Kajian Dampak Kebisingan (Dalam Lingkungan Pabrik) Terhadap Penurunan Tingkat Pendengaran Karyawan Di Kawasan Industri Kota Tangerang

(1)

KAJIAN DAMPAK KEBISINGAN

(DALAM LINGKUNGAN PABRIK)

TERHADAP PENURUNAN TINGKAT PENDENGARAN KARYAWAN

DI KAWASAN INDUSTRI KOTA TANGERANG

HERI ISKANDAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “KAJIAN DAMPAK KEBISINGAN (DALAM LINGKUNGAN PABRIK) TERHADAP PENURUNAN PENDENGARAN KARYAWAN DI KAWASAN INDUSTRI KOTA TANGERANG” adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2007


(3)

ABSTRAK

HERI ISKANDAR. Kajian Dampak Kebisingan (Dalam Lingkungan Pabrik) terhadap Penurunan Tingkat Pendengaran Karyawan di Kawasan Industri Kota Tangerang. Di bawah bimbingan: SURJONO H. SUTJAHJO, SRI BUDIARTI, dan IMAM SANTOSA.

Penurunan tingkat pendengaran adalah salah satu dampak negatif pencemaran lingkungan sebagai akibat dari intensitas suara dari mesin modern selama proses produksi. Kota Tangerang merupakan salah satu kawasan industri di Indonesia yang berpeluang menimbulkan pencemaran udara. Tujuan penelitian adalah mengukur tingkat kebisingan indoor dan mengidentifikasi tingkat gangguan pendengaran para karyawan, mengkaji variabel paling dominan yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran para karyawan, dan mengkaji bentuk keterkaitan antara kebisingan dan penurunan tingkat pendengaran. Variable eksternal yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran pada penelitian ini adalah umur, masa kerja, riwayat penyakit yang berhubungan dengan pendengaran (otitis media, hypertensi, trauma capitis, TBC, dan diabetes melitus), dan kebisingan tempat tinggal. Penelitian dilakukan pada Bulan April sampai dengan Mei 2006 di Kawasan Industri Kota Tangerang. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode observasi (expost facto) dengan pendekatan cross sectional. Industri terpilih dalam penelitian ini sebanyak 30 industri yang terdiri atas 8 industri pangan, 6 industri baja, 5 industri kayu/furniture, 3 industri kulit/sepatu, 4 industri tekstil, dan 4 industri plastik, dengan jumlah responden 300 orang. Berdasarkan hasil penelitian kebisingan tempat kerja yang melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan (85 db) adalah industri baja mencapai 96,02 db, industri tekstil mencapai 88,13 db, dan industri kayu/furniture mencapai 88,12 db. Faktor dominan utama yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran karyawan adalah kebisingan tempat tinggal, penyakit, umur (industri pangan), masa kerja (industri baja dan kayu/furniture), kebisingan tempat tinggal dan penyakit (industri kulit/sepatu), umur (industri tekstil), dan penyakit (industri plastik). Berdasarkan hasil analisis

spearman correlation, penurunan tingkat pendengaran karyawan berkorelasi positif nyata dengan umur, masa kerja, penggunaan alat pelindung telinga dan riwayat penyakit yang berhubungan dengan pendengaran karyawan (otitis media, hypertensi, trauma capitis, TBC, dan diabetes melitus).


(4)

ABSTRACT

HERI ISKANDAR. Study of Noise Impact (Indoor) on the Employees Hearing Loss in Tangerang Municipality Industrial Estate. Supervised by: SURJONO H. SUTJAHJO, SRI BUDIARTI, and IMAM SANTOSA.

Hearing loss is the one environment negative impact from the modern machine intensity as long their productivity. Tangerang Municipality is the one Industry Estate in Indonesia that has opportunity of air pollution. The Purpose the research are to measure indoor noise degree and to identify noise disturbs the employees, study of dominant variable that effect of hearing loss to employees, and study of relations between noise and listener. External variable that have impact to hearing loss in this research are age, time of work, story of healthy that have relation with listener (otitis media, hypertension, capitis trauma, TBC, and diabetes melitus), and noise in their settlements. This research was done in April until May 2006 in Tangerang Municipality Industrial Estate. Approach of research observation (expost facto) method and cross sectional approach. Choice of Industries in this research for 30 industries, where eight (8) food industries, six (6) steel industries, five (5) wood industries, three (3) leather/shoes industries, four (4) textile industries, and four (4) plastics industries, the number of respondents are 300 people. Base on the research noise in the office that have noise value more than floating rate limited (85 db) are steel industry (96,02 db), textile industry (88,13 db), and wood industry/furniture (88,12 db). Dominant factors that have a primary effect to the employees hearing loss are settlement noise, illness, age (food industries). Time of Work (steel industries and steel/furniture industries), noise in settlement and illness (wood and leather/shoes Industries), age (textile industries), and illness (plastic industries). Base on spearman correlation analysis, the employees hearing loss have positive correlation with age, time of work, using of ear protection instrument and illness story that have relations with employees (otitis media, hypertension, capitis trauma, TBC, and diabetes melitus).


(5)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(6)

KAJIAN DAMPAK KEBISINGAN

(DALAM LINGKUNGAN PABRIK)

TERHADAP PENURUNAN TINGKAT PENDENGARAN KARYAWAN

DI KAWASAN INDUSTRI KOTA TENGERANG

HERI ISKANDAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sain pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

Judul Tesis : Kajian Dampak Kebisingan (Dalam Lingkungan Pabrik) Terhadap Penurunan Tingkat Pendengaran Karyawan Di Kawasan Industri Kota Tangerang

Nama Mahasiswa : Heri Iskandar

N R P : P052040131

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S K e t u a

Dr. dr. Sri Budiarti Dr. Ir. Imam Santosa, M.S

A n g g o t a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur, penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga tesis dengan judul KAJIAN DAMPAK KEBISINGAN (DALAM LINGKUNGAN PABRIK) TERHADAP PENURUNAN TINGKAT PENDENGARAN KARYAWAN DI KAWASAN INDUSTRI KOTA TANGERANG, dapat diselesaikan tepat waktu. Tujuan penelitian adalah mengukur tingkat kebisingan indoor dan mengidentifikasi tingkat gangguan pendengaran para karyawan, mengkaji variabel paling dominan yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran para karyawan, dan mengkaji bentuk keterkaitan antara kebisingan dan penurunan tingkat pendengaran.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1). Kedua orang tua yang telah memberikan doa dan motivasi.

2). Dwi Rahayu Lestari (Istri), Alfian Muhammad Mufid (putra), dan Bilqis Ratu Herissa (putri) yang telah memberikan dorongan dan pengertiannya.

3). Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan pada penelitian ini.

4). Dr. dr. Sri Budiarti dan Dr. Ir. Imam Santosa, MS selaku anggota komisi yang telah memberikan masukan dalam penyempurnaan tesis. 5). dr. Nuruman Machjudin, Mkes selaku Kepala Dinas Kota Tangerang

yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti studi lanjut di IPB.

6). Taman-teman se-angkatan yang telah banyak membantu selama mengikuti proses belajar di IPB.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian, dan sebagai tambahan literatur bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2007 Heri Iskandar


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 5 Juli 1970 dari ayah bernama Kusman Edi Kusuma dan ibu bernama E. Rohati. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2002, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu pada Fakultas Kesehatan Masyarakat, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Universitas Indonesia. Tahun 1991, penulis tercatat sebagai staf Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Pada tahun 1993, penulis dipercaya menjadi Kasubsi Tempat-tempat Umum dan Industri pada Dinas Kesehatan Kota Tangerang. Tahun 1995, penulis dipercaya menjadi Kasubsi Penyehatan Lingkungan. Pada tahun 1997, penulis dipercaya menjadi Kepala Seksi kesehatan Kerja pada instansi yang sama. Pada tahun 2002, penulis dipercaya menjadi Kasi pengawasan Makanan dan Muniman, Subdin POM Dinas Kesehatan Kota Tangerang.


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN Xiii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Kerangka Pemikiran ……….………... 5

1.3. Perumusan Masalah ……….……….. 6

1.4. Tujuan Penelitian ……….……… 8

1.5. Hipotesa Penelitian ……….. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suara dan Kebisingan ………. 9

2.1.1. Pengertian Suara atau Bunyi ……… 9

2.1.2. Pengertian Kebisingan ………... 11

2.2. Anatomi dan Fisiologi Indra Pendengaran Manusia ………... 13

2.2.1. Anatomi Telinga ……….. 13

2.2.2. Fisiologi Telinga ……….. 15

2.3. Pemajanan Suara Bising di Lingkungan ……….. 16

2.4. Kebisingan dan Kesehatan Masyarakat ……… 19

2.4.1. Kebisingan dan Regulasi ……….. 20

2.4.2. Kebisingan dan Risiko pada Pendengaran Manusia. 22

III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu ………... 26

3.2 Rancangan Penelitian ……….. 27

3.2.1. Studi Tingkat Kebisingan Indoor dan Identifikasi Tingkat Pendengaran Karyawan……….. 27

3.2.2. Identifikasi Komponen Utama yang Berpengaruh terhadap Pendengaran Karyawan ……….. 30

3.2.3. Studi Keterkaitan Tingkat Kebisingan dalam Penurunan Pendengaran Karyawan ……… 30

3.3. Definisi Operasional ………. 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……… 32

4.2 Studi Tingkat Kebisingan Indoor dan Identifikasi Tingkat Pendengaran Karyawan ... 34

4.3 Identifikasi Komponen Utama yang Berpengaruh terhadap Pendengaran Karyawan ... 37

4.4 Studi Keterkaitan Tingkat Kebisingan dengan Penurunan Pendengaran Karyawan ... 51

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 58

5.2 Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA 59


(11)

KAJIAN DAMPAK KEBISINGAN

(DALAM LINGKUNGAN PABRIK)

TERHADAP PENURUNAN TINGKAT PENDENGARAN KARYAWAN

DI KAWASAN INDUSTRI KOTA TANGERANG

HERI ISKANDAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “KAJIAN DAMPAK KEBISINGAN (DALAM LINGKUNGAN PABRIK) TERHADAP PENURUNAN PENDENGARAN KARYAWAN DI KAWASAN INDUSTRI KOTA TANGERANG” adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2007


(13)

ABSTRAK

HERI ISKANDAR. Kajian Dampak Kebisingan (Dalam Lingkungan Pabrik) terhadap Penurunan Tingkat Pendengaran Karyawan di Kawasan Industri Kota Tangerang. Di bawah bimbingan: SURJONO H. SUTJAHJO, SRI BUDIARTI, dan IMAM SANTOSA.

Penurunan tingkat pendengaran adalah salah satu dampak negatif pencemaran lingkungan sebagai akibat dari intensitas suara dari mesin modern selama proses produksi. Kota Tangerang merupakan salah satu kawasan industri di Indonesia yang berpeluang menimbulkan pencemaran udara. Tujuan penelitian adalah mengukur tingkat kebisingan indoor dan mengidentifikasi tingkat gangguan pendengaran para karyawan, mengkaji variabel paling dominan yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran para karyawan, dan mengkaji bentuk keterkaitan antara kebisingan dan penurunan tingkat pendengaran. Variable eksternal yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran pada penelitian ini adalah umur, masa kerja, riwayat penyakit yang berhubungan dengan pendengaran (otitis media, hypertensi, trauma capitis, TBC, dan diabetes melitus), dan kebisingan tempat tinggal. Penelitian dilakukan pada Bulan April sampai dengan Mei 2006 di Kawasan Industri Kota Tangerang. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode observasi (expost facto) dengan pendekatan cross sectional. Industri terpilih dalam penelitian ini sebanyak 30 industri yang terdiri atas 8 industri pangan, 6 industri baja, 5 industri kayu/furniture, 3 industri kulit/sepatu, 4 industri tekstil, dan 4 industri plastik, dengan jumlah responden 300 orang. Berdasarkan hasil penelitian kebisingan tempat kerja yang melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan (85 db) adalah industri baja mencapai 96,02 db, industri tekstil mencapai 88,13 db, dan industri kayu/furniture mencapai 88,12 db. Faktor dominan utama yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran karyawan adalah kebisingan tempat tinggal, penyakit, umur (industri pangan), masa kerja (industri baja dan kayu/furniture), kebisingan tempat tinggal dan penyakit (industri kulit/sepatu), umur (industri tekstil), dan penyakit (industri plastik). Berdasarkan hasil analisis

spearman correlation, penurunan tingkat pendengaran karyawan berkorelasi positif nyata dengan umur, masa kerja, penggunaan alat pelindung telinga dan riwayat penyakit yang berhubungan dengan pendengaran karyawan (otitis media, hypertensi, trauma capitis, TBC, dan diabetes melitus).


(14)

ABSTRACT

HERI ISKANDAR. Study of Noise Impact (Indoor) on the Employees Hearing Loss in Tangerang Municipality Industrial Estate. Supervised by: SURJONO H. SUTJAHJO, SRI BUDIARTI, and IMAM SANTOSA.

Hearing loss is the one environment negative impact from the modern machine intensity as long their productivity. Tangerang Municipality is the one Industry Estate in Indonesia that has opportunity of air pollution. The Purpose the research are to measure indoor noise degree and to identify noise disturbs the employees, study of dominant variable that effect of hearing loss to employees, and study of relations between noise and listener. External variable that have impact to hearing loss in this research are age, time of work, story of healthy that have relation with listener (otitis media, hypertension, capitis trauma, TBC, and diabetes melitus), and noise in their settlements. This research was done in April until May 2006 in Tangerang Municipality Industrial Estate. Approach of research observation (expost facto) method and cross sectional approach. Choice of Industries in this research for 30 industries, where eight (8) food industries, six (6) steel industries, five (5) wood industries, three (3) leather/shoes industries, four (4) textile industries, and four (4) plastics industries, the number of respondents are 300 people. Base on the research noise in the office that have noise value more than floating rate limited (85 db) are steel industry (96,02 db), textile industry (88,13 db), and wood industry/furniture (88,12 db). Dominant factors that have a primary effect to the employees hearing loss are settlement noise, illness, age (food industries). Time of Work (steel industries and steel/furniture industries), noise in settlement and illness (wood and leather/shoes Industries), age (textile industries), and illness (plastic industries). Base on spearman correlation analysis, the employees hearing loss have positive correlation with age, time of work, using of ear protection instrument and illness story that have relations with employees (otitis media, hypertension, capitis trauma, TBC, and diabetes melitus).


(15)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(16)

KAJIAN DAMPAK KEBISINGAN

(DALAM LINGKUNGAN PABRIK)

TERHADAP PENURUNAN TINGKAT PENDENGARAN KARYAWAN

DI KAWASAN INDUSTRI KOTA TENGERANG

HERI ISKANDAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sain pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(17)

Judul Tesis : Kajian Dampak Kebisingan (Dalam Lingkungan Pabrik) Terhadap Penurunan Tingkat Pendengaran Karyawan Di Kawasan Industri Kota Tangerang

Nama Mahasiswa : Heri Iskandar

N R P : P052040131

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S K e t u a

Dr. dr. Sri Budiarti Dr. Ir. Imam Santosa, M.S

A n g g o t a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(18)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur, penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga tesis dengan judul KAJIAN DAMPAK KEBISINGAN (DALAM LINGKUNGAN PABRIK) TERHADAP PENURUNAN TINGKAT PENDENGARAN KARYAWAN DI KAWASAN INDUSTRI KOTA TANGERANG, dapat diselesaikan tepat waktu. Tujuan penelitian adalah mengukur tingkat kebisingan indoor dan mengidentifikasi tingkat gangguan pendengaran para karyawan, mengkaji variabel paling dominan yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran para karyawan, dan mengkaji bentuk keterkaitan antara kebisingan dan penurunan tingkat pendengaran.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1). Kedua orang tua yang telah memberikan doa dan motivasi.

2). Dwi Rahayu Lestari (Istri), Alfian Muhammad Mufid (putra), dan Bilqis Ratu Herissa (putri) yang telah memberikan dorongan dan pengertiannya.

3). Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan pada penelitian ini.

4). Dr. dr. Sri Budiarti dan Dr. Ir. Imam Santosa, MS selaku anggota komisi yang telah memberikan masukan dalam penyempurnaan tesis. 5). dr. Nuruman Machjudin, Mkes selaku Kepala Dinas Kota Tangerang

yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti studi lanjut di IPB.

6). Taman-teman se-angkatan yang telah banyak membantu selama mengikuti proses belajar di IPB.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian, dan sebagai tambahan literatur bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2007 Heri Iskandar


(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 5 Juli 1970 dari ayah bernama Kusman Edi Kusuma dan ibu bernama E. Rohati. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2002, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu pada Fakultas Kesehatan Masyarakat, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Universitas Indonesia. Tahun 1991, penulis tercatat sebagai staf Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Pada tahun 1993, penulis dipercaya menjadi Kasubsi Tempat-tempat Umum dan Industri pada Dinas Kesehatan Kota Tangerang. Tahun 1995, penulis dipercaya menjadi Kasubsi Penyehatan Lingkungan. Pada tahun 1997, penulis dipercaya menjadi Kepala Seksi kesehatan Kerja pada instansi yang sama. Pada tahun 2002, penulis dipercaya menjadi Kasi pengawasan Makanan dan Muniman, Subdin POM Dinas Kesehatan Kota Tangerang.


(20)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN Xiii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Kerangka Pemikiran ……….………... 5

1.3. Perumusan Masalah ……….……….. 6

1.4. Tujuan Penelitian ……….……… 8

1.5. Hipotesa Penelitian ……….. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suara dan Kebisingan ………. 9

2.1.1. Pengertian Suara atau Bunyi ……… 9

2.1.2. Pengertian Kebisingan ………... 11

2.2. Anatomi dan Fisiologi Indra Pendengaran Manusia ………... 13

2.2.1. Anatomi Telinga ……….. 13

2.2.2. Fisiologi Telinga ……….. 15

2.3. Pemajanan Suara Bising di Lingkungan ……….. 16

2.4. Kebisingan dan Kesehatan Masyarakat ……… 19

2.4.1. Kebisingan dan Regulasi ……….. 20

2.4.2. Kebisingan dan Risiko pada Pendengaran Manusia. 22

III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu ………... 26

3.2 Rancangan Penelitian ……….. 27

3.2.1. Studi Tingkat Kebisingan Indoor dan Identifikasi Tingkat Pendengaran Karyawan……….. 27

3.2.2. Identifikasi Komponen Utama yang Berpengaruh terhadap Pendengaran Karyawan ……….. 30

3.2.3. Studi Keterkaitan Tingkat Kebisingan dalam Penurunan Pendengaran Karyawan ……… 30

3.3. Definisi Operasional ………. 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……… 32

4.2 Studi Tingkat Kebisingan Indoor dan Identifikasi Tingkat Pendengaran Karyawan ... 34

4.3 Identifikasi Komponen Utama yang Berpengaruh terhadap Pendengaran Karyawan ... 37

4.4 Studi Keterkaitan Tingkat Kebisingan dengan Penurunan Pendengaran Karyawan ... 51

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 58

5.2 Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA 59


(21)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Penentuan skor pada tiap variabel pengamatan ... 31 2 Jenis dan jumlah industri terpilih dan jumlah responden

(karyawan) ... 34 3 Hasil analisis komponen utama terhadap variabel ekternal

dominan yang berpengaruh pada peluang munculnya penyakit tuli ringan hingga tuli berat yang diderita karyawan ………. 44 4 Karyawan dengan karakteristik tidak bermukim di areal bising dan

tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan

pendengaran namun menderita gangguan pendengaran …...…….. 50 5 Hasil analisis spearman correlation hubungan antara variabel

eksternal dan tingkat pendengaran karyawan ... 55 6 Analisis varian regresi hubungan antara penurunan tingkat


(22)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Pemaparan kebisingan berdasarkan teori simpul (Fahmi 1997) ... 4 2 Bagan alir penelitian kajian dampak kebisingan terhadap

kesehatan pendengaran ………... 6 3 Irisan telinga dan bagian-bagian yang berfungsi sebagai alat

pendengar (Pearce 2002) ………... 15 4 Lokasi industri yang digunakan sebagai sampel penelitian ……….. 26 5 Alat-alat yang digunakan dalam pengukuran tingkat kebisingan dan

tingkat pendengaran... 28 6 Pemeriksaan tingkat pendengaran karyawan ……….… 38 7 Komposisi kisaran tingkat pendengaran karyawan yang bekerja

pada proses produksi ... 35 8 Komposisi kisaran tingkat kebisingan minimum dan maksimum

masing-masing industri ... 37 9 Pola sebaran karakteritik kebisingan tempat tinggal para karyawan

pada keenam industri ... 38 10 Komposisi umur karyawan yang bekerja pada proses produksi

pada masing-masing industri ... 39 11 Komposisi masa kerja karyawan yang bekerja pada proses

produksi pada masing-masing industri ... 40 12 Pola sebaran riwayat penyakit para karyawan pada keenam

industri ... 41 13 Pola sebaran penggunaan apt bagi para karyawan pada

masing-masing industri ... 42 14 Dendogram sebaran kelompok industri hasil analisis klaster: (a)

variabel eksternal pemicu penyakit tuli ringan, dan (b) variabel

eksternal pemicu penyakit tuli sedang ... 47 15 Pola sebaran masa kerja karyawan pada masing-masing industri .. 48


(23)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kuisioner responden ………... 61 2. Rekapitulasi hasil penelitian pada industri pangan ………... 62 3. Rekapitulasi hasil penelitian pada industri baja …. ……….. 65 4. Rekapitulasi hasil penelitian pada industri kayu dan furniture ..….. 68 5. Rekapitulasi hasil penelitian pada industri kulit/ sepatu ….……….. 70 6. Rekapitulasi hasil penelitian pada industri tekstil ……….. 72 7. Rekapitulasi hasil penelitian pada industri plastik ………. 74 8. Hasil pengukuran tingkat kebisingan pada industri terpilih ……... 76 9. Distribusi gangguan pendengaran responden pada

masing-masing industri ……… 77

10. Distribusi umur responden pada masing-masing industri ………… 78 11. Distribusi masa kerja responden pada masing-masing industri ….. 79 12. Distribusi riwayat penyakit responden pada masing-masing

industri ……….. 80

13. Distribusi kebisingan tempat tinggal responden umur responden

pada masing-masing industri ………... 81 14. Distribusi penggunaan alat pelindung telinga responden pada

masing-masing industri ………. 82 15. Hasil analisis komponen utama variabel eksternal terhadap

munculnya penyakit tuli ringan pada enam industri terpilih ………. 83 16. Hasil analisis komponen utama variabel eksternal terhadap

munculnya penyakit tuli sedang pada enam industri terpilih ……... 84 17. Hasil analisis komponen utama variabel eksternal pemicu

penurunan tingkat pendengaran pada masing-masing pada enam terpilih ………...

85 18. Hasil analisis regresi hubungan tingkat kebisingan pada industri

pangan terhadap penurungan tingkat pendengaran karyawan …. 88 19. Hasil analisis regresi hubungan tingkat kebisingan pada industri

baja terhadap penurungan tingkat pendengaran karyawan ……... 90 20. Hasil analisis regresi hubungan tingkat kebsingan pada industri

kayu/furniture terhadap penurunan tingkat pendengaran karyawan 92 21. Hasil analisis regresi hubungan tingkat kebsingan pada industri

kulit/sepatu terhadap penurunan tingkat pendengaran karyawan ... 94 22. Hasil analisis regresi hubungan tingkat kebsingan pada industri

tekstil terhadap penurunan tingkat pendengaran karyawan ... 96 23. Hasil analisis regresi hubungan tingkat kebsingan pada industri


(24)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Permasalahan lingkungan hidup, atau sering dikenal dengan lingkungan, telah mendapatkan perhatian besar di hampir semua negara. Perhatian besar terhadap lingkungan ini terjadi terutama pada dasawarsa 1970-an setelah diadakannya Konverensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stokholm pada tahun 1972 (Sumarwoto 2004). Berdasarkan pergeseran paradigma tersebut, berbagai negara, termasuk Indonesia, mulai meningkatkan perhatian pada permasalahan lingkungan. Perhatian yang dilakukan tidak hanya dalam mengatasi permasalahan lingkungan yang telah terjadi, tetapi juga meningkatkan upaya perencanaan kegiatan pembangunan untuk meminimalisasi kemungkinan munculnya permasalahan lingkungan yang baru.

Salah satu sektor pembangunan di Indonesia yang berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan adalah sektor industri. Kemajuan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup masyarakat merupakan dua faktor yang berpengaruh pada peningkatan aktivitas industri. Peningkatan aktivitas industri merupakan salah satu upaya untuk memenuhi target produksi sesuai dengan permintaan pasar. Pengunaan mesin modern tersebut adalah salah satu bentuk keterlibatan kemajuan teknologi pada proses produksi untuk memenuhi kualitas dan kuantitas produk sekaligus mencapai target produksi yang telah ditetapkan.

Pencapaian target produksi tidak saja ditentukan oleh kepekaan perusahaan terhadap kemajuan teknologi, tetapi juga kinerja para karyawan selama melakukan aktivitas produksi. Hal ini disebabkan karena tidak semua aktivitas produksi dapat mengandalkan tenaga mesin, melainkan juga memerlukan tenaga manusia dalam bentuk tenaga kerja (karyawan). Kinerja para karyawan sangat bergantung pada kesehatan masing-masing karyawan. Penggunaan mesin modern, ternyata juga berpengaruh pada kesehatan tenaga kerja pada suatu perusahaan. Guna tetap menjaga keberlanjutan kinerja mereka, maka perlindungan kesehatan para karyawan adalah suatu keharusan bagi perusahaan. Salah satu upaya perlindungan kesehatan adalah melindungi para karyawan dari pengaruh sumber pencemaran yang berpotensi muncul pada saat proses produksi. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh pengusaha pada para karyawan yang bekerja pada berbagai jenis industri adalah menggunakan


(25)

2

berbagai jenis alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis pencemaran yang dihadapi.

Salah satu sumber pencemaran yang potensial menimbulkan gangguan kesehatan karyawan pada industri adalah kebisingan. Kebisingan dihasilkan dari serangkaian proses mekanik yang ada pada aktivitas industri. Kebisingan yang dihadapi oleh para karyawan dan terjadi secara terus menerus akan menimbulkan beberapa risiko kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan penurunan tingkat pendengaran.

Pengaruh kebisingan pada tingkat pendengaran para karyawan industri merupakan permasalahan yang terus mendapatkan perhatian pada tahun-tahun terakhir ini (Eleftheriou 2001). Suma’mur (1980) menyatakan bahwa penurunan tingkat pendengaran yang diderita para karyawan dapat bersifat sementara dan/atau permanen bergantung pada intensitas dan jam kerja yang diperkenankan. Disamping intensitas dan jam kerja, penurunan tingkat pendengaran juga dipengaruhi oleh jenis industri (Eleftheriou 2001). Lebih lanjut Miyakita dan Ueda (1997) menyatakan bahwa gaya hidup, riwayat penyakit telinga, pola konsumsi obat-obatan, trauma kepala, dan genetik adalah beberapa faktor yang dapat menimbulkan penurunan tingkat pendengaran, sehingga perlu diperhatikan sebagai faktor penentu disamping faktor utama yaitu kebisingan.

Pengaruh utama kebisingan pada manusia adalah kerusakan pada bagian-bagian indra pendengaran yang menyebabkan ketulian progresif, yang secara umum telah diketahui dan diterima untuk berabad-abad lamanya (Suma’mur 1980). Kondisi demikian, jika terjadi pada seluruh karyawan industri akan mengakibatkan kerugian yang diderita oleh karyawan. Kerugian yang dimaksud meliputi kerugian materiil untuk biaya pengobatan, kehilangan kenikmatan dalam hal pendengaran, maupun kerugian moril akibat cacat, dan menimbulkan rasa hilang kepercayaan diri bagi karyawan tersebut.

Penurunan tingkat pendengaran karyawan seharusnya dapat diminimalisasi melalui perlindungan para karyawan dalam bentuk program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sebagai bentuk bentuk kepedulian perusahaan pada kesehatan para karyawan. Pada kenyataannya, fenomena yang muncul saat ini adalah penurunan tingkat pendengaran karyawan masih merupakan salah satu kasus pada bidang industri dan kesehatan kerja.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, penurunan tingkat pendengaran merupakan salah satu permasalahan lingkungan di kawasan industri yang harus


(26)

ditangani dengan baik. Kota Tangerang merupakan salah satu kawasan industri di Indonesia yang memiliki peluang menghadapi permasalahan kebisingan. Risiko akibat terpaparnya para karyawan oleh faktor kebisingan perlu dipantau secara rutin. Pada empat tahun terakhir, jumlah kunjungan karyawan dari berbagai industri pada klinik perusahaan dan puskesmas rujukan mengalami peningkatan yang signifikan dengan berbagai keluhan yang diduga merupakan hasil terpaparnya para karyawan oleh kebisingan.

Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa pengendalian dampak kebisingan pada berbagai industri di Kota Tangerang dapat dikatakan memiliki efektifitas relatif rendah. Guna memperoleh gambaran efisiensi dan efektifitas upaya pengendalian dampak kebisingan secara konkrit, serta faktor-faktor dominan yang mempengaruhi penurunan tingkat pendengaran, maka perlu dikaji dampak kebisingan terhadap kesehatan pendengaran karyawan. Besaran risiko yang akan diterima para karyawan dari sumber pencemaran berupa kebisingan dikaji dengan menggunakan teori simpul sebagaimana disajikan pada Gambar 1.


(27)

SUMBER TRANSMISI TARGET DAMPAK

MESIN ƒ Jenis

ƒ Umur (pemeliharaan)

ƒ Jenis Peredam yang digunakan

UDARA ƒ Arah angin

ƒ Ventilasi

ƒ Jenis dinding Frekuensi dan Amplitudo

KARYAWAN ƒ Tempat tinggal

ƒ Umur pekerja

ƒ Lama bekerja

ƒ Riwayat penyakit pendengaran

ƒ Jenis dan Lama penggunaan APT

ƒ Tuli permanen

ƒ

Sembuh

Gambar 1. Jalur pemaparan kebisingan berdasarkan teori simpul (Fahmi 1997)

SIMPUL 1 SIMPUL 2 SIMPUL 3 SIMPUL 4


(28)

1.2. Kerangka Pemikiran

Kemajuan teknologi memberikan keberpihakan pada berbagai perusahaan yang bergerak di sektor industri di Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar dengan kualitas sesuai dengan standar yang ditetapakan. Tingginya permintaan pasar mendorong berbagai perusahaan untuk menggunakan mesin modern pada proses produksi sehingga target produksi dapat tercapai dengan baik. Fenomena ini juga terjadi di Kota Tangerang sebagai salah satu kawasan industri di Indonesia. Penggunaan mesin modern

tersebut, selain berdampak positif dalam bentuk tercapainya target produksi, tetapi juga berpeluang menimbulkan dampak negatif sebagai salah satu sumber pencemaran apabila tidak dikelola dengan baik dan benar.

Mesin-mesin modern yang digunakan selama proses produksi pada berbagai industri di Kota Tangerang, berpotensi menimbulkan kebisingan dan berdampak negatif berupa penurunan tingkat pendengaran para karyawan. Guna memberikan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja bagi para karyawan, maka upaya pengendalian dampak tersebut perlu dilakukan secara tepat dan benar. Salah satu upaya untuk meminimalkan risiko yang ditimbulkan dari kebisingan adalah penggunaan alat pelindung telinga, yang juga telah diterapkan oleh perusahaan yang bergerak pada sektor industri di Kota Tangerang. Namun kenyataan yang ada adalah adanya indikasi meningkatnya keluhan terkait dengan kesehatan pendengaran para karyawan industri di Kota Tangerang.

Indikasi meningkatnya keluhan tersebut terlihat pada meningkatnya kunjungan para karyawan pada klinik perusahaan dan puskesmas rujukan. Permasalahan tersebut merupakan salah satu bentuk rendahnya efektifitas dan efisiensi pengendalian kebisingan sebagai salah satu sumber pencemaran di lingkungan kerja (pabrik) di Kota Tangerang. Mengingat Kota Tangerang sebagai salah satu kawasan industri di Indonesia dan jumlah karyawan yang potensial terkena dampak relatif banyak, maka kajian tentang analisis dampak kebisingan pada karyawan industri, khususnya pencemaran kebisingan indoor perlu dilakukan.

Kajian tersebut bertujuan untuk melihat hubungan antara kebisingan

indoor dan penurunan tingkat pendengaran para karyawan. Hasil kajian tersebut diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan berbagai perusahaan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengendalian kebisingan, dan meningkatkan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja para karyawan,


(29)

6

sehingga pencapaian target produksi dan kestabilan kinerja para karyawan dapat dipertahankan. Kerangka pemikiran penelitian sebagai dasar kajian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Bagan alir penelitian kajian dampak kebisingan terhadap kesehatan karyawan

1.3. Perumusan Masalah

Aktifitas industri tidak bisa lepas dari proses mekanik, yang pada akhirnya menghasilkan kebisingan (Mardji 2005). Bising di tempat kerja adalah masalah utama pada kesehatan kerja di berbagai negara dan diperkirakan sedikitnya 7 juta orang (35 % dari populasi total industri) terpajan bising (Davis 1994). Dampak negatif kebisingan akan mengakibatkan ketulian sesuai dengan beberapa laporan yang menyebutkan bahwa masih banyaknya pekerja yang

AKTIVITAS PERUSAHAAN

DI KAWASAN INDUSTRI KOTA TANGERANG

PENCEMARAN

KEBISINGAN

DAMPAK POSITIF DAMPAK NEGATIF

UDARA AIR

TANAH

INDOOR OUTDOOR

KESEHATAN KARYAWAN

(PENURUNAN TINGKAT PENDENGARAN)

JENIS INDUSTRI TEMPAT TINGGAL

UMUR MASA KERJA RIWAYAT PENYAKIT

PENGGUNAAN APD

Keterangan:

= Tidak diamati secara langsung = Diamati secara langsung


(30)

mengalami ketulian sebagai akibat dari tingkat bising melebihi batas ambang pendengaran normal manusia (Mardji 2005). Ketulian yang terjadi dalam industri menduduki urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa (Olishifski 1994). Pajananbising lebih dari 90 dB (A) akan mengakibatkan ketulian secara bermakna pada 27 % kelompok yang terpajan, sedangkan pada intensitas pajanan 95 dB (A) akan menimbulkan ketulian secara bermakna pada 36 % dari kelompok terpajan (Green 1992).

Kota Tangerang merupakan salah satu kawasan industri di Indonesia yang berpotensi menghadapi permasalahan terkait dengan pencemaran kebisingan, secara khusus terhadap para karyawan. Telah dikemukakan sebelumnya, kebisingan memberikan dampak negatif pada kesehatan para karyawan, sehingga perlu diantisipasi guna meminimalisasi dampak negatif tersebut. Salah satu upaya minimalisasi dampak kebisingan adalah penggunaan alat pelindung telinga bagi para karyawan yang dekat dengan sumber bising. Namun demikian, keberhasilan pengendalian kebisingan sangat ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya kesadaran para karyawan tentang proses ketulian, pendidikan dan pelatihan, dan faktor individu yang meliputi pendidikan, pengalaman, umur dan pelatihan tentang penggunaan alat pelindung telinga (Mardji 2005).

Fenomena yang terjadi di Kota Tangerang adalah masih tingginya angka keluhan para karyawan terkait dengan masalah kebisingan dan gangguan kesehatan, khususnya penurunan tingkat pendengaran. Pada empat tahun terakhir, jumlah kunjungan karyawan dari berbagai industri pada pada klinik perusahaan dan puskesmas rujukan mengalami peningkatan yang signifikan dengan berbagai keluhan yang diduga merupakan hasil terpaparnya para karyawan oleh kebisingan. Permasalahan tersebut perlu dikaji lebih lanjut untuk tetap mempertahankan produktivitas perusahaan dengan tetap memperhatikan kesehatan kerja para karyawan.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan di dalam penelitian ini di rumuskan sebagai berikut:

1) Seberapa besar tingkat kebisingan indoor dan bagaimanakah tingkat gangguan pendengaran para karyawan.

2) Variabel paling dominan apa sajakah yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran para karyawan.


(31)

8

3) Bagaimanakah bentuk keterkaitan antara kebisingan dan gangguan penurunan tingkat pendengaran.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dampak kesehatan akibat pemaparan kebisingan pada para karyawan industri di Kota Tangerang, sedangkan tujuan khusus penelitian terdiri atas:

1) Mengetahui tingkat kebisingan indoor dan mengidentifikasi tingkat gangguan pendengaran para karyawan.

2) Mengetahui variabel paling dominan yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran para karyawan.

3) Mengetahui bentuk keterkaitan antara kebisingan dan penurunan tingkat pendengaran.

1.5. Hipotesa Penelitian

Hipotesa yang dapat dirumuskan pada penelitian ini diantaranya sebagai berikut:

1) Ada perbedaan tingkat kebisingan indoor dan ada gangguan pendengaran pada para karyawan yang terpapar kebisingan.

2) Ada variabel paling dominan yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran para karyawan.

3) Ada keterkaitan antara kebisingan indoor dan gangguan penurunan tingkat pendengaran.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Suara dan Kebisingan

2.1.1. Pengertian Suara atau Bunyi

Suara atau bunyi didefinisikan sebagai getaran yang ditransmisikan melalui suatu medium elastis (misalnya udara) yang kemudian diterima dan dipersepsi oleh telinga manusia. Suara atau bunyi juga merupakan bentuk gelombang getaran suara yang merambat sebagai gelombang longitudinal dalam medium padat, cair dan gas (Achmadi 1994). Bunyi mempunyai dua aspek yang menimbulkan ketulian pada pendengaran manusia, yaitu frekuensi dan intensitas. Adapun yang dimaksud frekuensi adalah banyaknya getaran perdetik (cps = cycle per second atau hertz). Pendengaran manusia berada pada kisaran bunyi antara 20-20.000 Hz, sedangkan kisaran frekuensi pembicaraan adalah 275-2.500 Hz (Peterson 1997 dalam Santosa 1992). Bunyi yang berada di bawah 20 Hz disebut infrasound, sedangkan bunyi yang berada diatas 20.000 Hz disebut ultrasound. Intensitas adalah variasi tekanan dari suatu bunyi dengan satuan yang dinyatakan dalam desibel (dB). Makin besar intensitas bunyi, makin keras pula bunyi itu terdengar.

Terdapat 4 kondisi fisis yang dibutuhkan agar suara dapat terdengar oleh manusia (Pearce 2002) antara lain:

1) Ada tidaknya medium elastis yang memiliki inersia sehingga memungkinkan energi suara dapat merambat atau berpropagasi, dan medium tersebut mungkin berbentuk gas (udara), cairan atau padat.

2) Getaran ini berlanjut dari satu titik ke titik yang lain di dalam ruang (virtual) di sekitar sumber suara atau dapat disebutkan bahwa getaran akan mengalami propagasi dengan kecepatan tertentu.

3) Getaran yang dirambatkan melalui medium elastis tersebut kemudian tiba dan ditangkap oleh daun telinga (pina). Rambatan energi getaran ini di dalam telinga manusia mengalami proses yang cukup rumit sampai manusia disebut mendengar suara.

a. Rambatan pada telinga bagian luar: energi gangguan dalam medium udara yang ditangkap oleh pina dirambatkan melalui liang telinga menuju genderang telinga.


(33)

10

b. Rambatan pada telinga bagian tengah: pada bagian ini energi getaran menyebabkan genderang telinga bergetar yang selanjutnya menggetarkan tulang-tulang telinga.

c. Rambatan pada telinga bagian dalam: tulang pelana yang melekat pada oval window di cochlea merambatkan energi getaran ke cairan yang berada di dalam cochlea tersebut. Di dalam cochlea terdapat pula basilar membrane yang berfungsi sebagai penganalisa amplitudo dan frekuensi dari energi getaran. Di bagian telinga dalam ini pula energi getaran yang telah mengalami proses analisa amplitudo dan getaran tersebut dirubah menjadi pulsa-pulsa listrik yang mengandung semua informasi akustik dari sumber getar yang diambil oleh syaraf pendengaran yang menghubungkan bagian cochlea

dengan otak. Tanggapan yang dilakukan oleh otak merupakan proses mendengar yang dilakukan oleh manusia.

Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa semua bagian-bagian telinga yang merambatkan energi getaran tersebut mempunyai kesesuaian impedansi sedemikian sehingga energi getaran dari telinga bagian luar sampai ke telinga bagian dalam tidak mengalami penyusutan energi.

Menurut Sumitra (1997), suara merupakan energi mekanika yang fluktuasinya dalam bentuk suara yang masuk ke dalam alat pendengaran dari mulai auditory canals, masuk ke dalam telinga tengah lewat assicles, kemudian masuk melalui oval window membrane dan melewati cairan di telinga dalam (cochlea), yang selanjutnya diterima oleh reseptor organon corti, kemudian dengan system yang sangat komplek dari sel-sel rambut pada membrana basilaris ditransfer dalam bentuk impuls-impuls saraf diteruskan ke otak. Telah dijelaskan sebalumnya bahwa manusia memiliki toleransi terhadap suara yang diterima.

Dinamika lingkungan hidup adalah salah satu faktor yang berpengaruh pada tingkah laku manusia yang sering tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, dinamika lingkungan, secara khusus yang menghasilkan suara, berpotensi menimbulkan kebisingan. Satu diantara sumber kebisingan adalah mesin-mesin modern yang digunakan berbagai industri yang menghasilkan suara atau bunyi pada saat beroperasi. Penggunaan mesin-mesin modern tersebut untuk meningkatkan produktivitas, dan memenuhi kebutuhan pasar. Disamping penggunaan mesin-mesin modern, kinerja para karyawan perlu diperhatikan.


(34)

2.1.2. Pengertian Kebisingan

Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak diinginkan, mengganggu, mempunyai sumber dan menjalar melalui media perantara (Hadjar 1971; Lipscomb 1978). Lebih lanjut Canter seperti dikutip Mukono (1985) menyatakan bising sebagai bunyi yang tidak diinginkan, sedangkan menurut Chanlet bising adalah bunyi yang terjadi pada saat dan tempat atau keadaan yang tidak sesuai.

Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-15/MEN/1999, kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Lebih lanjut dikemukakan bahwa bising merupakan kumpulan nada dengan bermacam-macam intensitas dan suara tersebut tidak dikehendaki sehingga terasa mengganggu ketentraman. Bising dengan intensitas di atas 85 dB dapat menimbulkan ketulian. Hal ini telah dibuktikan dari beberapa penelitian.

Pada upaya pencegahan dampak negatif kebisingan terkait dengan kesehatan lingkungan, pendekatan epidemiologi dapat digunakan untuk meminimalkan dampak negatif kebisingan. Epidemiologi kebisingan dilakukan untuk menyajikan data tentang kebisingan menurut lokasi pada suatu daerah, menurut perjalanan waktu, tingkat dan jenis kebisingan, daerah yang terkena kebisingan, jenis sumber bising, keluhan masyarakat tentang kebisingan, dan jumlah masyarakat yang menderita gangguan terkait dengan kebisingan. Pendekatan serupa juga dapat dilakukan di perusahaan-perusahaan dan/atau pabrik-pabrik yang potensial menimbulkan kebisingan. Guna lebih memahami mekanisme pemajanan bising pada manusia, maka beberapa fakktor yang berpengaruh pada suara yang tidak dikehendaki tersebut perlu diketahui. Faktor-faktor tersebut diantaranya sumber bising, tingkat bising, dan kemungkinan keluhan yang muncul pada masyarakat dan/atau karyawan.

Sumber bising adalah lokasi dan/atau benda yang merupakan asal suara yang tidak dikehendaki. Guna memaksimalkan pemantauan terhadap efektivitas pengendalian kebisingan, maka sumber bising pada suatu daerah administrasi tertentu hendaknya dicatat dan dilaporkan jumlahnya berdasarkan jenis sumber bising tersebut. Kondisi tersebut menggambarkan jumlah sumber bising total di wilayah tersebut dan jumlah dari masing-masing jenis sumber tersebut. Hal yang sama juga perlu dilakukan pada berbagai perusahaan yang ada pada suatu wilayah administratif (Departemen Kesehatan RI 1995). Sumber bising yang


(35)

12

dijadikan target pemantauan dapat dibagi menjadi sumber bising menurut lokasi dan waktu. Mekanisme tersebut apabila diterapkan pada upaya pemantauan kebisingan suatu perusahaan, maka lokasi bising difokuskan pada ruangan-ruangan yang di dalamnya terdapat mesin-mesin dan/atau peralatan lain yang potensial menimbulkan kebisingan, sedangkan sumber bising berdasarkan waktu adalah jam kerja yang digunakan untuk mengoperasikan peralatan yang potensial menimbulkan kebisingan.

Disamping sumber bising, pemantauan kebisingan juga dilakukan pada tingkat kebisingan, baik pada sumber bising dalam bentuk lokasi maupun pada sumber bising dalam bentuk waktu. Pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan pendekatan titik sampel pengamatan apabila luasan areal yang akan dipantau relatif luas. Pendekatan titik pengamatan pada pengukuran tingkat kebisingan relatif jarang digunakan bila dilakukan pada areal pabrik. Sama halnya dengan sumber bising, pengukuran tingkat kebisingan juga dapat dilakukan berdasarkan lokasi dan waktu. Pengukuran tingkat kebisingan pada suatu perusahaan, khususnya pada areal operasional akan memberikan gambaran upaya penangelolaan kebisingan terkait dengan program K3. pemantauan efektifitas penanggelolaan kebisingan pada perusahaan tidak saja pada sumber dan tingkat kebisingan tetapi juga terhadap kemungkinan keluhan yang dialami oleh para karyawan selama bekerja pada perusahaan tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui besarnya komitmen perusahaan untuk memberikan penghargaan sebagai hak yang harus diberikan pada para karyawan.

Faktor yang berpengaruh pada tingkat kebisingan, selanjutnya akan berpengaruh pada jenis kebisingan yang dihasilkan. Menurut Rahman (1990), jenis-jenis kebisingan yang sering dijumpai menurut sifat suaranya antara lain: 1) Kebisingan kontinyu yaitu kebisingan dimana fluktuasi dari intensitasnya tidak

lebih dari 6 dB dan tidak terputus-putus. Kebisingan ini dibedakan menjadi dua yaitu:

a) Wide spectrum adalah kebisingan dengan spektrum frekuensi yang luas, seperti suara kipas angin, suara mesin tenun.

b) Narrow spectrum adalah kebisingan dengan spektrum sempit seperti suara sirine, generator, gergaji sirkuler.


(36)

2) Kebisingan yang terputus-putus (intermittent) adalah kebisingan yang berlangsung secara tidak terus menerus, misalnya: lalu lintas kendaraan bermotor, kereta api, kapal terbang.

3) Kebisingan impulsif sesaat (impulsive noise) adalah kebisingan dengan intensitas yang agak cepat berubah, misalnya: pukulan palu, tembakan meriam, ledakan bom.

4) Kebisingan impulsif yang berulang, sebagai contoh adalah kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin tempa pada pemancangan tiang beton.

2.2. Anatomi dan Fisiologi Indra Pendengaran Manusia 2.2.1. Anatomi Telinga

Telinga adalah salah satu organ vital manusia yang berfungsi sebagai organ pendengaran. Berdasarkan fungsi dan sensitivitas organ pendengaran, maka berbagai upaya secara langsung perlu dilakukan untuk meminimalkan pengaruh suara dengan intensitas yang melebihi batas ambang. Organ pendengaran tersebut dapat berfungsi dengan baik karena adanya saraf kranial kedelapan atau nervus auditorius. Telinga, secara anatomi terbagi menjadi beberapa bagian diantaranya telinga luar, telinga tengah, dan rongga telinga dalam (Pearce 2002).

Telinga luar adalah bagian telinga yang terdiri atas aurikel atau pinna

yang berfungsi membantu mengumpulkan gelombang suara, dan meatus auditorius externa yang menjorok kedalam menjauhi pinna dan berfungsi untuk menghantarkan getaran suara menuju membrana timpani. Liang tersebut memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm dan sepertiga bagian luarnya tersusun atas tulang rawan, sementara dua pertiga bagiannya tersusun atas tulang. Bagian tulang rawan ditutupi kulit dengan jaringan ikat bawah kulit lengkap dengan folikel rambut, gl. sebacea dan gl. ceruminosa, sedangkan bagian tulang ditutupi oleh kulit yang tipis dan langsung melekat pada periosteum (Pearce 2002).

Telinga tengah atau rongga timpani adalah bilik kecil yang mengandung udara dan terletak di sebelah dalam membran timpani atau gendang telinga. rongga udara tersebut berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan udara dalam atmosfir sehingga cidera akibat tidak seimbangnya tekanan udara dapat dihindari. Berdasarkan susunannya, rongga telinga tengah tersusun atas rangkaian tulang-tulang pendengaran yang berfungsi untuk mengalirkan getaran suara dari gendang telinga menuju rongga telinga dalam. Secara anatomis,


(37)

14

telinga tengah terdiri atas beberapa bagian diantaranya sebagai berikut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1995):

1) Gendang telinga (membran tympanical) adalah bagian telinga tengah yang terdiri atas pars tensa dan pars flacida. Pars tensa mempunyai tiga lapisan yaitu lapisan epitel luar, lapisan jaringan ikat, dan lapisan epitel dalam, sedangkan pars flacida hanya terdiri atas dua lapisan tanpa jaringan ikat. 2) Ruang telinga tengah (cavitas tympanical) adalah bagian telinga tengah yang

terletak antara telinga luar dan telinga dalam, dan merupakan bangunan berbentuk kotak yang tipis memanjang dari atas ke bawah yang dilengkapi dengan enam dinding. Di dalam ruang telinga tengah terdapat 3 buah tulang pendengaran yaitu malleus, incus, dan stapes. Ketiga tulang pendengaran tersebut saling berhubungan dengan persendian dan menghubungkan gendang telinga dengan jendela lonjong pada telinga dalam.

3) Tuba auditiva.

4) Anrum mastoideum dan cellulae mastoidea.

Rongga telinga dalam adalah bagian telinga yang berada pada bagian os petrosum tulang temporalis yang tersusun atas berbagai rongga yang menyerupai saluran-saluran dalam tulang temporalis. Saluran-saluran membran ini mengandung cairan dan ujung-ujung akhir saraf pendengaran atau keseimbangan. Gambaran umum telinga dan bagian-bagiannya sebagaimana disajikan pada Gambar 3.


(38)

Gambar 3. Irisan telinga dan bagian-bagian yang berfungsi sebagai alat pendengar (Pearce 2002)

2.2.2. Fisiologi Telinga

Telinga manusia dapat menangkap getaran suara antara 20-20.000 Hz dengan nada rendah yang diterima oleh organon corti pada membrana basilaris pada bagian basal kokhlea, sedangkan untuk nada tinggi pada apex kokhlea. Intensitas suara yang dapat didengar manusia adalah dengan kisaran 0-140 dB (batas ambang sakit).Telinga sebagai indra pendengaran berfungsi ketika suara yang ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang suara, bergerak melalui rongga telinga luar yang menyebabkan membrana timpani bergetar. Getaran-getaran tersebut selanjutnya diteruskan menuju inkus dan stapes melalui malleus yang terkait pada membran timpani. Getaran-getaran tersebut selanjutnya juga timbul pada setiap tulang yang ada, sehingga tulang-tulang tersebut memperbesar getaran, yang kemudian disalurkan melalui

fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran-getaran perilimfe dialihkan melalui membran menuju endolimfe dalam saluran kokhlea, dan rangsangan tersebut terus ada hingga mencapai ujung-ujung akhir saraf dalam organ corti, untuk selanjutnya diantarkan menuju otak oleh nervus auditorius (Pearce 2002).


(39)

16

Suara yang berhasil ditangkap oleh indra pendengaran, baik tidaknya proses penerimaan, dan respon manusia terhadap suara tersebut sangat bergantung pada keberadaan organ-organ yang ada pada telinga sebagai indra pendengaran manusia. Secara fisiologis, telinga dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian yang berfungsi sebagai alat penghantar (conducting apparatus) dan bagian yang berfungsi sebagai alat penerima (perceiving apparatus) (Departemen Kesehatan RI 1995). Bagian telinga yang berfungsi sebagai alat penghantar gelombang bunyi terdiri atas daun telinga, liang telinga luar gendang telinga, tulang-tulang pendengaran, ruang telinga tengah, tuba auditiva, dan jendela lonjong. Bagian-bagian tersebut sangat vital sehingga kerusakan pada bagian-bagian tersebut dapat menyebabkan ketulian pada manusia. Disamping adanya bagian telinga yang berfungsi sebagai penghantar gelombang suara, telinga juga memiliki bagian yang berfungsi sebagai alat penerima gelombang suara yang dikenal dengan perceiving apparatus.

Perceiving apparatus terdiri atas kokhlea dengan organ corti, ganglion spirale, n. cochlearis. Kerusakan pada bagian-bagian tersebut akan mengakibatkan tuli indera saraf (sensori-neuraral hearing loss, SNHL) atau

perceptive hearing loss. Mekanisme kerja bagian ini adalah menyambaikan gelombang yang diterima pada perilimfe pada scalamedia selanjutnya diteruskan ke helicotrema, scala tympani dan menggerakkan foramen rotundum untuk membuang getaran tersebut ke telinga tengah. Akibat gelombang pada peri dan endolympha ini maka terjadi pula gelombang yang sama pada membrana basalis yang mengakibatkan cel rambut pada organon corti menyapu membrana tectoria sampai membengkok dan terjadi loncatan potensial listrik yang diteruskan sebagai rangsangan saraf ke otak untuk diolah dan disadari (Departemen Kesehatan RI 1995).

2.3. Pemajanan Suara Bising di Lingkungan

Risiko yang mungkin akan muncul pada manusia adalah bentuk umpan balik dari bahan dan/atau benda yang memiliki peluang mengubah sebagian dan/atau keseluruhan sistem manusia. Bahan dan/atau benda tersebut mengalami mekanisme yang disebut dengan pemajanan dari sumbernya ke lingkungan. Pemajanan dapat diartikan sebagai perkiraan derajat atau jumlah kontak yang menggambarkan hubungan interaksi antara manusia secara individu maupun kelompok dengan komponen lingkungan yang mengandung health risk


(40)

(Dinas Kesehatan Propinsi Dati I Jawa Barat 1997). Oleh karena itu, pemajanan menggambarkan jumlah komponen lingkungan yang memiliki potensi dampak yang diterima atau kontak dengan tubuh dan selanjutnya memberikan dampak yang bervariasi tergantung pada panjangnya jalur paparan dan kesiapan individu atau lingkungan untuk menerimanya.

Pada dasarnya komponen lingkungan yang disebut memiliki potensi dampak kesehatan adalah komponen lingkungan yang di dalamnya mengandung berbagai agents penyakit yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok fisik, mikroba maupun bahan kimia beracun. Oleh sebab itu, untuk menggambarkan jumlah kontak dan potensi dampak perlu diperhatikan beberapa diantaranya jenis

agents dan perkiraan jumlah yang diperkirakan kontak dengan manusia (Dinas Kesehatan Propinsi Dati I Jawa Barat 1997).

Jenis agents yang dimaksud adalah ada tidaknya komponen lingkungan (yang merupakan wahana penyakit) yang hendak dikenakan pengukuran untuk mengetahui besaran potensi dampak. Berdasarkan jenis agents terkait dengan pemajanan terbagi menjadi tiga kelompok, diantaranya sebagai berikut:

1) Kelompok mikroba dalam bentuk virus, bakteri, parasit dan jamur. Masing-masing jenis perlu dipelajari lebih lanjut tentang potensi dampaknya dan kinetiknya.

2) Kelompok bahan kimia. Klasifikasi bahan kimia relatif sangat luas. Oleh karena itu, untuk memudahkan mempelajari jalur pemajanan masing-masing bahan kimia perlu dilakukan upaya untuk membatasi jenis bahan kimia yang akan diamati dengan menggunakan material safety data sheet MSDS) atau

desk reference bahan kimia yang bersangkutan.

3) Kelompok fisik. Beberapa jenis bahan yang termasuk kelompok ini diantaranya radiasi, elektromagnetik, kebisingan dan bahan lainnya. Untuk mempelajari lebih lanjut maka perlu dilakukan pengamatan tentang karakterisitik dan kinetik dari bahan-bahan yang akan diamati.

Disamping jenis agents, perkiraan jumlah yang diperkirakan kontak dengan manusia adalah komponen penting pada upaya pendugaan risiko yang ditimbulkannya.

Pada upaya perkiraan jumlah yang diperkirakan kontak dengan manusia, terlebih dahulu perlu dipahami konsep dan pengertian exposure dan dosis. Kedua konsep tersebut sangat berbeda. Dosis adalah ukuran yang hanya bisa dikenakan pada bahan-bahan yang terukur dan biasanya digunakan


(41)

18

dilaboratorium, sedangkan di lapangan hanya merupakan perkiraan saja. Oleh karena itu, pemajanan digunakan untuk memperkirakan jumlah kontak (penggambaran interaksi) yang terbagi menjadi tiga kelompok (Dinas Kesehatan Propinsi Dati I Jawa Barat 1997), diantaranya sebagai berikut:

1) Perkiraan jumlah pemajanan eksternal secara umum adalah konsentrasi bahan dalam media bahan tertentu, sebagai contoh kandungan CO2, SO2

atau Pb dalam udara, dan merkuri dalam bulu bebek. Tahap selanjutnya adalah memperkirakan jumlah masyarakat exposed yang ada, dengan memperhatikan ada tidaknya riwayat kontak dengan bahan-bahan tersebut.

2) Perkiraan jumlah pemajanan internal sederhana (intake). Perkiraan yang dimaksud terkait dengan jumlah konsentrasi bahan dalam bahan/media transmisi tertentu dan perkiraan pada jumlah kontak tersebut. Perkiraan jumlah pemajanan internal sederhana dapat dilakukan dengan mudah apabila kandungan bahan dalam media telah diketahui dengan pasti. 3) Perkiraan uptake (jumlah yang diarbsorpsi oleh tubuh) adalah perkiraan

pemajanan melalui media udara dengan teknis yang lebih akurat dengan rumus Uptake = (inhaled - exhaled) x volume x t (Dinas Kesehatan Propinsi Dati I Jawa Barat 1997).

Peterson (1977) dalam Santosa (1992) menyatakan, bunyi memiliki beberapa karakteristik diantaranya pitch (tinggi nada), timbre (warna bunyi) dan loudness (kenyaringan). Berdasarkan karakteristik tersebut, parameter utama yang penting dalam kaitannya dengan gangguan kebisingan adalah frekuensi dan amplitudo. Frekuensi dinyatakan sebagai julah getaran tiap detik (hertz), sedangkan aplitudo menggambarkan besarnya kuantitas/intensitas bunyi yang dinyatakan dalam satuan desible (dB).

Pada umumnya kebisingan muncul sebagai bagian baru yang terbentuk dari campuran sejumlah gelombang sederhana yang memiliki frekuensi bervariasi (Suma’mur 1992). Kuantitas atau amplitudo bunyi selalu dinyatakan dalam suatu tingkat (level). Peterson (1977) dalam Santosa (1992) menyatakan, tingkatan (level) tersebut dapat ditentukan dengan melakukan pengukuran pada tekanan bunyi (sound pressure meter) dan tingkatan bunyi (sound power level). Adam et al. (1960) dalam Santosa (1992) menyatakan, sifat-sifat kebisingan yang penting diantaranya adalah radiasi intensitas kebisingan, frekuensi, kebisingan dan distribusinya dalam ruangan. Oleh karena itu, desain ruangan


(42)

dan upaya pengendalian kebisingan dengan menggunakan alat pelindung telinga adalah upaya efektif untuk meminimalkan dampak kebisingan pada lingkungan pabrik.

2.4. Kebisingan dan Kesehatan Masyarakat

Kesehatan masyarakat didefinisikan oleh Winslow pada tahun 1920 diantaranya bahwa kesehatan masyarakat adalah ilmu dan kiat (art) untuk mencegah penyakit, memperpanjang harapan hidup, dan meningkatkan kesehatan dan efisiensi masyarakat melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk sanitasi lingkungan, pengendalian penyakit menular, pendidikan higiene perseorangan, dan membangun mekanisme sosial sehingga setiap instan dapat menikmati standar kehidupan yang cukup baik untuk memelihara kesehatan manusia pada khususnya, dan kesehatan masyarakat pada umumnya pada tempat hidup yang memadai.

Beberapa kalangan (orang) menyadari bahwa penyakit ditimbulkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah prilaku masyarakat itu sendiri. Norma dan budaya, dijelaskan juga menentukan gaya hidup masyarakat akan menciptakan keadaan lingkungan yang sesuai dengannya dan menimbulkan penyakit yang sesuai dengan gaya hidupnya. Dengan demikian untuk mencapai standar kesehatan tertentu, tidak cukup hanya pencegahan berbagai jenis penyakit secara perorangan melainkan juga melihat dan mengelola masyarakat sebagai satu kesatuan bersama lingkungan hidupnya. Oleh karena itu, kesehatan erat sekali hubungannya dengan suberdaya sosial ekonomi dan tidak hanya bergantung pada fasilitas kesehatan semata. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka muncullah ilmu kesehatan masyarakat sebagai satu bidang yang lebih luas lagi daripada ilmu kedokteran pencegahan (Slamet 2002).

Menurut Slamet (2002), istilah kesehatan itu sendiri di dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan, Bab I pasal 2 didefinisikan: yang dimaksud dengan kesehatan dalam undang-undang ini ialah keadaan yang meliputi kesehatan badan, rohani (mental), dan sosial dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Istilah kesehatan berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Bab I pasal 1, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomi (Slamet 2002).


(43)

20

Berdasarkan uraian tersebut, kesehatan para karyawan memiliki korelasi positif terhadap kinerja selama melaksanakan kegiatan produksi. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa tenaga kerja merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan pada proses produksi. Gangguan kesehatan pada para pekerja, secara langsung maupun tidak langsung memberikan pengaruh pada proses produksi. Penurunan tingkat pendengaran merupakan salah satu gangguan kesehatan yang potensial diserita para karyawan terkait dengan kemungkinan munculnya suara bising selama proses produksi. Upaya perlindungan terhadap para karyawan telah dilakukan diantaranya dengan dikeluarkannya kebijakan perlindungan kerja melalui program K3, termasuk didalamnya mengatur perlindungan dari kebisingan. Pada akhirnya, komitmen perusahaan pada upaya perlindungan dan/atau upaya minimalisasi dampak kebisingan akan mempengaruhi produkstivitas perusahaan selama melaksanakan proses produksi.

2.4.1. Kebisingan dan Regulasi

Industri adalah salah satu sektor pembangunan yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah. Kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat dan beragam, berpeluang untuk meningkatkan permintaan pasar terhadap berbagai bentuk barang dan jasa. Berbagai upaya dilakukan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pasar dengan kualitas yang dikehendaki oleh pasar. Seiring dengan berkembangnya teknologi, khususnya munculnya mesin-mesin modern, memberikan kemudahan pada perusahaan untuk mencapai target produksi yang telah ditetapkan.

Tercapainya terget produksi memberikan dampak positif dalam bentuk peningkatan pendapatan perusahaan, terpenuhinya kebutuhan masyarakat, dan secara tidak langsung meningkatkan kesejahteraan para karyawan. Namun demikian, penggunaan mesin-mesin modern juga berpotensi menimbulkan dampak negatif dalam bentuk pencemaran lingkungan. Salah satu pencemaran lingkungan yang muncul dari digunakannya mesin-mesin modern pada proses produksi adalah kebisingan. Kebisingan, apabila tidak dikendalikan dengan baik akan berdampak negatif pada kesehatan lingkungan, khususnya kesehatan di lingkungan kerja.

Satu dari beberapa dampak negatif yang muncul sebagai bentuk interaksi antara kebisingan dan objek yang terkena dampak adalah penurunan tingkat


(44)

pendengaran. Penurunan tingkat pendengaran merupakan permasalahan serius yang dialami oleh masyarakat, khususnya para karyawan pada suatu perusahaan yang memiliki sumber kebisingan. Menurut Elefterion (2001), dampak kebisingan secara umum pada tingkat pendengaran para karyawan adalah permasalahan yang terus mendapat perhatian dari para ahli. Lebih lanjut dijelaskan, dampak kebisingan pada penurunan tingkat pendengaran telah dilakukan pada tahun 1996 dan 1999 di Cyprus yang menunjukkan adanya pengaruh nyata antara kebisingan dan penurunan tingkat pendengaran sebesar 27,8% (7,7% karyawan mengalami penurunan tingkat pendengaran yang sangat serius) atau lebih dari 200 para karyawan pada 90 industri. Guna mengantisipasi pengaruh yang lebih serius, maka penyusunan kebijakan atau regulasi yang mengatur tingkat minimal frekuensi yang dapat ditoleransi pada berbagai industri telah dilakukan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, ambang batas yang diperbolehkan adalah 80/90 dBA selama 8 jam kerja.

Elefterion (2001) menyatakan, kebisingan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran pada aktivitas industri, namun masih sangat sedikit penentu kebijakan yang memprioritaskan kebisingan sebagai permasalahan serius. Komitmen yang kuat antara pemberi kerja dan para pekerja untuk secara bersama-sama meminimalkan dampak kebisingan merupakan faktor penentu keberhasilan upaya pengendalian kebisingan pada lingkungan kerja. Guna memberikan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk perlindungan para karyawan dari kebisingan, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan program keselamatan dan kesehatan kerja yang dikenal dengan program K3. Program tersebut juga disertai dengan beberapa regulasi untuk memberikan kepastian hukum pada implementasi program K3.

Satu diantara upaya pelaksanaan program K3 adalah program perlindungan pendengaran untuk meminimalkan dampak negatif akibat kebisingan di tempat kerja bagi para karyawan. Berdasarkan program perlindungan pendengaran, semua lokasi kerja yang bising harus dirancang dan dibangun berdasarkan program perlindungan pendengaran (HCP) perusahaan. Sasaran HCP diantaranya penataan yang efektif, pemantauan lingkungan (survey kebisingan), pemantauan administrasi dan teknik rekayasa, perlindungan telinga, pendidikan dan latihan, pengawasan dan supervisi, dan pemeriksaan adiometri. Program perlindungan pendengaran ini harus di dukung oleh


(45)

22

manajemen puncak dari perusahaan dan program atau ketentuan tertulis yang menetapkan tujuan kegiatan, tanggungjawab perusahaan dan beberapa ketentuan lainnya. Perusahaan juga berkewajiban untuk mensosialisasikan program tersebut pada para karyawan (Departemen Kesehatan RI 1995).

Keputusan perusahaan untuk menggunakan alat pelindung telinga merupakan satu bentuk kepedulian perusahaan pada kesehatan dan keselamatan kerja karyawan untuk meminimalkan dampak kebisingan. Berdasarkan tipenya, alat pelindung telinga terbagi atas tipe sumbat telinga (ear plug) dan sungkup telinga (ear muff). Sumbat telinga adalah segumpal bahan lembut yang dirancang tepat dengan bentuk liang telinga sehingga dapat menyumbat telinga tanpa kebocoran, sedangkan sungkup telinga adalah sepasang sungkup (cup) yang dihubungkan oleh suatu bando (headband) sehingga dapat menutupi seluruh telinga dan mencegah masukknya bunyi (bising) (Departemen Kesehatan RI 1995).

2.4.2. Kebisingan dan Risiko pada Pendengaran Manusia

Pada dasarnya, pengaruh bising pada jasmani para pekerja dapat dibagi menjadi dua golongan (Soemanegara 1975) diantaranya sebagai berikut:

1) Tidak mempengaruhi indera pendengaran tetapi memberikan pengaruh berupa keluhan-keluhan samar-samar dan tidak jelas berwujud penyakit (not ill defined);

2) Berpengaruh nyata pada indera pendengaran, baik bersifat sementara dan/atau permanen, yang selanjutnya terbagi menjadi beberapa bagian diantaranya sebagai berikut:

a). Acoustic trauma terjadi pada adanya proses luka (perlukaan) insidentil yang merusak sebagian dan/atau seluruh alat-alat pendengaran yang disebabkan oleh letupan senjata api, ledakan-ledakan atau suara dasyat lainnya;

b). Occupational deafness yaitu hilangnya sebagian dan/atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat permanen pada salah satu satu dan/atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising atau suara gaduh yang terus menerus di lingkungan kerja.

Medical Advisory Committee di Wisconsin, USA menentukan bahwa kehilangan pendengaran yang disebabkan karena berada pada daerah bising dapat


(46)

dianggap permanen apabila seseorang masih kurang daya pendengarannya setelah 6 bulan dipindahkan dari suasan bising ke suasana sepi (Santosa 1992).

Ganggguan pendengaran yang mungkin terjadi bergantung pada beberapa faktor yang mempengaruhi kebisingan. Menurut Widyapura (1991), tingkat kebisingan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya sebagai berikut: 1) Sumber bising. Kuat lemahnya bunyi tidak selalu menentukan apakah

bunyi tersebut merupakan bising atau tidak, tetapi hal ini lebih banyak ditentukan oleh perasaan dan persepsi seseorang. Dengan demikian bunyi yang sama dapat merupakan bising bagi seseorang tetapi belum tentu merupakan bising bagi orang lain.

2) Jarak dengan sumber bising. Semakin jauh sumber bunyi semakin kecil tingkat kebisingannya.

3) Suhu udara. Jika suhu udara tinggi maka kecepatan rambat bunyi yang sampai ke telinga akan melambat sehingga bunyi terdengar lemah.

4) Arah dan kecepatan angin. Bunyi akan diterima lebih lama dan lebih keras oleh orang yang berada pada down stream (searah dengan angin) dibandingkan dengan bunyi yang diterima oleh orang yang berada pada arah yang berlawanan dengan arah mata angin, karena getaran bunyi dari sumber bunyi dihambat oleh angin.

5) Kelembaban udara. Semakin lembab udara, suara yang didengar semakin jelas, tetapi pengaruhnya terhadap kebisingan di dalam ruangan tidak besar.

6) Penghalang/barier. Dinding-dinding dapat merupakan penghalang bagi transmisi suara dalam ruangan. Dengan adanya penghalang maka transmisi suara akan dihambat atau diserap sehingga suara yang dihasilkan akan berkurang. Jarak antara penghalang dan sumber menentukan besar kecilnya suara yang dihasilkan. Letak penghalang yang baik adalah di dekat sumber dan yang paling buruk adalah di tengah-tengah antara sumber dan pendengaran.

Pendapat serupa dikemukakan oleh Samudro dan Prasetyo (2001) menyatakan, dalam pengendalian kebisingan diperlukan pemahaman terhadap karakteristik sumber-sumber getaran dan kebisingan yang ditimbulkan.

Kebisingan suara masih harus dilakukan pembobotan lagi mengingat telinga manusia tidak memberikan reaksi yang sama pada semua frekuensi. Telinga manusia kurang memberikan reaksi pada frekuensi rendah dan frekuensi


(47)

24

tinggi dibandingkan dengan frekuensi suara yang biasa digunakan untuk berbicara. Untuk itu perlu dilakukan pembobotan yaitu dengan slaka “A-weighted sound level” dan hasilnya disebut sebagai desibel dB (A). Adapun faktor penentu kualitas bunyi diantaranya adalah:

1) Frekuensi, yang dinyatakan dalam satuan getaran perdetik atau disebut Hertz yaitu jumlah dari gelombang-gelombang yang sampai di telinga setiap detiknya;

2) Intensitas, yaitu arus energi persatuan luas, biasanya dinyatakan dalam suatu logaritma yang disebut desibel (dB) dengan memperbandingkannya dengan kekuatan dasar sebesar 0,0002 dyne/cm² yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1000 Hertz yang tepat dapat didengar oleh telinga normal.

Pemajanan terhadap bising yang berlebihan dapat menimbulkan keadaan stress, dan lebih lanjut lagi menyebabkan gangguan fisik dan psikologis. Pemajanan yang terus menerus terhadap suara yang sangat bising dapat merusak sel-sel rambut getar yang terletak di bagian cochlea (rumah siput) telinga bagian dalam. Bagian yang berbentuk saluran melingkar dan berisi cairan ini berfungsi untuk merubah enersi suara menjadi rangsangan saraf-saraf pendengaran dan disalurkan ke bagian tertentu dari otak untuk kemudian didengar dan diinterpretasikan.

Bising yang cukup keras, diatas sekitar 70 dB, dapat menyebabkan kegelisahan (nervousness), kurang enak badan, kejenuhan mendengar, sakit lambung dan masalah peredaran darah (Doelle 1993). Selanjutnya dikatakannya pula bahwa bising yang sangat keras, di atas 85 dB dapat menyebabkan kemunduran yang serius pada kondisi kesehatan seseorang pada umumnya, bila berlebihan dan berkepanjangan dapat menimbulkan masalah seperti kelainan jantung, tekanan darah tinggi, dan luka perut.

Grandjean (1988) menyatakan bahwa tekanan fisiologis yang ditimbulkan oleh pengaruh bising dalam ruang kerja meliputi:

a. Meningkatnya tekanan darah b. Mempercepat detak jantung

c. Penyempitan pembuluh darah pada kulit d. Meningkatnya metabolisme

e. Melambatnya fungsi organ pencerna makanan f. Ketegangan otot meningkat


(48)

Kebisingan mempunyai pengaruh pada kesehatan masyarakat pada umumnya, dan kesehatan manusia secara khusus kesehatan para pekerja. Suratmo (1988) menyatakan kebisingan mempunyai pengaruh terhadap kesehatan masyarakat, kenyamanan hidup masyarakat, prilaku hewan ternak, satwa liar dan/atau ekosistem alam.


(49)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Kawasan Industri Kota Tangerang, khususnya di Kecamatan Jatiuwung (Gambar 4) dan dilaksanakan pada Bulan April sampai dengan Mei 2006. Perusahaan yang dijadikan sampel pada penelitian ini berjumlah 30 industri terdiri atas industri tekstil, pangan, kulit dan sepatu, baja, kertas, kayu/furniture, dan plastik. Pengelompokan tersebut dilakukan untuk memperoleh sampel yang mewakili keseluruhan industri yang ada di Kawasan Industri Kota Tangerang.

Gambar 4. Lokasi industri yang digunakan sebagai sampel (tanda panah)


(50)

3.2. Rancangan Penelitian

Penelitian menggunakan rancangan observasional dengan metode

expost facto melalui pendekatan Cross Sectional. Pendekatan Cross Sectional

digunakan untuk menggambarkan tingkat kebisingan yang langsung dihadapi oleh para karyawan yang bekerja di bagian proses produksi dan ada tidaknya gangguan pendengaran pada para karyawan yang berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan selama proses produksi.

Adapun jumlah industri yang dijadikan obyek penelitian sebanyak 30 industri yang meliputi beberapa sektor antara lain 8 industri pangan, 6 industri baja, 5 industri kayu/furniture, 3 industri kulit dan sepatu, 4 industri tekstil, dan 4 industri plastik. Penetapan 30 industri dilakukan dengan menggunakan purposive sampling. Responden yang digunakan sebagai sampel pada masing-masing industri tersebut adalah karyawan yang bekerja di bagian produksi. Total responden yang digunakan sebagai sampel adalah 300 orang.

Penelitian dibagi menjadi tiga sub kajian untuk menjawab tujuan penelitian yang telah diuraikan. Ketiga sub kajian tersebut adalah: 1) Studi tingkat kebisingan indoor dan identifikasi tingkat pendengaran karyawan, 2) Identifikasi komponen utama yang berpengaruh terhadap pendengaran karyawan, dan 3) Studi keterkaitan tingkat kebisingan dengan penurunan pendengaran karyawan.

3.2.1. Studi Tingkat Kebisingan Indoor Dan Identifikasi Tingkat Pendengaran Karyawan

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh dengan cara pengukuran. Pengukuran kebisingan pada lingkungan kerja dalam penelitian ini menggunakan noise loging dosimeter tipe M28 selama 8 jam dalam sehari (Gambar 5a). Pengukuran penurunan ketajaman pendengaran pada penelitian ini menggunakan audiometer yang telah dilengkapi dengan prossesor sehingga dapat mencatat sendiri data gambaran audiogram (Gambar 5b) secara otomatis. Pemeriksaan dengan audiometer dilakukan dalam kamar khusus yaitu sound proof room (Gambar 6) dengan frekuensi 4000 Hz dan intensitas 0-100 dB (A). Pada penelitian tahap ini variabel yang diamati adalah tingkat kebisingan dan tingkat pendengaran karyawan.


(51)

28

(a) noise loging dosimeter tipe M28

(b) audiometer

Gambar 5. Alat-alat yang digunakan dalam pengukuran tingkat kebisingan dan tingkat pendengaran


(52)

Tahapan-tahapan pemeriksaan menggunakan audiometer adalah:

− Tenaga kerja yang akan diperiksa di persilahkan untuk duduk di dalam kamar khusus yang mempunyai jendela kaca sehingga dapat terlihat dari luar oleh pemeriksaan;

− Sebelum responden diperiksa, terlebih dahulu diberikan petunjuk bahwa apabila mendengar sesuatu nada dihimbau untuk menekan tombol yang telah tersedia, dan melepaskan kembali tombol tersebut setelah nada tidak terdengar;

− Meletakkan earphone warna merah pada telinga sebelah kiri responden dan kemudian menutup pintu kamar pemeriksaan. Tahap selanjutnya adalah mengatur audiometer pada 0 dB dan frekuensi 4000 Hz dan kemudian menambah tingkat kebisingan setiap kali sebesar 5 dB sampai ada tanda bahwa pekerja yang diperiksa mendengar sesuatu nada, serta pada saat yang bersamaan perhitungan dapat dimulai. Bila nada tidak terdengar lagi maka tingkat intensitas dinaikkan lagi 5 dB demikian seterusnya, sedangkan untuk telinga kanan respon dapat terlihat di layar monitor dengan tanda O berwarna merah dan respon telinga kiri dengan tanda X berwarna biru. Hasil gambaran dari pemeriksaan audiometer ini disebut audiogram;

− Tingkat kemampuan mendengar dibagi dalam empat kategori antara lain kategori normal apabila hasil pemeriksaan audiometrik kurang dari 25 dB, tuli ringan apabila hasil pemeriksaan audiometrik berkisar antara 26-40 dB, tuli sedang apabila hasil pemeriksaan audiometrik berkisar antara 41-55 dB, dan tuli berat apabila hasil pemeriksaan audiometrik lebih dari 55 dB (Supardi 2002).

Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi tingkat kebisingan dan tingkat pendengaran karyawan. Data frekuensi dibuat dendogram sehinga kebisingan di dalam masing-masing industri dapat digambarkan dibandingkan dengan baku mutu kebisingan.


(1)

95

Lanjutan Lampiran 21. Hasil analisis regresi hubungan tingkat kebisingan pada industri kulit/sepatu terhadap penurunan tingkat pendengaran karyawan

ANOVA

df SS MS F Significance F

Regression 1 19.490727 19.491 0.760412 0.389316216 Residual 34 871.4814952 25.632

Total 35 890.9722222

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95%

Intercept -22.479031 30.4088723 -0.7392 0.464843 -84.2772944 X Variable 1 0.401479757 0.460404182 0.872 0.389316 -0.53417411

SUMMARY OUTPUT (KEBISINGAN RATA-RATA)

Regression Statistics

Multiple R 0.1620204

R Square 0.0262506

Adjusted R Square -0.002389

Standard Error 5.0514519

Observations 36

ANOVA

df SS MS F Significance F

Regression 1 23.38856 23.38856 0.916581 0.345133

Residual 34 867.5837 25.51717

Total 35 890.9722

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%

Intercept -67.31573 74.52409 -0.90327 0.372736 -218.767 84.13544 X Variable 1 0.9610638 1.003845 0.957382 0.345133 -1.079 3.001123


(2)

96

Lampiran 22. Hasil analisis regresi hubungan tingkat kebisingan pada industri tekstil terhadap penurunan tingkat pendengaran karyawan

SUMMARY OUTPUT (KEBISINGAN MAKSIMUM)

Regression Statistics

Multiple R 0.062080467

R Square 0.003853984

Adjusted R Square -0.02236038

Standard Error 12.87592711

Observations 40

ANOVA

df SS MS F Significance F

Regression 1 24.37404263 24.374 0.147018 0.703538344

Residual 38 6300.000957 165.79

Total 39 6324.375

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%

Intercept 60.6743149 132.5024323 0.4579 0.649624 -207.562833 328.911463 X Variable 1 -0.59070688 1.540588867 -0.3834 0.703538 -3.70946597 2.52805221

SUMMARY OUTPUT (KEBISINGAN RATA-RATA)

Regression Statistics

Multiple R 0.041281726

R Square 0.001704181

Adjusted R

Square -0.02456676

Standard Error 12.88981352


(3)

97

Lanjutan Lampiran 22. Hasil analisis regresi hubungan tingkat kebisingan pada industri tekstil terhadap penurunan tingkat pendengaran karyawan

ANOVA

df SS MS F Significance F

Regression 1 10.77787908 10.778 0.064869 0.800332206

Residual 38 6313.597121 166.15

Total 39 6324.375

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%

Intercept 29.68554099 77.80819681 0.3815 0.704941 -127.828917 187.199999 X Variable 1 -0.23858061 0.936731504 -0.2547 0.800332 -2.13489438 1.65773316

SUMMARY OUTPUT (KEBISINGAN RATA-RATA)

Regression Statistics

Multiple R 0.057001507

R Square 0.003249172

Adjusted R

Square -0.02298111

Standard Error 12.87983534

Observations 40

ANOVA

df SS MS F Significance F

Regression 1 20.54898119 20.549 0.123871 0.726817775

Residual 38 6303.826019 165.89

Total 39 6324.375

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%

Intercept 60.87356322 144.9158844 0.4201 0.676806 -232.493305 354.240431 X Variable 1 -0.59822362 1.699725214 -0.352 0.726818 -4.03913739 2.84269016


(4)

98

Lampiran 23. Hasil analisis regresi hubungan tingkat kebisingan pada industri plastik terhadap penurunan tingkat pendengaran karyawan

SUMMARY OUTPUT (KEBISINGAN MAKSIMUM)

Regression Statistics

Multiple R 0.134491863 R Square 0.018088061 Adjusted R Square -0.00775173 Standard Error 7.535445164 Observations 40

ANOVA

df SS MS F Significance F

Regression 1 39.74851469 39.749 0.700008 0.408011812 Residual 38 2157.751485 56.783 Total 39 2197.5

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%

Intercept 17.39137017 14.56045825 1.1944 0.239714 -12.0847363 46.8674766 X Variable 1 -0.15620732 0.186702375 -0.8367 0.408012 -0.53416652 0.22175188

SUMMARY OUTPUT (KEBISINGAN MINIMUM)

Regression Statistics

Multiple R 0.164275882 R Square 0.026986566 Adjusted R Square 0.001380949 Standard Error 7.501222746 Observations 40


(5)

99

Lanjutan Lampiran 23. Hasil analisis regresi hubungan tingkat kebisingan pada industri plastik terhadap penurunan tingkat pendengaran karyawan

ANOVA

df SS MS F Significance F

Regression 1 59.30297781 59.303 1.053931 0.311094245 Residual 38 2138.197022 56.268 Total 39 2197.5

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%

Intercept -33.8151548 38.07099382 -0.8882 0.380014 -110.885852 43.2555423 X Variable 1 0.62342158 0.607261353 1.0266 0.311094 -0.60591475 1.85275791

SUMMARY OUTPUT (KEBISINGAN RATA-RATA)

Regression Statistics

Multiple R 0.13383444 R Square 0.017911657 Adjusted R Square -0.00793277 Standard Error 7.536122018 Observations 40 ANOVA

df SS MS F Significance F

Regression 1 39.36086723 39.361 0.693057 0.410328292 Residual 38 2158.139133 56.793 Total 39 2197.5

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%

Intercept 21.06733168 19.03711822 1.1066 0.275404 -17.471299 59.6059624 X Variable 1 -0.21900912 0.263073922 -0.8325 0.410328 -0.75157443 0.31355618


(6)

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1) Kebisingan tempat kerja yang melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan (85 db) adalah industri baja mencapai 96,02 db, industri tekstil mencapai 88,13 db, dan industri kayu/furniture mencapai 88,12 db.

2) Faktor dominan utama yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran karyawan adalah kebisingan tempat tinggal, penyakit, umur (industri pangan), masa kerja (industri baja dan kayu/furniture), kebisingan tempat tinggal dan penyakit (industri kulit/sepatu), umur (industri tekstil), dan penyakit (industri plastik).

3) Berdasarkan hasil analisis spearman correlation, penurunan tingkat pendengaran karyawan berkorelasi positif nyata dengan umur, masa kerja, penggunaan alat pelindung telinga dan riwayat penyakit yang berhubungan dengan pendengaran karyawan (otitis media kronis, hypertensi, trauma capitis, pengobatan penyakit TBC, dan diabetes melitus).

5.2. Saran

Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan, terdapat beberapa saran sebagai berikut:

1) Perlu dilakukan sosialisasi perundangan perlindungan tenaga kerja kepada pengusaha dan karyawan.

2) Perlu dilakukan pengukuran tingkat pendengaran karyawan pada saat penerimaan, dan secara berkala selama 6 bulan sekali guna mengetahui adanya kemungkinan penurunan tingkat pendengaran karyawan akibat kebisingan tempat kerja.