Formula Keterbacaan Tingkat Keterbacaan

dengan pembaca. Hal ini sesuai dengan konsep dasar yang diungkapkan oleh Rusyana 1984: 213 bahwa keterbacaan berhubungan dengan peristiwa membaca yang dilakukan seseorang, sehingga akan bertemali dengan aspek 1 pembaca; 2 bacaan; dan 3 latar. Ketiga komponen tersebut akan dapat menerangkan tingkat keterbacaan teks. Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui formula keterbacaan dan melalui respons pembaca seperti yang diungkapkan oleh McNeill et.al. yang dikutip oleh Singer Donlan 1980. Formula keterbacaan merupakan instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch 1974, Grafik Fry 1977, dan Grafik Raygor 1984 dalam suherlicenter.blogspot.com200810hut-70- tahun-profdryus-rusyana.html menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formula karena formulanya relatif sederhana dan mudah digunakan.

2.3.1 Formula Keterbacaan

Uraian tentang definisi keterbacaan di atas, semakin memperjelas bahwa Keterbacaaan readability merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi pembaca tertentu yang dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya . Dapat dikatakan, untuk mengetahui dan mengukur tingkat keterbacaan tekswacana tersebut diperlukan penerapan sebuah rumus atau formula. Harjasujana dan Yeti Mulyati 1997:107 menyatakan bahwa formula-formula Universitas Sumatera Utara keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolak ukur yakni panjang kalimat dan kesulitan kata. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua patokan tersebut, diantaranya adalah formula keterbacaan-keterbacaan yang dibuat Spache, Dale dan Chart, Gunning dan Fry. Melalui berbagai percobaan terhadap formula keterbacaan-keterbacaan di atas, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan formula Fry dalam penelitian ini karena dianggap lebih praktis dan efisisen. Formula keterbacaan Fry diambil dari nama pembuatnya yaitu Edward Fry. Formula ini mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah “Journal of Reading” Harjasujana dan Yeti, 1996: 113. Formula keterbacaan Fry mengambil seratus kata dalam sebuah teks sebagai sampel tanpa memperhatikan panjangnya wacana. Jadi, setebal apapun jumlah halaman suatu buku ataupun sepanjang apapun suatu bacaan, pengukuran keterbacaan menggunakan formula ini hanya menggunakan seratus kata saja. Angka ini dianggap representatif menurut Fry. Berikut ini adalah model grafik Fry. Gambar 2.1 Grafik Fry Universitas Sumatera Utara Petunjuk Penggunaan Grafik Fry 1. Pilihlah seratus kata dari wacana yang akan diukur keterbacaannya. Jika dalam wacana tersebut terdapat nama, deret angka, dan singkatan, ketiganya dihitung satu kata. Kata ulang juga dianggap satu kata. Kata dalam judul bab atau sub-bab tidak boleh dihitung. Misalnya budi, ABRI, dan 1979 masing-masing dihitung satu kata. 2. Hitunglah jumlah kalimat yang terdapat dalam keseratus kata terpilih tersebut. Jika kalimat akhir tidak tepat pada titik, perhitungannya adalah jumlah kalimat lengkap ditambah jumlah kata pada kalimat terakhir yang masuk pada jumlah kata keseratus dibagi jumlah keseluruhan kata kalimat terakhir. Misalnya dari keseratus kata yang telah dipilih ada 6 kalimat lengkap dan pada kalimat terakhir kata yang masuk keseratus kata ada 5 kata sedangkan jumlah kata pada kalimat itu seluruhnya ada 10 kata, jumlah kalimatnya adalah 6 + 5 = 6,5 kalimat 3. Hitunglah jumlah suku kata dari keseratus kata yang telah dipilih. Kata yang berupa deretan angka dan singkatan dianggap masing- masing huruf angkanya satu suku kata. Karena jumlah suku kata bahasa indonesia dan bahasa inggris bebeda, jumlah suku kata yang dihitung tersebut selanjutnya harus dikalikan 0.6. misalnya jumlah suku kata keseratus kata terpilih adalah 250 suku kata maka jumlah suku kata yang sebenarnya adalah 250 × 0,6 = 150 suku kata. 4. Plotkan hasil penghitungan di atas ke dalam grafik fry. Pembacaan hasil akhir merupakan pertemuan antara garis diagonal dan vertikal Universitas Sumatera Utara yang dihasilkan dari jumlah suku kata dan jumlah kalimat. Jika hasilnya terletak pada satu kolom tertentu, itulah tingkat kesulitan wacana tersebut. 5. Jika pertemuan garis tersebut jatuh pada daerah yang diarsir, wacana tersebut dikategorikan wacana yang tidak valid. Selanjutnya dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku si pengukur harus menempuh langkah-langkah petunjuk penggunaan grafik fry yang kemudian menghitung hasil rata-ratanya. Data hasil rata-rata tersebut harus dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut.

2.4 Penelitian yang Relevan