Menurut Elias 2002b kegiatan pemanenan kayu merupakan kegiatan yang paling dominan dalam kegiatan silvikultur, yang apabila tidak dilaksanakan
dengan terencana dan hati-hati dapat menyebabkan kerusakan lingkungan insitu pemadatan tanah, erosi dan kerusakan tegakan tinggal dan eksitu perubahan
hidrologi, sedimentasi, penurunan kualitas air sungai dan gangguan terhadap habitat perairan dan lain-lain.
Sistem pemanenan kayu ditinjau dari derajat mekanisasi dibagi menjadi tiga macam yaitu sistem manual, sistem semi-mekanis dan sistem mekanis. Sistem
manual dicirikan dengan penggunaan alat-alat pemanenan kayu tradisional yang melibatkan teknologi sederhana dan umumnya dilaksanakan dengan tenaga
manusia. Sejak dari proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pemotongan batang-batang pohon menjadi ukuran tertentu, penyaradan hasil
penebangan ke TPn serta pengangkutan dilakukan dengan tenaga manusia. Sistem semi-mekanis merupakan sistem pemanenan kayu yang dilakukan dengan tenaga
manusia namun dengan bantuan mesin-mesin pemanenan kayu. Dalam sistem ini proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang,
penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara semi-mekanis. Sistem mekanis merupakan sistem pemanenan kayu dengan menggunakan mesin-mesin
pemanenan kayu dengan teknologi yang lebih maju. Dalam sistem mekanis sejak dari tahap penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang, serta
penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara mekanis. Sistem ini pada umumnya diterapkan pada pekerjaan yang berskala besar seperti pemanenan kayu
di hutan alam. Dalam merekayasa sistem dan teknik pemanenan kayu selain aspek teknis, aspek sosial, ekonomis dan lingkungan juga harus dipertimbangkan
terutama aspek penciptaan lapangan kerja baru Elias 2002b.
2.3 Tegakan Tinggal
Tegakan tinggal adalah tegakan yang telah dipilih, yang menjadi modal pengusahaan berikutnya, berisi pohon-pohon binaan dan pohon pendamping.
Pohon binaan adalah pohon yang harus dirawat setelah tebang pilih, yang berupa pohon-pohon niagawi yang muda dan sehat berdiameter kurang dari diameter
minimum tebangan, dapat berasal dari permudaan alam maupun dari pengayaan Departemen Kehutanan 1990.
Tingkat kerusakan tegakan tinggal di hutan alam tropika dapat dipengaruhi oleh teknik pemanenan kayu yang digunakan. Menurut Elias 2008 tingkat
kerusakan tegakan tinggal ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan kayu dengan jumlah pohon yang
ada di dalam areal tersebut sebelum pemanenan dikurangi jumlah pohon yang dipanen.
Menurut penelitian Elias 2002a, tingkat kerusakan pada pohon berdiameter lebih besar atau sama dengan 10 cm berkisar antara 9,39-35,42
dengan rata-rata 21,96. Data mengenai kerusakan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1 Kerusakan tegakan tinggal berdasarkan jumlah populasi Plot
∑ Pohon sebelum pemanenan kayu
10 cm ∑ pohon
yang dipanen
∑ pohon yang rusak
10 cm Kerusakan
tegakan tinggal
Tingkat kerusakan
I 697 6
146 21,13
Ringan II 748
17 259
35,34 Sedang
II 620 2
58 9,39
Ringan
Sumber: Elias 2002a
Data kondisi tegakan di PT. DRT, Riau menyebutkan bahwa setelah dilakukan penebangan rata-rata jumlah pohon berdiameter 40 cm up turun
menjadi 2,08 pohonha lebih rendah dibanding kelas diameter 20-39 cm yaitu sebanyak 3,29 pohonha. Kondisi tegakan tinggal setelah penebangan tegakan
tinggal menunjukan masih baik dimana penurunan kerapatan rata-rata sebelum penebangan hanya sebesar 22 untuk semai, 16 untuk pancang, dan 20,3
untuk tiang Mujijat Hermansyah 2005. Tingkat kerusakan tiang rata-rata di PT. DRT adalah sebanyak 135 tiangha
55,37. Kerusakan terkecil pada tipe kerusakan roboh sebanyak 4 tiangha 1,15 dan kerusakan terbesar adalah ditebang untuk bahan jalan sarad sebanyak
30 tiangha 87,96. Tingkat kerusakan pohon rata-rata adalah 39 pohonha 31,06 dengan intensitas penebangan rata-rata adalah sebanyak 29 pohonha
Kurniawan 2002.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian