Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penyaradan

5.3.2 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penyaradan

Terdapat dua sistem penyaradan di IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber yaitu penyaradan secara manual dan penyaradan secara mekanis. Untuk sistem penyaradan secara manual, kerusakan terjadi akibat pembuatan jalan ongkak. Kerusakan terjadi disepanjang rintisan jalan ongkak yang direncanakan dan disekitar jalan ongkak tersebut. Kerusakan disekitar jalan ongkak tersebut dikarenakan bila bahan jalan ongkak tersebut tidak mencukupi maka bahan jalan ongkak tersebut diambil disekitar jalan ongkak tersebut di dalam hutan. Untuk sistem penyaradan secara mekanis, kerusakan tegakan tinggal terjadi akibat dari logfisher track dan pada saat penarikan kayu oleh kabel slink. Tipe kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan tidak jauh berbeda dengan tipe kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan. Namun, pada tipe kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan ini, terdapat tipe kerusakan berupa ditebang. Tipe kerusakan akibat ditebang ini akibat dari kegiatan penyaradan secara manual. Pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm sengaja ditebang karena terkena rintisan jalan ongkak serta untuk bahan jalan ongkak tersebut. Tabel 9 menunjukan persentase tingkat dan tipe kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm akibat penyaradan. Tipe kerusakan tertinggi yang terjadi akibat penyaradan manual adalah ditebang sebanyak 37 pohonha atau sebesar 4,90 m 3 ha atau dengan persentase sebesar 45,25. Pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm ditebang karena terkena jalan ongkak yang telah direncanakan, serta untuk bahan jalan ongkak tersebut. Tentu saja ini tidak dapat dihindari walaupun jalan sarad pada penyaradan secara manual ini telah direncanakan terlebih dahulu. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi kerusakan akibat penyaradan manual terutama bentuk kerusakan seperti ditebang adalah memperpendek jalan sarad dan menghubungkan jalan sarad dengan jalan sarad yang sudah ada PT. DRT 2010. Tipe kerusakan roboh sering terjadi juga akibat dari penyaradan secara mekanis yaitu sebanyak 27 pohonha atau sebesar 5,63 m 3 ha dengan persentase sebesar 33,47,. Tipe kerusakan roboh ini terjadi karena saat pohon yang disarad oleh kabel slink tersangkut pada pohon lain, sehingga pohon lain tersebut mengalami tarikan yang kuat dan tidak mampu lagi berdiri sehingga pohon tersebut roboh. Mengaitkan kabel slink pada ujung pohon sejajar dengan arah penyaradan merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan secara mekanis, terutama bentuk kerusakan seperti roboh PT. DRT 2010. Tabel 9 Persentase tingkat dan tipe kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm akibat penyaradan Tipe kerusakan Tingkat kerusakan Rata-rata Persentase Ringan Sedang Berat N V N V N V N V Rusak tajuk 0,00 0,00 Pecah batang 0,00 0,00 Patah batang 31 6,10 5 1,02 6,40 Rusak kulit 26 10,22 9 2,37 6 3,18 7 2,63 8,47 Miring 29 4,72 5 0,79 5,99 Roboh 162 33,79 27 5,63 33,47 Rusak banir 2 0,32 0,33 0,05 0,41 Ditebang 219 29,41 37 4,90 45,25 Rata-rata 5 1,76 6 1,18 70 12,08 81 15,02 Persentase 5,79 7,85 86,36 Keterangan : N = pohonha V = m 3 ha Tipe kerusakan ditebang dan roboh ini termasuk ke dalam tingkat kerusakan berat. Besarnya tingkat kerusakan berat, sedang dan ringan akibat penyaradan ini berturut-turut adalah 86,36 atau sebanyak 70 pohonha atau sebesar 12,08 m 3 ha, 7,85 atau sebanyak 6 pohonha atau sebesar 1,18 m 3 ha dan 5,79 atau sebanyak 5 pohonha atau sebesar 1,76 m 3 ha. Hal ini berbeda dengan penelitian Rohidayanti 2012 yang menyatakan bahwa tingkat kerusakan ringan merupakan tingkat kerusakan yang sering terjadi yaitu sebesar 53,49 dari total pohon yang rusak. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sistem pemanenan, pada penelitian Rohidayanti 2010 sistem penyaradannya tidak didominasi oleh kerusakan berat seperti pada penelitian ini, pada penelitian ini terdapat tipe kerusakan berat seperti roboh akibat sistem penyaradan mekanis dan ditebang akibat sistem penyaradan manual. Pada penelitian Rohidayanti 2010 sistem penyaradannya menggunakan bulldozer yang menggunakan winching. Dengan menggunakan winching gerakan bulldozer menjadi lebih minim. Selain itu, ada juga perencanaan jalan sarad untuk menghindari tegakan yang rapat. Jumlah pohon rusak dan persentase kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penyaradan tiap plot dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah pohon rusak dan persentase kerusakan akibat penyaradan tiap plot penelitian Plot Kerapatan pohon Jumlah pohon yang disarad Jumlah pohon yang rusak Persen kerusakan pohon N V N V N V 1 447 147,42 19 45,06 62 7,93 14,49 2 471 152,26 15 40,00 81 11,77 17,76 3 344 110,77 14 39,80 79 9,95 23,94 4 372 175,38 15 47,35 72 20,42 20,17 5 424 177,54 20 55,58 113 22,53 27,97 6 399 149,73 16 37,96 77 17,51 20,10 Rata-rata 410 152,18 17 44,29 81 15,02 20,53 Keterangan : N = pohonha V = m 3 ha Kerusakan paling tinggi terdapat pada plot 5 sebanyak 113 pohonha dengan volume sebesar 22,35 m 3 ha dan paling rendah terdapat pada plot 1 sebanyak 62 pohonha dengan volume sebesar 7,93 m 3 ha. Kerusakan paling tinggi terdapat pada plot 5 dikarenakan jumlah pohon yang disarad paling tinggi yaitu 20 pohonha, hal tersebut menyebabkan kegiatan penyaradan menjadi lebih banyak sehingga kerusakan yang ditimbulkannya pun menjadi tinggi. Tetapi jumlah penyaradan tidak selalu berbanding lurus dengan kerusakan yang ditimbulkan, hal ini terlihat pada plot 3 dan plot 1. Pada plot 3 jumlah pohon yang disarad adalah 14, lalu pada plot 1 jumlah pohon yang disarad adalah 19, tetapi kerusakan yang ditimbulkan lebih banyak pada plot 3 daripada plot 1. Hal ini dipengaruhi oleh kerapatan dan pola penyebaran pohon pada tiap plot penelitian. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dari kegiatan penyaradan sebesar 44,29 m 3 ha menyebabkan terjadinya kerusakan sebesar 15,02 m 3 ha. Hal ini berarti bahwa setiap penyaradan 1 m 3 ha menyebabkan terjadinya kerusakan sebesar 0,34 m 3 ha. Rata-rata pohon yang disarad adalah 17 pohonha menyebabkan kerusakan pohon berdiameter lebih besar dari 10 cm sebanyak 81 pohonha. Hal ini berarti bahwa setiap penyaradan 1 pohonha menyebabkan kerusakan sebanyak 5 pohonha. Hasil ini lebih tinggi dibanding dengan penelitian Rohidayanti 2012 yang menunjukan hasil setiap menyarad 1 pohonha menyebabkan kerusakan sebanyak 0,92 pohonha. Perbedaan ini disebabkan oleh batas diameter pohon contoh yang diukur dan sistem penyaradan. Pada penelitian Rohidayanti 2012 diameter pohon contoh yang diukur adalah lebih besar dari 20 cm sehingga kerusakan tegakan tinggal yang dihitung menjadi lebih sedikit, lalu sistem penyaradan dengan bulldozer yang menggunakan winching. Dengan menggunakan winching gerakan bulldozer menjadi lebih minim. Selain itu, ada juga perencanaan jalan sarad untuk menghindari tegakan yang rapat.

5.3.3 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan dan Penyaradan