Maloklusi juga mempunyai efek terhadap kualitas hidup. Pada subyek dengan maloklusi yang parah dilaporkan memiliki gejala seperti lesi-lesi oral yang lebih
banyak pada rongga mulut dan mempunyai keterbatasan fungsional. Individu- individu ini juga memiliki kesejahteraan sosial dan emosional yang lebih rendah
berbanding dengan individu-individu yang mempunyai oklusi yang baik.
32
Masood dkk., menggunakan kuesioner Oral Health Impact Profile-14 pada sejumlah sampel
sebanyak 323 orang umur 15 tahun sampai 25 tahun untuk mengkaji hubungan kesehatan rongga mulut terhadap kualitas hidup subyek dan didapat bahwa maloklusi
mempunyai efek negatif terhadap kualitas hidup, tetapi dampaknya berkurang dengan bertambahnya umur. Individu yang mempunyai maloklusi dapat beradaptasi dengan
limitasi yang diakibatkan oleh maloklusi. Maloklusi mempunyai prevalensi yang tinggi dan kesehatan rongga mulut sering terpengaruh oleh maloklusi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa maloklusi mempunyai dampak terhadap kualitas hidup dan merupakan aspek yang paling berpengaruh terhadap psikologi.
33
2.5 Etiologi Maloklusi
Maloklusi dapat terjadi karena beberapa faktor namun secara umum etiologi maloklusi dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik.
Seorang ortodontis harus dapat menyingkirkan faktor etiologi yang menyebabkan maloklusi. Maloklusi itu dapat dihindari dengan tindakan preventif atau interseptif
asalkan pada waktu yang tepat.
2,12,15,16
Perkembangan kraniofasial kompleks dan oklusi yang normal merupakan hasil interaksi antara beberapa faktor seperti lingkungan dentoalveolar, skeletal dan
neuromuskular dengan genetik.
2,35
Kebiasaan mengisap dapat mempengaruhi pertumbuhan kraniofasial kompleks. Efek mengisap ASI dan efek mengisap susu dari
botol mempunyai pengaruh berbeda pada pertumbuhan kraniofasial kompleks bayi. Mengisap secara non nutritif mempunyai efek negatif pada pertumbuhan kraniofasial
sehingga dapat menimbulkan masalah seperti open bite anterior, crossbite posterior dan penambahan besar overjet. Efek pada masa depan akan menyebabkan malokusi
Universitas Sumatera Utara
dalam arah vertikal. Penelitian oleh Montaldo dkk., juga menunjukkan adanya hubungan antara relasi molar Klas II dengan mengisap secara non nutritif.
35,36
Kelainan pada genetik seorang individu dapat mempengaruhi pertumbuhan rahangnya. Kelainan poligenik seperti maloklusi Klas III sering diduga sebagai hasil
antara interaksi faktor lingkungan dengan gen. Di samping itu, maloklusi Klas III dapat juga diwariskan kepada keturunannya dalam bentuk poligenik. Malah terdapat
beberapa jenis gen yang mempengaruhi pertumbuhan kondilus yang berlebih sehingga terjadi prognasi mandibula.
37
Terdapat literatur yang menunjukkan sebab terjadinya maloklusi karena sifat herediter yang diturunkan. Pada kasus maloklusi
yang ekstrem, maloklusi karena faktor herediter dapat diprediksi jika ditemukan tidak adanya pengaruh dari trauma ataupun infeksi awal pada pusat pertumbuhan
kondilus.
38
Perkembangan skeletal wajah mempunyai hubungan dengan postur kranioservikal. Penelitian Solow dkk., menunjukkan sebuah pola asosiasi yang jelas
kelihatan pada crowding anterior dengan sudut kranioservikal, terlihat bahwa sampel dengan kekurangan ruang sebanyak 2 mm atau lebih mempunyai sudut kranioservikal
yang lebih besar dari sampel tanpa crowding anterior. Pada sampel yang mempunyai maloklusi Klas II Angle akan terlihat sudut kranioservikal lebih kecil dibandingkan
sampel dengan oklusi normal.
24
Penelitian Meibodi dkk., menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara maloklusi skeletal dengan anomali vertebra servikal.
Insidensi kelainan kranioservikal adalah tinggi pada individu yang mempunyai maloklusi skeletal Klas III dan diduga bahwa kelainan pada postur kranioservikal
adalah karena pengaruh dari genetik. Oleh karena itu, penelitian mengenai pembentukan dan perkembangan kepala dan leher pada waktu embrio dan janin harus
dilakukan untuk memahami hubungan ini.
39
Graber mengelompokkan faktor etiologi maloklusi menjadi faktor umum dan lokal. Faktor umum dapat berupa kongenital, herediter, lingkungan, malnutrisi,
kebiasaan jelek, postur, trauma dan penyakit. Sedangkan faktor lokal dapat berupa anomali bentuk gigi, anomali ukuran gigi, anomali bilangan gigi, labial frenum yang
abnormal, kehilangan gigi awal prematur, lambatnya erupsi gigi permanen, karies
Universitas Sumatera Utara
gigi, dan jalur erupsi gigi abnormal. Faktor umum akan mempengaruhi seluruh
pertumbuhan badan hingga efek lain terlihat pada struktur dentofasial dan faktor lokal akan menghasilkan suatu efek lokal yang mempengaruhi susunan gigi. Namun tidak
hanya satu faktor saja yang dapat mempengaruhi terjadinya maloklusi, tetapi pada penelitian-penelitian yang dilakukan sebelum ini membuktikan bahwa etiologi
maloklusi tidak hanya tergantung pada satu faktor tetapi merupakan kombinasi antara dua faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik. Oleh karena itu, hampir semua
kasus maloklusi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor tetapi merupakan hasil dari etiologi yang multifaktorial.
1,2,12,15,16,34
2.6 Indeks Maloklusi