sudut orientasi oklusal juga harus diperhatikan. Klas II mempunyai sudut bidang oklusal yang curam sedangkan Klas III mempunyai sudut bidang oklusal yang datar.
Selain itu, prevalensi Klas III lebih besar pada orang keturunan Asia.
18
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Ishii dkk., yang menunjukkan bahwa ras
Jepang cenderung memiliki bentuk skeletal Klas III dibandingkan dengan ras Kaukasoid. Oklusi normal amat susah diperoleh karena retrognasi maksila dan
prognasi mandibula.
22
2.3 Maloklusi Dental
Pada maloklusi dental, susunan gigi dan variasi posisi gigi pada rahang menjadi pertimbangan sewaktu menentukan klasifikasi maloklusi dental. Klasifikasi
yang paling umum dipakai untuk mengelompokkan maloklusi dental adalah klasifikasi Angle. Pada tahun 1907, Edward H Angle menciptakan suatu sistem
klasifikasi berdasarkan relasi mesio distal gigi. Gigi-gigi yang dipakai sebagai titik referensi adalah gigi molar dan kaninus karena posisi gigi-gigi mempunyai reliabilitas
tinggi sebagai titik referensi.
2
Menurut Angle, gigi molar satu permanen maksila berperan sebagai kunci oklusi karena beberapa faktor, antara lain:
2,23
1. Gigi molar satu permanen maksila merupakan gigi terbesar dalam rongga mulut.
2. Posisi tetap pada rahang.
3. Membantu dalam menentukan proporsi vertikal skeletal dan dental melalui
panjang mahkota gigi. 4. Waktu erupsi yang paling konsisten antara semua gigi-gigi permanen.
5. Lebih sering menempati posisi normal pada lengkung rahang daripada
gigi-gigi permanen lain karena gigi ini merupakan gigi permanen pertama yang erupsi.
Setiap maloklusi Angle ditandai dengan karateristik tersendiri. Maloklusi Klas I Angle menunjukkan tonjol mesio bukal gigi molar satu permanen atas oklusi
pada groove bukal gigi molar satu permanen bawah neutroklusi. Maloklusi Klas II
Universitas Sumatera Utara
Angle, gigi molar satu mandibula beroklusi lebih ke distal daripada gigi molar satu maksila distoklusi. Di samping itu, maloklusi Klas II Angle dibagi kepada dua
divisi yaitu divisi 1 dan divisi 2. Divisi 1 ditandai dengan gigi-gigi insisivus atas proklinasi, overjet besar serta overbite yang dalam. Divisi 2 ditandai dengan gigi-gigi
insisivus sentral yang memiliki inklinasi ke lingual dan gigi-gigi insisivus lateral yang tipping ke labial. Oleh karena itu akan terlihat overbite yang dalam pada bagian
anterior rahang. Pada maloklusi Klas III Angle, gigi molar satu mandibula beroklusi lebih ke mesial daripada gigi molar satu maksila mesioklusi.
2,12,14-16,23-25,28
Penelitian Thilander dkk., dilakukan di negara Kolumbia mengenai prevalensi maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada sejumlah sampel sebanyak 4724
orang umur 5-17 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 88 memiliki anomali yang berbentuk ringan hingga parah. Separuh memiliki anomali oklusal
anomali sagital, tranversal dan vertikal, sepertiga memiliki diskrepansi ruang, seperlima memiliki anomali dental. Hasil pengamatan anomali oklusal menunjukkan
bahwa prognasi maksila merupakan anomali sagital yang paling biasa ditemukan pada maloklusi Klas II Angle Divisi 1. Sebanyak 3,4 dari jumlah sampel ditemukan
dengan overjet 6 mm dan 1,8 memiliki overbite yang ekstrem 6 mm sering dikaitkan dengan maloklusi Klas II Angle. Sebanyak 5,8 mempunyai crossbite
anterior dan dikategorikan sebagai maloklusi Klas III Angle.
26
Penelitian Johannsdottir dkk., membandingkan sekelompok anak-anak yang mempunyai Klas I Angle dengan sekelompok anak-anak yang mempunyai
Klas II Angle. Hasil penelitian tidak menemukan adanya perbedaan pada prognasi maksila maupun pada panjang mandibula. Kelompok Klas II memiliki dimensi
basis krani lebih besar dan sudut basis krani lebih tumpul 90 ⁰-180⁰.
27
Kelompok-kelompok maloklusi Klas I, Klas II dan Klas III Angle juga menggunakan analisis Bolton untuk melihat hubungan antara diskrepansi ukuran gigi
dengan maloklusi dan memperoleh hasil bahwa terdapat korelasi antara nilai rasio keseluruhan analisis Bolton dengan besar overjet p0,001. Ukuran gigi-gigi maksila
lebih besar dari gigi-gigi mandibula sehingga besar overjet bertambah. Maloklusi Klas III Angle menunjukkan nilai rasio keseluruhan Bolton paling tinggi, dan pada
Universitas Sumatera Utara
maloklusi Klas II Angle menunjukkan nilai rasio keseluruhan Bolton paling rendah. Hasilnya menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara kelompok-
kelompok Klas I, II, dan III Angle.
28
2.4 Efek Maloklusi