DATA DAN ANALISIS Perencanaan lanskap kawasan Situ Gintung pasca bencana, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten

BAB V DATA DAN ANALISIS

Untuk melakukan perencanaan lanskap Kawasan Situ Gintung pasca bencana diperlukan inventarisasi kondisi tapak. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perencanaan yang sesuai pada tapak. Lanskap yang dijadikan sebagai lokasi penelitian merupakan sebuah situ alami yang kemudian dibendung oleh Pemerintahan Belanda pada tahun 1933. Lokasi penelitian meliputi daerah tangkapan air Situ Gintung yang langsung berpengaruh terhadap ekosistem situ tersebut. Daerah ini mencakup area hulu dan Hilir Situ Gintung. Ketika melakukan cek lapang ke lokasi penelitian, area cekungan atau badan situ saat ini dalam keadaan kering, hanya terdapat beberapa tanaman liar, pohon pisang, dan genangan air di beberapa bagian badan situ. Gambar 9 Lokasi Eksisting Situ Gintung Berikut merupakan hasil inventarisasi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi topografi, jenis tanah, iklim, penutupan lahan, hidrologi dan flora serta fauna di kawasan Situ Gintung. 5.1 Hidrologi Kawasan Situ Gintung terbagi menjadi daerah hulu dan hilir Situ Gintung. Pada daerah hulu terdapat area genangan yakni badan situ itu sendiri. Situ Gintung memiliki dua inlet utama Gambar 10 yang mengalir dari arah selatan menuju ke situ tersebut. Dua inlet utama itu terdiri dari inlet Kali Enggram dan inlet dari saluran-saluran pembuangan permukiman di sekitar kawasan. Selain dua inlet utama, terdapat 12 inlet kecil lainnya Gambar 11 yang mengalir ke badan situ, tujuh diantaranya selalu dialiri air sedangkan lima sisanya kadang tidak mengalir. Sedangkan daerah hilir merupakan daerah aliran air dari Situ Gintung menuju Sungai Pesanggrahan. Gambar 10 Foto Inlet Utama Gambar 11 Foto Inlet Kecil Sumber : Dokumen pribadi Menurut definisi dari Kasiro 1997 waduk atau situ memiliki fungsi untuk menampung air hujan sebagai persediaan suatu daerah pada musim kering. Sedangkan fungsi hidrologi Situ Gintung sendiri adalah untuk keperluan daerah konservasi, resapan, pengendalian banjir, dan sebagai penyuplai air untuk masyarakat di sekitarnya. Berikut merupakan ilustrasi gambar aliran air yang menuju ke Situ Gintung dan mengalir menuju Sungai Pesanggrahan Gambar 12. Menurut Laporan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, 2009 luas Daerah Aliran sungaiselokan sampai dengan kawasan Situ Gintung adalah 3.2 km 2 . Debit air dari masing-masing selokan tersebut sebesar 15 Ldetik dan 20 Ldetik pada waktu tidak hujan. Analisis hidrologi dilakukan untuk mendapatkan satuan lahan pengelolaan air. Satuan lahan ini meliputi badan air yang ada di kawasan tersebut. Selain itu, akan ditentukan pula titik pasang tertinggi situ untuk menentukan satuan lahan penyangga. Berikut analisis hidrologi dalam menentukan titik pasang tertinggi situ dan badan air situ. 5.1.1 Badan Air Badan air pada kawasan Situ Gintung meliputi area yang digenangi air, yaitu daerah hulu dan hilir situ gintung Gambar 13. Daerah hulu merupakan inti dari ekosistem situ yang harus dijaga kelestariannya. Daerah hulu ini meliputi area cekungan yang berfungsi sebagai badan situ, tempat ditujunya air dari daerah yang lebih tinggi, air dari saluran pembuangan, air hujan, atupun aliran permukaan. Sedangkan daerah hilir merupakan area yang dialiri air dari hulu situ menuju sungai Pesanggrahan. Bagian hilir situ juga harus dilindungi karena merupakan bagian dari badan air dan merupakan area yang terkena dampak yang besar saat terjadi bencana jebolnya situ. Untuk meminimalisir kerusakan apabila terjadi bencana lagi, maka bagian hilir juga masuk dalam perencanaan tapak. Gambar 12 Ilustrasi Aliran Air Situ Gintung Sumber : Citra Satelit Google Earth Gambar 13 Peta Denah Tangkapan Air Situ Gintung Aliran dari Situ Badan SItu Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi Aliran dari Situ Cekungan Situ Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi 5.1.2 Titik Pasang Tertinggi Untuk menetapkan sejauh mana perlindungan pada satuan pengelolaan air maka ditentukan titik pasang tertinggi situ Gambar 15. Karena satuan lahan penyangga dapat ditentukan mulai dari muka air tertinggi situ. • Gambar 14 Peta Badan Air dan Muka Air Tertinggi Kawasan Situ Gintung Gambar 15 Batas Muka Air Tertinggi Situ Gintung 5.2 Topografi Lokasi penelitian ini memiliki topografi yang beragam, mulai dari topografi datar, landai hingga agak curam. Untuk membuat peta kemiringan lahan digunakan informasi dari peta kontur Situ Gintung Gambar 16 yang diolah menggunakan program Arcview. Berdasarkan pada SK Menteri Pertanian No. 837KptsII1980, klasifikasi kelas kemiringan lahan di golongkan menjadi lima kelas kemiringan yakni 0 – 8, 8 – 15, 15 – 25, 25 – 40, dan ≥ 40. Gambar 16 Peta Kontur Kawasan Situ Gintung Sumber : Bakosurtanal dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837KptsII1980 tentang peruntukan kawasan lindung, telah ditetapkan skor dan klasifikasi untuk membuat peta kemiringan lahan Gambar 17. Kawasan Situ Gintung secara garis besar tergolong dalam kelas lahan pertama yakni 0 – 8 skor 20 dengan klasifikasi kelas lahan datar seluas 179,45 Ha dengan presentase 58,7 dari luas keseluruhan 305,7 Ha. Sedangkan untuk kelas lereng 8 – 15 skor 40 seluas 46,77 Ha 15,3 dan kelas lereng 15 – 25 skor 60 seluas 79,48 Ha 26. Dengan begitu Kawasan Situ Gintung memiliki kemiringan yang relatif datar. Ditinjau dari kepekaannya terhadap erosi, kemiringan lahan di lokasi penelitian tergolong tahan terhadap erosi, namun jika penggunaan lahan tidak dimanfaatkan secara tepat maka akan mengakibatkan bahaya erosi. Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi Gambar 17 Peta Kemiringan Lahan Kawasan Situ Gintung 5.3 Jenis Tanah Jenis tanah pada seluruh lokasi penelitian merupakan asosiasi latosol merah dan latosol cokelat kemerahan. Tanah latosol merah merupakan tanah yang memiliki tingkat kesuburan sedang, sifat fisik tanahnya sedang sampai kurang baik. Sedangkan karakteristik tanah latosol cokelat kemerahan merupakan tanah yang belum begitu lanjut perkembangannya, terbentuk dari tufa vulkan andesit – basaltis, memiliki tingkat kesuburan rendah sampai cukup, mudah meresapkan air, agak peka terhadap erosi dan memiliki tekstur halus. Menurut Soepraptohardjo 1974 secara umum tanah jenis latosol ini merupakan tanah yang banyak mengandung zat besi dan aluminium, tanah ini sudah sangat tua sehingga tingkat kesuburannya rendah. Tanah ini memiliki kadar liat lebih dari 60 , remah sampai gumpal, gembur, warna tanah seragam dengan dengan batas-batas horison yang kabur, solum dalam lebih dari 150 cm, kejenuhan basa kurang dari 50 , umumnya mempunyai epipedon kambrik dan horison kambik. Jenis tanah yang terdapat pada lokasi penelitian merupakan asosiasi dari latosol merah dan latosol merah kecoklatan. Berdasarkan pada kepekaan terhadap erosinya menurut SK Menteri Pertanian No. 837KptsII1980, jenis tanah yang ada di Kawasan Situ Gintung adalah latosol Gambar 18 dengan nilai skor 30 yang tergolong kurang peka terhadap erosi. Batuan dasar pada umumnya terdiri dari endapan alluvial, diantaranya lempeng, pasir, dan kerikil yang mengalami proses metamorfosa terpindahkan kemudian diikuti dengan endapan tertiari dan membentuk cekungan dengan kemiringan ke arah barat laut. Jenis batuan secara umum di daerah Tangerang dan sekitarnya yaitu : a Endapan alluvial, yang terdiri dari lempung, tanah, pasir, dan kerikil. b Satuan tufa andesit, antara lain tufa, desit, andesit, mikro dlorit. c Satuan lahar breksi alirannya bersusun andesit sampai dasit yang satu sama lainnya terikat oleh fraksi-fraksi halus dan bersifat agak lepas. d Satuan lempung, pasir, dan kerikil serta gamping. Gambar 18 Peta Jenis Tanah Kawasan Situ Gintung Sebagai formasi dasar di daerah Tangerang adalah terdiri dari sedimen endapan laut Pretritiary Marine dan endapan pantai. Formasi ini telah terkonsolidasi dengan baik, mengalami proses metamorfosa tererosi kemudian Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi diikuti dengan endapan tertiary dan membentuk suatu cekungan depression basin . Cekung ini mempunyai kemiringan ke arah Barat Laut. Dilihat dari sebaran jenis tanahnya, pada umumnya di Kota Tangerang Selatan berupa asosiasi latosol merah dan latosol cokelat kemerahan. Oleh karena itu secara umum lahan cocok untuk pertaian perkebunan. 5.4 Iklim Kawasan Situ Gintung berada pada wilayah iklim tropis dengan temperatur udara bulanan rata-rata berkisar antara 25,8 o C – 28,3 o C. Kelembaban relatif berkisar antara 70,3 - 87,6. Kecepatan angin bulanan rata-rata yang terjadi berkisar antara 133,3 kmhr hingga 222,2 kmhr. Sedangkan penyinaran matahari bulanan rata-rata yang terjadi berkisar antara 16,7 hingga 63,7. Dengan intensitas curah hujan harian rata-rata 11,17 mmhari. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari BMKG dalam Laporan Hidrologi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, intensitas rata-rata curah hujan harian pada lokasi penelitian adalah 11, 17 mmhari. Hal ini menunjukkan bahwa dengan intensitas rata-rata curah hujan harian tersebut, lokasi penelitian termasuk dalam kategori yang sangat rendah kepekaannya terhadap erosi. Mengacu pada SK Menteri Pertanian No. 837KptsII1980 tentang peruntukan kawasan Lindung lokasi ini memiliki nilai skor 10 dalam pengklasifikasian kelas intensitas rata-rata curah hujan harian Gambar 19. Menurut Watt dan Wilson 2001 iklim di kawasan Situ Gintung yang merupakan wilayah kota cenderung berbeda dengan daerah sekitarnya karena padatnya bangunan. Kota cenderung hangat di malam hari, dan juga sering mendapat lebih banyak hujan di musim panas. Kota juga memiliki polusi udara yang cenderung lebih tinggi. Iklim pada suatu kota yang memiliki banyak bangunan yang berasal dari konstruksi beton memiliki suhu yang lebih hangat karena pada siang hari panas matahari diserap oleh dinding-dinding beton yang menyebabkan udara menjadi tidak terlalu panas. Pada malam hari panas matahari yang diserap tersebut dipancarkan sehingga udara menjadi lebih hangat. Gedung yang tinggi menyebabkan angin terhalang. Ini memaksa angin bertiup ke atas atau bertiup di sepanjang jalan di antara gedung-gedung. Jika udara yang naik di atas kota sangat hangat dan lembab, udara dapat menjadi dingin untuk membentuk awan yang mungkin akan menurunkan hujan yang singkat. Gambar 19 Peta Intensitas Rata-rata Curah Hujan Harian Kawasan Situ Gintung Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi 5.5 Penutupan Lahan Inventarisasi penutupan lahan di sekitar Situ Gintung terdiri dari permukiman, aktivitas domestik, dan lain-lain. Area situ saat ini hanya sekitar 22 Ha. Sebelum banyak perubahan di sekitar situ, luas situ sekitar 34 Ha menurut hasil komunikasi dengan penduduk asli setempat. Dengan demikian setelah 70 tahunan lamanya, luas situ telah menyusut menjadi lahan lain. Berdasarkan Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup 2009 di daerah Situ Gintung dan sekitarnya hanya digunakan untuk permukiman dengan kepadatan permukiman yang tinggi. Jenis tumbuhan yang mendominasi di daerah waduk adalah tumbuhan dari jenis pohon jati Tectona grandis, Kayu Pasang Quarcus induta , Gadog Bischofia javanica, Hantap Sterculia macrophylla, dan Bayur Pterospermium sp. Kawasan Situ Gintung yang awalnya merupakan area persawahan kini semakin beralih fungsi menjadi permukiman penduduk. Alih fungsi lahan ini mengakibatkan terjadinya penurunan resapan air. Selain meningkatnya kebutuhan air hal ini juga menyebabkan penurunan ketersediaan air tanah, lahan yang semula merupakan kawasan penyangga, daerah resapan air, atau kawasan lindung kemudian berubah menjadi daerah-daerah yang kedap air. Dampak lain dari alih fungsi lahan ini adalah peningkatan aliran permukaan run-off yang menyebabkan terjadinya peningkatan potensi banjir. Peta penutupan lahan Kawasan Situ Gintung dapat dilihat pada Gambar 20. Untuk membuat peta penutupan lahan di Kawasan Situ Gintung, maka dilakukan interpretasi citra satelit yang telah didapat dengan klasifikasi penutupan lahan berupa bangunan, hamparan rumput, pepohonan vegetasi, badan air, dan lahan kosong. Masing-masing penutupan lahan dapat diklasifikasikan dengan melihat perbedaan warna dan tekstur yang tergambar pada peta citra satelit. Berikut disajikan tabel yang membantu dalam proses interpretasi Tabel 5. Tabel 5. Interpretasi Citra Satelit untuk Peta Penutupan Lahan Tabel 6. Luas masing-masing jenis penutupan lahan Penutupan Lahan Tekstur Pola Warna Deskripsi Pada Citra Bangunan Building Halus – Kasar Terkonsentrasi Beragam Pohon Woodland Kasar Menyebar Hijau kehitaman Semak Berumput Grassy Shurb land Halus Berpetak dan Menyebar Hijau terang Badan Air Water Body Halus Berpetak Hijau kehitaman Lahan Terbuka Bare Land Halus Menyebar Cokelat No Land Cover Land Use Luas Ha 1 Bangunan Building Permukiman Gedung Fasilitas Pendidikan, Kesehatan, dan Jalan Aspal 162,408 53,2 2 Pohon Wood land Kumpulan Pohon yang Rapat Pohon dengan jarak yang jarang 31.282 10,2 3 Semak Berumput Shruby grass land Lapangan 71.362 23,3 4 Lahan Terbuka Bare land Lahan Kosong 18.312 6 5 Badan Air Water body Situ Satuan Lahan Pengelolaan Air Kolam 22.333 7,3 Gambar 20 Peta Penutupan Lahan Kawasan Situ Gintung Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi Dari interpretasi peta citra satelit Kawasan Situ Gintung maka diperoleh informasi penutupan lahan yang didominasi oleh area terbangun sebanyak 53,2 dari luas keseluruhan lokasi penelitian. Hal ini mengakibatkan aliran permukaan yang menuju ke situ semakin banyak karena sebagian lahan sudah digunakan oleh bangunan yang sifatnya kedap air. Adanya alih fungsi lahan di daerah tanggul, diyakini banyak pihak sebagai salah satu penyebab melemahnya daya dukung tanah terhadap kekuatan tanggul. Menurut Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman Banten Winarjono, 2009, kawasan seluas 10 hektar di hilir situ sudah berubah menjadi perumahan. Selain itu, kerusakan hutan di hulu sungai yang sudah sangat parah juga menjadi salah satu pemicu. Sepanjang DAS Ciliwung dan DAS Cisadane yang berhubungan langsung dengan Situ Gintung kondisi hutannya sudah sangat buruk. Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia Purwati, 2009 di daerah aliran Sungai Ciliwung pada tahun 2000 luas tutupan hutannya 4918 hektar 9,43 dan berkurang menjadi 4162 hektar 7,98 pada tahun 2005. Pada tahun 2007 kembali mengalami penurunan yang signifikan, dimana luas tutupan hutannya tinggal 1665 3,19 dan terakhir berkurang menjadi 1265 hektar 2,42. Dari data yang telah disebutkan, terlihat bahwa dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2008 telah terjadi pengurangan luas hutan yang sangat signifikan sebesar 7,01. Perubahan penutupan lahan menjadi pemukiman ini menyebabkan jumlah aliran limpasan semakin bertambah. Berdasarkan penutupan yang ada didapatkan aliran limpasan yang menuju Situ Gintung sebanyak 19.614 m 3 hari. Berikut merupakan hasil perhitungan aliran limpasan dan simpanan air di kawasan Situ Gintung berdasarkan penutupan lahannya : Tabel 7. Hasil Perhitungan Aliran Limpasan dan Simpanan Air Jenis Penutupan C A m 2 i mhari Runoff m3hari simpanan air m 3 hari Bangunan 0.825 1624080 0.01117 14966.30322 3174.67 Lahan Kosong 0.2 183120 0.01117 409.09008 1636.36 Semak Berumput 0.175 713620 0.01117 1394.948695 6576.187 Pohon 0.1 312820 0.01117 349.41994 3144.779 Badan Air 1 223330 0.01117 2494.5961 3056970 19614.35804 14532 Keterangan : Q = C.A.i C = Koefisien Limpasan A = Luas Penutupan I = Rata-rata Curah Hujan Harian m hari Q = Aliran Limpasan m 3 hari Menurut Rismunandar 1984 dalam Juwarin 2010, hujan yang turun ke permukaan bumi dapat menambah ketersediaan air di dalam tanah dan juga dapat menyebabkan terjadinya banjir. Pengamanan air hujan pada prinsipnya terletak dalam dua pengelolaan teknis, yaitu peningkatan daya serap air tanah dan pengendalian mengalirnya. Meningkatkan daya serap tanah pada hakekatnya adalah meningkatkan kapasitas penyimpanan air oleh tanah. Kemampuan menyimpan air suatu areal tidak akan terlepas dari pengaruh vegetasi di atasnya. Berdasarkan penutupan lahan yang ada di kawasan Situ Gintung, berikut merupakan nilai air limpasan yang langsung menuju ke danau per harinya, Kapasitas tampung air Situ Gintung kurang lebih 690.561 m 3 sedangkan air limpasan yang langsung mengalir ke situ sebanyak 19.614 m 3 hari. Banyaknya air yang melimpas ke situ masih dapat ditampung oleh badan situ itu sendiri. Namun yang jadi permasalahan adalah ketika air melimpas terlalu banyak sedang tanah tidak menyerap cukup banyak air sebagai cadangan air tanah. Maka ketika musim kemarau akan terjadi kekeringan dan permasalahan terhadap ketersediaan air. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya peningkatan cadangan air tanah. Salah satu caranya adalah dengan memperluas ruang terbuka hijau untuk kawasan Situ Gintung. 5.6 Flora dan Fauna Inventarisasi ekosistem darat Kawasan Situ Gintung difokuskan pada komponen hidup yang mempunyai nilai ekologis. Nilai ekologis suatu jenis flora atau fauna dapat dilihat dari manfaatnya terhadap keseimbangan ekosistem tersebut, manfaat hidrologis pengatur tata air, dapat memperbaiki kesuburan tanah, sebagai paru-paru alam, pencegah erosi, sebagai sumber plasma nutfah, sifat keendemikan dan kelangkaan yang dilindungi undang-undang. Pada saat pengamatan ini dilakukan, keadaan Situ Gintung airnya tidak tergenang lagi sebagai akibat bobolnya bendungan situ tersebut. Demikian juga setelah lama dibiarkan, di lahan yang tadinya tergenang telah tumbuh bermacam tumbuhan liar. Pada umumnya tumbuhan tersebut dikategorikan sebagai tumbuhan rumput-rumputan Graminea dan herba. Lokasi situ yang banyak ditumbuhi adalah di bagian selatan. Di samping itu di lokasi tersebut ditemukan juga bekas cangkang keong-keongan, seperti keong mas. Jika dikaitkan dengan keberadaan organisme tersebut dan dikaitkan dengan kualitas air situ, maka dapat diduga bahwa kualitas air Situ Gintung adalah tercemar oleh bahan organik. Berdasarkan data hasil tim penelitian dan pengembangan sumber daya air serta hasil pengamatan lapang penulis, kelompok ekosistem darat dikategorikan sebagai hasil konversi aktivitas manusia, yaitu kebun campuran dan pekarangan, daerah wisata, pusat kegiatan olah raga, sekolah serta permukiman penduduk. Komponen biologi yang diamati meliputi komponen flora dan fauna yang hidup dan berkembangbiak di ekosistem tersebut. Semua ekosistem tersebut berada di pinggiran hingga 100 meter dari Situ Gintung. Komponen biologi yang dikaji dalam ekosistem darat ini meliputi keanekaragaman flora dan faunanya. a. Komponen Flora Komponen flora yang ditemukan ada yang berupa tanaman budidaya, seperti tanaman pisang, singkong, jagung. Lokasi ini berbatasan langsung dengan Situ Gintung di sebelah sisi Timur dan Selatan. Di samping itu ditemukan juga tumbuhan keras alami, seperti renghas yang berada di sisi Selatan situ ini. Jenis komponen flora lainnya yang ditemukan di pekarangan daerah wisata sekitar Situ Gintung, sekolah, rumah penduduk, dan pusat kegiatan olah raga pada umumnya berupa tanaman penghijauan, tanaman keras buah-buahan, bahan bangunan, tanaman hias, tanaman pagar. Dari hasil inventarisasi dengan metode jelajah terhadap jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di daerah studi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Keanekaragaman tumbuhan di sekitar Situ Gintung No Nama Lokal Nama Latin Manfaat 1 Beringin Ficus benjamina Penghijauan 2 Kelapa Cocos nucifera Bahan bangunan 3 Angsana Pterocarpus indicus Penghijauan 4 Jambu Air Sizigium aqueum Buah-buahan 5 Jambu Mete Anacardium occidentale Buah-buahan 6 Bambu Bambusa sp. Bahan bangunan 7 Pisang Musa paradisiacal Buah-buahan 8 Formis Acasia auriculiformis Penghijauan 9 Sawo Acras zapota Buah-buahan 10 Kelewih Artocarpus sp. Buah-buahan 11 Palem Raja Delonix regia Penghijauan 12 Rambutan Nephellium sp. Buah-buahan 13 Mangga Mangifera indica Buah-buahan 14 Pinus Pinus mercusii Penghijauan 15 Albisia Albizzia falcate Bahan bangunan 16 Patikan Kebo - Penghijauan 17 Randu Ceiba pentandra Bahan bangunan Sumber : Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkuan Situ Gintung, 2009 Berdasarkan hasil cek lapang yang dilakukan penulis, terdapat beberapa tanaman endemik dan tanaman eksotik pada tapak antara lain, beringin, Kelapa, Angsana, Pisang, Bambu, Kamboja, Palem Raja, Mangga, Rambutan, Pinus, Randu, dan beberapa jenis semak. Pada bagian badan air yang dahulu merupakan situ, sekarang sudah ditumbuhi tanaman liar, pohon pisang, dan berbagai jenis pepohonan lain Gambar 21. Gambar 21 Vegetasi pada Lokasi Penelitian Sumber : Dokumen pribadi b. Komponen Fauna Di sekitar Situ Gintung terdapat beberapa jenis tumbuhan, baik yang alami maupun yang sengaja ditanam, sehingga kumpulan flora tersebut telah menjadi tempat hidup habitat atau menjadi sebagian daerah jelajah dari beberapa fauna liar. Metode yang digunakan dalam survey ini adalah metode jelajah dengan menjelajah daerah tertentu yang diduga dapat ditemukan jenis- jenis faunanya. Berikut merupakan daftar tabel untuk fauna yang dijumpai di sekitar Situ Gintung. Tabel 9. Keanekaragaman Kelompok fauna Di sekitar Situ Gintung No Nama Fauna Nama Ilmiah Keterangan I Burung Aves 1 Anis Zoothera sp. 1 , 2 2 Cangkurileung Streptopelia chinensis 1 , 2 3 Tekukur Geopelia striata 1 4 Kapinis Apus affinis 1 5 Burung Gereja Passer montanus 1 6 Peking 1 7 Pipit Lonchura leucogastroides 1 . 2 II Reptil 1 Kadal Mabouya multifasciata 1 III Amphibi 1 Katak Rana cancrivora 1 2 Kodok Bufo sp. 1 Keterangan : 1 = Wawancara dengan penduduk sekitar 2 = Terlihat, terdengar saat survei Sumber : Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkuan Situ Gintung, 2009 Berdasarkan cek lapang yang dilakukan oleh penulis, beberapa fauna yang langsung dilihat antara lain, burung gereja, kupu-kupu, belalang, kadal, dan beberapa jenis burung yang tidak diketahui namanya, hanya dilihat dan didengar perbedaan suaranya. Gambar 22 Kupu-kupu di Kawasan Situ Gintung Keberadaan flora dan fauna di kawasan Situ Gintung kurang begitu beragam, hal ini menunjukkan bahwa ekosistem yang menunjang situ itu sendiri sangat kurang. Di sekeliling situ telah dipadati oleh pemukiman penduduk, hal ini menyebabkan fauna merasa kurang nyaman dengan kondisi yang padat bangunan dan ramai. Sedangkan untuk keberadaan vegetasi pada tapak hanya mengelilingi sebagian badan situ saja. Vegetasi yang seharusnya menjadi penyangga dan penunjang ekosistem situ tergantikan oleh bangunan penduduk. Adanya keberagaman vegetasi yang ada di sekitar situ dapat menunjang aliran energi antara situ dengan organisme di luar situ.

BAB VI SINTESIS