Kebaruan Penelitian Nilai pH Fermentasi LCPKS pada Suhu Berbeda 91

LCPKS yang dihasilkan pabrik pengolah kelapa sawit ialah air kondensat, air cucian pabrik, air hidrocyclone atau claybath. Jumlah air buangan tergantung pada sistem pengolahan, kapasitas olah dan keadaan peralatan klarifikasi. Air buangan separator yang terdiri atas sludge dan kotoran dipengaruhi oleh: a Jumlah air pengencer yang digunakan pada vibrating screen atau pada screw press. b Sistem dan instalasi yang digunakan dalam stasiun klarifikasi yaitu klarifikasi yang menggunakan decanter menghasilkan air limbah yang kecil. c Efisiensi pemisahan minyak dari air limbah yang rendah akan mempengaruhi karakteristik limbah cair yang dihasilkan Rahardjo, 2009. Sampai saat ini LCPKS di Indonesia masih ditangani dengan cara relatif sederhana yaitu dengan mengalirkan dan membiarkan terdekomposisi di dalam sistem kolam ponding system. Di dalam sistem tersebut, bahan organik sebagian besar terdegrasi secara anaerobik dan menyebabkan bau busuk serta menimbulkan emisi gas metana. Sistem pengolahan anaerobik limbah cair mempunyai keuntungan nyata dibanding sistem pengolahan aerobik, antara lain dioperasikan hampir tanpa energi tambahan, mampu menurunkan beban pencemar berat hingga sedang dan terbentuk lumpur sebagai pengganti pupuk organik kompos. Rancangan teknik perombakan anaerobik dalam sistem kolam biasanya merupakan serangkaian kolam terbuka yang tersusun atas beberapa kolam. Sistem tersebut mampu menyisihkan kandungan BOD hingga 95 , namun dalam jangka waktu yang lama yakni 55 hari hingga 110 hari sehingga membutuhkan lahan instalasi yang sangat luas Ahmad et al ., 2012. LCPKS merupakan sumber pencemar potensial yang dapat memberikan dampak serius bagi lingkungan, sehingga pabrik dituntut untuk menangani limbah tersebut melalui peningkatan teknologi pengolahan. LCPKS memiliki nilai BOD, COD, padatan tersuspensi dan kandungan total padatan tinggi merupakan sumber pencemar sangat potensial. Beberapa hasil penelitian karaktetistik LCPKS dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tanpa adanya upaya untuk mencegah atau mengelola secara efektif akan timbul dampak negatif terhadap lingkungan, seperti timbulnya bau, pencemaran air dan perairan umum di sekitar pabrik, dan gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim global Ahmad et al., 2003. Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit dan Baku Mutunya No Parameter Rata-rata 1 Rata-rata 2 Rata-rata 3 Baku Mutu 4 1 Nilai pH 4,2 4,4 4,5 6-9 2 Biological Oxygen Demand BOD 25.000 mgL 27,72 gL 29.000 mgL 0,11 gL 3 Chemical Oxygen Demand COD 51.000 mgL 56,20 gL 64.000 mgL 0,25 gL 4 Total Padatan 40.000 mgL 28,24 gL 23.000 mgL 0,25 gL 5 Padatan Tersuspensi 18.000 mgL 15,15 gL 22.000 mgL 0,10 gL 6 Minyak dan Lemak 6.000 mgL 29,30 gL 7.000 mgL 0,03 gL 7 Total Nitrogen 750 mgL 27,70 gL 1200 mgL 0,02 gL 8 Suhu - 57 o C - - Sumber : 1 Tong, 2011 2 Mahajoeno, 2008 3 Wu, 2008 4 MENKLH, 1995 Rahardjo 2009, telah melakukan penelitian unit pengolahan LCPKS di PTPN VIII PKS Kertajaya Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Limbah cair yang berasal dari Unit Sludge Separator dan Unit Pencucian klarifikasi dialirkan ke bak fatpit. Limbah dalam fatpit dipanaskan dengan menggunakan steam pada suhu 85- 95 o C. Pada suhu tersebut minyak yang masih terkandung dalam air limbah akan mudah lepas. Minyak yang dapat diambil kembali oil recovery dari unit tersebut adalah 0,8-1,2 . Waktu tinggal Detention TimeT d = 16 Jam. Dimensi unit tersebut adalah luas 6 x 40 m 2 dan kedalaman 0,8 m bila dihitung dari data waktu tinggal dan debit Q sebesar 18 tonjam. BOD dari fatpit tersebut adalah 30.000 40.000 ppm dengan pH sekitar 4-5. Proses kedua adalah anaerobik yang diakomodasikan dalam bak berjumlah empat buah dan dioperasikan secara berurutan. Limbah cair yang masuk ke dalam bak anerobik tersebut adalah limbah cair dari fatpit dan limbah cair Unit Kondensat Sterilisasi, Pencucian Hydro Cyclone dan dari Unit Demineralisasi. Waktu tinggal total T d = 40 hari bila dihitung dari pembagian volume dengan debit diperoleh Td = 38,4 hari, dengan dimensi untuk setiap baknya adalah luas 20 x 40 m 2 dan kedalaman sekitar 3-4 meter. Mutu BOD dari air limbah yang keluar dari proses anaerobik tersebut sekitar 3000 ppm dengan pH antara 5-6. Bak anaerobik tersebut merupakan bak terbuka dan dianggap berproses anaerobik karena kedalaman baknya yang sampai 4 meter Rahardjo, 2009. Proses terakhir adalah aerobik yang diakomodasikan dalam empat buah bak pond. Luas total unit aerobik tersebut adalah 75 x 40 m 2 dengan kedalaman 1,5 meter. Waktu Tinggal T d = 60 hari bila dihitung dari pembagian volume dengan debit diperoleh T d 62,5 hari. Proses aerobik dianggap dapat terlaksana hanya dengan kontak udara di permukaan kolam, tanpa aerator mekanik atau blower. BOD limbah yang keluar dari unit tersebut sekitar 200-230 ppm dengan pH sekitar 7. Dalam pengoperasiannya sebagian dari air limbah yang keluar dari unit anaerobik dipergunakan untuk menyiram tanaman Rahardjo, 2009. PPKS Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan telah mengembangkan teknologi pengolahan LCPKS yang disebut RANUT Reaktor Anaerobik Unggun Tetap Ditjen PPHP Deptan, 2006. Sistem pengolahan tersebut dibuat dalam skala pilot plant. Reaktor berdiameter 40 cm dan tinggi 250 cm, serta berjumlah dua buah. Didalamnya terdapat unggun tetap yang menggunakan media pendukung berupa potongan pipa-pipa PVC dengan dinding bergelombang. Dalam proses pengolahannya, limbah cair dari kolam fatpit mengalir ke dalam RANUT pertama dari bawah ke atas. Sebagian cairannnya diresirkulasikan untuk mengencerkan limbah cair yang baru masuk dan menaikkan pH nya, sedangkan sebagian besar cairannya mengalir ke dalam RANUT kedua yang mempunyai arah aliran dari atas ke bawah. Cairan dari RANUT kedua sudah dapat memenuhi ketentuan BML baku mutu lingkungan dibuang ke badan air penerima. Gas yang dihasilkan dari proses anaerobik ditampung dan diukur dengan menggunakan Gas Meter Ditjen PPHP Deptan, 2006. Hasil dari percobaan dalam pengoperasian RANUT menunjukkan bahwa kecepatan pengurangan COD sebagai fungsi dari laju pembebanan tidak memperlihatkan perbedaan berarti antara reaktor pertama dan kedua. Laju pembebanan sebesar 8 kg O 2 m 3 hari dapat menghasilkan laju degradasi sebesar 90. Laju pembebanan maksimum yang digunakan adalah 10,5 kg O 2 m 3 hari. Waktu penahanan hidrolisis minimum adalah 1,3 hari, sedangkan maksimum 20 hari. Produksi gas spesifik sekitar 0,55 m 3 kg COD terlarut. Kandungan gas metana bervariasi antara 62 sampai 67, dengan rata-rata sebesar 64. Kebutuhan energi dalam mengoperasikan sistem tersebut hanya untuk memompa limbah cair dan resirkulasi cairan. Energi yang dibutuhkan sebesar 4 KWh per m 3 limbah cair yang diolah per meter tinggi reaktor. Pada skala penuh dibutuhkan listrik sekitar 36 KWh per m 3 limbah cair yang diolah. Perbandingan antara energi listrik yang dibutuhkan dengan potensi energi listrik yang dihasilkan menunjukkan bahwa kebutuhan listrik 0,035 KWhm 3 limbah cair sangat kecil dibandingkan dengan potensi produksi 16-32 KWhHm 3 Ditjen PPHP Deptan, 2006. Satu kelemahan dalam sistem RANUT adalah adanya kemungkinan terjadinya penyumbatan dalam reaktor karena terbentuknya biofilm yang berlebihan dan timbulnya endapan disekitarnya. Jika limbah cair mengandung terlalu banyak padatan tersuspensi lebih dari range 1000-5000 mgl, maka pertumbuhan bakteri akan terlalu cepat dan hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan dalam reaktor. Resiko terjadinya penyumbatan pada reaktor kedua aliran dari atas ke bawah adalah lebih besar lagi, dengan demikian keterbatasan dari penggunaan sistem RANUT tersebut adalah COD terlarut berkisar antara 6 dan 8 kgm 3 hari dengan jumlah padatan tersuspensi tidak lebih dari 5000 mgl Rahardjo, 2009. Dalam upaya meningkatkan efisiensi pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit, Ahmad et al. 2012, telah melakukan pengujian bioreaktor hibrid anaerobik dengan menggunakan media amobilisasi sel yang berbeda yakni media tandan kosong sawit dan media pelepah sawit dalam mengantisipasi perubahan secara tiba- tiba laju alir umpan akibat peningkatan produksi pabrik kelapa sawit. Hasil penelitian Ahmad et al. 2012, menunjukkan bahwa bioreaktor hibrid anaerobik yang diuji dengan peningkatan laju alir umpan secara tiba-tiba pada laju alir umpan 3.750 Lhari, 5.000 Lhari dan 7500 Lhari mempunyai rasio asam lemak volatil dengan alkalinitas dibawah 0,1, sehingga sistem mempunyai kestabilan yang tinggi. Dengan demikian, peningkatan laju alir umpan secara tiba-tiba tidak mempengaruhi kinerja bioreaktor hibrid anaerobik fasa tunggal karena kestabilan bioreaktor relatif tinggi sehingga proses pengolahan limbah cair berlangsung dengan baik.

2.3 Dekomposisi Anaerobik

2.3.1 Proses Dekomposisi Anaerobik Di Indonesia teknologi perombakan dekompisisi anaerobik merupakan salah satu bagian strategi pengelolaan air limbah atau buangan industri yang cukup berdayaguna dan efektif. Penerapan teknologi tersebut selain murah dan praktis untuk buangan dengan beban organik, mampu mereduksi energi terkandung dalam limbah untuk pengelolaan lingkungan. Perombakan anaerobik secara luas digunakan untuk memantapkan padatan organik terkonsentrasi memadatlumpur, dengan BOD lebih besar dari 10.000 mgl, dipindahkan dari tangki-endap, filter biologik, dan pembangkit lumpur aktif. Beberapa pembangkit menggunakan perombak anaerobik sebagai langkah pertama membuang kelebihan zat nitrogen dari aliran sisa sebelum perlakuan aerob Romli, 2010. Perombakan anaerobik secara alami terjadi di sedimen sungaialiran dan kolam yang tidak teraerasi cukup, yang mengubah senyawa karbon menjadi gas metana, nitrogen dan asam sulfida penyusun gas rawa dan sawah, sebagai pengganti karbon dioksida maupun air yang dihasilkan dalam perombakan aerob.