IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN UKM RI NO 98 KEP M.KUKM IX 2004 TENTANG NOTARIS SEBAGAI PEMBUAT AKTA KOPERASI DI DINAS PELAYANAN KOPERASI DAN UKM PROVINSI JAWA TENGAH

(1)

IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI

NEGARA KOPERASI DAN UKM RI NO :

98/KEP/M.KUKM/IX/2004 TENTANG NOTARIS

SEBAGAI PEMBUAT AKTA KOPERASI

DI DINAS PELAYANAN KOPERASI DAN UKM

PROVINSI JAWA TENGAH

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Hukum dan Kebijakan Publik

Oleh :

ENI PURBOWATI N I M : S. 310306006

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009


(2)

IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI

NEGARA KOPERASI DAN UKM RI NO :

98/KEP/M.KUKM/IX/2004 TENTANG NOTARIS

SEBAGAI PEMBUAT AKTA KOPERASI

DI DINAS PELAYANAN KOPERASI DAN UKM

PROVINSI JAWA TENGAH

Disusun Oleh :

ENI PURBOWATI N I M : S. 310306006

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal

Pembimbing I DR. Jamal Wiwoho, SH, M.Hum . . . . . . . NIP. 131 658 560

Pembimbing II Joko Poerwono, SH, MS . . . . . . NIP. 130 794 453

Mengetahui :

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S NIP. 130 345 735


(3)

IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI

NEGARA KOPERASI DAN UKM RI NO :

98/KEP/M.KUKM/IX/2004 TENTANG NOTARIS

SEBAGAI PEMBUAT AKTA KOPERASI

DI DINAS PELAYANAN KOPERASI DAN UKM

PROVINSI JAWA TENGAH

Disusun Oleh :

ENI PURBOWATI N I M : S. 310306006

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal

Ketua Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS. ………... …………..

Sekertaris ………... …………..

Anggota Penguji 1. Dr. Jamal Wiwoho, SH, M.Hum

2. Joko Poerwono, SH, MS

………..

………

…………..

…………..

Mengetahui Ketua Program

Studi Ilmu Hukum

Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS. NIP. 130 345 735

……….. ………….

Direktur Program Pascasarjana

Prof. Drs. Suranto, MSc. Ph.D NIP. 130 472 192


(4)

PERNYATAAN

Nama : ENI PURBOWATI NIM : S. 310306006

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul : “Implementasi Kepmennegkop dan UKM RI nomor : 98/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi Pada Dinas Pelayanan Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah “ adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Pebruari 2009 Yang membuat pernyataan,


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik dan lancar.

Penulisan tesis dengan judul “Implementasi Kepmengkop dan UKM RI Nomor : 98/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi Pada Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah” merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh semua mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar pertimbangan oleh Pemerintah dan Masyarakat pemohon akta koperasi untuk melakukan evaluasi kebijakan yang telah dilakukan khususnya dalam hal Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi..

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat selesai berkat bantuan serta dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : 1. Prof. Dr. dr. Much. Syamsulhadi, SpKJ, Rektor Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

2. Prof. Drs, Suranto, MSc, Ph.D, Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(6)

3. Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS, Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan dorongan dan kemudahan untuk menyelesaikan tesis ini.

4. Dr. Hartiwingsih, SH, M, Hum Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Program Pasacasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi kelancaran untuk menyelesaikan tesis ini.

5. Dr. Jamal Wiwoho, SH, M.Hum, selaku pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.

6. Joko Poerwono, SH, MS, selaku pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan motivasi dalam penyelesaian tesis ini.

7. Para Dosen dan Staf Pengajar Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

8. Seluruh staf Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bantuan serta pelayanan selama penulis menempuh kuliah di Pascasarjana.

9. Drs. Abdul Sulhadi, MSi selaku Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah yang telah memberi ijin untuk menempuh pendidikan pasca sarjana dan memberikan ijin penelitian.

10. Para Notaris yang telah bersedia menjadi responden dan memberi informasi dalam pengumpulan data untuk penulisan tesis.


(7)

11. Rekan-rekan kerja di Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah yang telah memberi semangat, motivasi serta dukungan untuk melanjutkan studi S2.

12. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Angkatan 2006 , konsentrasi Hukum dan Kebijakan Publik atas kerja samanya, dan kebersamaannya selama menempuh kuliah di Pascasarjana

13. Suami, Anak, Orang Tuaku dan Saudara-saudaraku , sahabat-sahabatku yang dengan sabar telah memberi dorongan, semangat dan motivasi serta selalu mendoakan, sehingga penelitian ini dapat selesai dan penulis dapat menyelesaikan studi di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu yang telah memberikan dukungan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dan studi di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, karena masih terbatasnya kemampuan penulis, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi siapa saja dan bermanfaat pada disiplin Ilmu Hukum, khususnya dalam masalah Hukum dan Kebijakan Publik.

Surakarta, Pebruari 2009 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN PENGUJI TESIS ... iii

PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR BAGAN ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

ABSTRAK ... xv

ABSTRACK ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

1. Tujuan Umum ... 5

2. Tujuan Khusus ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

1. Manfaat Teoritis... 6


(9)

E. Penelitian Yang Relevan ... 7

BAB II. KERANGKA TEORITIK ... 8

A. Landasan Teori ... 8

1. Teori Bekerjanya Hukum ... 8

2. Teori Kebijakan Publik ... 14

3. Implementasi Kebijakan Publik... 26

4. Hubungan Hukum dengan Kebijakan Publik ... 31

5. Notaris ... 34

6. Keputusn Menegkop dan UKM RI No : 98/Kep/M.KUKM/IX/2004 ... 37

7. Koperasi ……….. ... 41

B. Kerangka Berpikir ... 49

BAB III. METODE PENELITIAN ... 52

A. Jenis Penelitian ... 53

B. Lokasi Penelitian ... 54

C. Jenis Dan Sumber Data ... 55

D. Teknik Pengumpulan Data ... 58

E. Tehnik Sampling ... 60

F. Teknik Analisa Data ... 61

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 64

A. Hasil Penelitian ... ... 64


(10)

2. Kedudukan, tugas pokok dan fungsi Dinas Pelayanan Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah ... 65 3. Implementasikan Keputusan Menteri Negara Koperasi

dan UKM RI Nomor 98 / Kep / M.KUKM/ IX / 2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi . pada Dinas Pelayanan Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah ... 74

a. Implementasi yang dilakukan oleh masyarakat pemohon akta koperasi. ... 74 b. Implementasi yang dilakukan oleh Notaris Pembuat

Akta Koperasi. ... 83 c. Implementasi yang dilakukan oleh Dinas Pelayanan

Koperasi dan UKM Propinsi Jawa Tengah ... 102 d. Permasalahan yang dihadapi dan solusinya ... 128 B. Pembahasan ... 132

1) Langkah-langkah yang dilaksanakan dalam implementasi Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI ... 132 2) Keputusan menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor

: 98/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi ... 137 3) Permasalahan dan solusinya. ... 147


(11)

BAB V. PENUTUP ... 149

A. Kesimpulan ... 149

B. Implikasi ... 155

C. Saran ... 157 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman Tabel 1. Data permohonan dan pengesahan badan hukum koperasi ... 103


(13)

DAFTAR BAGAN

Bagan Halaman Bagan 1. Alur Kerangka Berpikir Penyelesaian Masalah ... 51 Bagan 2. Proses Analisis Data (Interactive Model of Analysis) Menurut

Miles dan Huberman ... 63 Bagan 3. Struktur Organisasi Dinas Pelayanan Koperasi dan UKM


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

2. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor : 98 / Kep / M.KUKM / IX / 2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi.


(15)

ABSTRAK

Eni Purbowati, S 31030606, Implementasi Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor : 98 / Kep / M.KUKM / IX /2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi di Dinas Pelayanan Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah . Thesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor : 98 / Kep / M.KUKM / IX / 2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi, penyebab kurang efektifnya Keputusan Menteri dimaksud, serta permasalahan dan solusi yang dihadapi dalam pengesahan badan hukum koperasi.Penelitian ini adalah penelitian sosiologis ( non doktrinal ) dengan pendekatan kualitatif . Lokasi penelitian di Dinas Pelayanan Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, sedangkan tehnik pengumpulan data melalui wawancara , quesiner, observasi dan studi kepustakaan. Analisa data menggunakan analisa data kualitatif dengan model interaktif yang terdiri dari reduksi data dan penyajian data dan ditarik suatau kesimpulan.

Berdasar hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa implementasi Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor : 98/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Notaris Sebagai Pembeuat Akta Koperasi yang telah dilakukan 1.langkah-langkah oleh masyarakat : mengikuti sosialisasi, mengadakan rapat pembentukan koperasi, menghadap notaris untuk membuat akta autentik, mengajukan permohonan pengesahan akta badan hukum koperasi, langkah-langkah yang dilakukan notaris adalah mengikuti pembekalan perkoperasian, mengajukan permohonan menjadi Notaris Pembuat Akta Koperasi, membuat akta koperasi, menyimpan minit akta koperasi, membacakan akta koperasi, mengirimkan laporan tahunan, mengeluarkan salinan akta, mengajukan pengesahan akta pendirian badan hukum koperasi, sedang oleh Dinas Pelayanan Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah adalah sosialisasi melalui berbagai media, verifikasi persyaratan dan materi, survey lokasi koperasi, , mengesahkan akta pendirian badan hukum koperasi, mencatat dalam buku daftar umum koperasi, menyempaikan surat pengesahan kepada pendiri koperasi dan mengumumkan dalam Berita Negara RI. 2.Penyebab kurang efektifnya Keputusan Menteri dimaksud dapat dianlisa dari faktor substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum .3. Permasalahan yang dihadapi adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya akta autentik pendirian badan hukum koperasi, biaya Notaris yang relatif tinggi dan tidak adanya keseragaman tarif, akta Notaris banyak yang salah dan banyaknya Notaris yang tidak berwenang membuat akta koperasi yang disebabkan yang bersangkutan belum mengajukan permohonan untuk ditetapkan menjadi Notaris Pembuat Akta Koperasi. Solusi dari permasalahan tersebut adalah dilakukan sosialisasi terus menerus terhadap masyarakat, dibuatnya kesepakatan tarif pembuatan akta koperasi antar Notaris, dilakukan pelatihan perkoperasian bagi Notaris dan dibuat himbauan kepada Notaris unutk segera mengajukan permohonan untuk ditetapkan menjadi Notaris Pembuat Akta Koperasi.


(16)

ABSTRACT

Eni Purbowati, S. 31030606, Decree Implementation of Co-operation and UKM State Minister RI Number : 98 / Kep / MKUKM / IX /2004 about Notary as Cooperation Act Maker in Cooperation and UKM Serving Department of Central Java Province. Thesis : Postgraduate Program of Sebelas Maret University Surakarta.

This research purposes to know Decree Implementation of Co-operation and UKM State Minister RI Number : 98 / Kep / M.KUKM / IX / 2004 about Notary as Cooperation Act Maker, cause of less effectively Ministerial Decree intended, and also problems and solution which faced in authentication of body corporate cooperation. This research is sociology research (non doctrinal) with qualitative approach. Research location in Cooperation and UKM Serving Department of Central Java Province. Data type which used are primary and secondary data, while data collecting technique through interview, questionnaire, observation and bibliography study. Data analysis applies qualitative data analysis with interactive model which consisted of data reduction and data presentation and then pulled conclusion.

According to research result and discussion can be concluded that Decree Implementation of Co-operation and UKM State Minister RI Number : 98/Kep/M.KUKM/IX/2004 about Notary as Cooperation Act Maker which have done are : 1. Steps which have done by society : following socialization, hold meeting cooperation forming, faces notary to make authentic act, propose authentication cooperation body corporate act, steps which have to done by notary are following cooperation stock purchasing, propose application as Notary of Cooperation Act Maker, make cooperation act, keeping minit of cooperation act, reads cooperation act, sends annual report, releases act copies, submit authentication of bill establishment of body corporate corporation, while Cooperation and UKM Serving Department of Central Java Province are socialization through various media verification of clauses and material, cooperation location survey, authenticates bill of establishment of body corporate cooperation, register in time table book cooperation, submit authentication letter to cooperation founder and announcer in Official Gazette RI. 2. Causes of less effectively of Ministerial Decree above analyzable from law substance factor, law structure and law culture. 3. Problems which faced are lack of knowledge and awareness of public about importance of establishment act authentic of body corporate cooperation, notary cost which relative high and inexistence of tariff uniformity, there are much fault in notary act and many Notary which have no authority to make cooperation act which caused he has not applied to become cooperation act maker Notary. Solution from that problems have done continuous socialization to public, create of agreement about cooperation act making tariff between notaries, conducted cooperation training for notaries and made advice to notaries for applies to be specified to become Cooperation Act Maker Notary as soon as possible.


(17)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Setelah pemerintah mengikutsertakan profesi hukum, khususnya

notaris, dalam proses pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar,

hingga pembubaran koperasi, implementasinya hingga kini masih

mengundang banyak pertanyaan. Ada anggapan upaya itu mempersulit

pendirian koperasi. Disisi lain langkah ini diharapkan dapat membendung

lahirnya koperasi jadi-jadian alias yang tidak berbasis anggota.

Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Koperasi dan

UKM RI Nomor : 98 / Kep / M. KUKM / IX / 2004, Tentang Notaris Sebagai

Pembuat Akta Koperasi dan ditandatanganinya Nota Kesepahaman

(Memorandum of understanding) antara Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dengan Ikatan Notaries Indonesia (INI) pada tanggal 4

Mei 2004, maka sejak itu dimulai era baru dalam kelembagaan koperasi di

Tanah Air.

Pendirian koperasi tidak sekedar cukup hanya ditandatangani oleh 20

orang saja (sesuai dengan pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun

1992 tentang Perkopersian) dan mendapat pengesahan dari Dinas yang

membidangi koperasi setempat, tetapi juga harus dicatat dalam sebuah akta


(18)

Sampai saat inipun publik masih bertanya – tanya, apa sebenarnya

yang melatar belakangi dikeluarkanya Keputusan Menteri Negara Koperasi

dan UKM Nomor : 98 / Kep / M. KUKM / IX / 2004 tersebut dan kebijakan

seperti apa yang akan diambil lebih lanjut.

Otentisasi akta – akta perkoperasian, seperti akta pendirian yang

memuat anggaran dasar , akta berita acara rapat anggota, dan akta keputusan

rapat anggota kiranya akan lebih memberikan kepastian hukum kepada semua

pihak yang terkait dengan keberadaan suatu koperasi (Yuyun Kartasasmita.

2004 : 14).

Namun kita melihat undang-undang koperasi belum mengatur tentang

siapa yang berwenang untuk membuat akta otentik yang berkaitan dengan

bidang perkoperasian. Keadaan ini mengakibatkan bahwa akta-akta koperasi

yang disahkan pejabat pemerintah dalam proses pengesahan akta pendirian,

perubahan anggaran dasar dan pembubaran koperasi , pada umumnya masih

dibuat sendiri oleh pendiri koperasi dengan akta-akta dibawah tangan yang

kurang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti yang kuat terhadap

pihak ketiga dan relasi bisnis dari koperasi. Pada beberapa kasus, sebenarnya

ada pula diantara akta pendirian koperasi tersebut yang dibuat oleh para

pendiri dengan bantuan dan bimbingan dari pegawai instansi pemerintah yang

membidangi koperasi, sebelum akta itu disahkan oleh pejabat yang berwenang

(Sumber : Safitri Handayani, Kasubag Hukum dan Kelembagaan Dinas


(19)

Keadaan ini menunjukkan bahwa pemantapan kedudukan koperasi dari

aspek hukum perusahaan belum dilaksanakan secara efektif (Rai Widjaya.

2000 : 19). Pegawai yang selama ini memberikan bantuan dalam penyusunan

akta pendirian koperasipun belum dibekali keahlian yang dibutuhkan, dan

pada umumnya tidak mempunyai latar belakang pengetahuan tentang

dasar-dasar teknis pembuatan akta , masalah hukum perusahaan, masalah perjanjian,

masalah perpajakan koperasi dan masalah penerapan prinsip-prinsip koperasi

dalam organisasi koperasi dan berbagai aspek hukum yang terkait dengan

keberadaan badan hukum koperasi dalam lalu lintas bisnis. Bahkan keikut

sertaan pegawai pemerintah dalam masalah internal koperasi selama ini

mengakibatkan kerugian dari dua aspek. Pertama, munculnya tudingan yang

menyatakan pegawai pemerintah telah ikut campur dalam urusan internal

koperasi. Kedua, kehadiran pegawai pemerintah tersebut dalam masalah

internal koperasi mengakibatkan keengganan dan kesungkanan dunia profesi

dalam masyarakat dan masyarakat luas untuk berpartisipasi dalam

pengembangan koperasi.

Kenyataan yang terjadi , bahwa upaya Menteri Negara Koperasi dan

Usaha Kecil Menengah dengan menerbitkan Keputusan Menteri Negara

Koperasi dan UKM RI Nomor : 98 / Kep/ M. KUKM/ IX / 2004 tentang

Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi sebagai upaya untuk memperkokoh

landasan hukum Koperasi belum sepenuhnya dikatakan berhasil. Hal ini

terlihat dari jumlah pengesahan akta pendirian koperasi , yang mana sejak


(20)

dengan tahun 2007 Dinas Pelayanan Koperasi dan UKM Provinsi Jawa

Tengah hanya mengesahkan 35 akta badan hukum koperasi , sangat sedikit

apabila dibandingkan dengan pengesahan tahun sebelum dikeluarkannya

Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM dimaksud yang rata-rata setiap

tahun mencapai 301 sampai dengan 319 akta badan hukum koperasi (Sumber :

Dinas Pelayanan Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah).

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis berkeinginan untuk mengkaji

implementasi dari Keputusan Menteri dimaksud , khususnya faktor-faktor

yang mempengaruhi efektifitas berlakunya Keputusan Menteri tersebut .

Berdasarkan hal-hal yang telah penulis sebutkan di atas, maka penulis

berkeinginan untuk menulis tesis dengan judul : IMPLEMENTASI

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL

DAN MENENGAH RI NO: 98/KEP/M.KUKM/IX/2004 TENTANG

NOTARIS SEBAGAI PEMBUAT AKTA KOPERASI DI DINAS

PELAYANAN KOPERASI DAN USAHA KECIL MENENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka

menurut penulis perlu dirumuskan suatu permasalahan yang disusun scara

sistimatis, sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, tegas, terarah


(21)

penelitian akan mencapai tujuan yang diharapkan. Adapun permasalahan yang

akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Langkah – langkah apakah yang dilakukan oleh Dinas Pelayanan Koperasi

dan Usaha Kecil Menengah, Notaris dan Masyarakat pemohon akta

koperasi dalam mengimplementasikan Keputusan Menteri Negara

Koperasi dan UKM RI Nomor : 98 / Kep / M.KUKM / IX / 2004 Tentang

Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi ?.

2. Apakah Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor

98/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta

Koperasi dimaksud efektif dalam diimplementasinya ?

3. Permasalahan apakah yang dihadapi dalam mengimplementasikan

Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor : 98 / Kep /

M.KUKM / IX / 2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi

dan bagaimanakah solusinya ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

a. Untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan oleh Dinas

Pelayanan koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah, Notaris dan

masayarakat pemohon akta pendirian Koperasi dalam

mengimplementasikan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM

RI Nomor : 98 / Kep / M.KUKM / IX / 2004 Tentang Notaris Sebagai


(22)

b. Untuk mengetahui apakah Keputusan Menteri Negara Koperasi dan

UKM RI Nomor : 98 / Kep / M.KUKM / IX / 2004 tentang Notaris

Sebagai Pembuat Akta Koperasi efektif untuk diimplementasikan

c. Untuk mengetahui permasalahan dan solusi berkaitan dengan

dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI

Nomor : 98 / Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Notaris Sebagai

Pembuat Akta Koperasi.

2. Tujuan khusus

a. Untuk memenuhi syarat akademik guna memperoleh gelar Magister

Ilmu Hukum dalam bidang Ilmu Hukum pada Program Pasca Sarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah wawasan dalam memperluas pamahaman mengenai

Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi beserta pengesahannya.

D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian seperti tersebut diatas maka hasil

penelitian diharapkan dapat bermanfaat antara lain :

1. Secara teoritis memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan

ilmu hukum khususnya bidang hukum dan kebijakan publik.

2. Secara praktek sebagai suatu bahan pertimbangan dalam upaya


(23)

3. Untuk penulis secara pribadi adalah sebagai tugas akhir dan syarat dalam

menyelesaikan studi magister ilmu hukum di Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

E. Penelitian yang relevan

Penelitian tentang Implementasi Keputusan Menteri Negara Koperasi

dan UKM RI Nomor : 98 / Kep / M.KUKM / IX / 2004 tentang Notaris

Sebagai Pembuat Akta Koperasi sepengetahuan penulis belum ada penelitian


(24)

BAB II

KERANGKA TEORITIK

A. Landasan Teori

1. Teori Bekerjanya Hukum.

Kehidupan dalam masyarakat sebenarnya berpedoman pada suatu

aturan yang oleh sebagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati

oleh karena merupakan pegangan baginya. Hubungan-hubungan antar

manusia serta antara manusia dengan masyarakat atau kelompoknya,

diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah, dan peri

kelakuannya semakin lama melembaga menjadi pola-pola. Kaidah-kaidah

dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat

adalah beragam macamnya, dan kaidah yang penting adalah kaidah-kaidah

hukum, selain kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan.

Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo (dalam OK

Khairiddin. 1991 : 141) bahwa hukum dalam perkembangannya tidak

hanya dipergunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah

laku yang terdapat di dalam masyarakat, melainkan juga untuk

mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan

kebiasaan-kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan

pola-pola kelakuan baru dan sebagainya.

Hal itu dikarenakan hukum merupakan suatu kebutuhan

masyarakat sehingga ia bekerja dengan cara memberikan petunjuk tingkah


(25)

kehendak manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Ia merupakan

pencerminan kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya

masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan.

Hukum diciptakan untuk mengatur pola hubungan tingkah laku

masyarakat atau kelompok dalam proses interaksi antara satu dengan

lainnya dalam masyarakatpun yang dapat hidup atau bertahan tanpa

hukum yang mengaturnya. Bagaimanapun bentuk ataupun susunan

masyarakatnya ( baik pada masyarakat modern maupun pada masyarakat

sederhana ) hukum itu tetap ada ( OK Khairuddin, 1991 : V ).

Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep yang

abstrak, sekalipun abstrak tapi ia dibuat untuk mengimplementasikan

dalam kehidupan sosial sehari-hari. Oleh karena itu, perlu adanya suatu

kegiatan untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan

merupakan suatu penegakan hukum ( Esmi Warassih, 2005 : 78 ).

Pada penegakan hukum bersinggungan dengan banyak aspek yang

lain yang melingkupinya. Suatu hal yang pasti, bahwanusaha mewujudkan

ide atau nilai selalu melibatkan lingkungan serta berbagai pengaruh factor

lainnya, oleh karena itu penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai

suatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu berada diantara berbagai

factor.

Menurut E. Utrecht ( dalam Chainur Arrasyid, 2004 : 21 ), hukum

adalah himpunan petunjuk hidup ( perintah dan larangan ) yang mnegatur


(26)

masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan pemerintah

dan masyarakat itu sendiri.

Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan

atau kepentingan-kepentingan yang hendak dipenuhinya. Namun tidak

semua masyarakat mempunyai kebutuhan atau kepentingan yang sama,

dan bahkan tidak jarang pula bertentangan satu sama lain. Dilain pihak

didasari pula bahwa terpenuhinya suatu kebutuhan manusia dapat

diselenggarakan di dalam masyarakat yang tertib dan aman.

Hukum juga mempunyai kemampuan untuk menjalankan fungsi

pengawasan (mekanisme control). Mekanisme kontrol ini bermaksud untuk menjaga kestabilan dalam masyarakat agar orang tetap patuh

kepadaaturan-aturan yang sudah ditentukan (OK. Khairuddin, 1991 : 86).

Sedangkan orang patuh pada hukum dikarenakan bermacam sebab

sebagaimana dikatakan Utrecht (dalam R. Soeroso, 2002 : 65) antara lain:

a. Orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu dirasakan sebagai

hukum, mereka berkepentingan akan berlakunya peraturan tersebut.

b. Karena mereka harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman

c. Karena masyarakat menghendakinya

d. Karena adanya paksaan (sanksi sosial).

Pola-pola dan kaidah hukum dapat dijumpai disetiap kehidupan

masyarakat baik masyarakat tradisionil maupun masyarakat modern.

Kaidah dan pola hukum tersebut mengatur hampir seluruh segi kehidupan


(27)

Satjipto Raharjo (2000 : 13), berpendapat bahwa masyarakat dan

ketertibannya merupakan dua hal yang berhubungan sangat erat, bahkan

bisa juga dikatakan sebagai dua sisi dari mata uang, susah untuk

mengatakan adanya masyarakat tanpa adanya ketertiban, bagaimanapun

kualitasnya. Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama oleh

berbagai lembaga secara bersama-sama seperti hukum dan tradisi. Oleh

karena itu di dalam masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma

yang masing-masing memberikan sahamnya dalam menciptakan

ketertiban itu.

Hukum memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakatnya,

karena hukum itu sendiri merupakan sarana pengatur masyarakat dan

bekerja di dalam masyarakat. Hukum tidak terlepas dari gagasan maupun

pendapat yang hidup di kalangan anggota masyarakat. Struktur masyarakat

bisa menjadi penghambat sekaligus dapat memberikan sarana-sarana

sosial, sehingga hukum bisa diterapkan dengan sebaik-baiknya (Esmi

Warassih, 2005 : 85).

Berbagai pengertian hukum sebagai suatu sistim hukum

dikemukakan antara lain oleh Lawrence M Friedman (dalam Esmi

Warassih, 2005 : 30) mengatakan bahwa hukum itu merupakan gabungan

komponen struktur, substansi dan kultur yakni :

a. Komponen struktur, yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistim

hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam mendukung


(28)

melihat bagaimana sistim hukum itu memberikan pelayanan terhadap

penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.

b. Komponen substantif, yaitu sebagai output dari sistim hukum berupa

peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh

pihak yang mengatur maupun pihak yang diatur.

c. Komponen kultur, yakni terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang

mempengaruhi bekerjanya hukum atau oleh Laurence M. Friedman

disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi

sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum

dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.

Bertolak dari rangkaian pembahasan tersebut dapat disimpulkan

bahwa pada dasarnya hukum mempunyai banyak fungsi dalam usahanya

mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu dalam

perumusannya sebagai hukum positif harus dipahami suatu sistim norma.

Pemahaman ini penting artinya untuk menghindari terjadinya kontradiksi

atau pertentangan antara norma hukum yang lebih tinggi dengan norma

hukum yang lebih rendah kedudukannya. Pemahaman ini semakin penting

artinya apabila kita tetap berkeinginan agar keberadaan ( eksistensi )

hukum sebagai suatu sistim norma mempunyai daya guna dalam

menjalankan tugasnya di masyarakat.

Dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan

maka sistim hukum itu dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan


(29)

menghambat terealisasikannya tujuan yang ingin dicapai. Sistim hukum

dapat dikatakan efektif bila perilaku-perilaku manusia di dalam

masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam

aturan-aturan hukum yang berlaku. Paul dan Dias ( dalam Esmi Warassih, 2005

: 105 – 106 ) mengajukan 5 ( lima ) syarat yang harus dipenuhi untuk

mengefektifkan sistim hukum, yaitu :

a. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan

dipahami.

b. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi

aturan-aturan hukum yang bersangkutan.

c. Efisien dan efektif tidaknya mobilitas aturan-aturan hukum

d. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah

dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga

harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa

e. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga

masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu

memang sesungguhnya berdaya kemempuan yang efektif.

Pada penulisan tesis ini akan dilihat efektifitas bekerjanya hukum


(30)

98 / Kep / M.KUKM /IX / 2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta

Koperasi dengan menggunakan teori bekerjanya hukum dari Lawrence M.

Friedman.

2. Kebijakan Publik

a. Pengertian Kebijakan Publik.

Kata kebijakan publik berasal dari kata asing yaitu “public policy”. Di Indonesia istilah public policy masih berlum mendapatkan terjemahan yang pasti. Ada beberapa sebutan seperti : kebijaksanaan

publik, kebijaksanaan pemerintah, kebijaksanaan negara dan lain

sebagainya.

Kebijakan dari segi istilah menunjukkan pengertian yang

sifatnya tetap, serta melekat pada seseorang yang tidak berubah kecuali

adanya sebab untuk perkembangan. Oleh karena itu kebijakan yang

merupakan pengertian yang statis.

Public policy yang diterjemahkan secara bebas sebagai kebijakan publik, dalam khasanah ilmu administrasi dimaknai secara

beragam. Thomas R Dye (dalam Budi Winarno, 2002 : 15)

mendefenisikan kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh

pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Sedangkan Harold

Lasswell (dalam Irfan Islamy, 2004 : 15 dan 17) mengartikan

kebijakan publik sebagai serangkaian program terencana yang meliputi


(31)

Islamy, 2002 : 17) mengartikannya sebagai tindakan tertentu yang

telah ditentukan atau pernyataan mengenai sebuah kehendak.

Dalam bahasan yang lebih luas, Lester (dalam Budi Winarno.

2002 : 25) memberikan usulan definisi kebijakan publik, yaitu proses

atau serangkaian keputusan pemerintah yang didesain untuk mengatasi

masalah publik. Dalam konseptualisasi tersebut, kebijakan publik

mempunyai karakteristik dimana kebijakan akan diformulasikan,

diimplementasikan, dan dievaluasi oleh kewenangan atau otoritas yang

berada dalam suatu sistem politik. Satu hal yang harus dicatat adalah

kenyataan bahwa kebijakan publik selalu menjadi subyek yang akan

diubah berdasarkan informasi yang lebih baru dan lebih baik yang

diperoleh berkaitan dengan efek yang timbul dari kebijakan tersebut.

Menurut Carl J Friedrich (dalam Irfan Islamy, 2004 : 17 dan

18) kebijaksanaan negara adalah suatu arah tindakan yang mengarah

pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, sekelompok atau

pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya

hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang

mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan (Solichin

Abdul Wahab, 2004 : 13).

Menurut Heinz Eulau dan Kenneth (dalam Sarjiyati, 2006 ; 15)

Kebijakan public adalah keputusan tetap yang dicirikan oleh konsisten

dan pengulangan (repetitiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari merekan yang mematuhi keputusan tersebut.


(32)

Istilah public policy yang disamakan dengan istilah kebijakan public, kebijaksanaan pemerintah, kebijaksanaan negara atau yang

lainnya, John Lock dan juga Soenarko berpendirian yaitu apabila

sesuatu yang dimaksud itu sudah mengerti bersama maka soal nama itu

tergantung pada masing-masing perseorangan.

Dari definisi-definisi itu didapatkan pengetahuan pokok yang

dapat dikembangkan lebih lanjut, sehingga mempunyai pengetahuan

yang lebih cukup tentang public policy tersebut. Dengan definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat ditangkap

makna dan hakekat public policy atau kebijaksanaan pemerintah yaitu merupakan suatu keputusan oleh pejabat pemerintah yang berwenang

untuk kepentingan rakyat (public interest) sebagaimana kepentingan rakyat tersebut merupakan keseluruhan yang utuh dari perpaduan dan

kristalisasi dari pendapat-pendapat, keinginan-keinginan, dan

tuntutan-tuntutan (demand) dari rakyat.

Dengan mempelajari beberapa pengertian dan konsepsi tentang

kebijakan publik, maka semakin bertambah pula pemahaman

mengenai kebijakan publik. Pengertian-pengertian diatas memberikan

gambaran dimensi yang dimiliki kebijakan publik, sehingga diperlukan

langkah mengidentifikasi dari kebijakan publik itu sendiri.

Kebijakan publik menurut Raksasatya (dalam Irfan Islamy,

2004 : 17-18) pada dasarnya memiliki 3 (tiga) elemen yaitu :


(33)

2) Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan

yang diinginkan

3) Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan

secara nyata dari taktik meupun strategi diatas.

Menurut Solikhin Abdul Wahab (2001;5), karakteristik

kebijakan publik dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1) Adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai yaitu pemecahan

masalah publik

2) Adanya tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan

3) Merupakan fungsi pemerintahan sebagai pelayan publik

Adakalanya berbentuk ketetapan pemerintah yang bersifat

negatif yaitu ketetapan untuk tidak melakukan tindakan apa-apa.

Implikasi pengertian kebijakan publik tersebut menurut James

E Anderson (dalam Budi Winarno, 2002 : 15) dinyatakan bahwa :

1) Kebijakan publik tersebut mempunyai tujuan tertentu atau

merupakan tindakan yang berorentasi pada tujuan

2) Tindakan-tindakan tersebut berisi pola-pola tindakan pejabat

pemerintah

3) Kebijakan tersebut adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh

pemerintah, jadi bukan apa yang masih menjadi maksud dari

pemerintah yang akan melakukan atau menyatakan sesuatu.

4) Tindakan publik tersebut bisa bersifat positif, dalam arti


(34)

tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan

pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu

5) Kebijakan pemerintah dalam arti positif, didasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang bersifat memaksa.

b. Proses Kebijakan Publik

Kebijakan publik lahir dengan melalui tahapan atau proses

yang panjang . Proses pembuatan Kebujakan merupakan proses yang

kompleks. Karena melibatkan banyak sekali proses maupun variabel

yang harus dikaji. Menurut William M Dunn (2000 : 24) bahwa proses

penyusunan kebijakan publik melalui tahap –tahap :

1) Tahap Penyusunan Agenda.

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan

masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini

sudah berkompetisi untuk masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada

tahap ini dimungkinkan suatu masalah tidak tersentuh sama sekali,

dan beberapa pembahasan untuk beberapa masalah ditunda untuk

waktu yang lama.

2) Tahap Formulasi Kebijakan.

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan,

kemudian dibahas oleh pembuat kebijakan. Masalah-masalah

tersebut di definisikan untuk kemudian dicarai pemecahan masalah


(35)

Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif

yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk

masuk ke dalam agenda kebijakan. Dalam tahap perumusan

kebijakan, masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih

sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada

tahap ini masing-masing aktor akan ” bermain ” untuk

mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

3) Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan

oleh perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif

kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas

legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan

peradilan.

4) Tahap Implementasi kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi

catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh

karena itu program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif

pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan

oleh badan-badan administrasi negara maupun agen- agen

pemerintah di tingkat bawah.

5) Tahap Penilaian Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai


(36)

telah dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan pada

dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal

ini, memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena

itu ditentukan ukuran-ukuran atau kriteria – kriteria yang menjadi

dasar untuk menilai apakah suatu kebijakan telah meraih dampak

yang diinginkan.

c. Model Perumusan Kebijakan Publik.

Proses pembuatan kebijakan publik sangat rumit. Untuk

menyederhanakan proses perumusan kebijakan publik, maka dibuat

model perumusan kebijakan publik. Menurut Budi Winarno (2002 : 70

– 81) , model perumusan kebijakan publik terdiri dari :

1) Model Institusional

Model ini merupakan model yang tradisional dalam proses

pembuatan kebijaksanaan negara. Fokus atau pusat perhatian

model terletak pada strukrur organisasi pemerintah. Hal ini

disebabkan karena kegiatan-kegiatan politik berpusat pada

lembaga-lembaga pemerintah seperti misalnya lembaga legislatif,

eksekutif,yudikatif pada pemerintahan pusat (nasional), regional

dan lokal. Sehubungan dengan itu maka kebijaksanaan negara

secara otoritatif dirumuskan dan dilaksanakan pada lembaga-lembaga pemerintahan tersebut terdapat hubungan yang kuat sekali

antara kebijaksanaan negara dan lembaga-lembaga pemerintah, hal


(37)

kebijaksanaan negara kalau ia tidak dirumuskan, disyahkan dan

dilaksanakan oleh lembaga pemerintahan.

2) Model Elit- Massa

Model ini memandang administrator negara bukan sebagai

“abdi rakyat” (servan of the people) tetapi lebih sebagai” kelompok-kelompok yang telah mapan”. Kelompok elit yang

bertugas membuat dan melaksanakan kebijakan digambarkan

dalam model ini sebagai mampu bertindak/berbuat dalam suatu

lingkungan yang ditandai dengan sikap massa yang apatis,

kerancuan informasi, sehinnga massa menjadi pasif. Kebijaksanaan

negara mengalir dari atas ke bawah, yaitu dari golongan elit ke

golongan massa. Kelompok elit yang mempunyai kekuatan dan

nilai-nilai elit berbeda dengan massa. Dengan demikian

kebijaksanaan negara adalah merupakan perwujudan

keinginan-keinginan utama dari nilai-nilai golongan elit yang berkuasa.

Seringkali dikatakan bahwa kebijaksanaan itu adalah

kebijaksanaan yang menggambarkan kepentingan / tuntutan rakyat,

tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Menurut teori

elit-massa ini, sebagaimana dikatakan tadi, rakyat bersifat apatis, dan

buta terhadap informasi tentang kebijaksanaan negara, sedangkan

kelompok elit mampu membentuk dan mempengaruhi

masalah-masalah kebijaksanaan negara. Karena kebijaksanaan negara itu


(38)

pemerintah hanyalah sekedar pelaksana-pelaksana dari

kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh elit tadi. Dan karena

kebijaksanaan negara itu dibuat sesuai dengan kepentingan

kelompok elit, maka tuntutan dan keinginan (non-elit) tidak

diperhatikan.

3) Model Kelompok

Model ini menganut paham teori kelompoknya David B.

Truman yang menyatakan bahwa interaksi di antara

kelompok-kelompok adalah merupakan kenyataan politik. Individu-individu

yang memiliki kepentingan yang sama mengikatkan baik secara

formal maupun informal ke dalam kelompok kepentingan (interest group) yang dapat mengajukan dan memaksakan kepentingan-kepentingannya kepada pemerintah.

4) Model Sistem-Politik

Model sitem-politik ini diangkat dari uaraian sarjana politik

David Easton dalam “ The Political System”. Model ini didasarkan pada konsep-konsep teori informasi (input, withinput, outputs dan feedback) dan memandang kebijaksanaan negara sebagai respons suatu sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (sosial

politik, ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada

di sekitarnya. Sehingga dengan demikian, kebijaksanaan negara


(39)

Konsep “sistem politik” mempunyai arti sejumlah

lembaga-lembaga dan aktivitas-aktivitas politik dalam masyarakat yang

berfungsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands), dukungan-dukungan (support) dan sember-sumber (resources), semuanya ini adalah masukan-masukan (inputs) menjadi keputusan-keputusan atau kebijaksanaan –kebijaksanaan yang otoritatif bagi seluruh

anggota masyarakat (outputs). Dengan singkat dikatakan bahwa sitem politik berfungsi mengubah inputs menjadi outputs.

5) ModelRational-Comprehensive

Model rational-comprehensive ini didasarkan atas teori ekonomi atau konsep manusia ekonomi (concept of an economic man). Para ahli filosofi utilitarian seperti Jeremy Bentham dan John Stuart mill berasumsi bahwa semua tingkah laku manusia

bertujuan untuk “mencari kesenangan dan menghindari

kesusahan”. Nilai utilitas (kemanfaatan) sesuatu benda atau tindakan (perbuatan) itu harus dinilai berdasarkan pada perbedaan

antar kesenangan yang akan diperolehnya dan biaya (kesulitan)

yang dikeluarkannya. Menurut konsep ini, pembuat – keputusan

(the sastisficer) hanya mempertimbangkan beberapa alternative yang mungkin tersedia kemudian memilih satu alternative yang

“lebih cocok” untuk mengatasi masalahnya. Model ini menekankan


(40)

pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat

keputusan”.

6) Model Incremental

Model incremental memandang kebijaksanaan negara sebagai suatu kelanjutan kegiatan-kegiatan pemerintah di masa lalu

dengan hanya mengubahnya (modifikasinya) sedikit-sedikit. Model

incremental ini adalah merupakan kritik dan perbaikan terhadap

model rasional komprehensif. Karakteristik yang terdapat pada

model incremental jelas berbeda dengan model rasional

komprehensif.

7) ModelMixed- Scanning

Seorang ahli sosilogi yang bernama Amitai Etzioni setelah

memperlajari dengan seksama kedua model pembuatan keputusan

sebelumnya, kemudian mencetuskan suatu model pembuatan

keputusan hibrida (gabungan unsur-unsur kebaikan yang ada pada

model rasional comprehensif dan incremental yang disebut dengan

Model Mixed - Scanning).

Dari bermacam-macam model untuk pembuatan kebijakan

publik tersebut di atas, maka produk hukum mengenai Keputusan

Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor : 98 / Kep

/M.KUKM/ IX / 2004 Tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta

Koperasi ini dalam pembuatannya menganut pada Model


(41)

mengartikan kelompok kepentingan sebagai suatu kelompok yang

memiliki sikap yang sama yang mengajukan tuntutan-tuntutan

kepada kelompok yang lain di dalam masyarakat dan kelompok

kepentingan yaitu akan mempunyai arti politis kalau kelompok

kepentingan itu mengajukan tuntutan terhadap suatu lembaga

pemerintahan. Kelompok kepentingan semakin mempunyai arti

yang penting dalam proses dan kegiatan politik. Dan seharusnya

politik itu adalah merupakan perjuangan iantara

kelompok-kelompok untuk mempengaruhi kebijaksanaan negara.

Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor :

98/ Kep / M.KUKM / IX / 2004 Tentang Notaris Sebagai Pembuat

Akta Koperasi ini dalam pembuatannya menganut model

kelompok, karena Keputusan Menteri dimaksud ini lahir dari

desakan masyarakat terutama gerakan kelompok masyarakat

anggota koperasi yang menghendaki adanya suatu peraturan yang

mengatur mengenai pendirian badan hukum koperasi melalui akta

autentik atau akta Notaris . Desakan ini muncul setelah melihat

pengalaman dilapangan dimana terjadi penolakan kerjasama

dengan koperasi oleh pihak lain sehubungan kopersi adalah suatu

badan usaha yang aktanya masih merupakan akta bawah tangan

atau bukan akta autentik sehingga dianggap lawan bisnis tidak

cukup kuat dari sisi perlindungan hukumnya ketika bersinggungan


(42)

beberapa kegiatan untuk mengadakan advokasi, yaitu salah satunya

adalah menyusun legaldrafting kebijakan tentang penguatan

landasan hukum koperasi dan berperan aktif sampai terbentuknya

Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor :

98/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Notaris Sebagai Pembuat

Akta Koperasi.

3. Implementasi Kebijakan Publik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002 : 379), Implementasi

berarti : 1. Penerapan, 2. Pelaksanaan. Sedangkan dalam Kamus Bahasa

Inggris diperoleh bahwa implementasi berasal dari kata implement yang berarti melaksanakan. Dalam Kamus Webster dirumuskan to implement

(mengimplementasikan) yang mengandung makna to provide the means for carryng out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu).

Dari pengertian di atas, maka dapat kita katakan bahwa

implementasi merupakan bentuk pelaksanaan sesuatu melalui penggunaan

sarana. Menurut Mazmanian dan Sobatier dalam Joko Widodo (2001 :

190) menjelaskan makna implementasi adalah memahami apa yang

sebenarnya terjadi sesudah suatu program berlaku atau dirumuskan yang

mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun untuk

menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Lebih lanjut dijelaskan, bahwa proses implementasi adalah

keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk peraturan


(43)

eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Pada umumnya,

keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi dengan

menyebutkan secara tegas tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dan

berbagai cara untuk menstruktur serta mengatur proses implementasinya.

Proses ini berlangsung setelah melalui tahapan tertentu yang biasanya

diawali dengan pengesahan undang-undang kemudian out put kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan pelaksanaannya.

Edward III mengajukan beberapa faktor yang berpengaruh dalam

implementasi kebijakan publik (dalam Budi Winarno , 2001: 95), meliputi:

a. Faktor Komunikasi

Informasi kebijakan harus disampaikan kepada pelaku

kebijakan agar mereka dapat mengetahui dan memahami apa yang

menjadi isi, tujuan, arah kelompok sasaran kebijakan, agar pelaku

kebijakan dapat mempersiapkan dengan benar apa yang harus

dipersiapkan supaya pelaksanaan kebijakan publik dapat sesuai dengan

yang diharapkan

b. Sumber daya

Betapa bagusnya suatu kebijakan, konsistennya ketentuan serta

akuratnya penyampaian aturan terebut jika tidak ditunjang oleh

pelaksana kebijakan yang mempunyai sumber daya untuk melakukan

pekerjaan secara efektif, maka kebijakan tersebut juga tidak berjalan


(44)

daya keuangan, serta sumber daya sarana dan prasarana yang

diperlukan untuk melaksanakan kebijakan.

c. Disposisi

Keberhasilan pelaksanan kebijakan tidak hanya ditentukan oleh

sejauh mana para pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus

dilakukan dan mampu untuk melaksanakannya, tetapi juga dipengaruhi

oleh pelaku kebijakan yang memiliki disposisi yang kuat terhadap

kebijakan yang sedang diimplementasikannya.

Disposisi ini merupakan kemauan, keinginan, kecenderungan

para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tadi secara

sungguh-sungguh, sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakanm dapat

diwujudkan.

d. Struktur Birokrasi

Meski sumber-sumber guna melaksanakan suatu kebijakan

cukup dan para pelaksana mengetahui apa dan bagaimana cara

melakukannya, namun implementasi kebijakan belum tentu efektif

karena tidak adanya keefesienan struktur birokrasi. Struktur birokrasi

meliputi struktur organisasi, pembagian wewenang, hubungan antar

unit organisasi dan hubungan organisasi dengan organisasi lainnya.

Memperhatikan pendapat tersebut, maka diambil suatu

kesimpulan bahwa pengertian implementasi adalah suatu proses yang

melibatkan sejumlah sumber daya yang ada termasuk manusia, dana,


(45)

(individu-individu atau kelompok) untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan (Joko Widodo, 2001 :

193). Agar implementasi suatu kebijakan dapat tercapai tujuannya

serta dapat diwujudkan, harus dipersiapkan dengan baik.

Sebaliknya, bagaimanapun baiknya persiapan dan perencanaan

implementasi kebijakan, namun kalau tidak dirumuskan dengan baik,

maka apa yang menjadi tujuan kebijakan tidak akan terwujud. Jadi,

apabila menghendaki suatu kebijakan dapat diimplementasikan dengan

baik, harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik sejak tahap

perumusannya atau pembuatan kebijakan publik sampai kepada

antisipasi terhadap kebijakan tersebut diimplementasikan.

Bila dikaitkan hubungan hukum dengan kebijakan publik,

dapat dikatakan bahwa setiap produk hukum pada dasarnya adalah

hasil dan proses kebijakan publik. Hal ini dapat dilihat pada proses

pembentukan hukum. Dimana pada proses pembentukan hukum

sebagai alur dan tahap dilalui sampai pada terciptanya sebuah

peraturan hukum.

Menurut Bilhelm Auber (dalam Budi Winarno. 2002: 47)

dalam rangka pencapaian tujuan kebijakan diperlukan adanya sarana

berupa hukum, karena secara teknis hukum dapat memberikan /

melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan


(46)

b. Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi;

c. Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk

melindungi melawan kritik;

d. Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan

sumber daya yang ada.

Hukum adalah produk dari politik, sedangkan hukum itu

sendiri merupakan indikasi adanya kebijakan agar dapat

diimplementasikan, maka semakin nampak keterkaitan antara hukum

dan kebijakan sebagaimana disebutkan oleh sigler (dalam Esmi

Warassih. 2005: 133), bahwa “Constitutions, statues, administrative orders and executive orders are indicators of policy”.

Hubungan antara kebijakan dengan hukum semakin jelas,

sebagaimana disebutkan oleh R Dye, bahwa “Government lends legitimacy to policies. Governmental policies are generally regarded as legal obligations which command the loyalty of citizens”.

Selanjutnya dikatakan oleh Sigler bahwa hukum merupakan

suatu bagian yang integral dari kebijakan. Keadaan seperti itu

menyebabkan hukum menjadi kebutuhan bagi masyarakat dan hukum

dipandang sebagai elemen penting bagi perkembangan politik.

Pada dasarnya hukum merupakan perlengkapan masyarakat

untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat dapat

dipenuhi secara teratur. Hukum harus mampu menjadi sarana agar


(47)

4. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik

Hukum dan Kebijakan public merupakan variabel yang memiliki

keterkaitan sangat erat, sehingga telaah tentang Kebijakan Pemerintah

semakin dibutuhkan untuk dapat memahami peranan hukum saat ini.

Kebutuhan tersebut semakin dirasakan seiring dengan semakin meluasnya

peranan pemerintah memasuki bidang kehidupan manusia, dan semakin

kompleksnya persoalan-persoalan ekonomi, sosial, dan politik.

Hukum memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakatnya,

karena hukum itu sendiri merupakan sarana pengatur masyarakat dan

bekerja dalam masyarakat. Itulah sebabnya hukum tidak terlepas dari

gagasan maupun pendapat yang hidup dalam masyarakat. Struktur

masyarakat bisa menjadi penghambat sekaligus sebagai dapat memberikan

sarana-sarana sosial, sehingga memungkinkan hukum dapat diterapkan

dengan sebaik-baiknya. (Esmi Warassih, 2005 : 85).

Disamping itu hukum yang berperan membantu pemerintah dalam

usaha menemukan alternatif kebijakan yang baik dan bermanfaat bagi

masyarakat. Hukum memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijakan

public, dan sebagai peraturan perundangan ia telah menampilkan sosoknya

sebagai salah satu alat untuk melaksanakan kebijakan. Dalam rangka

merealisasikan kebijakan, penggunaan peraturan perundang – undangan

yang dibuat untuk mempengaruhi aktivitas pemegang peran, dalam hal ini


(48)

Nomor 98/Kep/M. KUKM/IX/2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat

Akta Koperasi yang perlu untuk diimplementasikan.

Proses implementasi kebanyakan diserahkan kepada lembaga

pemerintah dalam berbagai jenjang/ tingkat, baik propinsi maupun tingkat

kabupaten. Setiap jenjang pelaksanaannyapun masih membutuhkan

pembentukan kebijakan lebih lanjut dalam berbagai bentuk peraturan lain

untuk menjabarkan lebih lanjut. (Esmi Warassih, 2005 : 136).

Sedangkan hubungan hukum dan kebijakan publik dapat dilihat

dari berbagai variabel, sebagaimana disebutkan oleh Friedman (dalam

Setiono, 2004: 2) yaitu :

a. Formulasi hukum.

Hubungan pembentukan hukum dan kebijakan publik saling

memperkuat satu sama lain. Sebuah produk hukum tanpa ada proses

kebijakan public di dalamnya, produk hukum itu akan kehilangan

makna substansinya, sebaliknya sebuah proses kebijakan publik tanpa

legitimasi hukum, maka akan lemah pada tatanan operasionalnya.

b. Implementasi / penerapan.

Yaitu berkaitan dengan penerapan hukum dan implementasi

kebijakan publik dapat saling membantu memperlancar jalannya

hasil-hasil hukum dan kebijakan publik di lapangan. Pada dasarnya di dalam

penerapan hukum tergantung pada 4 unsur :


(49)

Yaitu produk atau kalimat, aturan-aturan hukum, kalimat

hukum harus ditata sedemikian rupa hingga maksud yang

diinginkan oleh pembentuk hukum terealisasi di lapangan.

2) Unsur Struktural

Yaitu yang berkaitan dengan lembaga-lembaga atau

organisasi yang diperlukan dalam penerapan hukum.

3) Unsur masyarakat

Yaitu yang berkaitan dengan kondisi sosial politik dan

ekonomi masyarakat yang akan terkena dampak dari diterapkannya

aturan hukum..

4) Unsur budaya.

Diharapkan produk hukum yang dibuat dapat sesuai dengan

budaya yang ada dalam masyarakat, sebaiknya apbila produk

hukum yang tidak sesuai dengan bidang masyarakat tidak dapat

diterima.

c. Evaluasi Kebijakan

Adalah suatu evaluasi yang akan menilai apakah kebijakan public

sudah sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum, dengan

demikian akan menentukan gagal atau suksesnya suatu kebijakan

untuk mencapai tujuan. Evaluasi kebijakan dapat dibedakan dalam 3

macam :

1) Evaluasi administrative, yang dilakukan di dalam lingkup


(50)

2) Evaluasi Yudicial, yang berkaitan dengan obyek hukum, apakah

ada pelanggaran atau tidak dari kebijakan yang dievaluasi tersebut

3) Evaluasi politik, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik ,

baik parlemen ataupun parpol.

5. Notaris

Tentang notaris di Indonesia semula diatur oleh Reglement op het notariesamht in Nederlads Indie atau peraturan jabatan notaris di Indonesia yang mulai berlaku sejak tahun 1860 (Stb. 1860 No. 3) yang

kemudian jabatan notaris diatur dalam :

a. Ordonantie tanggal 16 September 1931 tentang honorarium Notaris. b. Undang-Undang No 33 tahun 1954 tentang wakil Notaris dan wakil

notaris sementara.

Dalam perkembangannnya banyak ketentuan-ketentuan yang

terkandung dalam peraturan jabatan notaris yang sudah tidak sesuai lagi

dengan kebutuhan perkembangan masyarakat Indonesia sehingga pada

tanggal 16 oktober 2004 diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang jabatan notaris dalam lembaran negara Republik Indonesia

tahun 2004 Nomor 117 yang terdiri dari XIII bab dan 92 pasal.

Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 memberikan pengertian

notaris sebagai Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam


(51)

Notaris diberi wewenang oleh undang-undang untuk menciptakan

alat pembuktian yang sempurna yaitu akta otentik. Akta notaris adalah

akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan

tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang, maksudnya adalah suatu

akta yang isinya pada pokokonya dianggap benar, hal tersebut sangat

penting untuk mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk suatu

keperluan, baik untuk pribadi maupun kepentingan suatu usaha.

Perlu ada dan terciptanya akta otentik jika dilihat dari asas manfaat

adalah karena kebutuhan masyarakat akan pentingnya alat bukti tertulis

yang mempunyai kedudukan istimewa, khususnya dalam bidang hukum

perdata. Hal ini erat kaitannya dengan kekuatan pembuktian (khusus

dalam sengketa dan perkara menurut Hukum Acara Perdata).

Notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah

termasuk unsur penegak hukum yang memberikan pelayanan hukum

kepada masyarakat dan berstatus profesi swasta yang berwenang untuk

membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Notaris memiliki kewenangan antara lain membuat akta mengenai

semua perbuatan, perjanjian dan penetapan, sepanjang pembuatan akta itu

oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada

pejabat atau orang lain. Dengan perkataan lain, wewenang notaris bersifat


(52)

Hal ini yang menyebabkan apabila di dalam suatu

perundang-undangan untuk suatu perbuatan hukum diharuskan adanya akte otentik

terkecuali oleh undang-undang tersebut dinyatakan secara tegas bahwa

selain dari notaris, pejabat umum lainnya juga turut berwenang untuk

pembuatan suatu akta tertentu.

Kewenangan Notaris diatur oleh pasal 15 Undang-undang nomor

30 tahun 2004 sebagai berikut ;

a. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,

perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dan / atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk

dinyatakan dalam akta otentik itu. Menjamin kepastian tanggal

pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan

kutipan akta. Semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak

juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain

yang ditetapkan oleh undang-undang.

b. Notaris berwenang pula mengesahkan tanda tangan dan menetapkan

kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus.

c. Membubuhkan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar di buku

khusus.

d. Membuat copy dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan

yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat


(53)

e. Melakukan pengesahan kecocokan foto copy dengan surat aslinya.

f. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.

g. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan

h. Membuat akta risalah lelang.

6. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM Ri Nomor : 98 / Kep /

M.KUKM / IX / 2004 Tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta

Koperasi

Notaris sebagai Pembuat Akta Koperasi diatur dalam Surat

Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Republik Indonesia Nomor : 98/KEP/M.KUKM/IX/2004 tentang Notaris

Sebagai Pembuat Akta Koperasi.

Pengertian Notaris Pembuat Akta Koperasi sebagaimana diatur

dalam pasal 1 ayat (4) SK Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah Republik Indonesia nomor: 98/KEP/M.KUKM/IX/2004 adalah

Pejabat Umum yang diangkat berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris yang

diberi kewenangan antara lain untuk membuat akta pendirian., akta

perubahan anggaran dasar dan akta-akta lainnya yang terkait dengan

kegiatan koperasi.

Menurut Abul Wahab Wajo, SH (dalam H. Budi Untung .2005 :

25) ada perbedaan pengertian antara “Notaris sebagai pembuat Akta

Koperasi” dengan “Notaris Pembuat Akta Koperasi’, dimana “Notaris


(54)

adalah notaris. Sedangkan “Notaris Pembuat Akta Koperasi” adalah nama

jabatan itu sendiri.

Notaris sebagai Pembuat Akta Koperasi bertugas membuat akta

otentik sebagai bukti dilakukannya suatu perbuatan hukum tertentu dalam

proses pendirian. Perubahan anggaran dasar serta akta-akta lainnya yang

terkait dengan kegiatan koperasi untuk dimohonkan kepada pejabat yang

berwenang (Pasal 3 ayat (1) SK Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil

dan Menengah RI No: 98/KEP/M.KUKM/IX/2004).

a. Syarat-syarat Notaris Pembuat Akta Koperasi

Untuk dapat ditetapkan sebagai Notaris Pembuat Akta

Koperasi, menurut Pasal 4 SK Menteri Negara Koperasi dan Usaha

Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor :

98/KEP/M.KUKM/IX/2004 harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut :

1) Notaris yang telah berwenang menjalankan jabatan sesuai

Peraturan jabatan Notaris;

2) Memiliki sertifikat tanda bukti telah mengikuti pembekalan di

bidang perkoperasian yang ditanda tangani oleh Menteri.

Notaris yang telah memenuhi syarat mengajukan permohonan

tertulis kepada menteri, melalui kepala Dinas/instansi yang

membidangi koperasi tingkat kabupaten/kota pada tempat kedudukan

notaris yang bersangkutan untuk ditetapkan sebagai notaris pembuat


(55)

1) Surat keputusan pengangkatan notaris.

2) Sertifikat tanda bukti telah mengikuti pembekalan di bidang

perkoperasian.

3) Alamat kantor beserta contoh tanda tangan, paraf dan stempel

notaris.

b. Jenis-jenis Akta yang dapat dibuat Notaris Pembuat Akta koperasi

Menurut Pasal 3 ayat (2) SK Menteri Negara Koperasi dan

Usaha Kecil dan Menengah RI Nomor : 98/KEP/M.KUKM/IX/2004,

Notaris sebagai pembuat akta koperasi mempunyai tugas membuat

akta otentik yang terkait dengan kegiatan koperasi meliputi :

1) Akta Pendirian Koperasi

Adalah akta perjanjian yang dibuat oleh para pendiri dalam

rangka pembentukan koperasi dan memuat anggaran dasar

koperasi. (Pasal 1 ayat (1) SK Menteri Negara Koperasi dan Usaha

Kecil dan Menengah RI No: 98/KEP/M.KUKM/IX/2004).

2) Akta Perubahan Anggaran Dasar Koperasi

Adalah akta perjanjian yang dibuat oleh anggota koperasi

dalam rangka perubahan anggaran dasar suatu Koperasi yang berisi

pernyataan dari para anggota koperasi atau kuasanya yang ditunjuk

dan diberi kuasa dalam suatu rapat anggota perubahan anggaran

dasar untuk menandatangani perubahan anggaran dasar. (Pasal 1

ayat (2) SK Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan


(56)

3) Akta-akta lainnya yang terkait dengan kegiatan koperasi

c. Prosedur Pembuatan dan Pengesahan Akta Koperasi

1) Bentuk Akta Pendirian, Perubahan dan akta lain yang terkait

dengan kegiatan koperasi.

Akta Pendirian, Perubahan dan akta lain yang terkait

dengan kegiatan koperasi dibuat dengan bentuk dan isi sesuai

dengan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 7 SK Menteri

Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI No:

98/KEP/M.KUKM/IX/2004).

2) Tata cara pembuatan akta koperasi oleh notaris diatur dalam Pasal

9 SK Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI

No: 98/KEP/M.KUKM/IX/2004 sebagai berikut :

a) Pembuatan akta pendirian perubahan anggaran dasar koperasi

untuk koperasi primer dan sekunder di tingkat Kabupaten /

Kota, Propinsi maupun Nasional, adalah kewenangan Notaris

sesuai dengan kedudukan kantor koperasi tersebut berada.

b) Khusus untuk koperasi yang berkedududkan di Daerah Khusus

Ibukota Jakarta, Pembuatan akta pendirian dan perubahan

anggaran dasar koperasi adalah kewenangan yang


(57)

3) Pengesahan

Menurut pasal 10 Surat Keputusan Menteri Negara

Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI No:

98/KEP/M.KUKM/IX/2004 sebagai berikut:

a) Akta Pendirian dan Akta PerubahanAnggaran Dasar Koperasi

yang telah dibuat oleh Notaris Pembuat Akta Koperasi

disampaikan kepada Menteri atau pejabat yang berwenang

untuk dimintakan pengesahannya, sesuai peraturan yang

berlaku.

b) Persyaratan dan tata cara pengesahan atau persetujuan akta

pendirian dan akta perubahan anggaran dasar koperasi serta

akta-akta yang terkait dengan kegiatan koperasi dilaksanakan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Koperasi

Mengenai Koperasi di Indonesia semula diatur oleh

Undang-Undang Nomor : 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian yang

berlaku sampai tahun 1992. Dalam rangka melakukan pembangunan

koperasi, maka pada tanggal 21 Oktober 1992 di undangkan

Undang-Undang Nomor : 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116.

Koperasi berasal dari kata co-operation, yang maknanya ; Co, bersama dan Operation : bekerja. Jadi koperasi artinya bekerja sama (Wisnu Wardana, 2000 : 6). Adanya bekerja sama diharapkan tercapai


(58)

tujuan yang semula sulit dicapai oleh orang perseorangan. Tetapi

akan mudah dicapai bila dilakukan kerjasama antara beberapa

orang. Misalnya pengumpulan sejumlah uang tunai secara kolektif

yang bisa dipinjamkan kepada anggota-anggota koperasi dengan

bunga yang lebih ringan dari pada meminjam uang di bank atau

pembelian barang-barang konsumsi secara bersama-sama dengan

harga yang lebih murah dari pada membeli barang tersebut secara

sendiri-sendiri.

Koperasi memiliki definisi dari para sarjana, antara lain:

Menurut Ewell Paul Roy (Mohammad Hatta, 1961 : 9)

A cooperative is devined as a busines voluntarity organized operating at cost , which is owned capitalized by members patrons as a users sharing risk and benefits. Propotional ti their participation.

Menurut Muhammad Hatta (Margono Djoyohadikusuma , 1992 : 4)

Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong.

Selanjutnya menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 25 tahun 1992,

koperasi adalah :

Badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas kekeluargaan.

Landasan asas koperasi Indonesia adalah pancasila dan berasaskan

kekeluargaan (pasal 2), serta bertujuan untuk memajukan kesejahteraan


(59)

membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan

masyarakat yang adil, makmur berlandaskan Pancasila dan

Undang-undang Dasar 1945 (pasal 33).

Sedangkan fungsi dan peran koperasi adalah membangun dan

mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada

khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan

kesejahteraan ekonomi dan sosialnya dengan berperan aktif mempertinggi

kualitas kehidupan manusia dan masyarakat untuk memperkokoh

perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekomian

nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya serta berusaha

mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang

merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi

ekonomi (Kartasaputra . 2001 : 45).

Asas kekeluargaan sebagai sendi dasar dalam membangun sistim

perekonomian nasional bangsa kemudian diwujudkan dalam bentuk

koperasi yang juga sebagai gerakan ekonomi rakyat untuk mewujudkan

masyarakat yang maju, adil dan makmur (Mohammad Hatta.1964 : 12).

Prinsip Koperasi yang merupakan esensi dari dasar kerja koperasi

sebagai badan usaha dan merupakan ciri khas jati diri koperasi yang

membedakan dengan badan usaha lain (Ibnoe Soedjono. 2001 : 23) adalah

sebagai berikut :

a. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka maksudnya adalah orang


(60)

Demikian juga apabila ada seseorang yang akan mengundurkan diri

dari anggota tidak dilarang asalkan sesuai dengan syarat-syarat yang

ditentukan dalam anggaran dasarnya.

b. Pengelolaan dilakukan secara demokratis maksudnya adalah bahwa

pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para

anggota. Para anggota itulah yang memegang dan melaksanakan

kekuasaan tertinggi dalam koperasi.

c. Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dilakukan secara adil sebanding

dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota maksudnya

pembagian sisa hasil usaha kepada anggota dilakukan tidak

semata-semata berdasarkan modal yang dimiliki seseorang dalam koperasi,

tetapi berdasarkan perimbangan jasa usaha terhadap koperasi.

Ketentuan ini merupakan perwujudan dari nilai kekluargaan dari

keadilan.

d. Pembagian balas jasa yang terbatas terhadap modal maksudnya modal

dalam koperasi pada dasarnya dipergunakan untuk kemanfaatan

anggota dan bukan untuk sekedar mencari keuntungan. Oleh karena itu

balas jasa terhadap modal yang diberikan kepada para anggota juga

terbatas dan semata-mata tidak didasarkan atas besarnya modal yang

diberikan. Sedangkan yang dimaksud dengan terbatas adalah wajar

dalam arti tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar.

e. Kemandirian maksudnya adalah dapat berdiri sendiri tanpa tergantung


(61)

keputusan, kemampuan dan usaha sendiri. Selain itu terkandung pula

pengertian pada arti kebebasan yang bertanggung jawab, otonomi,

swadaya, berani mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri dan

adanya kehendak untuk mengelola diri sendiri.

f. Pendidikan perkoperasian dan kerjasama antar koperasi maksudnya

adalah untuk mengembangakan diri koperasi itu sendiri melalui

penyelenggaraan pendidikan perkoperasian dan kerjasama antar

koperasi dalam meningkatkan kemampuan, memperluas wawasan

anggota dan memperkuat solidaritas dalam mewujudkan tujuan

koperasi.

Sukses tidaknya sebuah koperasi harus dilihat dari keberhasilannya

dalam mempromosikan anggotanya (to promote the members) melalui kegiatan untuk memperbaiki keadaan ekonomi dan kesejahteran

anggotanya dengan bentuk kegiatan koperasi yang bermacam-macam

tergantung kepentingan ekonomi anggotanya (Sutantyo Hadikusuma. 2000

: 47)

Koperasi sebagai badan usaha harus bekerja secara rasional.

Anggota koperasi harus mampu menjalankan usaha bersama yang

diharapkan dapat menolong diri sendiri. Dalam arti percaya atas

kemampuan sendiri (self reliance), mampu mengorganisir diri dalam kelompok swadaya (self organization, mampu mengambil keptusan sendiri (self decision) dan mampu menjalankan administrasi sendiri (self administration) (Koermen . 2004 : 64)


(1)

Tengah maka perlu melakukan sosialisasi terus-menerus kepada masyarakat akan pentingnya akta autentik dalam dunia bisnis yang dianggarkan melalui dana APBD maupun Dana Dekonsentrasi.

C. Saran – saran

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana tersebut diatas, demi untuk lebih memperkokoh landasan hukum koperasi sebagaimana menjadi tujuan dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor : 98 / Kep / M.KUKM / IX / 2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi dapat tercapai, maka peneliti memberi saran :

1. Berkaitan dengan substansi hukum

a. Kedudukan Notaris sebagai Pembuat Akta Koperasi perlu dikuatkan / diatur dalam Undang – Undang Perkoperasaian.

b. Adanya aturan yang mengatur tentang besaran biaya pembuatan akta badan hukum koperasi oleh Notaris dengan batasan terjangkau oleh masyarakat

c. Adanya sanksi hukum bagi para pihak yang tidak melaksaksanakan Keputusan Menteri Negara Koperai dan UKM RI Nomor : 98 / Kep / M.KUKM / IX/ 2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi. d. Berkaitan dengan pasal 12 Keputusan Menteri dimaksud mengenai

surat keterangan tidak mampu dari lurah setempat perlu dihilangkan karena tidak mungkin dapat diimplementasikan,


(2)

e. Perlu adanya pengaturan yang jelas terhadap dua tahapan proses yang terjadi, yakni tahapan pembuatan akta di notaris dan tahapan pengesahan akta oleh pemerintah . Pertama harus ada kejelasan mengenai persyaratan dan tata cara pembuatan akta perkoperasian di tingkat Notaris. Kedua harus ada kejelasan persyaratan dan tata cara pengesahan akta perkoperasian sampai dengan pengumumannya di Berita Negara RI pada tingkat pejabat pemerintah.

2. Berkaitan dengan struktur hukum

a. Notaris agar konsekwen terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai Pembuat Akta Koperasi untuk segera mengajukan permohonan penetapan sebagai Notaris Pembuat Akta Koperasi kepada Menteri Negara Koperasi dan UKM RI sehingga mempunyai hak dan berwenang untuk membuat akta-akta koperasi

b. Dalam rangka mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat yang akan mendirikan koperasi maka Notaris perlu mendalami pengetahuan perkoperasian sehingga menjadi paham dan tidak melakukan kesalahan dalam membuat akta badan hukum koperasi.

3. Berkaitan dengan budaya hukum

a. Memberikan pengertian dan pemahaman akan arti pentingnya akta notaris sebagai akta autentik sehingga kedudukan koperasi menjadi kokoh dan kuat dalam melakukan kegiatan di dunia bisnis.

b. Memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat dalam rangka pelibatan Notaris sebagai Pembuat Akta Koperai , sehingga mampu


(3)

menggambarkan keberadaan pejabat tersebut dalam satu sistim dan proses pendaftaran badan hukum koperasi.

c. Mengikut sertakan masyarakat dalam program-program pelatihan perkoperasian melalui Balai Latihan Koperasi dan UKM yang telah ada di tingkat provinsi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijakan Publik. Jakarta : Sinar Grafika. Budi Untung. 2005. Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia. Jogyakarta :

CV Andi.

Burhan Ashshofa. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Jogyarakta : Media

Pressindo.

Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: PT. Suryandaru.

Irfan Islamy. 2004. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Iskandar Soesilo. 2006. Koperasi Berkualitas. Jakarta : Depkop RI

Ibnoe Soedjono. 2001. Jati Diri Koperasi. Jakarta : Lembaga Study Pembangunan Perkoperasian Indonesia ( LSP2 I )

---, 2001. Manajemen Profesional Berdasarkan Nilai-Nilai Dalam Koperasi. Jakarta : Lembaga Study Pembangunan Perkoperasian Indonesia ( LSP2 I )

Joko Widodo. 2007 Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis Kebijakan Publik. Malang : Bayu Media Publishing..

---, 2001. Good Governance : Telaa dari Dimensi Akuntanbilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya : Insan Cendikia.

Kartasaputra. 2001. Koperasi Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Koermen. 2004. Manajemen Koperasi Terapan. Jakarta : Prestasi Pustaka Raya. Lexi J Moleong. 2000. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT Remaja

Rosdakarya.

Mohammad Hatta. 1961. Meninjau masalah Koperasi. Jakarta : PT Pembangunan..


(5)

___________. 1961. Ekonomi Berencana. Jakarta : PT Gunung Agung.

Muchsin dan Fadillah Putra. 2002. Hukum Kebijakan Publik. Surabaya: Universitas Sunan Giri.

Margono Djoyohadikusumo. 1972. Refleksi Koperasi. Jakarta. PT Gunung Agung Otje Salman dan Anthon F Susanto. 2004. Beberapa ASPEC Sosiologi Hukum.

Bandung. Alumni.

OK Khairuddin. 1991. Sosiologi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.

Pieter Latumatea. 2004. Mencari Dasar Hukum Bagi Notaris Koperasi Indonesia. Jakarta : Renvoi.

Rai Widjaya. 2000. Hukum Perusahaan. Jakarta : Mega Point. R Soeroso. 2002. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. Satjipto Rahardjo. Hukum Dan Masyarakat Bandung: Angkasa. ____________. 2000. Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

____________. 2002. Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Setiono. 2002. Silabi Filasafat Hukum. Surakarta

___________. 2005. Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum. Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Soerjono Seokanto. 1986. Pokok-Pokok Sosilogi Hukum. Jakarta: CV Raja Wali. ____________. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Sutantyo Hadikusuma. 2000. Hukum Koperasi Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Solichin Abdul Wahab. 2004. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Wisnu Wardana. 2000. Koperasi Membangun Paradigma Baru. Jakarta. : Yayasan Media Wacana.

Winanto Wiryomartani. 2004. Aspek Hukum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Jakarta : Media Notariat.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945


(6)

UU N0. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 4 Tahun 1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian Koperasi Peraturan Menteri Negara koperasi dan UKM RI Nomor : 01 / Per / M.KUKM / I

/ 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran dasar Koperasi.

Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor : 98 / Kep / M .KUKM / IX / 2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi. Majalah Info Koperasi, Edisi Januari , April , Oktober 2005

Majalah Mitra Koperasi, Edisi Maret 2007. Majalah Gema koperasi, Edisi September 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.