Sejarah Perpajakan Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Pajak Hotel Dalam Hubungannya Dengan Peningkatan Pendapatan Daerah Kabupaten Karo Sesuai PERDA No. 28 Tahun 2009 (Studi Kasus Di Tanah Karo-Kabanjahe)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERPAJAKAN

A. Sejarah Perpajakan

Diketahui bahwa adanya Pajak sudah dari jaman kolonial. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa ketika wilayah nusantara terdiri dari kerajaan-kerajaan pun sudah ada pungutan-pungutan semacam Pajak. Pengenaan Pajak secara sistematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan Pajak terhadap tanah. Pengenaan Pajak terhadap tanah atau sesuatu yang berhubungan dengan tanah sudah ada sejak jaman kolonial. Seperti ‘Contingenten” atau “Verplichte Leverantieen” yang lebih dikenal dengan Tanam Paksa, yang seperti diketahui menimbulkan perang Jawa 6 pada tahun 1825-1830. kemudian oleh Gubernur Raffles, Pajak atas tanah disebut sebagai “Lamdrent” yang arti sebenarnya adalah “sewa tanah” 7 Setelah penjajahan Inggris berakhir, Indonesia dijajah kembali oleh Belanda, Pajak tersebut kemudian berganti nama menjadi “Landrente” dengan sistem atau cara pengenaan yang sama. Untuk penertiban pemungutannya, menurut Munawir, maka Pemerintah Belanda mengadakan pemetaan desa untuk keperluan klasiran dan pengukuran tanah milik perorangan yang diebut “rincikan”. Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente tahun 1939. . 8 6 Soemitro Djojohardikusuma, Hukum PerPajakan, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2006, hal.8 7 Ibid, hal.9 8 Ibid, hal.10 12 Universitas Sumatera Utara Pada zaman penjajahan Jepang namanya diganti dengan “Pajak Tanah”, dan setelah Indonesia merdeka namanya diubah menjadi “Pajak Bumi”. Kemudian istilah Pajak Bumi ini diubah menjadi “Pajak Hasil Bumi”. 9 9 Siti Resmi, PerPajakan Teori dan Kasus, Buku 2, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2004, hal.19 Yang dikenakan Pajak tidak lagi nilai tanah, melainkan hasil yang keluar dari tanah, sehingga timbul frustasi karena hasil yang keluar dari tanah merupakan obyek dari Pajak penghasilan yang pada saat itu namanya Pajak Peralihan. Oleh karena itu, Pajak Hasil Bumi ini kemudian dihapuskan pada tahun 1952 sampai pada tahun 1959. Rupanya Pemerintah menyadari kekeliruannya sehingga sejak tahun 1959 dipungut lagi Pajak Hasil Bumi atas nilai tanah, bukan atas hasil yang keluar dari tanah dan bangunan dengan mendasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan menjadi undang-undang. Undang-undang ini semula hanya mengatur tentang pungutan Pajak atas tanah adat adalah tanah yang dimilikidikuasai oleh orang-orang Indonesia asli, tidak termasuk tanah hak Barat, karena tanah Barat tersebut diatur berdasarkan ordonansiUndang-Undang Verponding Indonesia tahun 1923 dan Ordonansi Verpanding Tahun 1928. tetapi, pada tahun 1960 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia. Hal itu sipertegas lagi dengan keputusan Presidium Kabinet tanggal 10 Februari Tahun 1967 Nomor; 87KepU41967. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 11 Prp 1959 yang menjadi landasan Pajak Hasil Bumi harus ditafsirkan bahwa semua tanah di Indonesia dipungut Pajak Hasil Bumi, termasuk tanah yang diatur dalam Ordonansi Verponding Indonesia Tahun 1923 dan Verponding 1928. Universitas Sumatera Utara Dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada Pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian namanya diubah menjadi IPEDA Iuran Pembangunan Daerah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No. PM.PPU 1-1-3 Tanggal 1 November 1965. Pada saat yang bersamaan juga ada Pajak-Pajak lain yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan, seperti Inlands Verponding. Hal tersebut terjadi karena sekalipun IPEDA dimaksudkan untuk menghapuskan Pajak-Pajak itu, tetapi belum ada UU yang menghapuskan Verponding, Inlands Verponding dan Pajak Hasil Bumi. Di samping itu, masing- masing daerah dapat mengubah peraturan IPEDA. 10 10 Subiyakto Iskandar, Mengenal Dasar-Dasar PerPajakan Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal.15 Untuk memahami mengapa seseorang harus membayar Pajak dalam membiayai pembangunan yang sedang terus dilaksanakan, maka perlulah dipahami terlebih dahulu akan pengertian dari Pajak sendiri. Seperti diketahui bahwa Negara dalam menyelenggarakan Pemerintahan mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan Negara yang dicantumkan di dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang berbunyi “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial”. Universitas Sumatera Utara Dari uraian di atas nampak bahwa karena kepentingan rakyat, Negara memerlukan dana untuk kepentingan tersebut. Dana yang akan keluarkan ini tentunya di dapat dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan Pajak. Pemungutan Pajak haruslah terlebih dahulu disetujui oleh rakyatnya sebagaimana di nyatakan dalam pasal 23 ayat 2 Undang-undang dasar 1945 yang menegaskan agar setiap Pajak yang akan dipungut haruslah berdasarkan Undang- undang. Pemungutan Pajak yang harus berlandaskan Undang-undang ini berarti pemungutan Pajak tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyatnya melalui perwakilannya di dewan perwakilan rakyat DPR yang biasa disebut “berasaskan yuridis”. Dengan asas ini berarti telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak Negara dalam memungut Pajak. Di dalam tiap-tiap masyarakat, dimana ada hubungan antara manusia dengan manusia, selalu ada peraturan yang mengikatnya yakni hukum-hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban manusia. Demikian juga dengan Pajak, hak untuk mencari dan memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya membawa kewajiban menyerahkan sebagian kepada Negara dalam bentuk Pajak untuk membantu Negara dalam meningkatkan kesejahteraan umum. Terdapat berbagai ragam mengenai definisi Pajak di kalangan para sarjana ahli di bidang perpajakan. Di antara para sarjana tersebut, yang disitir oleh Santoso Brutodiharjo menyebutkan bahwa Pajak adalah iuaran pada Negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya, menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat Universitas Sumatera Utara ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Pemerintahan. 11 1. N.J.Feldmann, Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum, tanpa adanya kontra prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menuntut pengeluaran-pengeluaran umum. Selanjutnya menurut pendapat para sarjana sebagaimana dirangkum oleh Wirawan B. Ilyas dalam bukunya “Hukum Pajak” menyebutkan antara lain : 2. MJH. Smeeths, memberikan definisi Pajak sebagai berikut Pajak adalah prestasi Pemerintahan yang tentang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontra, prestasi, yang dapat ditujukan dalam hal yang individual maksudnya adalah membiayai pengeluaran Pemerintah. 3. Soeparman Soemahadjaya, dalam disertasinya yang berjudul “Pajak berdasarkan asas gotong-royong” memberikan definisi Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa- jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. 4. Rochmat Soemitro, dalam disertasinya yang berjudul: “Pajak dan Pembangunan”, memberikan definisi Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang dapat 11 Santoso Brotodiharjo., Konsep dan Dasar PerPajakan, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.20 Universitas Sumatera Utara dipaksakan yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. 12 Berdasarkan pengertian Pajak di atas dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur yang melekat dalam pengertian Pajak, yaitu: 1. Pembayaran Pajak harus berdasarkan Undang-undang 2. Sifatnya dapat dipaksakan 3. Tidak ada kontra-prestasi imbalan yang langsung dapat dirasakan oleh si pembayar 4. Pemungutan Pajak dilakukan oleh Negara baik oleh Pemerintah pusat maupun daerah tidak boleh dipungut oleh swasta. 5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan bagi kepentingan masyarakat umum. Dengan melihat definisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, maka “unsur-unsur” yang terdapat dalam definisi-definisi tersebut adalah : 1. Bahwa Pajak itu adalah suatu iman, atau kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan pendapatan kepada Negara. 2. Bahwa perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib atau dapat dipaksakan 3. Perpindahan ini adalah berdasarkan undang-undang. 4. Tidak ada jasa timbal balik tegen prestasi yang dapat ditunjuk. 5. Uang yang dikumpulkan tadi oleh Negara digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berguna untuk rakyat. 13 12 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton., Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2001, hal. 4-5 Universitas Sumatera Utara Pada dasarnya Pajak dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Menurut Golongannya adalah : a. Pajak langsung, yaitu Pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan b. Pajak tidak Langsung, yaitu Pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut sifatnya adalah : a. Pajak subjektif, yaitu Pajak yang terpangkal atau berdasarkan pada subjeknya dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan. b. Pajak Objektif yaitu Pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang Mewah 3. Menurut Lembaga Pemungutnya a. Pajak Pusat, yaitu Pajak yang dipungut oleh Pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: Pajak penghasilan, Pajak pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai b. Pajak Daerah, yaitu Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. 13 Mardiasmo, PerPajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta,.2004, hal. 20 Universitas Sumatera Utara Pajak Daerah terdiri atas: 1 Pajak Propinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 2 Pajak KabupatenKota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan. Ada 4 macam tarif Pajak: 1. Tarif sebandingprofosional Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapa pun jumlah yang dikenai Pajak sehingga besarnya Pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai Pajak. Contoh: Untuk Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10. 2. Tarif Tetap Tarif berupa jumlah yang tetap sama terhadap berapapun jumlah yang dikenai Pajak sehingga besarnya Pajak yang terutang tetap. Contoh: Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp1.000,00 2. Tarif Progresif Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai Pajak semakin besar. Universitas Sumatera Utara Menurut Kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi: a. Tarif Progresif: Kenaikan persentase semakin besar b. Tarif Progresif Tetap: Kenaikan persentase tetap c. Tarif Progresif degresif: Kenaikan persentase semakin kecil. 4. Tarif Degresif Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai Pajak semakin besar. Sifat pemungutan Pajak yang dapat dipaksakan dapat dijelaskan bahwa uang yang dikumpulkan dari Pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah. Agar ada kepastian dalam proses pengumpulannya dan berjalannya pembangunan secara berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk Undang-undang. Unsur pemaksaan disini berarti apabila wajib Pajak tidak mau membayar Pajak, Pemerintah dapat melakukan upaya paksa dengan mengeluarkan suatu surat paksa agar wajib Pajak mau melunasi utang Pajaknya. Dilihat dari lingkungannya, hukum Pajak merupakan bagian dari hukum publik, yakni bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dengan warganya, terhadap peraturan dan cara-cara penerapannya dalam Pemerintahan. Hukum Pajak dimaksud adalah himpunan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara Pemerintah selaku pemungut Pajak dengan masyarakat sebagai wajib Pajak. Dalam pengertian mengatur siapa-siapa sebenarnya wajib Universitas Sumatera Utara Pajak, atau subjek Pajak dan objek Pajak, timbulmnya kewajiban Pajak, cara pemungutannya, cara penagihan dan sebagainya. Sebagai hukum, peraturan perpajakan termasuk di dalamnya hak dan kewajiban, dan sanksi-sanksi baik secara administratif maupun pidana sehubungan dengan adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuannya. Menurut Gunardi Wirawan, hukum Pajak mempunyai kedudukan di antara hukum-hukum sebagai berikut: 1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya. 2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara Pemerintah dengan rakyatnya. 14 Dalam hukum Pajak sehubungan dengan pengertian, terdapat perbedaan, yakni hukum Pajak material dan hukum formal. Menurut Muqodim bahwa hukum Pajak mengatur hubungan antara Pemerintah fiscus selaku pemungut Pajak dengan rakyat sebagai wajib Pajak. 15 1. Hukum Pajak Materiil, menurut norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai Pajak objek Pajak siapa yang dikenakan Pajak subjek, berapa besar Pajak yang dikenakan tarif, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang Pajak, dan hubungan hukum antara Pemerintah dan Wajib Pajak Ada 2 macam hukum Pajak yakni: 14 Gunardi dan Wirawan Ilyas, PerPajakan, Buku I, Penerbit LPFE-UI, Jakarta, 2001, hal.85 15 Muqodim, PerPajakan, Buku I, Edisi ke 2, Penerbit Undang-Undang Press, Yogyakarta, 2000, hal.125 Universitas Sumatera Utara 2. Hukum Pajak Formil, memuat bentuktata cara mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan cara malaksanakan hukum Pajak materiil. Hukum ini memuat antara lain: 1. Tata cara penyelenggaraan prosedur penetapan suatu utang Pajak. 2. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuata dan peristiwa yang menimbulkan utang Pajak. 3. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuanpencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding. Dari uraian pengertian hukum Pajak material dan hukum Pajak formal tersebut, jelas bahwa yang menimbulkan hutang Pajak adalah hukum material, sedang hukum Pajak formal mengatur syarat-syarat pelaksanaan hukum Pajak materil. Tetapi ada juga peraturan atau hukum formal yang mengakibatkan terhutang Pajak telah ditentukan oleh hukum material, tetapi pemungutannya tidak mungkin diselenggarakan misalnya “surat ketetapan Pajak tambahan”. Sebagaimana diketahui bahwa hukum Pajak mencari dasar kemungkin pemungutannya atas dasar kejadian-kejadian, keadaan dan perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata, seperti warisan, pendapatan, kekayaan, perjanjian, penyerahank, perpindahan hak dan sebagainya. Timbulnya hubungan hukum Pajak dengan hukum lainnya, misalnya hukum perdata, karena di dalamnya mengatur berbagai masalah yang berhubungan antara masyarakat dengan Pajak, demikian juga Pemerintah dalam menjalankan fungsi dan wewenang berdasarkan ketentuan hukum yang diterapkan terhadap perpajakan. Universitas Sumatera Utara Hukum Pajak sering juga disebut hukum fiskal. Istilah hukum fiskal digunakan oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia, perkataan atau istilah Pajak sering disamakan dengan istilah fiskal. Kata “fiskal” berasal dari kata latin yang berarti kantong atau keranjang uang. Hukum Pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara Pemerintah sebagai pemungut Pajak dan rakyat sebagai pembayar Pajak. 16 1. Siapa-siapa yang wajib Pajak subjek Pajak Dengan kata lain perkataan hukum Pajak menerangkan : 2. Objek-objek apa yang dikenakan Pajak objek Pajak 3. Kewajiban wajib Pajak terhadap Pemerintah. 4. Timbulnya dan hapusnya hutang Pajak. 5. Cara penagihan Pajak dan 6. Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan Pajak. 17 Hukum Pajak merupakan salah satu bagian dari hukum-hukum administrasi Negara. Hukum Pajak mempunyai hubungan yang erat dengan bidang hukum lainnya seperti hukum pidana dan hukum perdata. Hukum Pajak harus memberikan jaminan hukum dan keadilan yang tega, baik untuk Negara selaku pemungut Pajak fiskus, maupun kepada rakyat selaku wajib Pajak. 16 Siti Resmi, PerPajakan Teori dan Kasus, Buku 2, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2004, hal. 24 17 Ibid, hal. 25 Universitas Sumatera Utara Di Negara-Negara yang menganut faham hukum, segala sesuatu yang menyangkut Pajak harus ditetapkan dalam Undang-Undang. UUD 1945 dicantumkan pasal 23 ayat 2 sebagai dasar hukum pemungutan Pajak oleh Negara. Dalam pasal itu ditegaskan bahwa pengenaan dan pemungutan Pajak termasuk bea dan cukai untuk keperluan Negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang- undang. Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 mempunyai arti sangat dalam yaitu menetapkan nasib rakyat, yang harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri dengan peraturan DPR sebagai wakil rakyat. Dengan ditetapkannya Pajak dalam bentuk undang-undang berarti Pajak bukan perampasan hakkekayaan rakyat karena sudah disetujui oleh wakil-wakil rakyat, juga tidak dapat dikatakan sebagai bayaran suka rela, oleh karena Pajak mengandung kewajiban bagi rakyat untuk mematuhi kewajibannya, dapat dikenakan sanksi. Di samping adanya undang-undang yang memberikan jaminan hukum kepada wajib Pajak agar keadilan dapat diterapkan, maka faktor lainnya yang harus diperhitungkan oleh Negara adalah agar perbuatan peraturan Pajak diusahakan agar mencerminkan rasa keadilan bagi wajib Pajak, sebab tingkat kehidupan serta daya pikul anggota masyarakat tidak sama. Anggota masyarakat ada yang mampu, kurang mampu dan tidak mampu. Perundang-undangan perpajakan yang dilandasi falsafah Pancasila dan UUD 1945, di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi kewajiban perpajakan sebagai kewajiban keNegaraan. Dengan undang-undang dimaksud Universitas Sumatera Utara tersusun sistem pemungutan Pajak yang memberi kepercayaan lebih bwesar keapda anggota masyarakat selaku wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Demikian juga jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi wajib Pajak lebih diperhatikan, dengan demikian dapat merangsang peningkatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan pada masyarakat. Bahwa wajib Pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subjektif sekaligus memenuhi syarat-syarat objektif, yaitu bagi wajib Pajak dalam negeri yang memperoleh atau menerima penghasilan yang melebihi batas minimum kena Pajak yang disebut Penghasilan Tidak Kena Pajak PTKP, dan jika wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber yang ada di Indonesia, tidak bergantung pada batas minimum PTKP Dari ketentuan yang dimuat dalam Undang-undang Pajak Nasional, terdapat hak-hak dan kewajiban wajib Pajak seperti Kewajiban wajib Pajak : 1. Melaksanakan pendaftaran diri untuk memperoleh nomor pokok wajib Pajak NPWP sebagai identitas diri wajib Pajak. Dengan diperolehnya Nomor Pokok Wajib Pajak telah terdapat di Direktorat Jenderal Pajak. 2. Mengambil sendiri blanko Surat Pemberitahuan SPT di tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Universitas Sumatera Utara 3. Wajib Pajak mengisi dengan benar dan lengkap dan menandatangani sendiri surat pemberitahuan Pajak dan kemudian mengembalikan surat pemberitahuan itu kepada Kantor Inspeksi Pajak. 4. Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan-pencatatan. 18 Hak-hak wajib Pajak : 1. Wajib Pajak mempunyai hak untuk tanda bukti pemasukan surat pemberitahuan. 2. Wajib Pajak menyampaikan hak mengajukan permohonan penundaan penyampaian surat pemberitahuan. 3. Wajib Pajak mempunyai hak untuk melakukan pembetulan sendiri Surat Pemberitahuan SPT yang telah dimasukkan. 4. Wajib Pajak mempunyai hak mengajukan permohonan penundaan dan pengangsuran pembayaran Pajak sesuai dengan kemampuannya. 5. Wajib Pajak berhak mengajikan permohonan pengambilan kelebihan pembayaran Pajak serta memperoleh kepastian terbitnya Surat keputusan kelebihan pembayaran Pajak. 6. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan pembetulan, salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak SKP dalam penerapan peraturan perundang-undangan Pajak. 7. Wajib Pajak berhak mengajukan keberatan dan berhak atas kepastian terbitnya Surat keputusan atas surat permohonan keberatannya. 18 Safri Nurmantu, Pengantar PerPajakan, Penerbit Granit, Jakarta, 2003, hal. 110 Universitas Sumatera Utara 8. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan banding atas keberatannya yang telah diputuskan oleh Direktur Jenderal Pajak. 9. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi perpajakan serta pembetulan ketetapan Pajak yang salah atau keliru. 10. Wajib Pajak berhak memberi kuasa khusus kepada orang lain yang dipercayai untuk melaksanakan kewajiban perpajakan. 19

B. Dasar Hukum Perpajakan