2.2.1.2. Evaluasi Kinerja
Menurut Glueck dalam Tobing 2007 evaluasi kinerja adalah kegiatan penentu sampai pada tingkat mana seorang karyawan melakukan tugasnya secara
efektif. Sedang menurut Beach dalam Tobing 2007 tujuan dan kegunaan evaluasi kinerja karyawan adalah sebagai berikut :
1. Hasil evaluasi kinerja karyawan dapat menjadi sarana untuk mempertahankan
atau bahkan meningkatkan kinerja karyawan. 2.
Hasil evaluasi kinerja dapat menunjukkan kebutuhan akan pelatihan dan pengembangan.
3. Evaluasi formal dan berkala akan mendorong penyelia untuk selalu
mengobservasi perilaku bawahan. 4.
Evaluasi kinerja dapat membantu pihak manajemen dalam pengambilan keputusan tentang promosi, pengalihan tugas, dan PHK untuk pegawai yang
senantiasa menampilkan kinerja yang buruk. 5.
Banyak organisasi yang menghubungkan besar dan kenaikan imbalan dengan hasil penilaian dan evaluasi kinerja.
2.2.1.3. Sistem Pengukuran Kinerja
Sistem pengukuran kinerja suatu organisasiperusahaan adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu pimpinan menilai pencapaian suatu strategi, bisa
Universitas Sumatera Utara
melalui alat ukur finansial maupun non finansial. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasiperusahaan karena pegukuran kinerja
dapat diperkuat dengan menetapkan sistem reward dan punishment. Pengukuran kinerja dimaksudkan untuk memenuhi 3 hal. Pertama pengukuran
kinerja dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja dimana ukuran kinerja ini nantinya dapat digunakan untuk membantu organisasiperusahaan fokus pada tujuan
dan sasaran program kerja, hal ini nantinya dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Kedua, ukuran kinerja suatu perusahaan digunakan untuk pengalokasian
sumber daya dan pembuat keputusan. Ketiga, ukuran kinerja suatu perusahaan dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggung jawaban kepada atasan dan
memperbaiki komunikasi kelembagaan. Secara umum tujuan pengukuran kinerja adalah:
1. Menetapkan target target yang dapat diterima oleh mereka yang kinerjanya akan
diukur, dan dilaksanakan dalam suasana yang dikarakteristikkan oleh komunikasi terbuka antara atasan dan bawahan dan mengusahakan kebersamaan tindakan
2. Menggunakan ukuran ukuran prestasi yang dapat diandalakan, terbuka dan
objektif, membandingkan prestasi yang sesungguhnya dengan yang direncanakan, dan menyediakan umpan balik bagi orang yang menilai.
3. Bila prestasi kurang optimal, setelah melalui berbagai langkah sebelumnya,
timbul kebutuhan untuk menspesifikasikan dan setuju dengan rencana pengembangan pribadi orang yang dinilai yang dapat didasarkan pada penilaian
kepada kebutuhan pelatihan dan pengembangan pribadi.
Universitas Sumatera Utara
4. Membuat ketentuan untuk alokasi baik reward ekstrinsik misalnya kesempatan
untuk meningkatkan ketrampilan yang mengikuti proses penilaian 5.
Menjanjikan hasil hasil yang diinginkan dalam bentuk pemenuhan karyawan, pemanfaatan penuh kapasitas individu, perubahan budaya organisasi, dan
pencapaian sasaranorganisasi dalam kondisi dimana keharmonisan anstara sasaran individu dan organisasi. Tobing, 2007
2.2.1.3.1. Dasar Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja
Terdapat tujuh kriteria yang sebaiknya dipenuhi oleh organisasi dalam merancang sistem pengukuran kinerja yang baru agar dapat menjadi organisasi yang
bagus, yaitu: 1.
Sistem Pengukuran kinerja yang dirancang hendaknya berkaitan langsung dengan strategi yang diterapkan perusahaan.
2. Variabel-variabel sebaiknya diukur menggunakan ukuran ukuran non finansial
3. Sistem pengukuran kinerja yang dirancang harus fleksibel dan bervariasi
tergantung dari lokasi organisasi. 4.
Sistem pengukuran kinerja yang dirancang harus bersifat dinamis, selalu diperbaharui seing dengan perubahan waktu
5. Sistem pengukuran kinerja yang dirancang harus sederhana dan mudah
dioperasikan 6.
Pengukuran harus memungkinkan adanya umpan balik feedback yang cepat bagi operator dan manajer yang bertanggung jawab, agar dapat diambil tindakan
sesegara mungkin dalam melaksanakan proses perbaikan
Universitas Sumatera Utara
7. Sistem pengukuran kinerja yang dirancang harus ditujukan pada proses perbaikan
bukan sekedar pemantauan. Maskell, 2001 Globerson dalam Stoop 2004 memberikan beberapa kriteria yang hampir
sama dan menambahkan kriteria lain yang lebih lengkap, yaitu: 1.
Kriteria kinerja yang akan diukur dalam setiap level organisasi harus berasal dari tujuan perusahaan.
2. Sistem pengukuran kinerja yang dirancang harus memungkinkan untuk digunakan
sebagai alat membandingkan anatar perusahaan sejenis benchmarking 3.
Tujuan perancangan sistem pengukuran kinerja harus didefinisikan dengan jelas sejak awal
4. Metode pengumpulan dan pengolahan data yang akan digunakan dalam sistem
pengukuran kinerja harus didefinisikan dengan jelas. 5.
Dalam penentuan besaran variabel, penggunaan rasio variabel lebih disukai dibandingkan dengan penggunaan angka absolut
6. Kriteria kinerja yang dirancang harus di bawah kendali unit organisasi yang
berhak mengevaluasi 7.
Kriteria kinerja kuantitatif lebih disukai daripada kualitatif Secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa sistem pengukuran kinerja yang dirancang
harus dapat mengakomodasikan sistem operasi dari sebuah perusahaan. Dengan mengetahui sistem operasi perusahaan tersebut diharapkan perancangan sistem
pengukuran kinerja dapat selalu mutakhir terhadap perkembangan zaman.
Universitas Sumatera Utara
2.2.1.3.2. Tahap Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja
Perancangan sistem pengukuran kinerja dapat dibagi menjadi lima tahap, yaitu:
1. Tahap fondasi, yaitu pemahaman atas pedoman prinsip yang harus dijadikan
sebagai fondasi bagi rancangan sistem pengukuran kinerja, tahap fondasi ini terbagi atas: 1 mudah dimengerti 2 berorientasi jangka panjang 3
berdasarkan atas basis waktu 4 fokus pada perbaikan berkelanjutan 5 menggunakan pendekatan kuantitatif
2. Tahap Informasi Dasar, yaitu informasi dasar yang diperlukan sebagai masukan
dalam perancangan pengukuran kinerja menyangkut lingkungan usaha yang saat ini sedang digeluti, yang terdiri dari informasi tentang industri, pemerintah dan
masyarakat, pasar, produk, dan pesaing. 3.
Tahap Perancangan, yaitu langkah perancangan sistem pengukuran kinerja yang terdiri atas penentuan visi, misi, strategi, dan kerangka kerja yang digunakan
sebagai dasar penentuan variabel kinerj, keterkaitan antar variabel, dan kaji banding benchmarking yang akan diambil
4. Tahap penerapan, pada tahap ini merupakan tahap penerapan rancangan yang
meliputi display yang akan didukung, laporan yang akan dirancang, sosialisasi sistem pengukuran kinerja kepada seluruh karyawan, analisis manfaat biaya bagi
penerapan sistem pengukuran kinerja, modifikasi proses jika diperlukan, pelatihan
Universitas Sumatera Utara
yang harus disertakan, sumber daya yang akan terlibat dalam penerapan, dan kedudukan sistem pengkuran kinerja saat ini terhadap sistem pengukuran kinerja
yang baru. Pada saat penerapan, harus diuji apakah sistem pengukuran kinerja tersebut telah dapat mengakomodasikan empat hal utama, yaitu: 1 pengukuran
2 evaluasi 3 diagnosis 4 dan tindak lanjut yang diperlukan jika kinerja perusahaan menyimpang dari standar yang ditetapkan.
5. Tahap penyegaran. Tahap ini merupakan langkah evaluasi terhadap
kemutakhiran sistem pengukuran kinerja yang dirancang dengan mempertimbangkan informasi dan perkembangan pengetahuan terkini.
Wibisono, 2006
2.2.2. Teori tentang Job Stressor 2.2.2.1. Pengertian Job Stressor
Stres adalah tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang. Ada beberapa alasan mengapa masalah stress
yang berkaitan dengan organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini, yaitu: 1.
Masalah stress adalah masalah yang akhir akhir ini hangat dibicarakan dan posisinya sangat penting dalam kaitannya dengan produktivitas karyawan
2. Selain dipengaruhi oleh faktor faktor yang bersumber dari luar organisasi, stress
juga banyak dipengaruhi oleh faktor faktor yang berasal dari dalam organisasi. 3.
Pemahaman akan sumber sumber stres yang disertai dengan pemahaman terhadap cara cara mengatasinya adalah penting sekali bagi karyawan dan siapa saja yang
terlibat dalam organisasi demi kelangsungan organisasi yang sehat dan efektif.
Universitas Sumatera Utara
4. Banyak diantara kita hampir pasti merupakan bagian dari satu atau beberapa
organisasi, baik sebagai atasan maupun sebagai bawahan, pernah mengalami stress meskipun dalam taraf yang rendah
5. Kemajuan zaman disegala bidang memberikan beban kerja yang lebih besar bagi
karyawan atau pegawai, dan ini menuntut pegawai agar lebih banyak mengeluarkan energinya dari sebelumnya, sebagai akibatnya timbul stress di
kalangan pegawaikaryawan. Nimran, 2000 Stressor adalah faktor faktor yang menyebabkan terjadinya stress, sementara
job stressor adalah faktor faktor yang sering menimbulkan stres di tempat kerja Newstroom dan Davis, 2001, yaitu:
1. Beban kerja yang berlebihan work overload
2. Tekanan atau desakan waktu time pressure
3. Kualitas supervisi yang jelek poor quality of supervision
4. Iklim politis yang tidak aman insecure political climate
5. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai lack of
recognitionreward 6.
Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab inadequate authority to match responsibilities
7. Kemenduaan peranan role ambiguity and conflict
8. Frustasi frustation
9. Konflik antar pribadi dan antar kelompok interpersonal conflict
Universitas Sumatera Utara
10. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan differences between
company and employee value 11.
Berbagai bentuk perubahan change of anytipe. Di lain pihak, stres karyawan juga dapat disebabkan masalah masalah di luar
tempat kerja. Stressor dari kategori off the job ini antara lain Newstroom dan Davis, 2001:
1. Kekuatiran finansial
2. Masalah-masalah yang berkaitan dengan anak
3. Masalah-masalah fisik
4. Masalah-masalah perkawinan
5. Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal
6. Masalah-masalah pribadi lainnya
Dari beberapa pengertian yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa stressor merupakan faktor yang menimbulkan stres pada karyawan, yang
disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan dengan pekerjaan maupun lingkungannya. Hal ini dapat terjadi pada tiap
orang atau karyawan pada sebuah perusahaan dalam semua kondisi pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2.2. Kategori-Kategori Job Stressor
Faktor-faktor di pekerjaan yang bisa menimbulkan stres job stressor dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori Newstroom dan Davis, 2001, yaitu:
1 Stressor Lingkungan Fisik Kondisi kerja tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang optimal.
Disamping dampaknya terhadap prestasi kerja, kondisi kerja fisik memiliki dampak juga terhadap kesehatan mental dan keselematan kerja seorang tenaga kerja. Menurut
Munandar 2001 kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi psikologis diri seorang tenaga kerja. Ruangan kerja yang tidak nyaman, panas,
sirkulasi udara yang kurang memadai, berisik, tentu besar pengaruhnya terhadap kenyamanan karyawan dalam bekerja.
2 Stressor Individu a
Konflik peran role conflict : konflik peran dirasakan seseorangindividu ketika memenuhi kepada satu deretan harapan tentang konflik pekerjaan
dengan memenuhi kepada satu deretan harapan lainnya Gibson, 2002. Konflik peran dapat timbul jika seeorang atau individu mengalami adanya
pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dengan tanggung jawab yang ia miliki, tugas-tugas yang harus ia lakukan menurut pandangannya
bukan merupakan bagian dari pekerjaannya, tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahan, atau orang lain yang dinilai penting
bagi dirinya, dan pertentangan nilai-nilai dengan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas atau pekerjaannya Munandar, 2001. Menurut
Universitas Sumatera Utara
Miles dan Perreault dalam Tobing 2007 membedakan empat jenis konflik peran, yaitu:
1 Konflik peran pribadi : tenaga kerja ingin melakukan tugas berbeda yang
disarankan dalam uraian pekerjannya. 2
Konflik intrasender : tenaga kerja menerima penugasan tanpa memiliki sumber daya yang cukup untuk dapat menyelesaikan tugas dengan
berhasil. 3
Konflik intersender : tenaga kerja diminta berperilaku sedemikian rupa sehingga ada orang merasa puas dengan hasilnya, sedangkan orang lain
tidak. 4
Peran dengan beban berlebih : tenaga kerja mendapat penugasan kerja yang terlalu banyak dan tidak dapat ditangani dengan efektif.
b Ambiguitas peran role ambiguity, adalah tidak adanya pengertian dari
seseorang tentang hak-hak khusus dan kewajiban-kewajiban mereka dalam mengerjakan suatu pekerjaan Gibson, 2002. Ambiguitas peran merupakan
kondisi ketidakpastian akibat dari seorang individu karena kurang mengerti dan memahami mengenai prioritas harapan dan kriteria evaluasi yang
diterapkan organisasi kerjanya Fakhrudin dan Asri, 2003. Menurut Everly dan Girdano dalam Tobing 2007 faktor-faktor yang dapat menimbulkan
ambiguitas peran adalah: 1
Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran atau tujuan kerja 2
Kesamaran tentang tanggung jawab
Universitas Sumatera Utara
3 Ketidakjelasan tentang prosedur kerja
4 Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain perusahaan
5 Kurang adanya informasi tentang balikan atau ketidakpastian tentang
penilaian pekerjaan. Ambiguitas peran role ambiguity berpengaruh terhadap menurunnya
penggunaan keterampilan intelektual, pengetahuan, dan kepemimpinan Gibson, 2002.
c Beban kerja berlebih work overload, situasi yang menunjukkan tingkat
dimana tuntutan peran dan pekerjaan melebihi sumber daya individu dan organisasi kerjanya, dan akibatnya karyawan tidak dapat menyelesaikan tugas
pekerjaan sesuai yang diharapkan Fakhrudin dan Asri, 2003. Beban kerja berlebih memiliki dua tipe yang berbeda, yaitu beban berlebih kualitatif
terjadi jika pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan dan beban kerja kuantitatif jika
banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan. Beban berlebih secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap menurunya
kualitas pengambilan keputusan, merusak hubungan antar pribadi dan meningkatnya angka kecelakaan. Beban kerja berlebih berakibat pada lebih
rendahnya kepercayaan diri, menurunnya motivasi kerja, dan meningkatnya absensi Gibson, 2002.
Universitas Sumatera Utara
d Tidak ada control, stressor besar yang dialami oleh banyak karyawan adalah
tidak adanya pengendalian atas suatu situasi, langkah kerja, urutan kerja, pengambilan keputusan, waktu yang tepat, penetapan standar kualitas sendiri,
dan kendali jadwal adalah penting Gibson, 2002. e
Tanggung jawab, dibedakan dengan menggunakan istilah tanggung jawab bagi orang vs tanggung jawab bagi sesuatu. Perawat bagian UGD, ahli bedah
syaraf, dan pengatur lalu lintas udara memiliki tanggung jawab yang tinggi bagi orang. Suatu studi mendapatkan dukungan bagi hipotesa bahwa tanggung
jawab bagi orang menyumbang stres yang berhubungan dengan kerja Gibson, 2002.
3 Stressor Kelompok Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai
faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi. Hubungan kerja yang tidak baik antar sesama rekan, atasan, dan bawahan terungkap dalam gejala-gejala adanya
kepercayaan rendah, taraf pemberian dukungan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah organisasi Munandar, 2001.
4 Stressor Organisasional Faktor stres yang ditemukan dalam kategori ini terpusat pada sejauh mana
para karyawan dapat terlibat atau berperan serta dalam mengambil keputusan. Partisipasi menunjuk pada luasnya pengetahuan, opini, dan ide seseorang termasuk
didalam proses keputusan. Kurangnya partisipasi para karyawan dalam mengambil keputusan dapat memberi sumbangan pada stres. Peningkatan peluang untuk berperan
Universitas Sumatera Utara
serta menghasilkan peningkatan unjuk kerja dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik Munandar, 2001.
2.2.3. Teori tentang Konflik Kerja 2.2.3.1. Pengertian Konflik
Dalam setiap organisasi, agar setiap organisasi berfungsi secara efektif, maka individu dan kelompok yang saling bergantungan harus membentuk hubungan kerja
dalam lingkungan batas organisasi. Untuk memperoleh informasi, bantuan, atau tindakan yang terkoordinasi, ketergantungan, semacam dapat membantu
perkembangan kerjasama dan konflik. Menurut Robbins 2002 mendefenisikan kon
flik sebagai situasi yang mana individu seseorang dihadapkan dengan harapan-harapan peran yang berlainan. Jadi,
konflik peran timbul bila individu dalam peran tertentu dibingungkan oleh tuntutan kerja atau keharusan melakukan sesuatu yang berbeda dari yang diinginkannya atau
yang tid ak merupakan bagian dari bidang kerjanya. Greenberg dan Baron 2003 mengutarakan bahwa konflik terjadi sebagai suatu proses bahwa satu pihak atau satu
kelompok merasakan ada pihak atau kelompok lain yang telah mengambil atau akan mengambil tindakan negatif yang akan berpengaruh pada tujuan utama kelompoknya.
Menurut Mangkunegara 2001 Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seorang terhadap dirinya, orang lain, orang dengan
kenyataan apa yang diharapkan.
Universitas Sumatera Utara
Konflik merupakan sebuah situasi, dimana dua orang atau lebih menginginkan tujuan-tujuan yang menurut persepsi mereka dapat dicapai oleh salah seorang
diantara mereka, tetapi hal itu tidak mungkin dicapai oleh kedua belah pihak Winardi, 2004.
Kemungkinan timbulnya konflik besar sekali dalam kerangka-kerangka keorganisasian. Dalam kehidupan organisasi, pendapat tentang konflik dapat dilihat
dari 3 sudut, pandang, yaitu : 1.
Pandangan Tradisional, berpendapat bahwa konflik merupakan sesuatu yang diinginkan dan berbahaya bagi kehidupan organisasi.
2. Pandangan Perilaku, berpendapat konflik merupakan suatu kejadian atau
peristiwa yang biasa terjadi dalam kehidupan organisasi, yang biasa bermanfaat konflik fungsional dan bisa pula merugikan organisasi konflik disfugsional.
3. Pandangan Interaksi, berpendapat bahwa konflik merupakan suatu peristiwa yang
tidak dapat terhindarkan dan sangat diperlukan bagi pemimpin organisasi. Berdasarkan ketiga pandangan tentang konflik tersebut, pihak pemimpin
organisasi perlu menganalisis dengan nyata konflik yang terjadi diorganisasi, apakah konflik itu fungsional atau disfungsional dan bagaimana manajemen konflik agar
berpengaruh positif bagi kemajuan organisasi. 1.
Pandangan Tradisional, berpendapat bahwa konflik merupakan sesuatu yang diinginkan dan berbahaya bagi kehidupan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Pandangan Perilaku, berpendapat konflik merupakan suatu kejadian atau
peristiwa yang biasa terjadi dalam kehidupan organisasi, yang biasa bermanfaat konflik fungsional dan bisa pula merugikan organisasi konflik disfugsional.
3. Pandangan Interaksi, berpendapat bahwa konflik merupakan suatu peristiwa yang
tidak dapat terhindarkan dan sangat diperlukan bagi pemimpin organisasi. Berdasarkan ketiga pandangan tentang konflik tersebut, pihak pemimpin
organisasi perlu menganalisis dengan nyata konflik yang terjadi diorganisasi, apakah konflik itu fungsional atau disfungsional dan bagaimana manajemen konflik agar
berpengaruh positif bagi kemajuan organisasi Munandar, 2001. Kreitner dan Kinicki 2001 membedakan empat tipe konflik, yaitu :
1. Personality conflict yaitu konflik antar personal yang didorong oleh ketidak
senangan atau ketidak cocokan pribadi. 2.
Value conflict adalah konflik karena perbedaan pandangan atas tata nilai tertentu. 3.
Intergroup conflict merupakan pertentangan antar kelompok kerja, team dan departemen.
4. Cross-Cultural conflict merupakan pertentangan yang terjadi antar budaya yang
berbeda.
2.2.3.2. Tingkatan Konflik