KAITAN POLITICAL EFFICACY DENGAN PERAN GENDER

Tabel 3. Distribusi Aitem Bem Sex Role Inventory BSRI No. Komponen karakteristik BSRI No aitem Jumlah 1. Karakteristik Maskulin 1, 4, 7,10,13, 16. 19. 22. 25. 28. 31. 34. 37. 40. 43. 46. 49. 52, 55, 58. 20 2. Karakteristik Feminin 2, 5, 8, 11, 14, 17, 20, 23, 26, 29, 32, 35, 38, 41, 44, 47, 50, 53, 56, 59. 20 3. Karakteristik Netral 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 27, 30, 33, 36, 39, 42, 45, 48, 51, 54, 57, 60 20 Total 60

C. KAITAN POLITICAL EFFICACY DENGAN PERAN GENDER

Political efficacy dapat didefinisikan sebagai perasaan bahwa tindakan individu dalam bidang politik membawa, atau akan dapat membawa dampak bagi perubahan proses politik Campbell, Gurin dan Miller 1954. Political efficacy juga disebut sebagai kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk memahami politik, untuk didengar dan untuk membuat perubahan politik Catt, 2005. Dengan demikian political efficacy merupakan prediktor seseorang untuk melakukan partisipasi politik. Wu 2003 mengatakan bahwa gender merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi political efficacy. Gender menurut Baron Byrne 2004 merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin individu, termasuk atribut, tingkah laku, karakteristik kepribadian dan harapan yang berhubungan dengan jenis kelamin biologis seseorang dalam budaya yang berlaku. Peran gender gender role merupakan harapan atau ekspektasi mengenai tingkah laku feminin atau maskulin seseorang yang dibentuk oleh lingkungan Universitas Sumatera Utara sosial. Harapan-harapan tersebut dibangun dan diabadikan oleh institusi dan nilai- nilai dari suatu mayarakat tertentu, contohnya membenarkan peran gender yang biasanya diberikan kepada perempuan Abbot, 1991 Feminin merupakan ciri-ciri atau traits yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi perempuan. Feldman 1990 menyatakan perempuan ideal adalah perempuan yang memiliki ciri-ciri femininitas yang tinggi, yakni : berorientasi pada keluarga dan anak-anak, hangat ,penuh pengertian, lemah lembut, peka terhadap perasaan orang lain, lemah lembut dan tulus, penuh pengertian, baik budi, emosional, subjektif, tidak logis, suka mengeluh dan merajuk, lemah, putus asa, mudah tersinggung, perempuan juga merupakan seorang yang submisif yang mengalah dan tergantung pada orang lain. Sedangkan maskulin, adalah traits yang dipercaya sebagai ciri-ciri ideal bagi laki-laki. Menurut Broveman dalam Nauly 2003, adalah memiliki karakteristik agresif, mandiri, tidak emosional, objektif, tidak mudah dipengaruhi orang lain,dapat mengambil keputusan, percaya diri, logis, kompetitif dan ambisius. Terkait dengan dunia politik, ciri-ciri maskulin diharapkan lebih dominan muncul, karena adanya anggapan dimasyarakat bahwa politik adalah permainan kaum laki-laki Verba, Burns, Scholzman, 1997. Penelitian yang dilakukan oleh Hansen 1997 menyimpulkan bahwa perempuan lebih rendah minatnya untuk berdiskusi tentang politik dibandingkan dengan laki-laki, hal ini disebabkan oleh perempuan merasa terpisah berdasarkan jenis kelamin ketika berdiskusi politik. Lebih jauh Hansen 1997 menambahkan perbedaan gender dalam persuasi dan pertimbangan politik bukan akibat dari pendidikan atau status Universitas Sumatera Utara sosioekonomi tetapi akibat adanya identitas gender. Dinyatakan juga bahwa laki- laki lebih memiliki pertimbangan politik dibandingkan perempuan Conway et, al 2005; Elder Green, 2003; Huckfeldt Sprague, 1995; Verba, Brandy Scholzman, 1997, hal ini terkait dengan ciri-ciri maskulin yaitu logis dan percaya diri. Perempuan memiliki ketertarikan dan pendidikan politik lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki Delli-Carpini Keeter, 1996; Burns, Scholzman, Verba, 2001, secara budaya sejak dahulu perempuan memiliki tanggung jawab untuk membesarkan dan merawat anak. Dalam penelitiannya Sapiro 1983 menyatakan menjadi ibu adalah salah satu hambatan dalam berpartisipasi dalam politik. Berdasarkan Sapiro 1983, menjadi ibu memiliki keterkaitan yang erat dengan peran gender perempuan yang membentuk persepsi tentang kemampuan mereka dalam memahami politik. Sapiro 1983 menambahkan bahwa perempuan yang mendedikasikan diri mereka dalam urusan rumah tangga cenderung lebih menilai rendah akan kompetensi mereka khususnya jika dibandingkan dengan pria dalam lingkup politik. Tanggung jawab untuk membesarkan dan merawat anak adalah salah satu hambatan yang dihadapi perempuan saat ia dituntut untuk berkompeten dalam politik. Dalam penelitian ini, peran gender maskulin, feminin dan androgini inilah yang akan digunakan untuk melihat perbedaan political efficacy yang terdapat dalam diri individu. Universitas Sumatera Utara D.HIPOTESIS Perbedaan political efficacy pada peran gender maskulin, feminin dan androgini. Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Untuk dapat menguji hipotesa penelitian, terlebih dahulu perlu diidentifikasikan variabel-variabel penelitian. Variabel yang dipakai dalam penelitian ini adalah : Variabel Tergantung : Political efficacy Variabel Bebas : Peran Gender

B. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapat diamati atau diobservasi Suryabrata, 2002. Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Political efficacy

Political efficacy dapat didefinisikan persepsi dan kepercayaan yang dimiliki seseorang tentang kemampuannya dalam memahami politik, untuk didengar dan untuk membuat perubahan politik Sellingson 1980; Cohen et.al 2001; Fox Lawless 2005; Catt 2005. Political efficacy dapat diukur dengan menggunakan dua komponen political efficacy yang dikemukakan oleh Converse 1972 yaitu internal efficacy dan eksternal efficacy. Skor total dari skala political efficacy akan menunjukkan political efficacy pada yang terdapat pada diri individu. Skor yang tinggi mengidentifikasikan individu memiliki political efficacy yang tinggi. Skor yang rendah mengidentifikasikan individu memiliki political efficacy yang rendah. Universitas Sumatera Utara