Kondisi baru akibat kegiatan pemanenan hutan harus mencerminkan kerusakan yang minimal sehingga tegakan tersebut berkemampuan untuk pulih dengan atau
tanpa campur tangan manusia. Dengan demikian memungkinkan untuk dilakukan kembali pemanenan kayu pada periode tebang berikutnya yang memiliki potensi
minimal sama bahkan lebih besar dari sebelumnya. Pada saat ini cara untuk meminimalkan kerusakan lingkungan akibat penebangan kayu yang sudah ada
yakni yang dikenal dengan Reduced Impact Logging RIL. Penerapan RIL di lahan gambut diharapkan dapat mencapai hasil optimal dan lestari.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah menghitung tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan kayu di hutan rawa gambut.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai seberapa besar kerusakan tegakan tinggal yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu dan
menjadi masukan bagi kepentingan pengelolaan hutan alam yang lestari dan berkelanjutan dengan meminimalkan kerusakan tegakan tinggal.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rawa Gambut
Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan berkisar antara 17 - 21 juta ha. Data yang akurat mengenai luas lahan gambut sulit ditemui karena terbatasnya
survei dan pemetaan tanah gambut, terutama di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan luasan yang cukup besar yaitu berkisar 9 - 11 dari luas daratan
Indonesia, maka sulit dihindari pengembangan lahan pertanian ke lahan gambut ini, seperti di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah Nurida et al. 2011.
Lahan gambut di Indonesia tersebar di tiga pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Karakteristik gambut sangat bervariasi tergantung pada
tingkat kematangan dan kesuburannya, kedalaman gambut serta lingkungan pembentukannya. Oleh karena itu, gambut yang berada di tiga pulau besar itu
agak sedikit berbeda karakteristik sifat kimianya, terkait ada tidaknya bahan pengkayaan. Gambut yang terbentuk di Pulau Sumatera umumnya mendapat
pengkayaan dari bahan volkan yang berada di bagian atasnya dari Pegunungan Bukit Barisan, baik langsung maupun hasil sedimentasi sungai dari bagian
hulunya, sehingga secara umum sifat kimia gambut di Pulau Sumatera relatif lebih baik dibanding gambut di Kalimantan ataupun Papua Noor Mulyani 2011.
Gambut adalah ekosistem yang sangat rentan. Kelalaian dalam penanganannya akan memberikan dampak balik yang akan sangat merugikan.
Kebakaran gambut yang terjadi berulang adalah merupakan satu contoh dimana kelalaian akan menyebabkan kerugian yang sangat besar Noor et al. 2005.
Pemanfaatan lahan gambut untuk tetap dipertahankan sebagai habitat ratusan spesies tanaman hutan, merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat.
Disamping itu kawasan gambut tetap mampu memberi fungsi ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya produk kayu dan non kayu secara berkelanjutan.
Fungsi ekologi hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu, kelembaban udara dan hidrologi kawasan akan tetap berlangsung sebagai konsekuensi ekosistemnya
tidak berubah. Mempertahankan lahan gambut untuk tetap menjadi habitat jenis pohon adalah beralasan. Hutan rawa gambut memiliki jenis pohon bernilai
ekonomis tinggi, demikian pula satwa. Berdasarkan data pada salah satu HPH
yang berlokasi di lahan gambut, diketahui bahwa populasi 10 jenis pohon bernilai ekonomis tinggi dan jenis yang dilindungi dengan diameter
≥ 20 cm rata-rata 21 pohonha dengan volume rata-rata 30,94 m
3
ha. Diantara ke-10 jenis pohon tersebut terdapat 67,83-nya adalah Ramin Gonystylus bancanus Kurz.
Berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan alami pohon-pohon bernilai ekonomis tersebut, maka “Wise Use of Tropical Peatland” hendaknya tidak lagi
harus dipaksa untuk melakukan perubahan yang justru mengakibatkan munculnya permasalahan baru yang berdampak negatif bagi manusia dan lingkungan Limin
2006. Pengelolaan lahan gambut perlu dilakukan dengan sangat hati-hati karena
lahan ini sangat mudah mengalami degradasi. Untuk itu diperlukan inovasi teknologi yang tepat, sehingga lahan dapat tetap berproduksi secara optimal dan
tingkat emisi serta kerusakan lingkungan lainnya dapat diminimalkan. Oleh karena itu, penting untuk menghimpun informasi ilmu pengetahuan serta
teknologi pengelolaan lahan gambut yang berhubungan dengan aspek fisik, ekonomi maupun sosial, agar lahan gambut dapat dimanfaatkan secara bijaksana
Nurida et al. 2011. Berdasarkan tingkat kematangannya gambut dibedakan menjadi gambut
fibrik yaitu gambut yang belum melapuk, gambut hemik yaitu gambut yang tingkat pelapukannya setengah melapuk dan gambut saprik yaitu gambut yang
tingkat pelapukannya sudah lanjut. Berdasarkan kedalamannya, gambut dibedakan menjadi gambut dangkal 50-100 cm, gambut sedang 100-200 cm, gambut
dalam 200-300 cm, dan gambut sangat dalam 300 cm. Gambut saprik mempunyai kemampuan menyimpan air lebih kecil, tetapi mempunyai
kemampuan daya pegang air water holding capacity yang lebih kuat dibanding gambut hemik atau fibrik, dan sebaliknya. Oleh karena itu gambut fibrik
mempunyai risiko kekeringan lebih besar dibandingkan gambut hemik atau saprik. Gambut tebal lebih banyak didominasi gambut fibrik-hemik, sebaliknya
gambut dangkal dan tipis lebih banyak didominasi gambut saprik Nurida et al. 2011.
2.2 Pemanenan