan, jembatan/titi plat beton, gorong-gorong jalan, tanggul jalan, trotoar dll,

2. Sarana dan prasarana sosial, misalnya : sarana MCK, penyediaan sarana air bersih, tempat pembuangan sampah dll, tidak dibenarkan untuk merehab dan


(48)

3. Sarana dan prasarana penunjang ekonomi masyarakat dan produksi, misalnya : saluran irigasi nagori, sarana penunjang kegiatan pertanian, peternakan, perkebunan, industri rumah tangga dll dan

4. Sarana dan prasarana pemasaran, misalnya : lods pasar nagori, lumbung pangan dll. Konsekuensi Dana BPN / K yang bersifat stimulan atau perangsang supaya masyarakat dapat aktif berpartisipasi melalui swadaya gotong royong berupa uang, tenaga dan bahan material, sehingga tidak semata-mata mengandalkan seluruhnya dana bantuan tersebut.

Mekanisme pelaksanaan program BPN / K tersebut diawali dari persiapan, perencanaan, penyaluran & pencairan dana dan pelaksanaan kegiatan. Kegiatan persiapan diawali dengan desiminasi dan sosialisasi program BPN / K yang dilakukan secara berjenjang dimulai dari Kabupaten, Kecamatan sampai ke tingkat Nagori/Kelurahan. Kemudian penyebarluasan informasi program kepada masyarakat melalui berbagai forum musyawarah dan kegiatan sosial

kemasyarakatan serta melalui papan pengumuman supaya diketahui oleh masyarakat secara luas.

Kegiatan perencanaan dilaksanakan melalui forum musyawarah pembangunan nagori/kelurahan yang output-nya yaitu Daftar Usulan Rencana Kegiatan (DURK). DURK diisi berdasarkan usulan masyarakat dalam musyawarah pembangunan tersebut yang dihadiri selain pemerintahan nagori, juga dihadiri Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagori (LPMN), Tokoh Masyarakat dan Masyarakat yang disetujui oleh Maujana Nagori, kemudian disampaikan kepada Camat untuk mendapat pengesahan dan DURK tersebutlah sebagai dokumen kelengkapan untuk pencairan dana serta sebagai acuan dalam tahapan


(49)

pelaksanaan dan pemantauan selanjutnya. Sedangkan untuk tingkat kecamatan, dibuat dalam Rencana Kegiatan Biaya Operasional Pembinaan (RK-BOP) yang digunakan untuk kegiatan monitoring dan pembinaan oleh Tim Pengelola Kecamatan.

Pelaksanaan kegiatan BPN / K, harus benar-benar memperhatikan : Pertama, melibatkan seluruh masyarakat nagori melalui Lembaga Pemberdayaan

Masyarakat Nagori (LPMN)/K sehingga masyarakat ikut berpartisipasi aktif dan merasa ikut memiliki dengan swadaya gotong royong masyarakat berupa uang, tenaga dan material, Kedua, pelaksanaan kegiatan harus dilakukan dengan tepat waktu, tepat sasaran dan tepat jumlah, Ketiga, penggunaan dana agar dilakukan secara tertib, efisien dan efektif sesuai yang tercantum dalam DURK secara transparan dan bertanggung jawab, Keempat, pelaksanaan kegiatan dan penggunaan dana harus dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggung jawabkan secara fisik proyek dan administrasi keuangan sesuai dengan ketentuan dan Kelima, pemerintah nagori bersama-sama dengan masyarakat berkewajiban melakukan pelestarian hasil kegiatan dengan membentuk suatu format tertentu sesuai dengan keinginan nagori yang dapat berupa Tim Pengelola atau kelompok sejenis.

Untuk lebih jelasnya, struktur organisasi pelaksanaan program dana BPN / K, dapat terlihat dalam gambar sebagai berikut :


(50)

Gambar 2.1

Struktur Organisasi Pelaksanaan Program BPN / K Kabupaten Simalungun

TIM PEMBINA KABUPATEN

PEMERINTAHAN NAGORI / KELURAHAN (PjOK dan PjAK)

L P M N / K

MUSYAWARAH PEMBANGUNAN NAGORI/

KELURAHAN

Keterangan :

Garis Pembinaan Garis Pelaporan Garis Koordinasi

Garis Dukungan Kegiatan

MAUJANA NAGORI

C A M A T KASI PMN / DALWASPOR

BUPATI SIMALUNGUN


(51)

2.4. Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan Studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori Kelurahan (BPN / K)

Pada dasarnya banyak pemahaman terhadap konsep pemberdayaan

(empowerment) masyarakat dalam pembangunan. Konsep pemberdayaan

merupakan upaya mencari bentuk konsep pembangunan yang dianggap

ideal setelah berbagai paradigma pembangunan sebelumnya, seperti

growth, growth with equity & basic need yang dianggap gagal memenuhi

harapan sebagaian besar umat manusia di muka bumi. Konsep

empowerment merupakan paradigma terakhir dari konsep pembangunan

manusia yang kemunculannya disebabkan oleh karena adanya dua

permasalahan yakni “kegagalan” dan “harapan” yaitu gagalnya

model-model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah

kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan dengan harapan-harapan

adanya model alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai

demokratis, keberlangsungan, persamaan gender, persamaan antar

generasi dan pertumbuhan ekonomi yang merata.


(52)

alternatif pembangunan pada intinya memberi tekanan pada otonomi

pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat yang

berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung (melalui partisipasi),

demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung.”

Berkaitan dengan upaya pemberdayaan yang meningkatkan

kemampuan masyarakat, Kartasasmita (1996:141) mengatakan sebagai

berikut :

Memberdayakan masyarakat berarti meningkatkan kemampuan

masyarakat dengan cara mengembangkan dan mendinamisasikan

potensi-potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan harkat dan

martabat seluruh lapisan masyarakat dengan menciptakan iklim

yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang.

Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota

masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan

nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan,

tanggung jawab adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan.

Pemberdayaan berkaitan dengan pembangunan desa memberikan

kesempatan kepada masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya dan

memahami problematika yang terjadi, sebagaimana dinyatakan Abe

(2001:58) yakni : ”Perencanaan dengan pendekatan baru, terutama yang

memungkinkan rakyat ambil bagian dan secara prinsip hendak berangkat

dari aspirasi rakyat, merupakan wahana baru yang harus diwujudkan dan


(53)

diperkuat, agar dari sana rakyat mempunyai media untuk meningkatkan

keberdayaannya.”

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat

dalam pembangunan bertujuan supaya masyarakat memahami manfaat

dan peranannya dalam program pembangunan serta mampu merumuskan

kebutuhan dengan potensi sumber daya yang dimiliki, mampu

menentukan prioritas masalah yang akan dipecahkan sesuai dengan

kebutuhan dan potensi yang dimiliki serta mampu menyusun rencana

kegiatan untuk menangani atau menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Pemberdayaan merupakan proses yang disengaja dan terus-menerus,

benar-benar direncanakan dan memiliki tujuan yaitu agar mereka yang

diberdayakan memiliki akses untuk mendapatkan dan mengontrol

sumber-sumber yang ada sehingga mereka mempunyai pengaruh

terhadap proses dan hasil pembangunan.

Berdasarkan tinjauan pustaka pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan serta fokus kajian Program Bantuan Pembangunan Nagori Kelurahan (BPNK), sebagai berikut :


(54)

Desain Program BPN/K

Kondisi Masyarakat dan Birokrat

Keterlibatan Masyarakat Desa (Nagori)

Pembangunan yang sesuai dengan Kebutuhan masyarakat

Mekanisme Pembangunan

Gambar 2.2


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yang mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap dan pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.

Nazir (1988:63) mengemukakan pengertian metode deskriptif sebagai berikut:

Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

Untuk memperoleh informasi yang lebih detail mengenai gejala sosial yang terjadi digunakan pendekatan kualitatif. Alasannya karena metode kualitatif sebagaimana disebut Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Moleong (2001:3), yaitu :

Prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati yang


(56)

dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu kesutuhan.

Menurut Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2001:3) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif adalah sebagai berikut: “Tradisi tertentu dalam ilmu

pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya. Jadi, alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai instrumen kunci (key instrument)”.

3.2. Definisi Konsep

Keterkaitan proses pemberdayaan masyarakat desa dengan program bantuan pembangunan nagori / kelurahan (BPN / K) adalah keterlibatan masyarakat secara nyata dan aktif sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan (evaluasi) hingga pemeliharaan hasil-hasil program bantuan tersebut. Terutama sejak dari perencanaan yang bertujuan melaksanakan perubahan yang terarah dan sesuai dengan apa yang sesungguhnya diharapkan atau dibutuhkan masyarakat itu sendiri. Setelah adanya perencanaan yang matang dan membumi, maka akan menentukan tahapan pelaksanaan, pengawasan (evaluasi). Sehingga tujuan program bantuan pembangunan nagori / kelurahan yang memberdayakan masyarakat akan tercapai dengan adanya kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat.


(57)

Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan mempunyai arti yang sangat penting, karena dari masyarakat desa tersebut, seluruh permasalahan dan

kebutuhan diidentifikasikan untuk seterusnya direncanakan, dilaksanakan dan kepada mereka pula tujuan pembangunan. Sehingga merupakan suatu

konsekuensi logis, apabila perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan (eveluasi) dilaksanakan di tingkat desa, sebab dengan demikian mereka akan terlibat secara sadar, memiliki dan komprehensif.

Berangkat dari tumbuh kembangnya pemahaman yang sadar tersebut, memberikan pengalaman yang mengandung pembelajaran (Instructive

Experiences) bagi masyarakat agar mereka berdaya dalam menentukan dan

mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan mereka yang sebenarnya, disamping juga masyarakat dapat berdaya untuk memperoleh faktor-faktor produksi. Dengan demikian essensi pemberdayaan masyarakat dalam program bantuan pembangunan nagori / kelurahan mengandung arti penting yaitu terciptanya kegunaan yang sebenarnya dalam pengguna yang juga sebenarnya

(intended uses in intended user)

3.3. Informan

Dalam penelitian ini menggunakan pengamatan langsung dan wawancara tidak terstruktur dan mendalam (Babbie, 1995:358). Wawancara dilakukan secara


(58)

tidak terstruktur, sedangkan pengamatan dilakukan secara langsung terhadap pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan desa serta faktor-faktor yang mempengaruhi hambatan dalam proses tersebut.

Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong, 2001:90). Mengingat informan dalam penelitian ini cukup luas ruang lingkupnya (mencakup seluruh penduduk kecamatan yang meliputi 8 Nagori) maka ditentukan 3 Nagori yang akan dijadikan informan. Penentuan lokasi informan didasarkan pada jumlah penduduk dan jarak orbitasi ke pusat pemerintahan kecamatan yaitu Nagori Pamatang Panombeian, Nagori Marjandi dan Nagori Talun Kondot. Selain itu ketiga nagori tersebut dipandang sebagai representasi kehidupan sosial dan

budaya masyarakat Kecamatan Panombeian Panei yang meliputi keragaman etnis, agama dan mata pencaharian

Klasifikasi informan yang diambil mempunyai kapasitas dan kompetensi terhadap permasalahan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Merupakan Tokoh Masyarakat Nagori (Maujana dan LPM) (6 orang) 2. Merupakan Pejabat Pemerintahan Nagori (3 orang)

3. Merupakan Masyarakat Nagori (15 orang)

4. Pejabat Pemerintahan Kecamatan yang memegang peran sebagai fasilitator dan supervisor (2 orang)


(59)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : 1. Wawancara

Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur dan mendalam pada informan yang mempunyai kapasitas dan kompetensi terhadap permasalahan penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu

a. Merupakan Tokoh Masyarakat Nagori (Maujana dan LPM), yang diharapkan memberikan informasi tentang perencanaan, pelaksanaan dan terutama pengawasan program BPN / K.

b. Merupakan Pejabat Pemerintahan Nagori, yang diharapkan memberikan segala informasi yang berhubungan dengan program BPN / K.

c. Merupakan Masyarakat Nagori, yang diharapkan memberikan informasi tentang program BPN / K. khususnya perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan di nagori dalam pembangunan sarana dan prasarana transportasi serta permasalahan yang ada

d. Pejabat Pemerintahan Kecamatan yang memegang peran sebagai fasilitator dan supervisor, yang diharapkan memberikan informasi tentang prosedur, kebijakan, implementasi dan pengawasan program BPN / K.


(60)

Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan dokumen-dokumen resmi dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

3. Observasi

Observasi dilakukan dengan pengamatan langsung untuk mencocokkan data dan informasi yang didapatkan dari hasil wawancara dengan keadaan sebenarnya dilapangan pada saat dimensi waktu tertentu.

3.5. Lokasi Penelitian

Penelitian tentang pemberdayaan masyarakat dalam program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) mengambil lokasi pada 3 nagori dari 8 nagori. Alasan pemilihan ketiga nagori tersebut adalah berdasarkan jumlah Kepala Keluarga (KK) dan jarak orbitasi ke pusat pemerintah Kecamatan, yaitu Nagori Pamatang Panombeian (Nagori yang terdekat sebagai ibukota Kecamatan yaitu 0,5 km dengan 317 KK), Nagori Marjandi (Nagori yang pertengahan yaitu 6 km dengan 988 KK) dan Nagori Talun Kondot (Nagori yang terjauh yaitu 12 km dengan 532 KK) di Kecamatan Panombeian Panei Kabupaten Simalungun.


(61)

Analisis data dilakukan dengan menelaah data yang diperoleh dari berbagai sumber atau informasi. Menurut Moleong (2001:103), analisis data adalah, sebagai berikut :

Proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data. Dengan demikian, data yang telah terkumpul dari hasil wawancara dan studi kepustakaan atau dokumentasi akan dianalisis dan ditafsirkan untuk mengetahui maksud serta maknanya,

kemudian dihubungkan dengan masalah penelitian. Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk narasi dan kutipan-kutipan langsung dari hasil wawancara.

Analisis data dalam penelitian ini akan menggunakan tahap-tahap sebagai berikut :

a. Reduksi Data (Data reduction), pada tahap ini data diberi kode, disimpulkan, dan dikategorikan menurut aspek-aspek penting dari setiap tema yang diteliti. Tahap ini juga membantu dalam menentukan data apa lagi yang diperlukan dan bagaimana serta siapa yang akan memberikan informasi selanjutnya, metode apa yang akan digunakan untuk menganalisis yang akhirnya akan membawa pada kesimpulan.

b. Pengorganisasian Data (Data organization) yang telah ditentukan sebelumnya meliputi beberapa kategori yang ditetapkan, sehingga pada tahap ini adalah proses pengumpulan (asembling) informasi yang betul-betul penting dan dianggap merupakan tema atau pusat penelitian.


(62)

c. Interpretasi atau Penafsiran (Interpretation), tahap ini meliputi proses mengidentifikasikan pola-pola (patterns), kecenderungan (trends), dan penjelasan

(explanations) yang akan membawa kepada simpulan yang telah teruji melalui

data yang benar-benar lengkap, sehingga tidak ada informasi atau pengertian baru yang terlewatkan.


(63)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Geografis dan Demografis

Kecamatan Panombeian Panei merupakan salah satu dari 31 Kecamatan yang ada di Kabupaten Simalungun yang terletak di tengah wilayah Kabupaten Simalungun. Kecamatan Panombeian Panei mempunyai ibukota Nagori Pamatang Panombeian yang berjarak 14 Km dari Kantor Bupati Simalungun dan berjarak 123 Km dari Kota Medan, Ibukota Propinsi Sumatera Utara. Secara administratif batas wilayah Kecamatan Panombeian Panei, adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Raya dan Kecamatan Tapian Dolok.

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Panei.

Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Raya. Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Pematang Siantar.

Topografi Kecamatan Panombeian Panei terdiri dari dataran yang landai, sehingga merupakan daerah berhawa sejuk yang terletak pada ketinggian 600 meter dari permukaan laut dengan luas wilayah 92,20 Km2 atau 2,1% dari luas Kabupaten Simalungun (4.386,60 Km2). Pembagian luas wilayah menurut Nagori dan Jarak ke Ibu Kota Kecamatan, sebagai berikut :


(64)

Tabel 4.1

Luas Wilayah Menurut Nagori dan Jarak Ke Ibu Kota Kecamatan

No. N a g o r i Luas Wilayah (Km2)

Rasio %

Jarak Ke Ibukota (Km)

1. Pamatang Panombeian 06,50 7,05 0,5

2. Panombeian 08,50 9,22 4

3. Nagori Bosar 04,75 5,15 4

4. Marjandi 12,87 13,95 6

5. Simpang Panei 13,23 14,34 9

6. Pamatang Panei 02,22 2,40 8

7. Talun Kondot 21,68 23,51 12

8. Simbolon Tengkoh 22,45 24,34 5

J u m l a h 92,20 100

Sumber : Kantor Camat Panombeian Panei, 2007

Tabel diatas menunjukkan bahwa Nagori Simbolon Tengkoh (22,45 Km2) merupakan wilayah terbesar yang mempunyai rasio 24,34 % terhadap total luas wilayah Kecamatan Panombeian Panei dan Nagori Pamatang Panei (02,22 Km2) merupakan wilayah terkecil yang mempunyai rasio 2,40 % terhadap total luas wilayah Kecamatan Panombeian Panei.

Didukung oleh topografi wilayah yang sejuk dan terletak pada dataran landai, maka penggunaan lahan di Kecamatan Panombeian Panei sangat cocok untuk pertanian persawahan dan pertanian tanaman hortikultura, kemudian lahan perkebunan negara dan perkebunan rakyat. Pembagian luas wilayah berdasarkan peruntukan lahan dapat dilihat pada tabel berikut :


(65)

Tabel 4.2

Luas Wilayah Menurut Nagori dan Jenis Penggunaan Lahan

No N a g o r i

Lahan Sawah (Ha)

Lahan Kering

(Ha)

Perkebunan (Ha)

Pemukiman (Ha)

Lainnya

(Ha) Jumlah

1. Pam. Panombeian 550 80 0 15 5 650

2. Panombeian 625 124 0 76 25 850

3. Nagori Bosar 90 75 255 36 19 475

4. Marjandi 100 200 830 100 57 1.287

5. Simpang Panei 603 500 0 200 20 1.323

6. Pamatang Panei 135 55 0 22 10 222

7. Talun Kondot 155 875 880 200 58 2.168

8. Simbolon Tengkoh 160 700 1140 200 45 2.245

J u m l a h 2.418 2.609 3.105 849 239 9.220

Persentase 26,23 28,3 33,68 9,208 2,59 100

Sumber : Kantor Camat Panombeian Panei, 2007

Penduduk Kecamatan Panombeian Panei berjumlah 19.169 jiwa orang dengan 4.568 Kepala Keluarga, untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :


(66)

Tabel 4.3

Jumlah Penduduk dan KK Di Kecamatan Panombeian Panei (Keadaan Akhir Desember 2006)

Jumlah Penduduk (Jiwa) No. N a g o r i Laki-laki Perempuan

Jumlah (Jiwa)

Jumlah KK

1. Pamatang Panombeian 639 812 1.451 317

2. Panombeian 767 968 1.735 423

3. Nagori Bosar 2.155 2.054 4.209 463

4. Marjandi 1.729 1.812 3.541 988

5. Simpang Panei 897 908 1.805 422

6. Pamatang Panei 582 689 1.271 353

7. Talun Kondot 1.471 1.663 3.134 532

8. Simbolon Tengkoh 1.000 1.023 2.023 966

J u m l a h 9.240 9.929 19.169 4.464

Sumber : Kantor Camat Panombeian Panei, 2007

Dari data diatas, terlihat bahwa komposisi jumlah penduduk laki-laki dan perempuan tidak terlalu jauh berbeda. Penduduk laki-laki sekitar 48,20 % dan penduduk perempuan sekitar 51,79 %. Juga dapat dilihat bahwa penyebaran penduduk yang paling banyak terdapat di Nagori Bosar dan Nagori Marjandi.

Hal tersebut terjadi karena letaknya merupakan pemukiman penduduk yang ramai bersebelahan dengan kota Pematang Siantar dan merupakan daerah pemukiman perkebunan. Sedangkan Bila dilihat dari kelompok umur dan jenis kelamin, penduduk Panombeian Panei, dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :


(1)

berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis ketika pelaksanaan program BPN / K berlangsung, masyarakat tidak terlibat.

Pengawasan yang dilakukan oleh Kabupaten, Kecamatan, Nagori dan Masyarakat dalam hal ini Maujana Nagori telah memberikan manfaat yang berarti bukan hanya sebagai pengawas semata tetapi juga bermanfaat sebagai bahan masukan evaluasi dalam pembangunan kedepannya.

5.2. Saran

Atas dasar kesimpulan diatas, hendaknya diminimalisir program pembangunan yang bernuansa proyek. Program pembangunan yang digulirkan lebih fleksibel sehingga terbuka peluang untuk proses pemberdayaan masyarakat didalamnya serta sejauh mungkin menghindarkan proses birokratisasi didalamnya.

Pada tahap pelaksanaan program BPN / K hendaknya diminimalisir keterlibatan pihak ketiga seperti rekanan kontraktor, sepanjang masyarakat masih mampu melaksanakannya secara langsung. Dengan demikian masyarakat diberikan kesempatan untuk belajar memahami sendiri tentang seluk beluk pembangunan, menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat dan pada sisi lain hal tersebut juga akan mengurangi rasa apriori masyarakat. Sehingga Pemerintah Kabupaten kedepannya tidak membuat Program Pemberdayaan Masyarakat namun justru melegalkan keterlibatan pihak ketiga.


(2)

Pemerintah nagori hendaknya dapat lebih memberikan pengertian dan kesadaran masyarakat agar terlibat dalam seluruh proses pembangunan sehingga tercipta pemberdayaan yang sesungguhnya. Dan juga masyarakat dengan tulus membantu pelaksanaan Program BPN / K, karena subjek dan objek pembangunan adalah untuk mereka sendiri. Sehingga pejabat Nagori dapat meminimalisasi peran pihak ketiga dan dana yang ada dapat dipergunakan secara optimal dan maksimal sesuai dengan kebutuhan yang telah direncanakan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abe, Alexander, 2001, “Perencanaan Daerah : Memperkuat Prakarsa Rakyat Dalam Otonomi Daerah”, Yogyakarta, Lapera.

Arikunto, Suharsimi, 2002, “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek”, Jakarta, PT Rineka Cipta

Babbie, Earl, 1995, “The Practise Of Social Research, 7th Edition”, Belmont CA, Wadsworth Publishing Company, USA

Bryant, Coralie & Louise G. White, 1987, “Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang”, Jakarta, LP3ES.

Cernea, Michael M, 1988, “Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan : Variabel-Variabel Sosiologi di Dalam Pembangunan Pedesaan”, Jakarta, Pub. Bank Dunia, Penerbit UI.

Conyers, Diana, 1991, “Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga” , Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Friedmann, John, 1992, Empowerment: The Politics of Alternative

Development” , Cambridge Mass, Blackwell Publishers.

Hikmat, Harry, 2001, “Strategi Pemberdayaan Masyarakat”, Bandung,

Humaniora Utama Press.


(4)

Kartasasmita, Ginandjar, 1996, “Pembangunan Untuk Rakyat :

Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan”, Jakarta, PT. Pustaka

Cidesindo.

Kerlinger, JF, 2003, “Asas-asas Penelitian Behaviora”, Jakarta, Gadjah

Mada University Press

Korten, David C dan Sjahrir, 1988 “Pembangunan Berdimensi

Kerakyatan”, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Midgley, James, 1995, “Social Development : The Development Perspective In Social Welfare”, London, Sage Publication.

Moleong, Lexy J, 2001, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, Bandung,

PT. Remaja Rosdakarya.

Nazir, Moh, 1988, “Metode Penelitian”, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Pranarka A.M.W. dan Prijono Onny S, 1996, “Pemberdayaan : Konsep,

Kebijakan dan Implementasi”, Jakarta, CSIS.

Schumacher, E. F, 1993, “Kecil Itu Indah : Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil”, Jakarta, LP3ES.

Sedarmayanti, Syarifudin Hidayat, 2002, ”Metodologi Penelitian”,

Bandung, Mandar Jaya.

Soetrisno, 2001, “Pemberdayaan dan Upaya Pembebasan Kemiskinan”,

Philosophy Press, Yogyakarta.


(5)

Sumodiningrat, Gunawan, 1997, “Pembangunan Daerah dan

Pemberdayaan Masyarakat”, Jakarta, Bina Rena Pariwara.

Supriatna, Tjahya, 2000, “Strategi Pembangunan dan Kemiskinan”, Jakarta, Rineka Cipta.

Tjokrowinoto, Moeljarto, 1987, “Politik Pembangunan : Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi”, Yogyakarta, Tiara Wacana.

Tesis

Lasito, 2002, “Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan

Desa”, Tesis, Jakarta, FISIP Universitas Indonesia.zc v

Lainnya

Pemerintah Kabupaten Simalungun, 2002, “Petunjuk Pelaksanaan

Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN/K) Tahun

Anggaran 2002”, Bappeda Kabupaten Simalungun, Pematang

Siantar.

Pemerintah Kabupaten Simalungun, 2001, “Petunjuk Pelaksanaan

Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN/K) Tahun

Anggaran 2001”, Bappeda Kabupaten Simalungun, Pematang

Siantar.


(6)