44
3.4.2. Upacara Kematian di Desa Trunyan
12
Upacara kematian di Desa Trunyan berbeda dengan upacara kematian Bali pada umumnya, mengapa berbeda? Karena di Trunyan tidak mengenal adanya Ngaben bakar,
masyarakat Desa Trunyan tetap mengadakan Ngaben tetapi jenazah orang yang meninggal tidak dibakar, melainkan boneka-boneka yang terbuat dari kertas yang
menyerupai jasat orang yang meninggal dicemplungkan ke dalam Danau Batur, Itulah Ngaben bagi orang Trunyan.
Upacara kematian di Trunyan paling sedikit dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu upacara
Ngutang Mayit
dan
Ngaben.
Kedua upacara tersebut tidak diadakan bagi semua orang yang telah meninggal, karena untuk dapat diberi kedua upacara
tersebut, bergantung sekali pada kedudukan orang yang meninggal dalam masyarakat, dan cara ia meninggal. Bagi orang yang telah berumah tangga secara sah dan meninggal
secara wajar, akan diupacarakan lengkap kedua-duanya; tetapi bagi orang yang belum berumah tangga bujangan atau gadis dan meninggal secara wajar, hanya akan
diupacarakan dengan upacara
Ngutang Mayit
saja, tanpa
Ngaben.
Hal ini disebabkan karena orang tersebut, dianggap masih suci, hingga tidak perlu disucikan lagi dengan
upacara
Ngaben.
Sebaliknya bagi orang yang mati tidak secara wajar, seperti akibat bunuh diri, dibunuh orang, dihinggapi penyakit yang dapat merusak rupa wajah atau
tubuhnya seperti cacar dan lepra, selain harus diupacarakan lengkap kedua-duanya, masih harus ditambah lagi dengan upacara penyucian tambahan. Hal ini disebabkan karena roh
mereka dianggap sangat kotor.
12
Hasil wawancara dengan Pemangku Adat
45 Upacara Ngutang Mayit:
Upacara ini sebenarnya adalah upacara pemakaman yang akan diadakan mula-mula di rumah, dan kemudian dilanjutkan di tempat
pemakaman
sema wayah
bagi orang yang telah menikah dan mati wajar, atau di
sema nguda
bagi mereka yang masih bujangan dan mati wajar. Di kedua tempat pemakaman ini jenazah seorang akan dimakamkan secara
mepasah,
yakni dengan cara meletakkan saja jenazah di dalam lubang sedalam 20 scm tanpa dikubur. Atau upacara ini dilakukan
di
sema bantas
untuk mengebumikan orang yang mati tidak wajar, dengan cara di kubur. Upacara
ngutang mayit
akan diadakan segera setelah seorang meninggal dunia. Semua pakaiannya termasuk gigi emasnya dilucuti. Jenazah itu kemudian ditutupi dengan
sehelai kain batik baru, sampai menunggu kedatangan kerabat-kerabat laki-laki yang akan memandikannya. Di Trunyan kerabat-kerabat yang wajib mengurus mayat harus
orang laki-laki, walaupun yang mati adalah berjenis kelamin perempuan. Setelah itu ia disembahyangi, lalu dilanjutkan dengan upacara membersihkan giginya dengan beras
yang telah digongseng. Setelah bersih mulutnya kemudian dimasukan sebutir batu mirah, dengan maksud agar tubuhnya tidak lekas menjadi busuk. Pada setiap jari tangan dan
kaki lalu diberi
jeriji,
yang terbuat dari gulungan daun sirih yang telah dimasukkan ke dalam lubang uang
kepeng.
Sesudah itu pada masing-masing tangan digenggamkan uang perak. Pada ketika itu kedua tangan almarhum sudah di letakkan di atas alat kelaminnya
sehingga dapat tertutup dari pandangan orang. Menutupi alat kelamin perempuan dari pandangan orang laki-laki adalah suatu
keharusan, karena akan membawa kesialan bagi orang laki yang melihatnya. Setelah tubuh jenazah bersih, rambutnya kemudian diberi santan kelapa agar mengkilat, dan
seluruh tubuhnya diperciki dengan air suci. Sebelum jenazah ini ditutupi lagi dengan kain
46
batik barunya, pada ulu hatinya diletakan ramuan pemanas tubuh yang disebut
ampok,
yang terdiri dari kunyahan laos, kencur dan daun sirih. Setelah itu jenazah lalu dibungkus lagi dengan tikar dan diikat dengan beberapa utas tambang bambu. Sebelum membawa
jenazah ke tempat pemakaman, anggota dari dewan desa adat akan membacakan syair yang dinyanyikan.
Menurut adat, orang Trunyan tidak lama-lama menahan jenazah kerabatnya di rumah mereka, paling lambat hanya disemayamkan di rumahnya selama satu hari satu
malam saja. Karena letak daerah pemakaman
Sema Wayah
di pantai Danau Batur di luar desa induk Trunyan, maka untuk ke sana jenazah harus diangkat dengan biduk lesung.
Orang yang diperbolehkan mengantar jenazah hanya kaum laki-laki saja, sedangkan kaum perempuan dilarang. Hal ini disebabkan karena di sana ada kepercayaan, bahwa
hanya seorang dukun yang dapat menjadi
leyak,
atau orang yang sedang belajar ilmu gaib hitam saja yang berani ke daerah pemakaman, dan itu adalah seorang laki-laki.
Selama dalam perjalanan ke makam, jenazah diletakan di atas usungan mayat terbuat dari bambu yang disebut
Klakat.
Setelah sampai di tempat penguburan jenazah tidak segera dimasukkan ke dalam daerah pemakaman, melainkan harus menunggu
dahulu di luar batas daerah itu, karena masih harus diadakan dahulu upacara pembelian tanah pemakaman.
Hal ini disebabkan karena di daerah pemakaman hanya ada tujuh petak tanah saja, yang dapat dipergunakan untuk meletakkan mayat, sehingga jika ada mayat baru, salah
satu dari tulang belulang jenazah yang lama berada di sana harus disingkirkan. Setelah petak tanah itu dibayar dengan beberapa buah uang
kepeng,
maka
klakat
yang berisikan
47
jenazah itu dimasukkan ke dalam daerah pemakaman. Di sana jenazah dilepaskan dari bungkusannya sehingga berada dalam keadaan polos lagi, untuk diulangi lagi upacara
pemandian seperti yang telah ia peroleh sewaktu masih berada di rumah tadi. Dan batu mirah dikeluarkan dari rongga mulutnya, dengan maksud agar sejak itu, tubuhnya dapat
dengan cepat membusuk dan kembali lagi menjadi tanah, sehingga rohnya dapat dipisahkan dari ikatan tubuh kasarnya hal ini sangat dipercayai.
Sesudah upacara pemandian kedua kali itu selesai dilakukan, maka tubuh yang masih dalam keadaan polos itu diletakkan di atas petak tanah, yang telah diperuntukkan
baginya, dalam posisi terlentang, dengan kepalanya tertuju ke arah
kaja
timur ke arah bukit dan kedua kakinya ke arah
kelod
barat ke arah danau, dan kedua tangannya menutupi alat kelaminnya. Dalam keadaan ini tubuh itu diselimuti dengan kain batik
barunya dari leher ke ujung kakinya, sehingga yang terlihat tinggal kepalanya saja, yang diberi sorban handuk. Untuk melengkapi pakaiannya, pada bagian pinggangnya diberi
sabuk terbuat dari handuk yang telah dilipat menjadi sempit panjang. Setelah itu pada perut dan dada jenazah diletakan beberapa potong kue ketan
,
dan di bawah kedua bahunya diselipkan beberapa lembar uang kertas rupiah ratusan. Sebelum jenazah ini
ditutupi dengan penutup terbuat dari anyaman bambu berbentuk segi tiga, yang disebut
tanjak,
para hadirin diberi kesempatan untuk mengucapkan kata-kata perpisahan, sebelum meninggalkan tempat itu untuk kembali ke rumah masing-masing.
Ngaben: Kebudayaan di desa Trunya merupakan suatu hal yang langka, unik dan aneh karena perlakuan terhadap mayat di desa ini berbeda dengan daerah-daerah yang
lain, kebudayaan Bali yang pada umumnya mengenal “Ngaben” yaitu perlakuan
48
terhadap jenazah dengan diupacarakan dan dibakar berbeda dengan di Desa Trunyan ini, mayat hanya diletakan diatas tanah, ini merupakan suatu kebudayaan yang terus dijaga
dan dilestarikan oleh warga Desa Trunyan. Pengertian dan pemahaman akan adanya kehidupan sesudah kematian juga dimiliki oleh warga Desa Trunyan. Untuk itu budaya
Bali pada umumnya mengadakan upacara kematian dengan suatu pesta yang sangat mewah dan besar serta menghabiskan banyak biaya.
Ngaben di Desa Trunyan hanya mengarak jenazah menggunakan perahu. Setibanya di kuburan jenazah diletakkan begitu saja di dalam tanah sedalam 20 cm.
Upacara Ngaben di Trunyan biasanya diadakan secara massal, Prosesi Ngaben massal ini dilakukan untuk mengupacarai jenazah warga setempat yang belum dingabenkan. Meski
demikian, sarana bade yang dipergunakan hanya satu, dengan tujuan untuk menghemat biaya. Prosesi awalnya telah mulai dilakukan dari desa setempat, dengan menggelar
upacara penyucian seluruh sarana pengabenan, dengan diiringi gamelan angklung, dilanjutkan dengan arak-arakan. Bade yang akan dibawa ke kuburan diangkut dengan
menggunakan perahu rakit untuk penyeberangan, sama halnya dengan prosesi Ngaben di darat, saat di tengah perjalanan bade yang diusung dengan menggunakan perahu ini juga
melakukan ritual, melingkar sebanyak tiga kali. Saat sampai dikuburan, jenazah yang disimboliskan dengan benda-benda suci yang dibungkus dengan kain layaknya jenazah
manusia, diturunkan untuk diletakkan di areal kuburan, sementara, bade yang digunakan ditenggelamkan ke danau. Sebab di desa ini, prosesi pengabanen sama sekali tidak
diperkenankan dilakukan dengan cara membakar.
49
Upacara ini merupakan upacara kematian tahap kedua, di mana roh si mati dibebaskan untuk selama-lamanya dari eksistensinya dahulu. Dalam upacara ini sisa-sisa
tubuhnya tidak dibakar melainkan dibiarkan berada di tempat pemakaman. Pada akhir upacara, di mana diadakan pawai meriah, sebuah pagoda terbuat dari bambu dan kertas
warna-warni tempat membawa boneka-boneka kayu garu, yang mewakili jenazah si mati, ditenggelamkan ke dalam air Danau Batur, di muka
Sema Wayah.
3.4.3. Pembedaan perlakuan terhadap orang meninggal di Desa Trunyan.