Analisis lanskap kawasan Situ Gintung, Kota Tangerang Selatan

(1)

SISTRI PUASTY HESA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

SISTRI PUASTY HESA. Analisis Lanskap Kawasan Situ Gintung, Kota Tangerang Selatan. Dibawah bimbingan SETIA HADI dan NURHAYATI H. S. ARIFIN.

Bencana Situ Gintung terjadi pada tanggal 27 Maret 2009. Bencana ini terjadi karena pengelolaan yang kurang baik. Akibat bencana ini fungsi ekologis Situ Gintung yakni sebagai penampungan air tidak dapat berjalan dengan baik. Air yang tertampung merupakan pemasok air aquifer dan air tanah. Air tanah merupakan air yang tidak terbarukan sehingga bila pengambilan air berlebihan air dapat habis. Dengan demikian keberadaan Situ Gintung sangat penting untuk dilestarikan dalam rangka mempertahankan air tanah yang merupakan sumber air bagi masyarakat.

Penelitian ini dilakukan di Situ Gintung, Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan dengan tujuan mengidentifikasikan karakter lanskap kawasan Situ Gintung, menganalisis faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap Situ Gintung dan menyusun konsep pelestarian lanskap kawasan Situ Gintung.

Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan yakni inventarisasi, analisis dan sintenis. Inventarisasi merupakan pengumpulan data dengan cara observasi lapang, wawancara dan studi pustaka. Kemudian data akan dianalisis dengan tiga macam analisis yakni analisis deskriptif, analisis kuantitatif dengan kriteria MacKinnon dalam Hendry (2008) dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap berdasarkan analisis SWOT yang meninjau aspek kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threats).

Bendungan Situ Gintung dibangun Belanda pada tahun 1932-1933 dan dulu digunakan untuk mengairi persawahan. Seiring dengan waktu daerah sekitar situ berubah menjadi area terbangun (pemukiman) dan terjadi penambahan fungsi situ sebagai tempat wisata, perikanan dan sebagainya. Beban Situ Gintung terus bertambah, akhirnya Situ Gintung mengalami keruntuhan pada tanggal 27 Maret 2009.


(3)

telah direkonstruksi pada tahun 2010, kawasan sempadan yang sempit dengan penggunaan lahan sebagai kebun, area rekreasi, pemukiman dan area pendidikan. Kawasan sekelilingnya telah padat dengan pemukiman penduduk.

Setelah kejadian bencana pada tahun 2009 dan telah direkonstruksi, kawasan ini masih memiliki elemen-elemen penting yang berasal sejak awal pembangunan situ dan sebelum bencana yakni badan air, bendungan dan Mesjid Jabalur Rahman. Berdasarkan hasil penilaian terhadap elemen-elemen ini, aspek keunikan, keutuhan dan kondisi fisik memiliki nilai yang tinggi sehingga masuk ke dalam katagori potensial dan baik untuk dikembangkan sebagai tempat rekreasi.

Dalam analisis SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan Situ Gintung adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam kawasan yakni kondisi fisik situ dan sempadannya serta pengelolaan situ. Faktor ini ditinjau dari aspek kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness). Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar kawasan misalnya kondisi lanskap disekitar bendungan, kebijakan pemerintah dan masyarakat. Faktor ini ditinjau dari aspek peluang (opportunity) dan ancaman (treaths).

Berdasarkan hasil analisis kondisi lanskap dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan situ, bendungan dan lanskap, Situ Gintung merupakan kawasan situ yang memilki banyak fungsi seperti resapan air, area rekreasi dan sebagainya. Fungsi-fungsi ini masih diperlukan oleh masyarakat, oleh karena itu bendungan dan lanskap Situ Gintung perlu dilestarikan dan dilindungi.

Konsep pelestarian bendungan dan lanskap Situ Gintung adalah melestarikan dan melindungi lanskap Situ Gintung agar terjaga kualitas, fungsi dan keberlanjutannya. Untuk mewujudkan konsep ini diusulkan strategi pelestarian yang disusun berdasarkan hasil analisis SWOT. Dari matriks analisis SWOT, dapat dibuat strategi berdasarkan kekuatan dan peluang (SO), kekuatan dan ancaman (ST), kelemahan dan peluang (WO), dan kelemahan dan ancaman (WT).


(4)

penataan ruang kawasan situ untuk mengakomodasi fungsi situ sebagai daerah resapan dan area rekreasi. Strategi ST yakni melakukan pembatasan terhadap kegiatan yang dikhawatirkan akan menyebabkan lebih rusaknya fungsi situ, mengajak masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan dan melakukan pemantauan secara periodik terhadap pemanfaatan situ agar tidak melebihi kapasitas daya dukung situ. Strategi WO yakni adanya peraturan dari pemerintah yang tegas untuk menindak lanjuti berkembangnya kawasan yang semakin padat dan meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar masyarakat, organisasi dan pemerintah dalam pemanfaatan, pemeliharaan dan pengawasan. Strategi WT yakni adanya ketegasan dari pemerintah dalam memberikan izin mendirikan bangunan, penataan chatchmen area dan penetapan zona pelestarian atau pengelolaan untuk melakukan pengelolaan dan melindungi area.

Zonasi pelestarian dan perlindungan yang diusulkan dalam studi ini terdiri dari dua zona yakni zona inti dan zona penyangga. Zona inti adalah zona yang sangat penting dalam mempertahankan keberadaan situ dan fungsinya sebagai daerah resapan air serta memiliki elemen-elemen kesejarahan yang penting untuk dilindungi. Zona inti terdiri dari badan air, bendungan dan mesjid serta sempadan situ ( 50 m dari tepi situ) sedangkan Zona penyangga adalah zona yang berada di sekeliling zona inti. Zona penyangga berfungsi sebagai pendukung keberlanjutan zona inti. Upaya pelestarian di zona penyangga meliputi tindakan revitalisasi lingkungan. Penentuan zona penyangga dengan mempertimbangkan kondisi fisik disekitar lanskap situ, terutama terkait area yang masih banyak ruang terbuka hijau dan batas-batas fisik berupa jalan yang dapat mempermudah dalam pengelolaan. Lebar zona penyangga sekitar 100 m


(5)

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul

Analisis Landskap Kawasan Situ Gintung, Kota Tangerang Selatan,

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi baik yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada “Daftar Pustaka” skripsi ini.

Tangerang Selatan, Juli 2011

SISTRI PUASTY HESA A44063056


(6)

SISTRI PUASTY HESA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

Pada Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(7)

Judul :Analisis Lanskap Kawasan Situ Gintung, Kota Tanggerang Selatan.

Nama Mahasiswa : Sistri Puasty Hesa

Nrp : A44063056

Program Studi : Arsitektur Lanskap

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen pembimbing II

Dr. Ir. Setia Hadi, MS Dr.Ir.Nurhayati H.S. Arifin, MSc NIP. 19600424 198601 1 001 NIP. 19620121 198601 2 001

Menghetahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr.Ir. Siti Nurisjah,MSLA NIP.19480912 197412 2 001


(8)

Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah , dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(9)

ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Marhasan dan Pujiastuti. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2001 di SDN Pondok Cabe Ilir III. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikannya di SLTP N 1 Pamulang dan lulus pada tahun 2004, kemudian bersekolah di SMA International Islamic Boarding School of Republic Indonesia, di Bekasi dan lulus pada tahun 2006.

Selanjutnya penulis menjalani program S1 di Departemen Arsitektur Lanskap, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi pengurus HIMASKAP (Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap) di divisi keprofesian pada tahun 2007. Selain itu, dia juga aktif dalam Komunitas Seni dan Budaya Masyarakat Roempoet (KSBMR) dalam divisi sketsa di Fakultas Kehutanan.


(10)

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul penelitian yang diajukan ialah “Analisis Lanskap Kawasan Situ Gintung, Kota Tangerang Selatan”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini dapat selesai dengan baik berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayah dan ibunda tercinta serta seluruh keluarga, abang, nene dan ade-adeku, atas semua dukungan, kasih sayang, dan doa yang diberikan selama ini.

2. Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MS dan Ibu Dr.Ir.Nurhayati H.S. Arifin, MSc sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan segala bantuan kepada penulis selama perkuliahan maupun penyusunan tugas akhir.

3. Ibu Dr.Ir. Siti Nurisjah,MSLA sebagai Ketua Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

4. Seluruh Staff dosen ARL dan TU ARL, atas bimbingan dukungan dan bantuannya selama ini.

5. Sahabat satu bimbingan Ado, Kukuh dan Ika atas dukungan dan semangatnya,

6. Saudara-saudaraku di Andaleb 2, Mesil, Nailah, Susi, Suci, Rima, Lina, Anri, Willy, Mila, Dian, Mbak Devi, Mbak Ratna, Mbak Ratih, Mbak Desi, dan adik-adikku, atas rasa kekeluargaan dan kebersamaannya selama ini.

7. Sahabat-sahabatku, Hernando, Erliyani, Aditya, Merry, Eta, Rima, Agus, Zulfikri, Tubagus, Putra, Nia, atas kebersamaannya selama ini.

8. Sahabat dan teman-temanku di ARL 43, kakak kelas ARL 41 dan 42, dan adik-adik kelasku atas kenangan, semangat dan kebersamaan selama ini


(11)

persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Akhir kata, Penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat pada semua pihak yang memerlukan.

Tangerang Selatan, Juli 2011

Penulis


(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Situ dan Manfaatnya ... 4

2.2. Kondisi Situ di Jabotabek ... 5

2.3. Situ Gintung ... 6

2.4. Lanskap Sejarah ... 8

2.5. Benda Cagar Budaya ... 9

2.6. Pelestarian Lanskap Sejarah ... 12

BAB III METODOLOGI ... 15

3.1. Lokasi dan waktu ... 15

3.2. Alat ... 16

3.3. Metode Penelitian ... 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1. Sejarah dan Perkembangan Lanskap Situ Gintung ... 20

4.2. Kondisi Biofisik Situ Gintung ... 26

4.2.1. Lokasi, Luas, Batas dan Aksesbilitas ... 26

4.2.2. Penggunaan Lahan ... 28

4.2.3. Topografi ... 30

4.2.4. Hidrologi ... 31

4.2.5. Iklim ... 34

4.2.6. Geologi ... 35


(13)

4.3.2. Bendungan ... 39

4.3.3. Mesjid Jabalur Rahman ... 43

4.3.5 Penilaian Kuantitatif... 44

4.4. Kondisi Sosial Masyarakat ... 45

4.5. Persepsi Masyarakat ... 46

4.6. Pengelolaan Lanskap ... 48

4.6.1. Pengelola Situ Gintung ... 48

4.6.2. Rencana Rekonstruksi ... 49

4.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan Situ Gintung Berdasarkan Analisis SWOT ... 51

4.7.1. Faktor Internal ... 53

4.7.2. Faktor Eksternal ... 53

4.8. Usulan Pelestarian ... 54

4.8.1. Konsep dan Strategi Pelestarian Berdasarkan Matriks SWOT ... 55

4.8.2 Zonasi Pelestarian. ... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

5.1. Kesimpulan ... 58

5.2. Saran ... 60


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kondisi situ di Botabek 1997 ... 5

2. Jenis, bentuk data dan sumber data ... 16

3. Kriteria penilaian objek yang mempunyai nilai sejarah. ... 18

4. Kualitas air Situ Gintung ... 33

5. Penilaian elemen bersejarahan ... 44


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Lokasi Situ Gintung ... 15

2. Tahapan penelitian ... 19

3. Peta Situ Gintung tahun 1910 ... 22

4. Peta Situ Gintung tahun 1934 ... 22

5. Tanggul yang telah runtuh dan banjir di Hilir ... 23

6. Batas administrasi RT/RW daerah bencana ... 24

7. Persebaran bangunan yang rusak. ... 25

8. Peta wilayah administrasi Situ Gintung ... 26

9. Aksesbilitas menuju situ ... 27

10.Penggunaan lahan tahun 2011 ... 29

11.Peta penutupan lahan (landcover) tahun 1934 ... 30

12.Peta penutupan lahan (landcover) tahun 2007 ... 30

13.Peta topografi Kota Tangerang Selatan ... 31

14.Arah aliran air ... 32

15.Lokasi pos hujan di sekitar Situ Gintung ... 35

16.Kondisi geologi ... 37

17.Kondisi badan air ... 39

18.Gambar penampang memanjang tanggul sebelum jebol ... 40

19.Gambar penampang memanjang tanggul sewaktu akan Jebol ... 40

20.Bagian hulu spillway dilihat dari tanggul bagian kiri(sebelum runtuh) ... 41

21.Bagian hulu spillway dilihat dari tanggul bagian kanan (sebelum runtuh) 41 22.Denah dan potongan spillway ... 41

23..Letak bagian-bagian bendungan sebelum bencana ... 42

24. Kondisi bendungan saat ini ... 43

25.Mesjid Jabalur Rahman ketika bencana dan kondisi saat ini ... 43

26.Jenis pekerjaan ... 45

27.Diagram variasi jenis pendidikan responden ... 46


(16)

29.Bendungan yang baru tahun 2011 ... 51

30.Potongan bendungan tahun 2011 ... 51

31.Matriks analisis SWOT ... 52

32.Skema zonasi pelestarian ... 56

33.Zonasi pelestarian kawasan Situ Gintung ... 57

         


(17)

 

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Lembar kuesioner ... 63

                       


(18)

1.1Latar Belakang

Di Indonesia, potensi sumber daya air tawar sangat besar. Diperkirakan pada saat ini potensi air tawar Indonesia mencapai 15.000 m3/kapita/tahun. Potensi ini diakibatkan oleh curah hujan yang cukup tinggi. Rata-rata curah hujan yang terjadi di Indonesia sebesar 2.779 mm/tahun. Sekitar 41,4 % wilayah Indonesia memiliki curah hujan antara 3000-5000 mm/tahun dengan 40-60 % wilayahnya terdapat di Sumatra dan Kalimantan. Sumber air tawar ini ditampung di rawa, air tanah permukaan, air tanah dalam dan mengalir di sungai (Nuryanto, et.al., 2009).

Pemanfaatan air berkaitan dengan sejarah manusia misalnya pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang menggunakan Sungai Musi dan Sungai Brantas sebagai sarana transportasi, irigasi, pertahanan dan sebagainya (Nuryanto, et.al., 2009). Pemanfaatan air lainnya adalah dengan membuat bendungan, waduk dan situ. Pembuatan bendungan berkaitan juga dengan kebutuhan manusia akan air. Bendungan atau situ biasanya digunakan sebagai wadah penampungan air pada musim hujan sehingga tidak terjadi banjir, dan sebagai sumber air irigasi sawah sepanjang tahun. Selain itu, bendungan atau situ juga berfungsi sebagai daerah konservasi air.

Di Indonesia pembuatan bendungan telah lama dikenal. Perkembangan pembuatan bendungan dan situ buatan sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Terutama di daerah sekitar Jakarta karena wilayah Jakarta sangat rendah sehingga pada musim hujan sering terjadi banjir dan pada musim kemarau kekeringan. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda banyak membuat bendungan-bendungan kecil atau yang biasa disebut situ disekitar Jakarta. (Suwignyo, 2003)

Menurut Hamid (1999) keberadaan dan kelestarian situ di daerah Bogor, Tangerang dan Bekasi secara langsung di pengaruhi oleh kegiatan pembangunan yang terjadi di DKI Jakarta. Pembangunan itu mendorong penambahan jumlah penduduk yang pesat di Botabek dan mengakibatkan kebutuhan lahan akan


(19)

perumahan dan pemukiman juga semakin meningkat. Secara umum ancaman terhadap keberadaan dan kelestarian situ di Botabek dapat dibagi dalam tiga kelompok yakni terjadinya konversi lahan, pendangkalan dan pencemaran oleh limbah.

Situ Gintung merupakan salah satu situ yang berada di Kota Tangerang Selatan. Situ ini dibangun oleh Belanda pada tahun 1932-1933dengan luas badan air awalnya 31 ha. Di awal pembangunan situ ini berfungsi sebagai waduk dengan kapasitas mencapai 2,1 juta meter kubik. Semenjak tahun 1970-an kawasan ini juga dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam, pemukiman dan juga perairan. Penambahan fungsi Situ Gintung ternyata tidak diiringi dengan pengelolaan dan perhatian yang baik terhadap situ tersebut. Akhirnya pada tanggal 27 Maret 2009, Situ Gintung jebol atau mengalami keruntuhan. Bencana ini menimbulkan korban sebanyak 614 orang, kerugian harta benda dan kerusakan lanskap.

Akibat bencana tersebut Situ Gintung tidak dapat menjalankan fungsi hidrologisnya dengan baik yakni sebagai penampung air. Menurut Kodoatie dan Sjarief (2010), air yang tertampung merupakan pemasok air aquifer dan air tanah. Air tanah merupakan air yang bersifat tidak terbarukan karena proses perjalanan air tanah membutuhkan waktu ribuan tahun sehingga bila pengambilan air tanah berlebihan, air tersebut dapat habis. Dengan demikian keberadaan Situ Gintung sangat penting untuk dilestarikan dalam rangka mempertahankan air tanah yang merupakan sumber air bagi masyarakat.

Pelestarian Situ Gintung membutuhkan strategi pelestarian yang baik. Pembuatan strategi pelestarian ini membutuhkan pengetahuan tentang karakter masa lalu, sehingga dapat diketahui daerah-daerah yang perlu dilestarikan dan yang tidak perlu dilestarikan. Selain itu, dibutuhkan pula analisis faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap Situ Gintung dan analisis potensi pelestarian lanskap sejarah Situ Gintung untuk membuat strategi pelestarian yang berkelanjutan.


(20)

1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

• Mengidentifikasi karakter lanskap kawasan Situ Gintung.

• Menganalisis faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap Situ Gintung.

• Menyusun konsep pelestarian lanskap Situ Gintung untuk pengembangan kawasan Situ Gintung ke arah yang lebih baik.

1.3Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah:

• Memberikan informasi tentang keadaaan dan karakter lanskap kawasan Situ Gintung

• Sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pelestarian lanskap Situ Gintung, dan lanskap dengan karakter dan fungsi yang sejenis.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Situ dan manfaatnya

Danau-danau kecil dan dangkal didaerah Jawa Barat dikenal dengan nama situ sedangkan di Jawa Timur dikenal dengan nama telaga (Sulastri, 2003). Secara ekologi, situ termasuk perairan dengan ekosistem terbuka. Perairan ini sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Sementara itu, dalam ilmu perairan (hidrologi) danau atau situ termasuk perairan yang menggenang. Suatu perairan dikatakan bertipe danau apabila perairan tersebut dalam dan memiliki tepian yang curam. Air perairan danau umumnya jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas di pinggiran perairan (Suwignyo,2003).

Menurut Suwignyo (2003), setiap perairan menggenang yang terbentuk akibat pembendungan aliran sungai disebut waduk (reservoir). Berdasarkan pada tipe sungai yang dibendung dan kegunaan airnya maka dikenal tiga sub-tipe waduk yakni waduk lapang (field reservoir), waduk irigasi (irrigation reservoir) dan waduk serbaguna (multiporpose reservoir). Waduk lapang hanya mampu berair 6 hingga 7 bulan dan pada musim kemarau akan mengering. Waduk irigasi dapat menyimpan air 9 hingga 12 bulan dan waduk ini sewaktu-waktu dapat dikeringkan. Waduk serbanguna akan berair sepanjang tahun dan tidak mungkin dikeringkan.

Menurut KLH (2007), situ merupakan genangan air dalam satu cekungan dipermukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya bersumber dari air permukaan atau air tanah, berukuran relatif lebih kecil dibanding danau, tergolong kedalam ekosistem perairan tawar terbuka dan dinamis. Kuantitas dan kualitas airnya berhubungan dengan tata air dan drainase wilayah serta dipengaruhi oleh tipe pemanfaatan badan air situ dan pemanfaatan lahan di dalam wilayah tangkapannya.

Lebih lanjut KLH (2007) juga mengungkapkan manfaat situ. Secara ekologis situ bermanfaat sebagai sistem penyerapan air dan tendon air serta keberlangsungan proses ekologis didalamnya. Manfaat sosioekonomis antara lain sebagai cadangan sumber air bersih, pengendali banjir, irigasi, sumber penyedia


(22)

protein dari sektor perikanan darat, sebagai sarana rekreasi dan sebagainya.

2.2 Kondisi Situ di Jabotabek

Menurut Hamid (1999), pada tahun 1997 jumlah situ di Botabek sebanyak 184 buah dengan luas keseluruhan sekitar 1.483 Ha. Dewasa ini, telah terjadi penyusutan sebesar 35% dan dapat dikatakan bahwa sekitar 65% situ-situ di Botabek telah berubah fungsinya. Dari 184 Situ yang mengalami sendimentasi berjumlah 69 buah dan yang mengalami eutrofikasi sebanyak 9 buah. Sedangkan situ yang mengalami konversi lahan (perubahan peruntukan lahan) sebesar 60 buah. Situ yang berubah menjadi sawah sebanyak 44 buah, menjadi pemukiman/perkantoran/industri sebanyak 8 buah, menjadi fasilitas umum sebanyak 5 buah dan menjadi tempat buang sampah sebanyak 3 situ. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi situ di Botabek 1997

Wilayah Kondisi situ

Sedi-menta -si Eutro -fikasi Konversi Sawah/ kebun Pemukiman/ perkantoran/ industri Fasilitas umum Tempat buang sampah/limbah industri

Bogor 49 6 26 4 2 2

Tangerang 16 3 12 3 2 -

Bekasi 4 - 6 1 1 1

Botabek 69 9 44 8 5 3

Sumber: Hamid, 1999

Hamid (1999), mengungkapkan pula ancaman terhadap situ-situ. Secara umum ancaman terhadap situ dibagi menjadi tiga kelompok yakni terjadinya konversi lahan, pendangkalan dan pencemaran lingkungan. Pada saat ini, cukup banyak terjadi areal situ yang direklamasi menjadi pemukiman, industri dan pusat pertokoan. Selain itu, juga berubah menjadi lahan sawah dan empang. Konversi lahan situ yang paling besar terjadi di Bekasi 90%, Kabupaten Tangerang 27% dan Bogor sekitar 20 %.


(23)

Konversi lahan ini dapat menyusutkan luas lahan situ. Secara umum letak situ berada dekat dengan pemukiman, tidak sedikit penduduk dengan sengaja memanfaatkan bagian situ yang kering dan dangkal menjadi lahan pertanian dan perikanan. Selain konversi lahan penyusutan luas situ dapat juga di debabkan oleh faktor alam yakni pada musim kemarau yang berkepanjangan, suplai air ke situ-situ akan minimal sehngga sering kali bagian tepi yang cukup dangkal tidak terairi sama sekali (Wardiantno et.al.,2003)

Tingginya proses pendangkalan pada situ-situ di Botabek juga menjadi ancaman bagi keberadaan situ. Pendangkalan ini dipengaruhi oleh lumpur akibat erosi tanah, sampah, meluasnya gulma dan tertutupnya saluran air. Selain itu, pencemaran lingkungan seperti masuknya limbah rumah dan indrustri ke dalam situ akan mengurangi kualitas air dalam situ yang mengakibatkan berkurangnya fungsi situ secara baik. Oleh karena itulah pencemaran lingkungan juga dapat mengancam kelestarian situ (Hamid, 1999).

2.3 Situ Gintung

Menurut Bappeda (2009), Situ Gintung di masa lalu merupakan danau kecil buatan yang dibagun pada tahun 1932-1933 dengan luas awal 31 ha. Situ Gintung memiliki tanggul selebar 30 meter, ketinggiannya 6 m dan mampu menampung air hingga 2,1 juta meter kubik. Di tengah-tengah situ terdapat sebuah pulau kecil yang menyambung sampai ke tepi daratan seluas kurang lebih 1,5 ha yang bernama Pulau Situ Gintung beserta hutan tanaman yang berada sekitarnya. Pada mulanya situ (danau) ini berfungsi sebagai tempat penampungan air dan untuk perairan ladang pertanian disekitarnya. Namun semenjak tahun 1970-an kawasan pulau dan salah satu tepi Situ Gintung dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam dan perairan berupa restoran, kolam renang dan outbound.

Filandari (2009) mengatakan bahwa tempat wisata tersebut bernama Pulau Situ Gintung-3 Wisata Alam dan Outbound. Pembangunan tempat wisata ini mulai dilakukan sejak tahun 1953, diawali dengan pembelian lahan pertanian di sekitar situ. Selanjutnya dilakukan penanaman pohon seperti pinus, kelapa, jambu mete, akasia, palem dan sengon. Di tahun 1980-an dilakukan penambahan fasilitas jalan, wisma dan lapangan tenis. Pada tahun 1990, tempat ini dibuka untuk umum


(24)

dengan nama Taman Wisata dan Sport Area. Pada tahun 2001, Taman Wisata dan Sport Area mengalami perubahan manajemen kemudian dibuatlah nama baru yakni Pulau Situ Gintung-3 Wisata Alam dan Outbound.

Pada tanggal 27 Maret 2009 Situ Gintung mengalami keruntuhan dan airnya membanjiri pemukiman yang terletak dibawah tanggul. Korban yang terkena bencana ini berjumlah 614 orang. Menurut Departemen Pu (2009), keruntuhan Situ Gintung ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah:

1. Tanggul situ runtuh karena tidak kuat menahan debit air yang besar akibat hujan deras 3 hari dengan intensitas curah hujan yang tinggi. 2. Terjadinya curah hujan yang tinggi sebagai akibat adanya global

warming (perubahan iklim).

3. Luas situ menyusut sehingga daya tampung berkurang

4. Terjadi perubahan lingkungan di DAS hulunya situ sehingga run-off membesar

5. Lingkungan sempadan situ telah banyak bangunan permukiman dan lain-lain.

Menurut Laksono (2010), bencana Situ Gintung menimbulkan kerusakan dan kerugian terhadap sumber daya manusia (korban jiwa dan pendapatan), terhadap sumber daya alam (ekosistem situ yakni hilangnya jasa ekologi, hilangnya pendapatan), terhadap sumber daya buatan yakni dalam sektor perumahan, sektor infrakstruktur ( jalan dan drainase), sektor ekonomi (perikanan dan pariwisata), sektor sosial ( pendidikan dan keagaaman).

Laksono (2010) juga mengungkapkan besar estimasi nilai kerusakan dan kerugiannya. Estimasi nilai kerusakan dan kerugian terhadap sumberdaya alam sebesar 77,72 % yakni Rp. 116,32 miliar dan terhadap sumber daya buatan sebesar 22,28 % yakni Rp. 33,35 miliar. Total nilai keseluruhan kerusakan dan kerugian sebesar Rp. 149,68 miliar.


(25)

2.4 Lanskap Sejarah

Lanskap sejarah merupakan suatu kawasan geografis yang menjadi objek atau susunan atas suatu kejadian atau peristiwa interaksi yang bersejarah dalam keberadaan dan kehidupan manusia. Lanskap ini terbentuk melalui perpaduan antara unsur-unsur alam dan unsur-unsur budaya. Dalam kenyataan umum, setiap lanskap dapat dinyatakan sebagai lanskap sejarah karena bentukan lanskap dapat merefleksikan makna sejarah dari suatu periode atau waktu tertentu. Hal ini merefleksikan perbedaan dalam rasa, tehnologi dan berbagai kebutuhan masyarakat dalam periode yang berbeda di masa lampau termasuk juga perbedaanya antar wilayah (Nurisjah & Pramukanto, 2001).

Selanjutnya Nurisjah dan Pramukanto (2001), juga menyatakan bahwa suatu bentukan lanskap dikatakan memiliki nilai sejarah bila memiliki minimal satu kriteria atau alasan sebagai berikut:

1. Kriteria umum

a. Etnografis, merupakan produk khas suatu sistem ekonomi dan sosial suatu kelompok atau suku masyarakat (etnik). Dua bentuk utama dari lanskap ini adalah rural landscape (lanskap pedesaan) dan urban landscape (lanskap perkotaan).

- Rural landscape (lanskap pedesaan) merupakan suatu model atau bentuk lanskap yang dapat mencerminkan aspek ekonomi pedesaan dan berbagai kehidupan pedesaan.

- Urban landscape (lanskap perkotaan) adalah bentuk lanskap yang berhubungan dengan pembangunan kota dan kehidupan perkotaaan.

b. Associative yakni suatu bentuk lanskap yang berasosiasi atau yang dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa, personal, masyarakat, legenda, pelukis, estetika dan sebagainya.

c. Adjoining, bentukan lanskap yang merupakan bagian dari suatu unit tertentu, bagian monumen, atau bagian struktur bangunan tertentu. 2. Kriteria khusus:

a. Lanskap tersebut merupakan suatu contoh penting dan harus dihargai dari suatu tipe sejarah.


(26)

b. Mengandung bukti-bukti peristiwa penting.

3. Terdapat kaitannya dengan masyarakat atau peristiwa sejarah yang penting dengan berbagai alasan atau latar belakang:

a. Peranan sejarah, suatu tempat merupakan lokasi peristiwa penting sebagai bentuk ikatan simbolis antara peristiwa dahulu dan sekarang dalam kehidupan kita.

b. Kejamakan. Melestarikan suatu karya sebagai wakil dari suatu kelas, contoh, tipe lanskap tertentu.

c. Kelangkaan. Lanskap tersebut merupakan satu-satunya contoh atau perwakilan dari tipe budaya tertentu bahkan mungkin merupakan satu-satunya perwakilan di dunia.

d. Keistimewaan. Suatu karya yang memiliki keistimewaan.

e. Estetik. Pelestarian karena suatu karya merupakan prestasi khusus dalam suatu gaya sejarah tertentu.

f. Memperkuat kedudukan (silsilah sejarah) kawasan di dekat atau sekitarnya.

4. Mengandung nilai-nilai yang terkait dengan bagunan-bangunan bersejarah, monumen-monumen bangunan dan taman-taman.

2.5 Benda Cagar Budaya

Lanskap sejarah merupakan bagian dari lanskap budaya sehingga lanskap ini juga disebut sebagai benda cagar budaya. Berdasarkan Undang-undang No 5 Tahun 1992, benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Selain itu, benda cagar budaya dapat berupa benda alam yang dianggap mempunyai arti penting bagi sejarah, ilmu penghetahuan dan kebudayaan.

Undang-undang No 5 Tahun 1992 ini juga mengatur tentang penguasaaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan,


(27)

pemafaatan, pengawasan, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan. Penguasaan dan pemilikan diatur dalam bab 6 bagian pertama pasal 4 sebagai berikut:

a. Semua benda cagar budaya dikuasai oleh Negara.

b. Penguasaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi benda cagar budaya yang terdapat di wilayah hukum Republik Indonesia.

c. Pengembalian benda cagar budaya yang pada saat berlakunya Undang-undang ini berada di luar wilayah hukum Republik Indonesia, dalam rangka penguasaan oleh Negara, dilaksanakan Pemerintah sesuai dengan konvensi internasional.

Di pasal 6 Undang-undang No 5 tahun 1992 dikatakan bahwa benda cagar budaya dapat juga dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang. Benda cagar budaya yang dimaksud adalah benda cagar budaya yang telah dimiliki atau dikuasai secara turun-temurun atau merupakan warisan, atau benda yang jumlahnya cukup banyak dan sebagian telah dimiliki oleh Negara.

Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya diatur dalam bab 4 pasal 13 Undang-undang No 5 Tahun 1992 yakni:

a. Setiap orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya.

b. Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya.

Pemilik benda cagar budaya yang tidak melakukan perlindungan dan pemeliharaan terhadap benda cagar budaya akan mendapat teguran dari pemerintah dan apabila dalam 90 hari setelah teguran dikeluarkan pemilik tidak berupaya untuk melindungi dan memelihara benda cagar budaya maka pemerintah


(28)

dapat mengambil alih kewajiban untuk melindungi benda cagar budaya yang bersangkutan.

Pengelolaan benda cagar budaya di atur dalam pasal 18 Undang-undang No 5 Tahun 1992. Pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, kelompok atau perorangan berperan serta dalam pengelolaan benda cagar budaya dan situs. Menurut undang-undang No. 5 Tahun 1992 pasal 19, benda cagar budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1992 diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993. Pelaksanaan tersebut meliputi aturan tentang kepemilikan, perlindungan, serta pembinaan dan pengawasan benda cagar budaya.

Kepemilikan benda cagar budaya siatur dalam bab 2 pasal 2 yakni:

a. Perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya, benda yang diduga benda cagar budaya, benda berharga yang tidak diketahui pemilikanya baik bergerak maupun tidak bergerak dan situs yang berada di wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh Negara.

b. Penguasaan sebagaimana yang termasuk dalam ayat 1 meliputi pengaturan terhadap kepemilikan, pendaftaran, perlindungan, pemeliharaaan, penemuan, pencarian, pemanfaatan, pengelolaan, perizinan dan pengawasan.

c. Pengaturan dalam ayat 2 diselengarakan berdasarkan ketentuan dalam PP atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara itu, perlindungan dan pemelihara benda cagar budaya diatur dalam Bab 4 pasal 23 sebagai berikut:

a. Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan dan pemugaran.

b. Kepentingan perlindungan benda cagar budaya diatur batas-batas situs dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan.

c. Batas-batas situs dalam ayat 2 ditetapkan dengan sistem pemintakatan yang terdiri dari mintakat inti, penyangga dan pengembang.


(29)

Hal-hal mengenai pembinaan dan pengawasan benda cagar budaya diatur dalam bab 6 pasal 41 sebagai berikut:

a. Menteri bertanggung jawab atas pembinaan terhadap pengelolaan benda cagar budaya.

b. Pembinaan pengelolaan sebagaimana yang dimaksud ayat 1 meliputi:

• Pembinaan terhadap pemilik yang meguasai benda cagar budaya berkenaan dengan tata cara perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan.

• Pembinaan peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian. c. Pembinaan dapat dilakukan melalui:

• Bimbingan dan penyuluhan

• Pemberian bantuan tenaga ahli

• Peningkatan peran serta masyarakat

d. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan pengelolaan benda cagar budaya diatur oleh menteri.

 

2.6. Pelestarian lanskap Sejarah

Menurut Nurisjah & Pramukanto (2001) terdapat beberapa pilihan tindakan teknis pelestarian benda bersejarah yang bisa diupayakan yakni:

a. Adaptif use, penggunaan adaptif yakni upaya pelestarian lanskap sejarah dengan mengakomodasikan penggunaan kebutuhan dengan kondisi saat ini. Cara ini dapat mempertahankan dan memperkuat arti sejarah dan juga mempertahankan warisan-warisan sejarah. Selain itu, dapat juga mengintegrasikan lanskap dengan kepentingan penggunaan saat ini. Namun model ini membutukan pengajian yang cermat dan teliti terhadap sejarah penggunaan, pengelolaan, dan faktor-faktor yang berperan dalam lanskap tersebut.

b. Rekonstruksi, rekonstruksi merupakan pembangunan kembali suatu lanskap baik secara keseluruhan maupun secara sebagian dari tapak asli. Pembangunan ini dilakukan jika:

• Tapak tidak dapat bertahan lebih lama lagi pada kondisi asli atau mulai hancur karena faktor alam.


(30)

• Lanskap hancur dan kondisi aslinya tidak dapat terlihat

• Ada kondisi kesejarahan yang harus ditampilkan.

c. Rehabilitas. Rehabilitas adalah upaya pelestarian yang dilakukan dengan mempertimbangkan kenyamanan, lingkungan, sumber daya dan adminitratisi. Kegiatan pelestariannya berupa perbaikan utilitas, fungsi penampilan suatu lanskap, struktur dan sebagainya.

d. Restorasi merupakan tindakan pelestarian yang mengembangkan penampilan lanskap pada kondisi aslinya. Restorasi dilakukan dengan pengadaan elemen-elemen yang hilang dan menghilangkan elemen-elemen yang mengganggu kesejarahaan situs.

e. Stabilitas, yakni tindakan strategis dengan memperkecil nilai negatif terhadap tapak. Nilai negatif ini dapat berupa gangguan iklim, deteriorientasi dan suksesi alam.

f. Konservasi. Konservasi merupakan kegiatan pelestarian yang bertujuan untuk melestarikan apa yang ada pada saat ini, mencegah penggunaan tapak yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung lahan, menggarahkan perkembangan lahan dimasa depan. Tindakan ini dapat memperkuat karakteristik spesifik yang menjiwai lingkungan atau tapak dan menjaga keselarasan antara lingkungan lama dengan pengembangan yang baru yang mendekati perkembangan apresiasi masyarakat.

g. Interpretasi adalah upaya pelestarian lanskap secara terpadu dengan mempertimbangkan berbagai kebutuhan dan kepentingan yang akan dihadapi dimasa kini dan mendatang. Interpretasi membutuhkan pengkajian terhadap tujuan desain dan penggunaan lanskap sebelumnya. Desain baru yang dibuat harus bisa memperkuat integrasi nilai historis lanskap dan juga dapat mengintegrasikannya dengan program-program kegiatan tapak yang baru di introduksikan.

h. Period setting adalah penciptaan suatu tipe lanskap pada tapak tertentu yang bukan merupakan tapak original atau asli. Usaha ini memperlukan adanya data dan dokumentasi yang dikumpulkan dari tapak dulu yang sama serta pengkajian akan sejarah tapak sebagai pembangunan lanskap


(31)

tersebut akan sesuai dengan suatu periode yang telah ditentukan sebelumnya.

i. Realease adalah tindakan pelestarian yang memperbolehkan adanya suksesi alam dalam lanskap bersejarah. Tindakan pelestarian ini dapat mengurangi dan menghapus arti sejarah dalam lanskap tersebut.

j. Replacement yakni pelestarian dengan melakukan subtitusi atas suatu komuniti biotik lainnya.


(32)

BAB III

METODOLOGI

3.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Situ Gintung, Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten (Gambar 1). Penelitian dilakukan dari bulan Maret 2010 hingga Maret 2011.

Gambar 1. Lokasi Situ Gintung Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Tangerang Selatan,2009.

Tanpa Skala


(33)

3.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis, kamera digital, kalkulator dan pengelolaan data menggunakan software Archwiew dan Adobe Photoshop, serta mengunakan hardware berupa Personel Computer (PC). 

 

3.3Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yakni inventarisasi data, analisis, dan sintesis. Inventarisasi adalah kegiatan pengumpulan data seperti data kondisi fisik lanskap, data aspek kesejarahan, dan aspek kelembagaan. Inventarisasi dilakukan dengan beberapa cara yakni:

a. Observasi lapang adalah pengamatan langsung di lapangan untuk mengetahui kondisi lanskap, jenis dan tata letak elemen, kondisi sekitar kawasan dan kegiatan pelestarian.

b. Wawancara dilakukan terhadap nara sumber untuk mengetahui aspek kesejarahan. Selain itu, wawancara juga dilakukan saat penyebaran angket untuk mengetahui persepsi masyarakat.

c. Studi pustaka untuk mendapatkan data yang tidak didapat dari dua observasi lapang, wawancara dan penyebaran angket.

Data yang terkumpul dikelompokkan menjadi data fisik, data sosial, data kesejarahan, data persepsi masyarakat dan peraturan perundangan. Jenis, bentuk dan sumber data dapat tesebut dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis, bentuk data dan sumber data

No Jenis Data Bentuk Data Sumber Data 1. Fisik

ƒLokasi tapak o Letak, luas, dan batas

tapak,aksesbilitas.

o Observasi dan instansi terkait.

ƒIklim o Curah hujan, Suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin.

o Observasi dan BMG.

ƒTopografi o Kontur dan kemiringan lahan.

o Bappeda dan observasi.

ƒGeologi o Jenis tanah o Bappeda ƒHidrologi. o Keadaan hidrologi dan

drainase.

o Observasi


(34)

Lanjutan Tabel 2. Jenis, bentuk data dan sumber data

No Jenis Data Bentuk Data Sumber Data

1. Fisik

Vegetasi dan satwa o Jenis tumbuhan dan jenis

satwa

o Observasi dan studi

pustaka. 2. Aspek sosial o Aktivitas ekonomi

o Demografi

o Observasi dan institusi

terkait. 3. Kesejarahan

o Sejarah kawasan. o Sejarah terbentuknya situ

dan keadaan situ pada awal pembentukan, sebelum bencana dan setelah bencana

o Observasi dan studi

pustaka.

o Elemen-elemen

yang mempunyai nilai sejarah

o Elemen alami dan elemen

buatan.

o Bapedda,wawancara,

observasi.

4. Persepsi masyarakat o Tanggapan masyarakat

dikawasan tentang keberlanjutan kawasan.

o Wawancara dengan

bantuan kuesioner

5. Peraturan perundangan.

o Perda RTRW o Undang-undang o Sistem pengelolaan o Rencana tata ruang

o Bapedda, institusi

terkait.

Tahapan analisis data dilakukan untuk menganalisa keterkaitan data yang diperoleh dengan potensi dan kendala yang mempengaruhi kelestarian dan kemungkinan pengembangan lanskap bersejarah tersebut. Analisa yang dilakukan sebagai berikut:

a. Analisis deskriptif merupakan pendeskripsian data yang diperoleh menurut perkembangan dan perubahan setiap periodenya.

b. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap tersebut dengan analisis SWOT yang dapat meninjau keberlanjutan lanskap dari kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (treath).

c. Analisis kuantitatif merupakan penilaian atau skoring terhadap objek yang mempunyai nilai sejarah dengan kriteria MacKinnon et al (1986) dalam Hendry (2008). Tabel 3. Penilaian atau skoring dilakukan berdasarkan aspek keunikan lanskap, estetika/arsitektur, keutuhan lanskap atau objek,


(35)

keaslian lanskap atau objek, kondisi fisik lanskap atau objek, dan lingkungan. Potensi keberlanjutan objek atau lanskap sejarah. Nilai skoring meliputi 1 adalah kurang, 2 adalah sedang, dan 3 adalah baik. Peringkat potensi dilihat dari skor total dengan kriteria 6-10 adalah kurang potensial, 11-14 adalah potensial, dan 15-18 sangat potensial.

Tabel 3. Kriteria penilaian objek yang mempunyai nilai sejarah.

No

Faktor Nilai

1 (kurang) 2(sedang) 3(baik)

1. Keunikan Lanskap/ objek memiliki

keunikan (sejarah/ cerita didalamnya, atraksi dsb) yang sama dengan lebih 5 objek lain pada suatu kawasan yang sama.

lanskap/objek

memiliki keunikan (sejarah/cerita) yang sama dengan 3-5 objek lain pada suatu kawasan yang sama

Lanskap/objek mengandung nilai sejarah/cerita, atraksi yang mewakili masanya dan hanya satu-satunya dalam kawasan tersebut.

2. Estetika/ arsitektur

Memiliki arsitektur yang sederhana

Memiliki arsitektur secara umum masih menunjukan

kekhasannya

Memiliki estetika/arsitektur yang menyerupai arsitektur tipikalnya pada hampir semua bagian termasuk detail ornamen.

3. Keutuhan Keutuhan lanskap/objek

sudah berubah dari aslinya (rusak/hilang) >50%

Keutuhan lanskap/ objek yang berubah (rusak/hilang) tidak mengubah sruktur aslinya <50%

lanskap/objek mengalami tindakan pelestarian dan

tetap dapat mempertahankan keutuhan

lanskap/ objek aslinya.

4. Keaslian lanskap/objek sudah

berubah sama sekali (fungsi dan arsitekturnya)

Lanskap/ objek mengalami asimilasi/ renovasi (fungsi/ arsitekturnya) namun masih tetap nampak keaslianya

lanskap/objek tidak mengalami perubahan sama sekali dari aslinya (fungsi dan arsitekturnya)

5. Kondisi fisik

Kondisi lanskap/objek dalam keadaan yang sangat memprihatinkan (rusak, tidak terawat sama sekali)

Kondisi lanskap/ objek dalam keadaan yang baik (terawat baik)

Kondisi lanskap/objek dalam keadaan yang sangat baik (terawat sangat baik)

6 Lingkungan Lingkungan disekitar

tidak mendukung keberadaaan elemen lanskap sejarah sehingga dapat menghilangkan karakternya Lingkungan disekitar mendukung keberadaan elemen lanskap sejarah namun karakter tidak menonjol.

Lingkungan disekitar dapat mendukung keberadaan elemen lanskap sejarah ( memperkuat karakter)

Sumber : Hendry,2008.

Sintesis merupakan kegiatan menyusun konsep dan strategi pelestarian lanskap untuk pengembangan kawasan Situ Gintung ke arah yang lebih baik. Tahapan ini dapat dilihat dalam diagram berikut:


(36)

Inventarisasi

Analisis Sintesis

Gambar 2. Tahapan penelitian Lanskap Situ Gintung

Kondisi fisik: ƒLokasi, ƒIklim, ƒTopografi, ƒGeologi, ƒHidrologi, ƒLanduse, ƒVegetasi dan satwa. Kesejarahan: ƒSejarah terbentuk-nya kawasan ƒ Elemen-elemen yang mempunyai nilai sejarah Aspek Sosial- Ekonomi: ƒDemografi ƒAktivitas ekonomi Persepsi Masyarakat . Peraturan perundangan

ƒ Karakter lanskap kawasan Situ Gintung (analisis deskriptif) ƒ analisis nilai elemen-elemen bersejarah dengan kriteria Mackinnon

dalam Hendry,2008

ƒ analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan situ berdasarkan analisis SWOT

 

Usulan konsep pelestarian lanskap Situ Gintung


(37)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sejarah dan Perkembangan Lankap Situ Gintung

Permasalahan air telah dimulai sejak tahun 1848 ketika terjadi kekeringan di pulau Jawa yang menimbulkan bencana kelaparan dan merenggut korban lebih dari 300.000 orang. Pada saat itu, Gubernur Jendral J.J. Rochussen mengusulkan kepada Kerajaan Belanda untuk membuat sistem pengairan guna menjamin ketahanan pangan. Usulan ini ditanggapi dengan dibentuknya Burgelijke Openbare Werken (BOW)pada tahun 1855, yang kemudian beralih nama menjadi Departemen Pekerjaan Umum. Departemen BOW merencanakan dan melaksanakan proyek irigasi secara besar-besaran untuk mengantisipasi permasalahan air pada musim kemarau dan musim hujan (Hamin, 2003).

Menurut Soehoed (2006), hingga awal abad ke-20 produksi beras dengan atau tanpa pengairan teknis di Pulau Jawa cukup untuk kebutuhan masyarakat Jawa, bahkan masih bisa mengekspor beras ke wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Semenjak awal tahun 1930-an mulai tampak kecendrungan peningkatan jumlah penduduk sehingga kebutuhan pangan juga meningkat. Pengamanan persediaan pangan di Pulau Jawa dengan tradisi pertanian sawah basahnya membawa dampak perluasan wilayah sawah yang berpengairan teknis dan juga menuntut pengendalian air yang lebih luas. Maka pada tahun 1920-an dan 1930-an telah dilaks1930-anak1930-an berbagai proyek pengair1930-an teknis y1930-ang cukup luas.

Pembangunan bendungan Situ Gintung pada awalnya berguna untuk memenuhi kebutuhan irigasi persawahan. Menurut Departemen PU (2009), Situ Gintung sebenarnya terbentuk secara alamiah melalui proses geologi dan hidraulik yakni sebuah tubuh air yang terperangkap dalam sebuah cekungan pada punggungan besar diantara lembah-lembah lainnya. Kemudian pada tahun 1932-1933, Belanda membentuk tanggul atau tubuh bendungan setinggi 16 m disebelah hilir cekungan sehingga terbentuklah waduk air (tandon air, water reservoir atau storage). Waduk ini berfungsi untuk menampung air hujan yang jatuh di daerah tangkapan hujan (DTH) yang terkait dengan cekungan tersebut dan keperluan irigasi sawah


(38)

Sebelum menjadi waduk air atau situ, masyarakat menggunakan daerah ini sebagai lahan pertanian dan menyebutnya sawah dalam karena jika matahari belum tepat diatas kepala maka tanah sawah tidak akan panas. Setelah waduk atau situ terbentuk penggunaan air lebih banyak digunakan untuk keperluan irigasi. Perbandingan dua buah peta yakni peta tahun 1910 dan peta tahun 1934 (Gambar 3 dan 4) memperlihatkan bahwa bentuk situ berubah menjadi lebih luas dan terjadi pula perubahan posisi pemukiman yang awalnya berada di selatan situ berpindah ke barat daya situ

Di tahun 1945-1970 mulai terjadi pembangunan pemukiman dan tanah disekitarnya mulai diperdagangkan. Sekitar tahun 1957 terdapat beberapa rumah yang dibangun di areal bawah bendungan. Perubahan yang sangat pesat terjadi pada tahun 1970, saat itu dilakukan pembuatan jalan di depan situ dan juga terjadi eksploitasi situ sebagai kawasan wisata dengan pengawasan di bawah Dinas Irigasi Jawa Barat.

Perubahan penggunaan lahan ini menyebabkan penurunan luas situ. Luas area Situ Gintung awalnya seluas 31 Ha dengan kedalamanan rata-ratanya mencapai 10 m dan kapasitas penyimpanannya mencapai 2,1 juta m3. Berdasarkan data tahun 2008, luas situ tinggal 21,4 Ha dengan kedalaman rata-rata sekitar 4 m dan kapasitas penyimpanannya sebesar 690.561 m3. Pada tahun 1991, Proyek Irigasi Jawa Barat telah melakukan rehabilitasi pintu-pintu air Situ Gintung. Berhubung daerah irigasi tersebut telah berubah fungsi menjadi pemukiman, maka kedua pintu air itu tidak difungsikan lagi.

Berdasarkan Undang-Undang No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan dan PP No. 23 tahun 1982 tentang Irigasi, Situ Gintung beserta daerah irigasinya dikelola oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat Seksi Pengairan Tangerang. Namun, pada tahun 2001 terjadi pemisahan Banten dari Propinsi Jawa Barat, sehingga sebagai pengelolaan Situ Gintung diserahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Banten yakni kepada Badan Transportasi dan Sumber Daya Air Provinsi Banten.


(39)

Sumber: http://www.kit.nl/smartsite.shtml

Gambar 3. Peta Situ Gintung tahun 1910.

Sumber: http://www.kit.nl/smartsite.shtml


(40)

Kemudian di tahun 2007, pengoperasian dan pemeliharaan Situ Gintung menjadi tanggung jawab Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWS). Di akhir tahun 2007, BBWSmengadakan pertemuan konsultasi publik dan inspeksi tahunan Gintung dan menyatakan bahwa tidak ditemukan hal yang mencurigakan terhadap kerusakan yang dilaporkan oleh masyarakat. Kemudian BBWS memutuskan untuk membangun Jogging Track untuk mencegah pengokupasian lahan. Pembuatan Jogging track ini mulai dilakukan pada tahun 2008, disamping itu dilakukan pula pengerukan dan pembangunan batas situ untuk melestarikan situ.

Pada tanggal 27 Maret 2009, bendungan ini mengalami keruntuhan dan menyebabkan bencana (Gambar 5). Bencana yang terjadi termasuk jenis bencana banjir bandang (debit flows) dengan diikuti gerakan tanah (longsoran) pada gawir tanggul.

Sumber: Dinas PU Sumber: Dinas PU

Gambar 5. Tanggul yang telah runtuh dan banjir di Hilir.

Daerah yang mengalami kerusakan akibat keruntuhan tanggul situ dimulai dari tanggul hingga Kali Pesanggrahan. Luas daerah yang terkena bencana (zona terdampak) ini adalah 8,45 Ha. Zona terdampak terdiri dari 8 RT (Rukun Tetangga) yakni RT 01/RW08, RT 04/ RW 11, RT 05/RW 11, RT 03/RW 08, RT 04/ RW02, RT 04/RW 08, RT 03/RW 10 dan RT 03/RW 02 (Gambar 6). Total bangunan yang mengalami kerusakan adalah 165 unit. Bangunan yang rusak ringan sebanyak 70 unit, rusak berat sebanyak 70 unit, dan bangunan hancur 25 unit. Daerah yang terkena bencana dan persebaran bangunan yang mengalami kerusakan dapat dilihat pada Gambar 7.


(41)

Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Selatan

Gambar 6. Batas administrasi RT/RW daerah bencana Tanpa Skala


(42)

Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Selatan

Gambar 7. Persebaran bangunan yang rusak. Tanpa


(43)

Pada tanggal 27 Maret 2010, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi bendungan yang telah runtuh dan menyatakan situasi tersebut sebagai bencana alam. Lalu pada tanggal 31 Maret 2009 Wakil Presiden Republik Indonesia menyatakan rekronstruksi Bendungan Gintung dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kementrian Pekerjaan Umum.

Desain rekonstruksi Bendungan Gintung mulai dilakukan oleh Unit Riset dan Pengembangan Kementrian Pekerjaan Umum di bulan April hingga Juni 2009 2009. Kegiatan rekonstruksi sudah mulai dilakukan semenjak tanggal 3 Desember 2009 oleh PT. Nindya Karya-Bhumi Karsa JO dan diawasi oleh PT. Indra Karya (persero), Virama Karya, Konsultan KSO Harfarm Dian

4.2. Kondisi Biofisik Situ Gintung

4.2.1 Lokasi, Luas, Batas dan Aksesbilitas

Secara administrasi Situ Gintung terletak di Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Lokasi Kelurahan Cirendeu dekat ibu kota kecamatan dengan jarak 5 km dan dari ibu kota negara DKI Jakarta hanya berjarak 25 km. Luas kelurahan ini adalah 308 Ha dengan batas di sebelah utara dan timur adalah Kelurahan Lebak Bulus (DKI Jakarta), di sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Pisangan (Tangerang Selatan) dan di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Pisangan dan Kelurahan Rempoa (Tangerang Selatan). Peta lokasi Situ Gintung ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Peta wilayah administrasi Situ Gintung Tanpa Skala


(44)

Letak Situ Gintung berada di sebelah barat daya kota DKI Jakarta. Situ ini terdiri dari bagunan tubuh tanggul, bangunan gelontor atau pelimpahan (spillway) dan bangunan pengambilan (intake). Bangunan gelontor (spillway) pada tanggul utama Situ Gintung berada pada posisi geografis 6°18’06” LS dan 106°45’46” BT.

Jalan akses ke lokasi bendungan yakni Jalan Gunung Indah merupakan pelebaran gang perumahan mulai dari Jl. Ir. H.Juanda ke lokasi bendungan sepanjang 150 m dengan lebar jalan 6 m. Jl. Ir. H.Juanda termasuk dalam katagori jalan arteri sekunder yakni jalan yang menghubungkan Kota Jakarta dan Kabupaten Tangerang. Sementara itu, Jalan Gunung Indah merupakan jalan lokal atau jalan kelurahan yang menghubungkan antar RT.

Aksesbilitas untuk mencapai lokasi ini sangat mudah karena didukung dengan keberadaan trasportasi umum seperti bis, angkutan kota dan ojeg. Hal ini karena di sepanjang Jl. Ir. Djuanda terdapat sejumlah pusat keramaian seperti Pasar atau Plaza Ciputat, kampus Universitas Islam Negeri dan Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan sebagainya (Gambar 9).

Gambar 9 . Aksesbilitas menuju situ.

Situ

 

Gintung

UIN

 

Ke

 

Pasar

 

Ciputat

  

Ke

 

Lebak

 

Bulus

 


(45)

Alur jalan yang dapat digunakan untuk mencapai lokasi bendungan sebagai berikut, dari arah Bogor mengikuti angkutan umum Merdeka-Parung hingga ke pasar Parung kemudian mengikuti angkot Parung-Ciputat hingga Plaza atau Pasar Ciputat, lalu mengikuti jalur Angkutan Kota trayek S10 yang menuju ke Lebak Bulus dan berhenti di gang ke arah situ, lalu jalan kaki sekitar 5 hingga 10 menit ke tanggul situ atau dengan mengunakan jasa transportasi ojeg.

Sementara itu, dari arah Jakarta setelah tiba di Terminal Lebak Bulus dapat juga mengikuti jalur angkutan umum S10 hingga ke gang Situ Gintung kemudian berjalan kaki selama 5 hingga 10 menit atau menggunakan jasa ojeg untuk mencapai bendungan. Selain mengikuti jalur angkutan S10, dapat pula mengikuti jalur angkutan D15 (Pamulang-Lebak bulus) atau 106 (Parung-Lebak bulus) lalu berhenti di Jalan Gunung Indah, kemudian berjalan kaki sekitar 20 menit atau menggunakan jasa ojeg untuk mencapai bendungan.

4.2.2. Penggunaan Lahan

Berdasarkan data dari Kelurahan Cirendeu tahun 2006, luas Kelurahan Cirendeu sebesar 319,5 Ha. Lahan di kelurahan ini digunakan untuk berbagai macam keperluan seperti untuk pemukiman sebesar 252,3 Ha, kuburan 2 Ha, lahan pertanian 5 Ha, taman 4,5 Ha luas taman, 35,7 Ha perkantoran dan prasarana umum seluas 20 Ha.

Daerah observasi memiliki luas sebesar 96,7 Ha dengan menggunakan batas jalan yakni sebelah utara berbatasan dengan Jalan Ir.H.Juanda, sebelah barat berbatasan dengan Jalan Kertamukti, sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Tarumanegara dan sebelah timur berbatasan dengan Jalan Gunung Indah Raya. Lahan di daerah observasi ini digunakan sebagai pemukiman, ISCI (lapangan olah raga), area pendidikan yakni UIN dan Tk Tunas Matahari, tempat wisata dan kebun (Gambar 10) .

Kawasan Situ Gintung mengalami perubahan penggunaan lahan sehingga penutupan lahannya juga berubah. Perubahan ini dapat dilihat dalam peta penutupan penutupan lahan 1934 dan 2007. Dengan membandingkan penutupan lahan antara tahun 1934 dan 2007 (Gambar 11 dan 12) terlihat bahwa area bervegetasi seperti kebun dan sawah menyempit sedangkan area pemukiman


(46)

meluas. Luasan kebun dan sawah pada tahun 1934 mencapai 59.2 % dari luas area sedangkan pada tahun 2007 sawah sudah tidak ada dan luas kebun hanya 11.9% dari luas area. Pemukiman pada tahun 1934 hanya 4 % namun pada tahun 2007 telah mencapai 57.7%. Pembangunan pemukiman pada tahun 1934 hanya berada di sebelah selatan situ namun di tahun 2007 pemukiman ini telah mengelilingi situ bahkan telah melewati garis sempadan situ

Gambar 10. Penggunaan lahan tahun 2011


(47)

Gambar 11. Peta penutupan lahan (landcover) tahun 1934  

                   

Gambar 12. Peta penutupan lahan (landcover) tahun 2007

4.2.3. Topografi

Kota Tangerang Selatan sebagian besar merupakan dataran rendah dengan topografi yang relatif datar. Kemiringan tanah rata-rata 0-3 % dan ketinggian wilayahnya antara 0-25 m dpl. Kemiringan tanah di wilayah ini dapat dibagi menjadi dua yakni daerah dengan kemiringan 0-3% dan daerah dengan kemiringan 3-8%. Daerah dengan kemiringan 0-3 % meliputi Kecamatan Ciputat, Kecamatan Ciputat Timur, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Serpong dan


(48)

Kecamatan Serpong Utara. Daerah dengan kemiringan 3-8 % meliputi Kecamatan Pondok Aren dan Kecamatan Setu (Gambar 13).

Sumber: Bappeda Tangerang Selatan

Gambar 13 . Peta topografi Kota Tangerang Selatan.

Situ Gintung merupakan lembah aliran Sungai Pesangrahan. Bentuknya berupa cekungan yang memanjang dari selatan ke utara dengan daerah yang lebih tinggi (punggungan) di bagian selatan. Kemudian, di atas punggungan tersebut terbebani tanggul dan konstruksi pelimpah yang terbuat dari pasangan batu. Pada waktu itu, penambahan beban tanggul dimaksudkan untuk memperoleh kapasitas tampungan yang lebih besar sekitar 2.000.000 m3. Bentuk tanah daerah yang terkena bencana berupa daerah yang relative datar. Daerah hilir berupa lembah relatif bergelombang lemah yang dibatasi oleh lereng terjal (tanggul situ).

4.2.4. Hidrologi

Secara hidrologis fungsi Situ Gintung adalah sebagai daerah konservasi, resapan dan pengendalian banjir. Situ ini juga merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Cisadane yang merupakan salah satu sungai utama di Provinsi


(49)

Banten dan Jawa Barat dengan sumber air berasal dari Gunung Salak dan Gunung Pangrango. Sungai ini mengalir ke Laut Jawa dan bendungan kali Pesangrahan dengan arah aliran dari Selatan ke Utara. Panjang sungai sekitar 80 km.

Sumber air Situ Gintung berasal dari dua buah mata air yang menjadi sungai yang mengalir dari arah Selatan Situ (Gambar 14). Kedua sungai ini menjadi penampungan air hujan dan juga penampungan air dari drainase pemukiman yang ada di hulu. Daerah aliran sungai yang dimiliki kedua sungai ini seluas 3,2 Km2. Kedua sungai ini bermuara di Situ Gintung.

Sumber: Dinas PU Kota Tangerang Selatan

Gambar 14. Arah aliran air.

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, kualitas air di Situ Gintung telah tercemar meski pun begitu kualitas airnya masih memenuhi kualitas mutu kelas III (golongan c dan d) menurut peraturan pemerintah RI No 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Sungai Pesangrahan

Tanpa Skala


(50)

Nilai BOD dan COD di ketiga titik telah melebihi nilai baku mutunya (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa danau tersebut telah tercemar bahan organik. Hasil pengukuran Nitrit adalah 0,051 mg/l, 0,061 mg/l dan 0,047 mg/l. Hasil pengukuran Nitrat 0,09 mg/l, 0,08 mg/l dan 0,08 mg/l. Sementara itu, hasil pengukuran Amonium sebesar 2,41 mg/l, 2,54 mg/l dan 2,08 mg/l. Menurut kriteria eutrifikasi OCDE 1982, nilai senyawa nitrogen total (Nitrait, Amonium dan Nitrogen organik) yang lebih dari 0,086 mg/l sudah dapat memacu pertumbuhan ganggang dan pada nilai senyawa Nitrogen lebih dari 0,3 mg/l perairan waduk terlihat banyak alga (alga bloom). Jika alga bloom telah terjadi air danau tidak baik untuk sumber air minum karena ganggang dapat menyebabkan zat racun microcytein dan bau yang tidak sedap. Pertumbuhan ganggang ini juga dapat teransang bila kadar posfat air sangat tinggi.

Kadar logam berat seperti Fe, As, F, Cd, Zn, Cu dan Pb masih berada dibawah baku mutu sehingga dapat dikatakan pencemaran logam berat di Situ Gintung belum membahayakan. Selain itu, secara visual kondisi air sungai di Situ Gintung keruh dan berwarna keabu-abuan, berbau khas limbah domestik yang telah terdekomposisi, dasar sungai terdapat sendimen berwarna hitam, di sungai ini juga dapat ditemukan berbagai sampah seperti sampah daun, plastik, kertas dan lain-lain.

Pencemaran Situ Gintung terkait pula dengan kondisi disekitar anak kali Pesanggrahan khususnya dibagian hulu yang terdapat area pemukiman padat. Kegiatan masyarakat seperti pencucian bekas alat atau wadah pupuk buatan lalu membuangnya ke kali akan meningkatkan kadar klorin dalam air. Selain itu, pembuangan sampah seperti daun, plastik, kertas dan lain-lain ke dalam kali juga berpengaruh dalam penurunan kualitas air.

Tabel 4. Kualitas air Situ Gintung

No Parameter Satuan Baku mutu Hasil Pengukuran

Lokasi A Lokasi B Likasi C 1 Amonia Bebas

(NH3-N)

mg/l - 0,011 0,011 0,012


(51)

Lanjutan Tabel 4. Kualitas air Situ Gintung

No Parameter Satuan Baku mutu Hasil Pengukuran

Lokasi A Lokasi B Likasi C

3 Besi (Fe) mg/l 0,3 1,96 1,69 8,47

4 Deterjen (MBAS) mg/l 0,2 0,453 0,385 0,275

5 Flourida (F) mg/l 1,5 0,093 0,039 <0,05

6 Fosfat Ortho (PO4-P)

mg/l 1 0,32 0,361 0,1

7 Fosfat Total (PO4-P) mg/l - 0,433 0,157 0,232

8 Kadmium (Cd) mg/l 0,01 <0,004 <0,004 <0,004

9 BOD mg/l 6 7,4 8,3 20,2

10 COD mg/l 50 18,1 21,4 53,6

11 Kromium (Cr) mg/l 0,05 <0,018 <0,018 <0,018

12 Mangan (Mn) mg/l 0,1 <0,007 <0,007 <0,007

13 Nitrat (NO3-N) mg/l 20 0,09 0,08 0,09

14 Nitrit (NO3-N) mg/l 0,06 0,054 0,06 0,047

15 Seng (Zn) mg/l 0,05 <0,007 <0,007 <0,007

16 Tembaga (Cu) mg/l 0,02 <0,016 <0,016 <0,016

17 Timbal ( Pb) mg/l 0,03 <0,021 <0,021 <0,021

18 Klorida mg/l 0,03 26,4 25,2 24,5

Sumber: Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Air keterangan : Lokasi A: Saluran UIN sebelum Situ Gintung.

Lokasi B: Saluran sebelum Situ Gintung. Lokasi C: Saluran setelah Situ Gintung

4.2.5. Iklim

Suhu rata-rata bulanan kawasan Situ Gintung berdasarkan Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah II yang diukur dari stasiun Pondok Betung. Suhu rata-rata Ciputat dari Januari 2000-Desember 2009 berkisar antara 26,64ºC-28,3ºC. Suhu rata-rata terendah (26,64 ºC) terjadi pada bulan Febuari dan suhu


(52)

rata-rata tertinggi (28,3ºC ) terjadi pada bulan Oktober.

Berdasarkan data kelembaban udara kawasan Situ Gintung dapat dilihat bahwa kelembaban udara rata-rata tahunan tercatat antara 71,4%-86,4%. Kelembaban minimum (71,4%) terjadi pada bulan September, sedangkan kelembaban maksimum (86,4%) terjadi pada bulan Februari. Penyinaran matahari bulanan rata-rata yang terjadi berkisar antara 16,7 % hingga 63,7%.

Curah hujan merupakan salah satu faktor yang dianggap menyebabkan kerusakan tanggul Situ Gintung. Curah hujan yang terjadi sepanjang tahun memiliki rata-rata sebesar 335 mm/bulan. Disekitar Desa Cirendeu terdapat empat pos hujan yakni pos hujan Pondok Betung, Krukut Hulu, Lebak Bulus, dan Pintu Air Ciputat. Posisi kempat pos hujan ini dapat dilihat pada Gambar 15.

Sumber: Dinas PU

Gambar 15. Lokasi pos hujan sekitar Situ Gintung.

4.2.6 Geologi

Kondisi geologi Kota Tangerang Selatan umumnya adalah batuan alluvium, yang terdiri dari batuan lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Berdasarkan klasifikasi dari United Soil Classification System, batuan ini mempunyai kemudahan dikerjakan atau workability yang baik sampai sedang, unsur ketahanan terhadap erosi cukup baik oleh karena itu wilayah Kota Tangerang Selatan cukup layak untuk kegiatan perkotaan (Bappeda,2010).


(53)

Jenis tanah dan batuan di kawasan Situ Gintung dipengaruhi oleh proses geologi yang terjadi disekitarnya seperti kegiatan gunung api di selatan dan kondisi morfologi yang melandai ke arah utara serta proses pasang surut di masa lalu. Kawasan Situ Gintung terbentuk oleh endapan fluvial yang membawa material gunung berapi dari Gunung Salak, Gunung Pangrango dan Gunung Dago. Pengaruh pasang surut ditandai oleh endapan yang mengandung organik.

Karakteristik jenis tanah pada tubuh tanggul berupa lempung lanaunan, kaku (stiff), mempunyai plastisitas yang tinggi dan berwarna merah kecoklatan. Sedangkan tanah dibawah tanggul berupa lempung lanauan, hasil pelapukan lahar, kaku (stiff), mempunyai plastisitas yang tinggi mengandung bahan organik dan bekas akar-akar tumbuhan dan warnanya coklat kehitaman. Dibawahnya adalah kolongmerat berlapuk sedang yang terselang-seling dengan batu pasir lanauan, tersementasi buruk hingga sedang, berlapis-lapis dan mudah tergerus.

Jenis batuannya terdiri dari batu pasir tufan dan kolongmerat atau kipas aluvium (Qav) dan aluvium (Qa). Hal ini dapat terlihat dari Gambar 16. Satuan batu pasir tufan dan kolongmerat atau kipas aluvium (Qav) adalah endapan yang dipengaruhi oleh kegiatan gunung berapi pada masa Pleistosen. Diduga satuan ini berada pada umur Pleistosen akhir atau lebih muda. Satuan ini terhampar sangat luas dari selatan hingga ke utara dan memiliki ketebalan mencapai 300 m. Sedangkan Aluvium (Qa) merupakan endapan yang terdiri dari lempung, pasir, krikil kerakal dan bongkah. Endapan ini meliputi endapan pantai, sungai dan rawa.


(54)

Sumber: Bappeda Tangerang Selatan

Gambar 16. Kondisi geologi

4.2.7. Vegetasi dan Satwa

Tanaman yang terdapat di kawasan Situ Gintung terdiri dari tanaman buah, tanaman penghijauan dan tanaman hias. Tanaman budidaya dan penghijauan dominannya terdapat di daerah sempadan situ sedangkan tanaman hias kebanyakan berada di pemukiman. Tanaman buah yang dapat ditemui adalah, Pisang (Musa sp), Kelapa (Cocus nucifera), Rambutan (Naphelium lappaceum), Pepaya (Carica papaya), Mangga (Manggifera indica), Sawo (Acras zapota), Anggur (vitis vinifera), Jambu air (Sizigium aqueum) dan Jambu mete ( Anacardium occidentale L.).

Tanaman penghijauan yang ditemui adalah Angsana (Pterocarpus indicus), Akasia (Acasia auriculiformis), Palem raja (Roystonia regia), Pinus (Pinus mercusii), Albisia ( Albizzia falcata), Randu (Ceiba pentadra), Bambu (Bambusa vulgaris), Pinang (arenga cathecu), Gelongan tiang (Polyalthia longifolia), dan Sengon (Paraserianthes falcataria). Di daerah waduk jenis tumbuhan yang mendominasi adalah jenis Pohon Jati (Tectona grandis), Kayu Pisang (Querus indica), Gadong (Bischofia javanica), Hantap (Sterculia macrophylla) dan Bayur (


(55)

Pterospernium sp).

Di daerah pemukiman dapat ditemui tanaman hias seperti Hanjuang (Cordyline sp), Eurpobia (Eurphobia milii), Palem weregu (Rhapis excelsa), Palisota (Palysota barteri), Soka (Ixora sp), Pacar air (Impatiens sp), Beras tumpah (Dieffenbachia sp), Melati (Jasminum sp) dan sebagainya.

Satwa yang ditemukan di sekitar danau berasal dari jenis burung atau aves, ampibi, dan reptil. Jenis burung diantaranya adalah Anis (Zoothera sp), Tekukur (Geopelia striorta), Kapinis (Apus affinis), Burung Gereja (Passer montanus), dan Pipit (Lonchura leucogastroides). Hewan reptil yang terlihat adalah Kadal (Mabouya multifasciata) dan jenis ampihi yang hidup disana adalah katak (Rana cancrinora) dan Kodok (Bufo sp).

4.3. Struktur Bangunan Elemen Bersejarahan 4.3.1 Badan Air

Pada awalnya badan air Situ Gintung terbentuk secara alami akibat proses geologi berupa cekungan air dalam lembah. Menurut Wayono dalam Rosnila (2004) pembentukan situ-situ di Jabodetabek dipengaruhi oleh proses geologi. Pada masa Miosen bentangan alam membujur dari arah timur ke barat, kemudian di masa antara Pliosen dan Plistosen terjadi aktivitas gunung –gunung berapi yakni gunung berapi di bagian selatan dan gunung berapi di Banten Barat akibatnya hamparan bentangan alam berubah arah menjadi dari utara ke selatan, pada masa ini distribusi endapan vulkaniknya mengendap di cekungan-cekungan yang akhirnya membentuk situ-situ.

Kondisi badan air Situ Gintung saat ini mulai kembali tergenangi oleh air (Gambar 17). Saat ini sudah digunakan oleh masyarakat sebagai area rekreasi dengan kegiatan seperti bermain air. Kondisi air didekat bendungan terlihat jernih namun sudah terdapat sampah-sampah.


(56)

Gambar 17. Kondisi badan air

4.3.2. Bendungan

Bendungan Situ Gintung dibangun pada masa penjajahan Belanda tahun 1932-1933 terbuat dari tanah urungan. Bendungan ini terdiri dari 3 komponen utama yakni bangunan tubuh tanggul, bangunan glontor atau pelimpahan (spillway) dan bangunan pengambilan (intake). Sebelum terjadi bencana keruntuhan Situ Gintung data teknis Situ Gintung adalah sebagai berikut:

• volume tampungan : 690.561

• Luas tampungan : 22,78 Ha

• Elevasi dasar situ : +85,00 m

• Elevasi puncak tanggul :+ 100 m

• Bangunan pelimpahan (spillway)

o lebar : 11 m

o Elevasi mercu : +97,50 m o Elevasi Banjir : +99,17 m o Elevasi lantai muka : + 96,00 m o Elevasi tanah hilir : +96,00 m o Elevasi lantai kotak olak : +95,00 m

Bangunan tubuh tanggul situ terbuat dari tanah urugan. Di atas tanggul ini dulu berdiri sebuah rumah. Hal ini menunjukan telah terjadi pelanggaran garis sempadan situ. Gambar 18 dan 19.


(57)

Sumber: BBWS CC

Gambar 18. Gambar penampang memanjang tanggul sebelum jebol.

Sumber: BBWS CC

Gambar19. Gambar penampang memanjang tanggul sewaktu akan jebol.

Bangunan pelimpahan ( spillway ) terbuat dari pasangan batu kali. Di atas bangunan ini terdapat sebuah jembatan dengan lebar kira-kira 1,5 m dan panjang sekitar 12 m yang berfungsi sebagai penghubung pemukiman di bagian barat dan timur Situ Gintung (Gambar 20 dan 21). Jembatan ini memiliki dua pilar setebal 2 x 50 cm dan di bagian bawah spillway terdapat kolam olak yang terlihat seperti kumbangan (Gambar 22).


(58)

Gambar 20.Bagian hulu spillway dilihat dari tanggul bagian kiri

(sebelum runtuh)

Gambar 21.Bagian hulu spillway dilihat dari tanggul bagian kanan (sebelum runtuh)

Sumber: Departemen PU


(59)

Situ Gintung memiliki 2 buah pintu irigasi yang terletak di sebelah barat dan sebelah timur (Gambar 23). Kedua pintu outlet ini terbuat dari pasangan batu kali. Di tahun 1990 terjadi perbaikan pintu yang dibantu oleh Dit. Irigasi. Kondisi bendungan saat ini sudah lebih baik dari pada kondisi sebelumnya (Gambar 24). bendungan telah dibangun kembali dari konstruksi beton dengan spesifikasi sebagai berikut:

• Tipe: gergaji (1 buah) dilengkapi 2 pintu

• Lebar total : 15 m

• Lebar pelimpahan: 11,2 m

• Elevasi tanggul +100.00

• Elevasi mercu pelimpah +97,00~+97,50’

• Elevasi muka air normal +96,50~+97,00

• Jenis pintu: Pintu sorong

• Elevasi dasar pintu +92,00


(60)

Gambar 24. Kondisi bendungan saat ini

4.3.3. Mesjid Jabalur Rahman

Mesjid Jabalur Rahman diresmikan pada tanggal 26 Mei 2007 oleh H.Teuku Abdullah Laksamana sebagai Dewan Pembina Masjid. Mesjid ini berada sekitar 50 meter dari tanggul Situ Gintung yang runtuh. Bangunan ini tetap berdiri kokoh dan tidak rusak sedikitpun meskipun terkena bencana. Peristiwa ini serupa dengan peristiwa yang dialami oleh Mesjid Baiturrahman Banda Aceh yang tetap berdiri kokoh meskipun diterjang tsunami Gambar 25.


(61)

4.3.4. Penilaian Kuantitatif

Penilaian kuantitatif ini dilakukan terhadap elemen bersejarahan yakni badan air, bendungan dan Masjid Jabalur Rahman pada saat ini (Tabel 5). Hasil penilaian ini menunjukan bahwa kondisi lanskap Situ Gintung berada dalam katagori potensial untuk digunakan sebagai area rekreasi atau wisata.

Tabel 5. Penilaian elemen bersejarahan

NO Element Keunikan Estetika Keutuhan Keaslian Kondisi fisik

Lingku -ngan

Total skor

1 Badan Air 3 2 2 2 2 1 12

2 Bendungan 3 2 3 1 3 1 13

3 Masjid Jabalur Rahman

3 1 3 3 3 1 14

Keunikan badan air, bendungan dan mesjid Jabalur Rahman memiliki skor yang baik karena masing-masing memiliki kisah tersendiri namun saling terkait. Dari segi estetika badan air bernilai sedang karena bentukan lahannya masih menunjukan kekhasan suatu situ meskipun air yang tertampung saat ini masih sedikit. Sementara itu, bendungan memiliki nilai estetika sedang karena hasil rekontruksi bendungan masih menunjukan ke khasan bendungan dan mesjid Jabalur Rahman nilai estetikanya rendah karena bangunan ini memiliki bentuk arsitektur seperti mesjid pada umumnya.

Keutuhan badan air bernilai sedang sebab keruntuhan situ hanya menyebabkan kehilangan airnya namun tidak mengubah struktur asli situ tersebut. Keutuhan bendungan dan mesjid bernilai baik karena keduannya mengalami tindakan pelestarian yang baik dan dapat mempertahankan keutuhan objek tersebut.

Keaslian badan air bernilai sedang karena objek tersebut mengalami perubahan arsitektur namun keasliannya masih tetap tampak. Sedangkan bendungan bernilai rendah karena arsitektur bangunan tidak asli lagi. Sementara itu mesjid tidak mengalami perubahan sama sekali dari aslinya baik fungsi maupun arsitekturnya sehingga nilai keasliannya tinggi. Kondisi fisik badan air


(62)

dalam kondisi terawat dengan baik sementara itu bendungan dan mesjid kondisi fisiknya dalam keadaan yang sangat terawat. Sementara lingkungan sekitar kurang mendukung keberadaan Situ Gintung sehingga nilainya kecil.

Total skor ketiga objek adalah 12, 13 dan 14. Hal ini menunjukan bahwa ketiga objek tersebut berada dalam katagori potensial untuk dijadikan tempat rekreasi dan wisata.

4.4. Kondisi Sosial Masyarakat

Kelurahan Cirendeu memiliki penduduk sebanyak 23.428 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 11.936 jiwa dan wanita sebanyak 11.492 jiwa. Mata pencariannya adalah PNS, TNI, POLRI, pedagang, petani, karyawan, buruh, guru, dosen, dokter, karyawan. Bidan dan lainnya (Gambar 26).  

Gambar 26. Jenis pekerjaan

Jenis pekerjaan lainnya tidak jelas ruang lingkupnya. Jenis pekerjaan ini berupa usaha lokal yang mencakup modal yang cukup besar hingga jenis pekerjaan serabutan yang mengandalkan balas-jasa orang yang memberikan tugas. Sementara itu jenis pekerjaan pedagang sebagian besar adalah penyedia bahan kepentingan sehari-hari penduduk dan akomodasi lainnya. Menurut Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (2009), tidak ada peluang untuk jenis pekerjaan dibidang pertanian karena lahan pertanian sedikit dan peluang pekerjaan yang cukup terbuka adalah bidang pertukangan atau buruh konstruksi di kota-kota


(63)

0 5 10 15 20 tidak  sekolah

SD SMP SMA D3 Sarjana

ju m la h   re s p onde n

jenis pendidikan seperti Tangerang dan Jakarta.

Suku asli di kelurahan ini adalah Betawi atau Betawi pinggiran. Saat ini penduduk asli Kecamatan Ciputat Timur sebesar 40% sedangkan sisanya (60%) adalah pendatang dari berbagai macam wilayah. Meskipun begitu kehidupan sehari-hari antara para pendatang dan penduduk asli dapat berjalan dengan harmonis. Dikelurahan ini tidak hanya etnis yang beragam tapi agama yang dianut pun sangat beragam yakni agama Islam 19.434 jiwa, Kristen 2.361 jiwa, Katolik 1.562 jiwa, Hindu 116 jiwa dan Budha 69 jiwa.

4.5. Persepsi Masyarakat

Persepsi masyarakat diperoleh melalui wawancara 34 orang penduduk dengan panduan kuesioner. Sebagian besar responden adalah pria (79,42 %) dengan penduduk aslinya sebanyak 15 orang sedangkan pendatang sebanyak 19 orang. Rentang usia responden sangat beragam dimulai dari usia 23 tahun hingga usia 60 tahun. Mereka sebagian besar berkerja sebagai wiraswasta. Pendidikan terakhir mereka juga sangat bervariasi dan yang terbanyak adalah SMA (16 orang). Variasi ini dapat dilihat dalam diagram berikut (Gambar 27).

Gambar 27. Diagram variasi jenis pendidikan responden.

Lama responden tinggal disini juga bervariasi 14,71 % telah tinggal kurang dari 5 tahun, 8,82% selama 5-10 tahun, 2,94 % selama 11-15 tahun, 23,53% selama 15-20 tahun, 5,88% 21-30 tahun, dan 32,35 % selama lebih dari 40 tahun. Mereka merasa betah tinggal disana. Mereka tinggal disana karena keluarga mereka tinggal disana 64,71%, pekerjaan 20,59% dan lainnya 14,71 %.


(64)

Terdapat beragam jawaban dalam perubahan yang terjadi. Jumlah responden yang menyatakan banyak perubahan sebanyak 26 orang, sedikit perubahan 3 orang, dan tidak berubah 5 orang. Hal ini berkaitan dengan lama mereka tinggal disana. Semakin lama mereka tinggal disana maka semakin banyak perubahan yang terlihat.

Meskipun keadaan telah berubah para responden tidak terlalu terganggu dengan perubahan tersebut. Sebanyak 58,82 % responden merasa biasa saja terhadap perubahan, 32,35% responden mengatakan lingkungan masih nyaman atau lebih nyaman dan 8,32% responden mengatakan tidak nyaman.

Ada berbagai macam perubahan yang terjadi. Menurut responden perubahan yang paling menonjol terjadi berturut-turut adalah perubahan lingkungan atau lanskap kawasan, aktivitas masyarakat dan lainnya. Sebanyak 18 responden mengatakan perubahan lanskap yang terjadi adalah kebun berubah menjadi pemukiman, sebanyak 6 responden menyatakan perubahan terjadi dari empang menjadi pemukiman dan sebanyak 5 responden mengatakan bahwa perubahan yang terjadi dari sawah menjadi pemukiman.

Berdasarkan hasil wawancara, terjadinya perubahan diawali dengan pembangunan Jalan Gunung indah. Jalan tersebut membuat akses masuk ke kawasan lebih mudah dan menjadikannya wilayah yang terbuka (tidak terisolir). Kemudahan akses ini memicu masuknya para pendatang dan kemudian menetap disana. Kedatangan mereka membuat kawasan semakin ramai dan pembangunan pemukiman semakin meningkat.

Responden yang mengaku menghetahui sejarah Situ Gintung sebanyak 20 orang dan yang tidak tahu ada 14 orang. Mereka menghetahui sejarah tersebut dari cerita orang tua dan pengalaman mereka. Selain itu mereka juga menghetahui karakteristik lanskap disana yakni sebagai kebun campuran 79,3 % responden dan lahan pertanian 20,7 % responden.

Mayoritas responden mengetahui fungsi situ sebagai area konservasi 30,51%, rekreasi 28,81%, irigasi 25,42% dan budidaya ikan 15,25%. Diantara semua fungsi tersebut fungsi yang paling diharapkan tetap ada adalah rekreasi dan konservasi. Seluruh responden menyatakan bahwa Situ Gintung perlu dilestarikan karena situ tersebut dapat menambah kenyamanan kota, memiliki pemandangan


(1)

Zonasi pelestarian dan perlindungan yang diusulkan dalam studi ini terdiri dari dua zona yakni zona inti dan zona penyangga. Zona inti adalah zona yang sangat penting dalam mempertahankan keberadaan situ dan fungsinya sebagai daerah resapan air serta memiliki elemen-elemen kesejarahan yang penting untuk dilindungi. Zona inti terdiri dari badan air, bendungan dan menjid serta sempadan situ ( 50 m dari tepi situ) sedangkan zona penyangga adalah zona yang berada di sekeliling zona inti. Zona penyangga berfungsi sebagai pendukung keberlanjutan zona inti. Upaya pelestarian di zona penyangga meliputi tindakan revitalisasi lingkungan. Penentuan zona penyangga dengan mempertimbangkan kondisi fisik disekitar lanskap situ, terutama terkait area yang masih banyak ruang terbuka hijau dan batas-batas fisik berupa jalan yang dapat mempermudah dalam pengelolaan. Lebar zona penyangga sekitar 100 m

5.2 Saran

1. Pelaksanaan rekomendasi pelestarian ini membutukan dukungan dan kordinasi dari semua pihak dari pemerintah, masyarakat dan institusi yang terkait.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

[BBWSCC] Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane. Desain Rehabilitas dan Rekontsruksi Situ Gintung. Laporan penunjang volume 6 Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (DPPL) Juli 2009.Jakarta: BBWS;2009.

[Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Tangerang Selatan.2009.Laporan Situ Gintung. Tangerang Selatan : Bappeda;2009. [Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Tangerang

Selatan.2010.Kompilasi Data untuk Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan. Tangerang Selatan : Bappeda;2010.

Departemen Pekerjaan Umum. Direktorat Jendral Sumber Daya Air. Rekontruksi dan Rehabilitasi Situ Gintung. [Slide presentasi]

Departemen Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. Balai Bendungan. Laporan Inspeksi Situ Gintung 27 Maret 2009.Jakarta.

Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Selatan. Penataan Kembali Kawasan Situ Gintung.[Slide presentasi]

Firandari, T.2009. Analisis Permintaan dan Nilai Ekonomi Wisata Pulau Situ Gintung 3 dengan Metode Biaya Perjalanan. [skipsi]. Bogor: Departemen Ekonomi dan Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Hamid.1999. Pengelolaan Lingkungan Situ Di Botabek. Dalam Tiga Pilar Pengembangan Wilayah Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia dan teknologi. Jakarta : Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah.

Hamin.2003. Implementasi Regulasi Pengelolaan Air. Di dalam: R. Ubaidillah dan I. Maryanto, editor. Manajemen Bioregional JABOTABEK : Profil dan

Strategi Pengelolaan Situ, Rawa dan Danau. Pusat Penelitian Biologi

Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia.

Hendry.2008.Studi Potensi Lanskap Sejarah Kawasan Pecinan Glodok Jakarta Sebagai Kawasan Wisata Sejarah. [skripsi].Bogor: Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas pertaniaan, Institut Pertanian Bogor.

[KLH] Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Strategi dan rencana aksi pelestarian Situ di wilayah Jabodetabek. Jakarta.

Kodoatie, R. J. dan R. Sjarief. 2010.Tata Ruang Air.Yogyakarta :Penerbit ANDI Laksono, A. P.2010. Estimasi Nilai Kerusakan dan Kerugian Bencana Situ

gintung.[skripsi]. Bogor: Departemen Ekonomi dan Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,Institut Pertanian Bogor. Nurisjah, S. dan Q. Pramukanto. 2001. Perencanaan Lanskap (penuntun

Praktikum). Program Studi Arsitektur Lanskap. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).

Nuryanto, H. S. et al. 2009. Indonesia diantara berkah dan musibah. Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT).

Pemerintah Kota Tangerang Selatan. 2009. Data Korban Bencana Situ Gintung pada hari jumat, tanggal 27 bulan Maret tahun 2009 di Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan-Propinsi


(3)

Banten Buku 1 Posko Terpadu Penanggulangan Bencana Situ Gintung. Media center 2009.

Pemerintah Republik Indonesia. 1995. Undang-undang RI No 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Direktorat Jendral Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rosnila. 2004. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Keberadaan Situ (Studi Kasus Kota Depok ).[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Soehoed.2006.Tinjauan Ulang Gagasan Pengelolaan Air Van Blommestein untuk Pulau Jawa.Jakarta:Djembatan.

Sulastri. 2003. Karakter Ekosistem Perairan Danau Dangkal. Di dalam: R. Ubaidillah dan I. Maryanto, editor. Manajemen Bioregional JABOTABEK : Profil dan Strategi Pengelolaan Situ, Rawa dan Danau. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia.

Suwignyo, P. 2003. Ekosistem Perairan Pedalaman, Tipologi dan Permasalannya. Di dalam: R. Ubaidillah dan I. Maryanto, editor. Manajemen Bioregional JABOTABEK : Profil dan Strategi Pengelolaan Situ, Rawa dan Danau. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia.

Wardiatno, Y., I. Angraeni, R.Ubaidillah, I. Maryanto. 20013. Profil dan Permasalahan Perairan Tergenang (Siu, Rawa dan Danau. Di dalam: Resichon Ubaidillah dan Ibnu Maryanto, editor. Manajemen Bioregional JABOTABEK : Profil dan Strategi Pengelolaan Situ, Rawa dan Danau. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia.


(4)

Lampiran 1. Lembar kuesioner

LEMBAR KUESIONER

Selamat pagi/ siang/ sore/ malam. Perkenalkan nama saya Sistri Puasty Hesa. Saya mahasiswa semester 8, program studi Arsitektur Lanskap, Institut Pertanian Bogor. Saya sedang melakukan penelitian untuk menyusun skripsi menenai lanskap sejarah kawasan Situ Gintung, Tangerang Selatan. Oleh karena itu, saya mohon bantuan untuk menjawab pertanyaan dibawah ini dengan sebenar-benarnya. Terima kasih.

Data Pribadi Responden

1. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan 2. Umur :

a.18-22 thn c.31-40 thn e.51-60 thn b.23-30 thn d.41-50 thn f.>60 thn 3. Pekerjaan :

a.Pelajar c. PNS e. Wiraswasta Mahasiswa d. Karyawan swasta f. Lainnya

4. Kependudukan :

a.Asli b. Pendatang. 5. Pendidikan terakhir :

a.Tidak sekolah c. SMP e. Akademik

b.SD d. SMA f. Sarjana

6. Berapa lama Anda tinggal di kawasan ini  :

a. <5 thn d. 15-20 thn g. >40 thn b. 5-10 thn e. 21-30 thn

c. 11-15 thn f. 31-40 thn

7. Apakah Anda betah tinggal di kawasan ini : (ya/tidak)

Alasan:……… ………


(5)

8. Mengapa Anda tinggal di kawasan ini? a.Keluarga di Tangerang d. Murah

b.Pekerjaan e. lainnya c.Suasananya nyam

Data Perubahan di Situ Gintung

9. Apakah kawasan ini telah berubah dibanding waktu pertama tinggal? a.Tidak berubah b. Banyak berubah c. Sedikit berubah 10.Apakah perubahan ini?

a.Menjadi lebih nyaman

b.Menjadi tidak nyaman c.Biasa saja.

11.Apakah yang paling menonjol berubah? a.Lingkungan/lanskap kawasan

b.Aktivitas masyarakat c.Sarana dan prasarana d.Lainnya,………

12.Apakah bentuk perubahan lanskap yang terjadi? a.Sawah menjadi pemukiman.

b.Empang menjadi pemukiman c.Lading menjadi pemukiman d.Kebun menjadi pemukiman

Data kesejarahan Situ Gintung

13.Apakah Anda mengetahui sejarah kawasan ini : a.Tahu c. Tidak tahu

14.Jika jawaban Anda tahu :

Dari mana Anda mengetahui tentang sejarah kawasan ini : a.Teman b. Media massa c. lainnya Kapan anda menghetahui sejarah kawasan ini:

a. Sebelum bencana b. Setelah bencana Seperti apakah sejarah yang anda ketahui?


(6)

15.Apakah Anda mengetahui karakteristik kawasan ini di maaa lalu? a. Ya b. Tidak

16.Jika ya, apakah karakteristiknya?

a.Permukiman b.Pertanian c.kebun campuran d.Lainnya,…………. 17.Sejauh yang anda ketahui, apakah fungsi kawasan Situ Gintung bagi

masyarakat sekitar?

a.Budidaya ikan c. Rekreasi e. Konservasi

b.Irigasi d. Pendidikan f. Lainya…..………. 18.Fungsi apakah yang anda harapkan tetap ada di Situ

Gintung?... 19.Apakah kawasan ini perlu dilestarikan?

a.Ya b. Tidak

20.Mengapa harus dilestarikan?... ... ... 21.Apakah anda pernah terlibat dalam pelestarian Situ gintung ini? (ya/ tidak) 22.Apakah bentuk partisipasi anda dalam pelestarian Situ Gintung/

a.Pemeliharaan b. Pembersihan c.lainnya 23.Apakah yang anda harapkan terhadap keberlanjutan lokasi?

a.Dibangun kembali dengan karakteristik yang sama b.Dibangun kembali dengan perubahan karakter. c.Tidak perlu dibangun kembali

d.Terserah pemerintah

24.Saran yang anda berikan untuk pelestarian dan pengembangan lokasi ……… ……… ………