52
dipergunakan untuk memuja sesuatu yang dianggap mempunyai kuasa yang besar atau yang Ilahi.
Dalam melaksanakan upacara kematian bagi masyarakat Trunyan tidak sembarangan, mereka memiliki aturan khusus terlebih dalam hal pemilihan waktu atau
hari yang dikenal dengan hari baik, penentuan hari baik ini ditentukan oleh pemangku sebagai penerima melalui suatu meditasi yang dilakukan di Pura desa tersebut,
masyarakat meyakini bahwa melalui meditasi yang dilakukan oleh pemangku para dewa membisikkan atau memberitahukan kapan hari baik untuk diadakan upacara kematian.
Pemilihan hari baik ini dilakukan dengan alasan suatu kepercayaan masyarakat, bahwa untuk menghadap kepada yang Ilahi dewa-dewi, Tuhan yang mereka percaya harus
pada waktu yang tepat, dan pada waktu yang tepat di hari baik itu semua masyarakat berkumpul untuk memuja lewat suatu upacara kepada yang Ilahi tersebut.
3.4.3.1. Tiga Tempat Penguburan Masyarakat Trunyan
14
Di desa Trunyan ada tiga jenis penguburan. Kuburan utama, dianggap paling suci dan paling baik. Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenazah yang
jasadnya utuh, tidak cacat, dan jenazah yang proses meninggalnya dianggap wajar bukan bunuh diri atau kecelakaan. Kuburan ini disebut dengan Sema Wayah.
Kuburan yang kedua disebut kuburan muda yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah, juga disebut bayi, dan untuk itu dikuburkan di
kuburan ke dua ini, perlakuan terhadap orang meninggal dan yang dikuburkan di kuburan kedua ini, mayatnya di gali dalam tanah tapi tidak ditimbun dengan tanah hanya di tutupi
14
Hasil wawancara dengan Pengaku Adat Desa Trunyan
53
dengan ranting-ranting pohon yang membentuk seperti sebuah rumah, namun tetap dengan syarat jenazah tersebut harus utuh dan tidak cacat.
Kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas. Kuburan ini khusus untuk jenazah yang cacat dan yang meninggal secara tidak wajar..
Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau kuburan suci Sema Wayah. Kuburan ini berlokasi sekitar 400 meter di
bagian utara desa dengan dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenazah ke kuburan harus menggunakan sampan kecil khusus jenazah yang disebut
Pedau. Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya unik, yaitu dikenal dengan istilah
Mepasah
. Jenazah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat diletakkan begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm. Sebagian badannya dari bagian dada ke atas,
dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenazah tersebut hanya dibatasi dengan ancak saji yang terbuat dari sejenis bambu membentuk semacam kerucut, digunakan untuk
memagari jenazah. Jumlah bambu yang berbentuk segi tiga digunakan untuk mengelilingi mayat adalah sama berjumlah 45 belahan bambu tetapi dibedakan antara kepala adat dan
masyarakat biasa, kalau kepala adat bambu dalam posisi gepeng, sementara kalau masyarakat bambu dalam posisi berdiri. Di Sema Wayah ini terdapat 7 liang lahat terbagi
menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenazahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu dan masih ada lima liang berjejer setelah kedua liang tadi yaitu
untuk masyarakat biasa. Kuburan utama ini yang di sakralkan dan disucikan oleh masyarakat Trunyan.
54
Orang Trunyan percaya bahwa daerah pemakaman
Sema Wayah
itu suci adanya, untuk itu tempat tersebut di sakralkan oleh masyarakat setempat, sehingga jenazah yang
diletakan di sana tidak akan mengeluar bau busuk. Dengan mempergunakan cara pe- makaman
mepasah
ini, pembusukan jenazah dapat terjadi lebih cepat jika dibandingkan dengan cara penguburan, karena dagingnya akan dimakan oleh ulat-ulat, sehingga dalam
dua tiga minggu, yang tertinggal hanya tulang belulangnya saja. Tetapi dalam proses pembusukan tersebut masyarakat maupun pengunjung yang datang ke kuburan tersebut
tidak akan mencium bau. Dan apabila ada orang yang dapat mencium bau busuk itu berarti bahwa ia sedang dalam keadaan
sebel
tidak suci. Keadaan tidak suci itu antara lain dapat disebabkan oleh datang bulan bagi perempuan.
Aturan agar mayat yang diletakkan di kuburan utama harus orang yang tidak memiliki cacat-cela tetap terus dijaga oleh masyarakat Trunyan, dan ketika ada yang
melanggar aturan tersebut maka masyarakat mempercayai keluarga dari almarhumah akan mendapatkan kesialan atau akan mendapatkan hukum karma pala yang setimpal.
Aturan lainnya lagi setiap orang yang berkunjung ke kuburan utama atau sema wayah tidak diperkenankan mengambil apapun dari dalam kuburan tersebut kecuali
gambarfoto, kepercayaan masyarakat Trunyan ketika ada orang yang mengambil benda dari dalam kuburan tersebut maka dia akan mendapatkan gangguan dari para arwah dan
dewa yang ada dikuburan tersebut. Suatu kisah nyata diceritakan oleh beberapa masyarakat bahkan kepala desa, dan
kepala adat. Ada seorang turis asing yang tertarik dengan uniknya tempat tersebut sampai membuat turis itu penasaran dan secara diam-diam pada waktu malam menggunakan
speedboat ke kuburan sema wayah dan mengambil tengkorak, tulang kaki, tulang tangan,
55
dan tulang belakang dari kuburan tersebut, ketika turis itu sampai di penginapan tulang- tulang tersebut bergerak dengan sendirinya, sehingga turis tersebut mengembalikan
kembali tulang-tulang tersebut dan melapor kepada kepala desa dan kepala adat sehingga diupacarai agar turis tersebut tidak diganggui lagi oleh dewa penjaga kuburan tersebut
yang tidak suka dengan hal yang tidak baik yang dilakukan di kuburan tersebut, dan arwah-arwah orang meninggal yang dikuburkan disitu. Dalam upacara tersebut orang
yang mencuri meminta maaf kepada dewa penghuni kuburan, dan kepada keluargamasyarakat desa Trunyan.
Aturan-aturan tersebut hadir dan dibuat karena tempat tersebut merupakan tempat yang disakralkan oleh masyarakat Trunyan sebagai tempat penghormatan terhadap
leluhur dan arwah orang yang sudah meninggal.
Desa Trunyan memang merupakan desa Tua di Bali, yang masih memegang teguh warisan dan tradisi leluhur. Sehingga sistim penguburan yang berbeda dengan daerah-
daerah yang lain tetap terus dipelihara oleh masyarakat Trunyan. Masyarakat Trunyan yang menganut agama Hindu yang juga mempercayai adanya hukum karma, sehingga
masyarakat Trunyan berusaha untuk menjalani kehidupan mereka dengan melakukan segala yang baik agar hal yang baik pula boleh mereka terima serta anak cucu mereka di
kehidupan dan generasi selanjutnya.
3.4.3.2. Pohon Tarumenyan sebagai Pohon Suci.