9. Pemadanan Deskriptif descriptive equivalent merupakan eksplikasi, yakni
pemadanan yang dilakukan dengan memberikan deskripsi dan terkadang dipadukan dengan fungsi.
Misalnya: Bahasa Sumber
Bahasa Sasaran Samurai
The Japanese aristocracy From the eleventh to the
nineteenth century
2.2 Teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit Sebagai Teks Ilmiah
Teks ilmiah adalah suatu teks yang berisikan suatu topik tertentu yang disajikan secara lugas, logis dan runtut. Peter Newmark dalam
www.Medtrad.orgpanacea.html pernah menulis artikel pada sebuah jurnal “The
Linguist” mengatakan “ a variety of translation and linguistics topics, including ethics, aesthetics and medicine”. Dalam hal ini, beliau mengatakan bahwa
penerjemahan yang dicontohkan pada teks medis sebagai salah satu jenis teks ilmiah, ethics adalah yang paling penting pada penerjemahan teks medis karena
penerjemah tidak hanya menerjemahkan teks secara akurat tetapi juga produk terjemahannya tidak melukai atau sebaliknya dapat membunuh pasien. Penerjemah
harus mempunyai akses ke ahli medis atau mengecek aspek medis dalam penerjemahaan. Dalam hal ini yang lebih ditekankan adalah hal apa yang sednag
terjadi dan tidak hanya berpijak pada bagaimana bahasa itu dideskripsikan. Pada penerjemahan medis atau penerjemahan yang berhubungan dengan keilmiahan
sebuah disiplin ilmu, penerjemah dituntut untuk dapat menvisualisasikan apa yang sedang terjadi. Penerjemah harus yakin bahwa ini adalah realita. Logic dalam hal
ini berhubungan dengan teks tersebut secara “sebab-akibat” causally dan
Universitas Sumatera Utara
“keadaanya pada saat itu” temporally logis atau dapat diterima. Hal ini terkait dengan penggunaan kata “untuk itu” dan “kemudian” merujuk pada sesuatu yang
sedang terjadi. Aesthetics mengacu pada bahwa teks yang diterjemahkan harus jelas dan padat serta dapat diterima. Sama halnya dengan teks Consistent in Loosening
Tangled Thread in Sibolangit yang diterjemahkan menjadi Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit. Dari hasil terjemahan tersebut, terlihat jelas adanmya
perubahan bentuk kata yang terdapat antara Tangled thread menjadi Benang kusut strategi transposisi.
2.3 Tingkat Keterbacaan
Sebagai teks ilmiah, tingkat keterbacaan teks perlu diperhatikan agar pesan yang ingin disampaikan oleh peneliti dapat dipahami dan diterima oleh pembacanya.
Terkait dengan tingkat keterbacaan tersebut, Cowie 1989: 1043 selaku Chief Editor Oxford Advanced Learner’s Dictionary memadankan “keterbacaan” dengan
istilah “readibility atau readable yang berarti “dapat dibaca dengan mudah dan nyaman. Selanjutnya Richards et al dalam Nababan, 2007: 46 mengungkapkan
bahwa keterbacaan pada dasarnya merujuk pada seberapa mudah teks tulis dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca. Dale dan chall 1948: 236 menyatakan bahwa
“ada unsur lain, yakni pembaca yang turut menetukan keterbacaan suatu teks: readibility, the sum total including the ones of all those elements within a given
piece of printed material that affects the success oa group of readers have with it”. Dari beberapa pendapat para ahli tersebut di atas, maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwasanya keterbacaan itu mempersoalkan tingkat kesulitan dan atau tingkat kemudahan baca suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca
Universitas Sumatera Utara
tertentu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kajian keterbacaan sasaran utamanya adalah wacana, bukan pembaca wacananya Sulastri, dalam
http:uniisna.wordpress.com20101231keterbacaan-wacana-dan-teknik- pengukurannya-2
. Harjasujana dan Yeti Mulyati 1997: 106 mengemukakan bahwa keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang
memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Keterbacaan merupakan padanan readability dalam bahasa inggris. Istilah ini
diartikan Harjasujana, dkk.1999: 10 yaitu: 1
Kemudahan tipografi atau tulisan tangan, 2
Kemudahan membaca yang disebabkan oleh daya tarik bahan bacaan dan tingkat minat baca atau,
3 Kemudahan memahami bahan bacaan yang disebabkan kecerdasan
bahasanya. Teks ilmiah merupakan teks yang harus memiliki tingkat keterbacaan yang
layak. Untuk menentukan tingkat kelayakan sebuah wacanateks, peneliti hendak menganalisisnya dengan formula keterbacaan. Oleh karena itu Keterbacaaan
readibility merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya.
Uraian definisi dan pengertian keterbacaan menurut ahli di atas membuat penulis menyimpulkan bahwa tingkat keterebacaan dapat diartikan sebagai tingkat
kesulitan atau kemudahan wacana. Dalam menentukan tingkat keterbacaan suatu teks dilakukan kajian pada tiga
hal, yaitu keterbacaan teks, latar belakang pembaca, dan interaksi antara teks
Universitas Sumatera Utara
dengan pembaca. Hal ini sesuai dengan konsep dasar yang diungkapkan oleh Rusyana 1984: 213 bahwa keterbacaan berhubungan dengan peristiwa membaca
yang dilakukan seseorang, sehingga akan bertemali dengan aspek 1 pembaca; 2 bacaan; dan 3 latar. Ketiga komponen tersebut akan dapat menerangkan tingkat
keterbacaan teks. Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara,
yaitu melalui formula keterbacaan dan melalui respons pembaca seperti yang diungkapkan oleh McNeill et.al. yang dikutip oleh Singer Donlan 1980.
Formula keterbacaan merupakan instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah
kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch 1974, Grafik Fry
1977, dan Grafik Raygor 1984 dalam
suherlicenter.blogspot.com200810hut-70- tahun-profdryus-rusyana.html
menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena
formula karena formulanya relatif sederhana dan mudah digunakan.
2.3.1 Formula Keterbacaan
Uraian tentang definisi keterbacaan di atas, semakin memperjelas bahwa Keterbacaaan readability merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan
bacaan bagi pembaca tertentu yang dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya
.
Dapat dikatakan, untuk mengetahui dan mengukur tingkat keterbacaan tekswacana tersebut diperlukan penerapan sebuah rumus atau formula.
Harjasujana dan Yeti Mulyati 1997:107 menyatakan bahwa formula-formula
Universitas Sumatera Utara
keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolak ukur yakni panjang
kalimat dan kesulitan kata. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua patokan tersebut, diantaranya adalah formula keterbacaan-keterbacaan yang
dibuat Spache, Dale dan Chart, Gunning dan Fry. Melalui berbagai percobaan terhadap formula keterbacaan-keterbacaan di
atas, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan formula Fry dalam penelitian ini karena dianggap lebih praktis dan efisisen. Formula keterbacaan Fry diambil
dari nama pembuatnya yaitu Edward Fry. Formula ini mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah “Journal of Reading” Harjasujana dan Yeti, 1996: 113.
Formula keterbacaan Fry mengambil seratus kata dalam sebuah teks sebagai sampel tanpa memperhatikan panjangnya wacana. Jadi, setebal apapun jumlah halaman
suatu buku ataupun sepanjang apapun suatu bacaan, pengukuran keterbacaan menggunakan formula ini hanya menggunakan seratus kata saja. Angka ini
dianggap representatif menurut Fry. Berikut ini adalah model grafik Fry.
Gambar 2.1 Grafik Fry
Universitas Sumatera Utara
Petunjuk Penggunaan Grafik Fry
1. Pilihlah seratus kata dari wacana yang akan diukur keterbacaannya.
Jika dalam wacana tersebut terdapat nama, deret angka, dan singkatan, ketiganya dihitung satu kata. Kata ulang juga dianggap
satu kata. Kata dalam judul bab atau sub-bab tidak boleh dihitung.
Misalnya budi, ABRI, dan 1979 masing-masing dihitung satu kata.
2. Hitunglah jumlah kalimat yang terdapat dalam keseratus kata terpilih
tersebut. Jika kalimat akhir tidak tepat pada titik, perhitungannya adalah jumlah kalimat lengkap ditambah jumlah kata pada kalimat
terakhir yang masuk pada jumlah kata keseratus dibagi jumlah keseluruhan kata kalimat terakhir. Misalnya dari keseratus kata yang
telah dipilih ada 6 kalimat lengkap dan pada kalimat terakhir kata yang masuk keseratus kata ada 5 kata sedangkan jumlah kata pada
kalimat itu seluruhnya ada 10 kata, jumlah kalimatnya adalah 6 + 5 =
6,5 kalimat
3. Hitunglah jumlah suku kata dari keseratus kata yang telah dipilih.
Kata yang berupa deretan angka dan singkatan dianggap masing- masing huruf angkanya satu suku kata. Karena jumlah suku kata
bahasa indonesia dan bahasa inggris bebeda, jumlah suku kata yang dihitung tersebut selanjutnya harus dikalikan 0.6. misalnya jumlah
suku kata keseratus kata terpilih adalah 250 suku kata maka jumlah
suku kata yang sebenarnya adalah 250 × 0,6 = 150 suku kata.
4. Plotkan hasil penghitungan di atas ke dalam grafik fry. Pembacaan
hasil akhir merupakan pertemuan antara garis diagonal dan vertikal
Universitas Sumatera Utara
yang dihasilkan dari jumlah suku kata dan jumlah kalimat. Jika hasilnya terletak pada satu kolom tertentu, itulah tingkat kesulitan
wacana tersebut.
5. Jika pertemuan garis tersebut jatuh pada daerah yang diarsir, wacana
tersebut dikategorikan wacana yang tidak valid.
Selanjutnya dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku si pengukur harus menempuh langkah-langkah petunjuk penggunaan grafik fry yang kemudian
menghitung hasil rata-ratanya. Data hasil rata-rata tersebut harus dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut.
2.4 Penelitian yang Relevan
Berikut ini adalah beberapa penelitian yang mengkaji tentang teknik dan pergeseran shifts penerjemahan :
1. Fatukhna’imah Rhina Zuliani 2001, dalam tesisnya Kajian Teknik
Penerjemahan dan Kualitas Penerjemahan Ungkapan dalam Novel The Kite Runner Karya Khaled Hosseini.
http:blog-indonesia.comblog-archive- 12266-651.html
, menemukan dan mengklasifikasi ungkapan budaya dalam novel The kite Runner, mengkaji teknik penerjemahan yang digunakan dan
menunjukan kualitas penerjemahan, kaitannya dengan teknik penerjemahan yang digunakan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif
terpancang. Hasil analisis menunjukan bahwa dalam novel the kite runner terdapat 139 ungkapan budaya. Ungkapan budaya tersebut diklasifikasi
budaya koentjaraningrat yaitu bahasa, system pengetahuan, organisasi sosial, sisperalatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi
Universitas Sumatera Utara
dan kesenian. Hasil lengkap klasifikasi budaya adalah sebagai berikut : Bahasa 44 data 32, system pengetahuan 3 data 2, organisasi sosial 6
data 4, sistem peralatan hidup dan teknologi 46 data 33, sistem mata pencaharian hidup 5 data 4, sistem religi 27 data 19, dan kesenian 8
data 6. Dari kajian yang dilakukan terhadap teknik penerjemahan, terindentifikasi teknik yang digunakan dalam menerjemahkan ungkapan
budaya adalah sebagai berikut : peminjaman murni 75 data 54, peminjaman alamiah 27 data 19,4, calque 7 data 5, amplifikasi 8 data
5,8, deskripsi 2 data 1,4, literal 7 data 5 dan established equivalent 13 data 9,4. Dalam menerjemahkan ungkapan budaya, penerjemah lebih
banyak menggunakan peminjaman murni dengan mempertahankan bentuk asli ungkapan BSu. Adapun kualitas penerjemah kaitannya dengan teknik
penerjemahan yang digunakan adalah sebagai berikut : terjemahan akurat pada 60 data 43 paling banyak dihasilkan dengan teknik peminjaman alamiah
yaitu 23 data 16,5, terjemahan kurang akurat pada 39 data 28 dan tidak akurat 40 data 29 paling banyak dihasilkan dengan teknik peminjaman
murni. Terjemahan ungkapan budaya yang berterima sebanyak 57 data 41 paling banyak dihasilkan dengan peminjaman alamiah, yaitu 23 data 16,5
kurang berterima 42 data 30, dan tidak berterima 40 data 29 paling bnayak dihasilkan dengan teknik peminjaman murni. Rater pembaca sepakat
menilai 54 data 39 memiliki keterbacaan mudah, 41 data 29 keterbacaan agak sulit, dan 44 data 32 memiliki keterbacaan sulit. Adapun
teknik yang paling banyak menghasilkan keterbacaan mudah adalah teknik
Universitas Sumatera Utara
peminjaman murni 15,8, dan keterbacaan sulit dengan peminjaman murni 26,6. Dari temuan tersebut dapat dilihat bahwa teknik peminjaman
alamiah menghasilkan lebih banyak terjemahan yang akurat, berterima, dan memiliki keterbacaan mudah karena digunakannyaungkapan budaya yang
tepat dan familier. Sebaliknya, teknik peminjaman murni menghasilkan lebih banyak terjemahan yg tidak akurat, tidak berterima, dan memiliki keterbacaan
sulit karena digunakannya ungkapan budaya BSu yang masih asing dalam BSa.
Relevansinya terhadap penelitian ini ialah bahwa keduanya merupakan penelitian deskriptif kualitatif terpancang. Namun penelitian di atas mengkaji
teknik penerjemahan yang digunakan untuk menunjukan kualitas penerjemahan, sedangkan penelitian yang dilakukan penelti mengidentifikasi
strategi penerjemahan dan tingkat keterbacaan teks. 2.
Indonesian Subtitling Strategies of the English Movie Inception. Oleh Andalusia lestarian, Universitas Andalas 2011. Penelitian ini membahas
tentang strategi penerjemahan pada teks film Indonesian subtitling strategies yang digunakan pada film berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi penerjemahan apa yang digunakan pada teks film dan strategi apa yang paling banyak digunakan.
Metode yang digunakan adalah membandingkan data sumber dengan terjemahannya. Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan teknik
pengamatan dan teknik catat. Petikan-petikan percakapan dicatat dan ditampilkan dalam bentuk tabel. Analisis data menggunakan teori
Universitas Sumatera Utara
penerjemahan yang diajukan oleh Gottlieb 2011, yang terdiri dari penghilangan penyingkatan, penambahan, pemindahan, pengurangan ,
penyimpulan dan penyalinan. Data analisis diambil dari petikan percakapan dari film berjudul Inception dalam bentuk DVD. Dalam menganalis data,
penulis menjelaskan bagian mana yang mengalami strategi penerjemahan, klasifikasi dan asumsi mengapa strategi itu digunakan. Penjabaran data
analisis dijelaskan berdasarkan strategi, bukan petikan percakapan. Data analisis berjumlah 56 petikan percakapan, terdiri dari delapan tabel. Masing-
masing tabel berjumlah tujuh petikan percakapan. Dari hasil analis, ditemukan semua strategi penerjemahan, dan terdapat 70 kali penggunaan
strategi penerjemahan. Dari hasil penelitian ditemukan strategi-strategi yang muncul dengan frekuensi sebagai berikut: penyingkatan 24 kali 42,85,
penghilangan 20 kali 37,71, penyimpulan 14 kali 25, penambahan 5 kali 8,93 pemindahan 4 kali 7,14 pengurangan dua kali 3,57, dan
penyalinan satu kali 1,75 dengan kajian pergeseran kategori kata kerja dan kata benda dalam konteks keterkaitan makna bahasa dalam berbagai budaya.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa ada 12 variasi nomina serta 9 variasi pergeseran verba terjemahan pada karya-karya Hemingway : The Old Man
and The sea;, sedangkan dalam A Farewell to Arms terdapat 11 variasi pergeseran nomina serta 7 variasi pergeseran nomina.
Relevansinya terhadap penelitian ini ialah keduanya membahas tentang strategi penerjemahan. Perbedaannya terletak pada objek yang diteliti.
Penelitian di atas No.2 meneliti teks film Indonesian subtitling strategies
Universitas Sumatera Utara
yang digunakan pada film berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia sedangkan penelitian ini meneliti teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit.
3. Strategi Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan Buku Manual Handphone
Nokia 1600 dari Bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia oleh purwani Indri Astuti, Universitas Negeri Surakarta, 2008. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan strategi penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan teks manual handphone nokia 1600 yang telah diterjemahkan
dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga memiliki tujuan untuk mendeskripsikan kualitas terjemahan teks manual
handphone Nokia 1600 yang telah diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini dapat memberikan manfaat teoritis dan
manfaat praktis : secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam bidang penerjemahan sebagai alternatif untuk mengadakan penelitian
lebih jauh mengenai dampak kualitas terjemahan. Khususnya yang berhubungan dengan penerjemahan manual. Secara praktis, penelitian ini
dapat memberikan manfaat bagi 1 editor terjemahan buku-buku manual untuk mengevaluasi hasil-hasil terjemahan. 2 pengguna produk-produk
teknologi yang mengandalkan buku manual sebagai pedoman dalam merakit atau mengoperasikan produk-produk teknologi tersebut, sebagai tambahan
wawasan dalam memahami buku manual. 3 praktisi terjemahan, penelitian ini bermanfaat untuk membantu mengembangkan sub-sub kompetensi mereka
dalam menyingkapi masalah-masalah terjemahan yang dihadapinya sebagai konsekwensi dalam poengambilan keputusan mereka. Jenis penelitian ini
Universitas Sumatera Utara
termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh kata, frasa dan kalimat yang terdapat pada bukiu
manual handphone nokia 1600. Data tersebut sekaligus menjadi sampel dalam penelitian ini. Untuk menilai kualitas terjemahan, data dibaca dan dinilai oleh
3 rater yang memiliki criteria yang telah ditetapkan sebelumnya dan seorang informan ahli untuk memantabkan kealamiahan terjemqahan buku manual
tersebut. Selain itu, peneliti juga meminta 3 orang pembaca awam untuk mengetahui keterbacaan buku manual tersebut. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara umum ada 2 strategi penerjemahan yang telah diterapkan, yaitu strategi struktural dan strategi semantik. Dalam kaitannya dengan strategi
struktural, penerjemah menggunakan strategi penambahan addition, pengurangan subtraction dan transposisi. Sementara untuk strategi semantis,
penerjemah menggunakan strategi penambahan , penghilangan omission, pungutan borrowing, dan modulasi. Di dalam penerapannya, ditemukan
bahwa penerjemah menggunakan lebih dari satu strategi. Kombinasi antara strategi structural atau strategi semantis, atau bahkan kombinasi antara strategi
struktural dan strategi semantis dilakukan oleh penerjemah untuk menghasilkan terjemahan yang akurat, wajar dan dapat dipahami dengan baik.
Selanjutnya, berkaitan dengan kualitas terjemahan buku manual handphone Nokia 1600 dapat dikatakan baik, dilihat dari aspek keakuratan, kealamiahan
dan keterbacaan yang memiliki skor rerata tinggi. Untuk ketepatan terjemahan mencapai skor 3,50 dengan frekuensi kemunculan data terjemahan
yang sangat tepat sebanyak 496 data dari 665 data, atau sebanyak 74,59.
Universitas Sumatera Utara
Untuk kealamiahan terjemahan mencapai skor 2,58; dengan freksi kemunculan data terjemahan yang alami sebanyak 428 data dari 665 data atau
sebanyak 64,36. Untuk keterbacaan mencapai skor 2.80; dengan frekuensi data yang mudah dipahami sebanyak 562 butir data dari 665 data atau
sebanyak 84,51. Relevansinya terhadap penelitian ini adalah keduanya bertujuan untuk
mendeskripsikan strategi penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan teks, namun dengan objek yang berbeda. Penelitian di atas
juga mendeskripsikan kualitas terjemahan teks manual handphone Nokia 1600 yang telah diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia
sedangkan penelitian yang dilakukan penelitian mengukur kualitas terjemahan dengan melakukan pengukuran tingkat keterbacaan.
4. Dalam disertasinya Dr. Syahron Lubis, M.A. 2009 yang meneliti
Penerjemahan Teks Mangupa dari Bahasa Mandailing ke dalam bahasa Indonesia, mengkaji masalah-masalah penerjemahan dalam teks mengupa,
sebuah teks budaya mandailing ke dalam bahasa Inggris. Dari penelitian tersebut, ditemukan bahwa bahasa mandailing dan bahasa Inggris memiliki
lebih perbedaan dari pada persamaan dalam struktur bahasa, dan berbeda dalam aspek kultural. Disebabkan perbedaan struktur kedua bahasa
penerjemahan frasa, kata majemuk dan kalimat dari teks sumber ke dalam teks sasaran menghadapi masalah. Selain itu pemakaian banyak kata arkais juga
membuat kesulitan penerjemahan, termasuk masalah Tenses yang tidak ada dalam bahasa Mandailing. Faktor lain yaitu faktor budaya, disebabkan
Universitas Sumatera Utara
perbedaan budaya di antara kedua masyarakaat Mandailing tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris, dan oleh karena itu kata-kata tersebut harus
dipinjam tidak diterjemahkan. Beberapa kata memiliki padanan kata tetrapi nuansa budaya yang melekat pada kata-kata tersebut tidak dapat ditransfer ke
dalam bahasa Inggris. Relevansinya terhadap penelitian ini adalah keduanya mengkaji masalah-
masalah penerjemahan. Perbedaannya, penelitian di atas mengkaji istilah- istilah budaya dari Bahasa Mandailing ke dalam bahasa Indonesia, sedangkan
peneltian yang dilakukan penelti mengkaji kata, frasa, klausa dan kalimat dalam teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit.
5. ”A Contrastive Study of Translations of Yogasùtra between Swami
Prabhavananda Version and Swami Vivekananda Version” ‘Studi Kontrastif terjemahan dari Yogasùtra antara Versi Swami Prabhavananda
dan Versi Swami Vivekananda’ oleh W.A. Sindhugitananda I. Terdapat dua terjemahan dari teks suci Yogasùtra yaitu versi Swami Prabhavananda
SPV dan versi Swami Vivekananda SVV. Fenomena awal yang sangat menggugah adalah perbedaan pilihan kata di antara keduanya, khususnya
pemakaian kata-kata pinjaman pada kedua terjemahan tersebut yang mengindikasikan bahwa kata-kata tersebut merupakan kata-kata tidak
berpadanan. Sedangkan, masalah utama dalam penerjemahan adalah kesepadanan. Adapun masalah yang dibahas: pertama, permasalahan
mengenai kata-kata tidak berpadanan yang berhubungan erat dengan bagaimana strategi-strategi yang diterapkan oleh penerjemah; masalah ke
Universitas Sumatera Utara
dua adalah tipe terjemahan masing-masing versi tersebut. Masalah pertama dianalisa dengan menerapkan strategi-strategi penerjemahan yang diajukan
Baker 1992, yang mana terdapat delapan strategi penerjemahan. Sedangkan masalah ke dua dianalisa dengan mengaplikasi tipe-tipe
terjemahan Floor 2007 dengan mempertimbangkan dua kriteria yaitu adjustment made to key terms ‘perubahan terhadap istilah-istilah kunci’
dan concordance of the lexical items ‘keberurutan kata-kata dalam terjemahan’. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sumber
datanya adalah dua terjemahan dari teks Yogasùtra yaitu versi Swami Prabhavananda 1953 dan versi Swami Vivekananda 1976. Oleh karena
terdapat dua subjek penelitian yang memiliki karakteristik yang sama, misalnya, keduanya merupakan terjemahan dari sebuah teks,
penerjemahnya sama-sama orang India, kedua terjemahan berbahasa Inggris, dsb., maka penelitian yang sesuai dilaksanakan adalah penelitian
deskriptif-kontrastif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga puluh kata yang dikategorikan sebagai kata-kata tidak berpadanan. Kata-
kata tersebut diterjemahkan secara tidak konsisten ke dalam satu kata pada bahasa target; terdapat beberapa diantaranya yang diterjemahkan ke dalam
tiga kata pada bahasa target. Dari delapan strategi penerjemahan yang diajukan oleh Baker 1992, hanya empat diantaranya diterapkan pada
SPV. Penerapan strategi-strategi tersebut tidak melanggar ketentuan panerapannya, namun terdapat diantaranya yang dikombinasikan.
Disamping itu, terdapat satu strategi yang dimodifikasi pada SPV, yaitu
Universitas Sumatera Utara
pada strategi penerjemahan by a more general word ‘menggunakan kata lebih umum’, bahwa kata lebih umum yang dipakai dalam bahasa target
adalah kata yang diambil dari bahasa sumber.
Relevansinya terhadap penelitian ini adalah keduanya menonjolkan masalah utama dalam penerjemahan teks yang diteliti adalah mengenai
kesepadanan. Perbedaannya keduanya adalah penelitian di atas mengangkat permasalahan mengenai kata-kata tidak berpadanan yang
berhubungan erat dengan bagaimana strategi-strategi yang diterapkan, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti membahas jenis-jenis
strategi penerjemahan yang digunakan pada proses penerjemahan teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit.
2.5 Kerangka Berpikir
Bahasa Sumber Bahasa Inggris
Sumber Data Bahasa Sasaran
Bahasa Indonesia
Teks Consistent in Loosening Tangled Thread in Sibolangit
Teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit
Data -Kata, Frasa, Klausa dan Kalimat
Penerjemahan
Universitas Sumatera Utara
Keterangan
Proses penerjemahan dimulai dengan menentukan sumber data sebagai unit analisis. Sumber data penelitian ini terdiri dari teks Consistent in Loosening
Tangled Thread in Sibolangit sebagai teks bahasa sumber bahasa Inggris dan teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit sebagai teks bahasa
sasaran bahasa Indonesia. Data dalam penelitian ini berupa kata, frasa, klausa dan kalimat yang terdapat pada sumber data tersebut. Proses selanjutnya ialah
mengindentifikasi jenis strategi penerjemahan yang terdapat dalam kata, frasa, klausa dan kalimat. Kemudian dilakukan pengukuran tingkat keterbacaan teks
dengan menggunakan formula fry. Hasil analisis dan pembahasan terkait strategi penerjemahan dan tingkat keterbacaan akan dijabarkan dalam bentuk
simpulan. Dari simpulan tersebut, lahirlah beberapa saran untuk pengembangan Saran
Universitas Sumatera Utara
penelitian lanjutan dan ilmu penerjemahan.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan deskriptif kualitatif adalah metode penelitian yang sering digunakan dalam penelitian linguistik terapan. Wibowo 2011: 43 menyatakan
pendekatan deskriptif kualitatif adalah penggambaran secara kualitatif fakta, data atau objek material yang bukan berupa rangkaian angka, melainkan berupa
ungkapan bahasa atau wacana apapun itu bentuknya melalui interpretasi yang tepat dan sistematis.
Data penelitian ini juga disebut dengan document analysiscontent analysis. Bungin 2007: 187 menyebutkan, content analysis adalah suatu teknik
Universitas Sumatera Utara