penbentukan basa organik NH
4 +
dari komponen protein pada fermentasi suhu 55
o
C lebih cepat dibandinkan dengan fermentasi pada suhu 45
o
C dan suhu 27-28
o
C. Kapasitas buffer buffer capacity suatu larutan adalah suatu ukuran kemampuan larutan
penyangga dalam mempertahankan pH-nya yang tergantung dari konsentrasi komponen-komponen yang ada di larutan tersebut baik secara absolut maupun secara
relatif Chang, 2005.
Setiap kelompok mikroorganisme memiliki suhu optimum untuk berkembang yang berbeda-beda. Pada kelompok mikroorganisme termofilik seperti Methanosarcina,
Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanobacillus suhu optimumnya sekitar 50-
60
o
C, sehingga pada suhu tersebut proses degradasi makromolekul protein, lemak, dan karbohidrat menjadi mikromolekul dan basa organik lebih cepat, sehingga pH cepat
naik. Menurut Choi et al. 2013 pH optimum untuk fermentasi LCPKS dalam kondisi anaerobik adalah 6,8-7,2.
Menurut Badiei et al. 2012, mikroorganisme yang banyak berkembang pada
suhu mesofilik 40-50
o
C adalah kelompok Streptococcus sekitar 50, kelompok Lactobacillus
sekitar 30, dan kelompok Clostridium sekitar 20. Kelompok mikroorganisme mesofilik tersebut lebih lambat dibandingkan dengan termofilik dalam
konversi bahan organik menjadi asam organik. Di samping itu, kenaikan suhu sampai batas tertentu akan mempercepat proses reaksi konversi makromolekul menjadi
mikromolekul. 4.2.4 Penurunan Nilai COD dan Penyisihan COD
Hasil penelitian penurunan nilai COD dan Penyisihan COD LCPKS selama fermentasi dapat dilihat pada Lampiran 16 dan Lampiran 17. Chemical Oxygen Demand
COD merupakan jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi bahan organik secara kimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase penurunan nilai COD pada suhu 55
o
C lebih cepat dibandingkan dengan suhu 45
o
C dan suhu kamar. Pada fermentasi suhu 55
o
C hanya memerlukan waktu 42 hari untuk menurunkan nilai COD 86,86, sementara pada suhu fermentasi 45
o
C memerlukan waktu selama 56 hari untuk menurunkan nilai COD 84,31 , bahkan pada
suhu kamar untuk menurunkan COD 57,25 memerlukan waktu sampai 196 hari, seperti pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Pola Penurunan Nilai COD LCPKS pada Suhu Fermentasi yang Berbeda suhu 55
o
C; suhu 45
o
C; suhu 27-28
o
C Pada Gambar 4.4 terlihat bahwa fermentasi pada suhu 55
o
C, suhu 45
o
C, dan suhu kamar mikroorganisme langsung aktif yang ditandai terjadi penurunan nilai COD
pada tujuh hari pertama. Pada penelitian ini sumber mikroorganismenya adalah sludge
20 40
60 80
100 120
7 14
21 28
35 42
49 56
63 70
77 84
91 98
105 112
119 126
133 140
147 154
161 168
175 182
189 196
C O
D h
ar i
Waktu Fermentasi hari
yang berasal dari akhir proses anaerobik terakhir kolam 4 instalasi pengolahan akhir limbah IPAL yang diduga kaya akan beberapa bakteri seperti Clostridium,
Escherichia coli dan Enterobacter Chen et al., 2005; Chong et al., 2009. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroorganisme-mikroorganisme tersebut banyak terdapat di dalam tanah, lumpur, dan kompos Hu dan Chen, 2007; Wang dan Wan,
2009. Penurunan nilai COD pada suhu 55
o
C lebih cepat dari suhu 45
o
C dan suhu kamar, diduga disebabkan oleh kenaikan suhu akan meningkatkan keaktifan
mikroorganisme Sompong et al., 2008. Penurunan nilai COD menunjukkan telah terjadi proses pendekomposisian
bahan organik oleh aktivitas mikroorganisme. Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam LCPKS berupa senyawa kompleks telah diuraikan menjadi senyawa-senyawa
yang lebih sederhana oleh mikroorganisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penyisihan COD pada suhu 55
o
C lebih tinggi dibandingkan dengan fermentasi suhu 45
o
C dan suhu kamar, seperti pada Gambar 4.5. Mohammadi et al. 2011 pernah melakukan penelitian untuk mempercepat peningkatan nilai Penyisihan COD dari
LCPKS dengan berbagai cara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan nilai Penyisihan COD yang paling cepat adalah perlakuan panas heat-shock yang
menghasilkan Penyisihan COD 86 .
Gambar 4.5 Nilai Penyisihan COD LCPKS pada Suhu Fermentasi yang Berbeda
4.2.5 Produksi Biogas dan Komposisi Biogas
Data hasil penelitian komposisi biogas LCPKS selama fermentasi dapat dilihat pada Lampiran 18 sampai Lampiran 20. Produksi metanaPenyisihan COD
menunujukkan kemampuan sistem reaktor untuk menghasilkan metana liter dari satu gram COD. Konversi secara sempurna setiap satu gram COD dapat menghasilkan 0,35
L metana. Gambar 4.6 memperlihatkan pola produksi biogas LCPKS selama fermentasi. Gambar 4.7 memperlihatkan total produksi metanaPenyisihan COD LCPKS pada suhu
fermentasi yang berbeda.
57.26 84.31
86.86
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
27-28 45
55
C O
D re
m ov
al
Suhu
o
C
Gambar 4.6 Pola Produksi Biogas Komulatif dari LCPKS pada Suhu Berbeda suhu 55
o
C; suhu 45
o
C; suhu 27-28
o
C
Gambar 4.7 Produksi Metana Total yang Dihasilkan dari LCPKS pada Suhu Fermentasi yang Berbeda
Hasil perhitungan kandungan CH
4
dari biogas hasil fermentasi LCPKS pada suhu 55
o
C menghasilkan produktivitas metana 0,28 Lg COD. Hasil tersebut masih dibawah konversi secara stoikhiometri 0,35 Lg, hal ini diduga karena proses
methanogenesis yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan proses methanogenesis disebabkan oleh kondisi tidak 100 anaerobik, sehingga digunakan untuk pembentukan
sel mikroorganisme.
Proses degradasi secara anaerobik melibatkan sejumlah bakteri yang berbeda- beda, terutama oleh empat tipe reaksi, yaitu hidrolisisis, acidogenesis, acetogenesis, dan
methanogenesis Baloch et al., 2007. Pada tahap hidrolisisis, senyawa kompleks dengan bantuan eksoenzim dari bakteri anaerobik diubah menjadi monomer. Tahap
merupakan tahapan perombakan bahan organik hasil hidrolisis yang difermentasi menjadi berbagai produk akhir, meliputi asam-asam format, asetat, propionat, butirat,
laktat, suksinat, etanol, karbondioksida, dan gas hidrogen. Pembentukan asam-asam organik tersebut terjadi dengan bantuan bakteri, seperti Pseudomonas, Eschericia,
Flavobacterium,
dan Alcaligenes.
8.23 20.42
16.97
0.00 5.00
10.00 15.00
20.00 25.00
1 5
9 13
17 21
25 29
33 37
41 45
49 53
57 142
146 150
154 158
162 166
170 174
178 P
ro duks
i B
io ga
s K
o m
ul at
if
L L
L CP
K S
Waktu Fermentasi Hari
0.16 0.24
0.28
0.00 0.05
0.10 0.15
0.20 0.25
0.30
27-28 45
55 P
ro duk
si M
et an
a CO
D r
em ov
al
m
3
kg
Suhu
o
C
Tahap ketiga adalah tahap acetogenesis yaitu pembentukan senyawa asetat, karbondioksida dan hidrogen. Produk-produk dari tahapan acidogenesis seperti asam
propionat, butirat dan etanol perlu dikonversi terlebih dahulu menjadi asam asetat sebelum digunakan oleh bakteri metanogenik. Bakteri ini mengkonversi karbondioksida
dan hidrogen menjadi asam asetat. Bakteri yang melakukan konversi tersebut adalah Acetobacterium woodee
dan Clostridium aceticum. Tahap terakhir adalah tahap metanogenesis yaitu proses karbondioksida direduksi menjadi metana dan air, asetat
dikonversi menjadi metana dan karbondioksida. Bakteri penghasil metana antara lain Methanococcus, Methanobacteria,
dan Methanosarcina. Dengan kelebihan substrat yang diumpankan kedalam bioreaktor, maka bakteri
acidogen dan acetogen menjadi semakin aktif dan semakin cepat tumbuh, sehingga
semakin banyak bahan organik dikonversi menjadi asam lemak volatil yang menyebabkan menurunnya pH. Bakteri metanogen tidak dapat bekerja secara optimal
pada pH yang rendah. Hal ini menyebabkan ketidak seimbangan antara acidogenesis dan methanogenesis karena proses didominasi oleh proses acidogenic dan aktivitas
methanogenesis
kurang baik didalam sistem. Hasil analisis komposisi biogas dari fermentasi LCPKS pada suhu yang berbeda
dapat dilihat pada Gambar 4.8. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa fermentasi pada suhu 55
o
C menghasilkan biogas dengan kandungan gas metana lebih tinggi dibandingkan dengan fermentasi pada suhu 45
o
C dan suhu kamar. Choi et al. 2013 melaporkan bahwa menggunakan alat high-rate anaerobic reactors dalam mengolah
LCPKS dapat menghasilkan biogas dengan rendemen 0,171–0,269 Lg Penyisihan COD dengan konsentrasi gas metana mencapai 59,5-78,2.
Sebaliknya fermentasi pada suhu 55
o
C menghasilkan biogas dengan kandungan gas pengotor CO
2
dan N
2
yang lebih kecil dibandingkan dengan feremntasi pada suhu 45
o
C dan suhu kamar. Hal ini sangat penting dalam proses produksi biogas sebagai bahan bakar, terutama untuk energi listrik. Penghilangan karbondioksida memberi
kualitas biogas dan nilai energi kalor menjadi lebih tinggi Kapdi et al., 2004. Beberapa hasil penelitian tentang penurunan COD dan penangkapan gas metana dari
LCPKS dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Gambar 4.8 Komposisi Biogas yang Dihasilkan dari LCPKS pada Suhu Fermentasi yang Berbeda
59.15 62.57
65.44 38.76
34.50 33.60
2.10 2.52
0.97
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
120.00
27-28 45
55
K o
m p
o si
si B
io gas
Suhu
o
C N2
CO2
CH4
N
2
CO
2
CH
4
Tabel 4.5 Hasil-hasil Penelitian tentang Penurunan COD dan Penangkapan Gas Metana dari LCPKS
Metode Penyisihan
COD Kandungan
Metana Tertinggi Sumber Rujukan
Fluidized bed 78,0-94,0
DTT Borja dan Banks 1995
UASB 98,4
54,2 Borja dan Banks 1994
UASFF pada berbagai penanganan limbah cair
89,5–97,5 62,0–84,0
Najafpour et al. 2006 Anaerobic pond
97,8 54,4
Yacob et al. 2006 Anaerobic digester
80,7 36,0
Yacob et al. 2005 UASFF
97,0 71,9
Najafpour et al. 2006 CSTR
80,0 62,5
Tong and Jaafar 2006 IAAB
99,0 64,0
Chan et al. 2012 Sistem gabungan reaktor
anaerobik tingkat tinggi AHR + ABF dan AHR
+ ADF 93,5
78,2 Choi et al. 2013
CSTR suhu 55
o
C + pengadukan 100 rpm
86,86 67,58
Hasil penelitian CSTR suhu 45
o
C + pengadukan 100 rpm
84,31 67,58
Hasil penelitian CSTR suhu 27 - 28
o
C + pengadukan 100 rpm
57,25 60,70
Hasil penelitian
Keterangan : DTT : data tidak tersedia
4.2.6 Potensi Energi Listrik dan Pengurangan GRK dari LCPKS Di Provinsi Lampung
Sampai pada tahun 2011 perusahaan yang memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit di Provinsi Lampung berjumlah 13 unit tersebar di lima kabupaten, yaitu
Kabupaten Lampung Selatan satu unit, Kabupaten Lampung Tengah empat unit, Kabupaten Tulang Bawang tiga unit, Kabupaten Mesuji tiga unit, dan Kabupaten Way
Kanan dua unit. Total kapasitas terpasang pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung mencapai sekitar 622 ton TBSjam. Perkembangan produksi CPO dan angka estimasi
LCPKS selama tiga tahun 2009-2011 dapat dilihat pada Gambar 4.9.
Gambar 4.9 Perkembangan Produksi CPO dan LCPKS Provinsi Lampung 2009-2011 Potensi produksi LCPKS di Provinsi Lampung meningkat dari tahun ke tahun.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa setiap ton TBS menghasilkan sekitar 0,75 m
3
LCPKS atau 3 ton LCPKSton CPO, sehingga pada tahun 2011 potensi LCPKS di Provinsi Lampung mencapai 1.132.382 ton atau 1.286.595 m
3
. Hasil penelitian Ditjen Perkebunan 2012, menunjukkan bahwa setiap ton tandan buah segar
TBS kelapa sawit akan menghasilkan rata-rata air limbah 0,7 m
3
. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fermentasi pada suhu 55
o
C selama 42 hari mampu menurunkan COD 86,86 atau dari COD 43.375 mgL menjadi COD 5.700
mgL. Menurut IPCC 2006, gas metana merupakan gas rumah kaca GRK dengan kekuatan 21 kali lebih kuat dibandingkan dengan gas karbon dioksida. Berdasarkan data
produksi pabrik kelapa sawit tahun 2011, maka potensi pengurangan gas rumah kaca dari LCPKS di Provinsi Lampung mencapai 203.584 ton CO
2
etahun, dengan sebaran pada setiap kabupaten seperti pada Gambar 4.10. Perhitungan energi yang dihasilkan
dan pengurangan emisi GRG dari LCPKS dapat dilihat pada Tabel 4.6 dan Tabel 4.7.
Gambar 4.10 Potensi Pengurangan Emisi GRK dari LCPKS di Provinsi Lampung
320 352
377 960
1,057 1,132
- 200
400 600
800 1,000
1,200
2009 2010
2011
P ro
d uk
si C
P O
L C
P K
S
r ibua
n t
o n
Tahun
CPO LCPKS
13.152 54.763
52.528 55.535
27.606
- 10,000
20,000 30,000
40,000 50,000
60,000
Lampung Selatan
Lampung Tengah
Tulang Bawang
Mesuji Way Kanan
R eduks
i G
R K
T o
n CO
2
e th
n
Kabupaten
Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Energi yang Dihasilkan dan Pengurangan Emisi GRG dari LCPKS di Provinsi Lampung tahun 2011 Kabupaten
Total Provinsi Lampung
Uraian Lampung
Selatan Lampung
Tengah Tulang
Bawang Mesuji
Lampung Way Kanan
TBS diolah tontahun
110.825 461.447
442.619 467.954
232.613 1.715.459
COD masuk mgL
43.375 43.375
43.375 43.375
43.375 43.375
COD keluar mgL
5.700 5.700
5.700 5.700
5.700 5.700
Produksi LCPKS m
3
tahun
83.119 346.086
331.965 350.966
174.460 1.286.595
CH
4
Dihasilkan m
3
tahun
876.821 3.650.857
3.501.894 3.702.338
1.840.375 13.572.286
Biogas Dihasilkan m
3
tahun
1.339.885 5.578.938
5.351.306 5.657.607
2.812.310 20.740.046
LHV Biogas MJ m
3
23 23
23 23
23 23
Konsentrasi CH
4
65,44 65,44
65,44 65,44
65,44 65,44
Energi MJ tahun
30.817.357 128.315.566 123.080.033 130.124.970 64.683.121
477.021.047
Energi MJ
0,98 4,07
3,90 4,13
2,05 15,13
Efisiensi Konversi Energi
35 35
35 35
35 35
Power Dihasilkan MW
0,34 1,42
1,37 1,44
0,72 5,29
CH
4
Dihasilkan mol CH4 tahun
39.144 162.985
156.335 165.283
82.160 605.906
CH
4
Dihasilkan kg CH4 tahun
626.301 2.607.755
2.501.353 2.644.527
1.314.554 9.694.490
Emisi CO
2
ton CO
2
e tahun 13.152
54.762 52.528
55.535 27.605
203.584 Emisi CO
2
kg CO
2
eton TBS 119
119 119
119 119
119
Tabel 4.7 Perhitungan emisi gas metana dan biogas yang dihasilkan dari LCPKS dasar 1 ton TBS diolah
Uraian Unit
Nilai TBS diolah
ton TBS 1
CPO dihasilkan ton CPO
0,22 Produksi LCPKS
m
3
0,75 Nilai COD masuk
kg COD 43,37
Nilai COD keluar kg COD
5,70 Potensi Emisi GRK
m
3
CH
4
7,91 kmol CH
4
0,35 kg CH
4
5,65 kg CO
2
e 118,68
Input data untuk perhitungan :
Rendemen TBS = CPO Hasil penelitian
22,03 Produksi LCPKS
m
3
ton TBS Yuliasari et al., 2001 0,75
COD masuk mgL Hasil penelitian
43.750 COD keluar
mgL Hasil penelitian 5.700
Produktivitas metana L metanag COD LCPKS Hasil
penelitian 0,28
GWP gas metana kg CO
2
kg CH
4
IPCC, 2006 21
Efisiensi pengurangan COD Hasil penelitian
86,86 Konsentrasi metana dalam
biogas vol. Hasil penelitian
65,44 LHV Biogas 65,44 metana
MJ m
3
Pourmovahed et al., 2011 23
Efisiensi Konversi Energi Biogas
Yuswidjajanto, 2012 35
Hasil penelitian di Thailand menunjukkan bahwa jika menggunakan penangkapan biogas maka emisi gas rumah kaca yang dihasilkan adalah 750 kg
CO
2
eton CPO atau sekitar 150 kg CO
2
eton TBS, jika tidak menggunakan penangkapan biogas adalah 1.087 kg CO
2
eton CPO Kaewmai et al., 2012. Menurut Tan et al. 2012, setiap ton CPO akan menghasilkan emisi gas rumah kaca
sebesar 971 kg CO
2
e, tetapi jika menggunakan sitem penangkap gas metana, maka emisi gas rumah kaca yang dihasilkan hanya 506 kg CO
2
e per ton CPO atau 101,2 kg CO
2
eton TBS. Di sisi lain, gas metana hasil dari proses dekomposisi anaerobik bahan
organik tersebut memiliki kandungan energi tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan. Khemkhao et al. 2012 dan Kamahara et al. 2010
menyatakan bahwa LCPKS yang memiliki organic loading rates OLR antara 2,2 dan 9,5 g COD perliter perhari dengan perombakan anaerobik dapat menghasilkan
biogas 13,2 literhari.
Menurut Tong 2011, PKS dengan kapasitas produksi 60 ton TBSjam atau 360.000 ton TBStahun akan menghasilkan LCPKS sebanyak 216.000 m
3
tahun dengan total COD 10.800 tontahun. Produksi LCPKS tersebut dapat menghasilkan
CH
4
sebanyak 2.657 tontahun atau biogas 6.726.318 m
3
tahun atau setara dengan
energi yang dihasilkan 133.398.934 MJtahun atau 31.859.243 M Cal.tahun atau 37.039 MWhtahun. Menurut Soesanto dan Walandouw 2012, pabrik kelapa sawit
dengan kapasitas 60 tonjam akan menghasilkan LCPKS sebesar 21.500 m
3
memiliki potensi menghasilkan energi listrik sebesar 2 MW.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa total potensi energi yang dihasilkan dari proses penangkapan gas metana LCPKS menjadi energi listrik di Provinsi Lampung
mencapai 5,29 MW dari
1.715.459 ton TBS
. Dari total energi listrik tersebut tersebar di lima kabupaten seperti dapat dilihat pada Gambar 4.14. Potensi energi yang
dihasilkan dari setiap pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung sangat berbeda antara pabrik satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan oleh kapasitas pabrik yang berbeda,
mutu bahan baku, dan efisiensi pemakaian kapasitas riilpabrik. Jika kita bandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu, maka potensi energi dari LCPKS di Provinsi
Lampung sangat rendah. Hal ini terjadi karena efisiensi pemanfaatan kapasitas riilrata-rata yang rendah yaitu 45.
Gambar 4.11 Potensi Produksi Energi Listrik dari LCPKS di Provinsi Lampung Pengolahan limbah cair industri minyak kelapa sawit dengan bioreaktor
anaerobik dan pemanfaatan biogas sebagai pengganti bahan bakar minyak bumifosil dapat berkontribusi pada praktek produksi minyak kelapa sawit yang berwawasan
lingkungan, sehingga produk sawit Indonesia lebih diterima di pasar internasional. Namun, perlu dicatat bahwa akurasi estimasi potensi emisi dan manfaat yang dapat
diperoleh dari penggunaan biogas sebagai sumber energi alternative, sebaimana diilustrasikan di atas, dipengaruhi oleh akurasi input data yang terkait, terutama
produksi biogas spesifik, komposisi biogas, porsi bahan organik yang terdegradasi secara anaerobik, harga biogas dan harga reduksi emisi Suprihatin et al., 2012.
4.3 Analisis Internal, Analisis Eksternal, dan Analisis SWOT Penanganan
LCPKS 4.3.1 Analisis Faktor Internal
Data analisis faktor internal implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Lampiran 42 dan Lampiran 43. Matriks hasil analisis
IFE penanganan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Tabel 4.15. Berdasarkan penilaian responden terhadap faktor kunci internal diperoleh total skor
IFE adalah 2,514. Hasil tersebut menunjukkan bahwa posisi strategis industri kelapa
0,34 1,42
1,37 1,44
0,72
- 0.20
0.40 0.60
0.80 1.00
1.20 1.40
1.60
Kab. Lampung Selatan
Kab. Lampung Tengah
Kab. Tulang Bawang
Kab. Mesuji Kab. Way
Kanan
P o
te n
si E
n er
gi L
is tr
ik M
W
sawit di Provinsi Lampung berada pada posisi rata-rata dalam memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya untuk menghadapi kelemahan internal.
Alat perumusan strategis menggunakan Matriks Internal Factor Evaluasi IFE dapat digunakan untuk meringkas dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan
suatu industri, termasuk industri kelapa sawit. Matriks IFE juga dapat memberikan dasar untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi hubungan diantara bidang-bidang
fungsional tersebut, sehingga pemahaman yang baik mengenai faktor-faktor strategi internal yang dimasukkan lebih penting dibandingkan angkanya sendiri David,
2002.
Tabel 4.8 Matriks IFE Penanganan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung
Faktor Penentu Bobot
Rating Total
Skor Prio-
ritas Faktor Kekuatan
A PKS di Lampung telah memiliki unit
pengolahan LCPKS dengan kapasitas yang cukup
0,095 3,67
0,350 IV
B Komitmen pimpinan PKS untuk mengikuti
peraturan tentang lingkungan hidup cukup tinggi
0,106 4,00
0,425 I
C Semua PKS telah memiliki SDM yang
khusus dalam menangani LCPKS 0,102
3,50 0,356
II
D LCPKS di Lampung memiliki potensi
sebagai sumber energi COD 40.000 mgL
0,094 3,75
0,354 III
E Semua PKS di Lampung memiliki lokasi
yang tidak terlalu jauh dengan gardu jaringan PLN
0,097 3,17
0,308 V
Faktor Kelemahan F Komitmen pimpinan perusahaan terhadap
pemanfaatan LCPKS menjadi energi masih rendah
0,113 1,17
0,132 II
G Biaya pengadaan teknologi pengolahan
LCPKS menjadi biogas masih sangat tinggi
0,095 1,50
0,142 III
H Belum semua pimpinan PKS di Lampung
memahami Permen ESDM No 4 Tahun 2012
0,111 1,17
0,130 I
I Belum ada contoh industri PKS yang
menjual energi berbasis biogas ke PT PLN Persero
0,096 1,58
0,152 IV
J Kapasitas riilPKS terpakai di Lampung
masih rendah kurang dari 60 0,089
1,83 0,164
V
Jumlah
1 2,514
Tabel 4.15 menunjukkan bahwa komitmen pimpinan PKS untuk mengikuti peraturan tentang lingkungan hidup merupakan kekuatan utama yang dimiliki oleh
kalangan industri kelapa sawit di Provinsi Lampung dengan jumlah skor 0,425. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Provinsi Lampung memiliki PKS sebanyak
13 unit yang tersebar di lima kabupaten. Semua PKS telah mengikuti semua peraturan berkaitan dengan lingkungan hidup yang diwajibkan baik oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah. Salah satu bukti bahwa PKS taat untuk mengikuti peraturan pemerintah adalah semua PKS telah memiliki unit pengolahan limbah cair
dan SDM yang khusus dalam menangani LCPKS.
Hal ini menjadi modal dasar yang positif jika pemerintah mentargetkan 60 PKS memiliki fasilitas methane capture pada tahun 2022. Menurut Mahendra
2013, penyebab para pemilik PKS tidak membangun fasilitas methane capture adalah komitmen pemilik PKS yang rendah, tidak ada peraturan yang mewajibkan,
dan biaya investasi yang mahal. Selain itu, insentif yang ditawarkan pemerintah kurang menarik dan persyaratannya terlalu sulit dipenuhi Soerawidjaja, 2012.
Berdasarkan hasil analisis Matriks IFE, diketahui bahwa kelemahan utama adalah belum semua pimpinan PKS di Provinsi Lampung memahami Permen ESDM
No 4 Tahun 2012. Permen tersebut berisi tentang mandatori dari pemerintah bahwa PT PLN Persero harus membeli energi listrik dari masyarakat yang berbahan baku
biogas dengan harga Rp 975,00kwh. Hal ini disebabkan oleh rendahnya komitmen pimpinan perusahaan terhadap pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik dan biaya
pengadaan teknologi pengolahan LCPKS menjadi biogas masih sangat tinggi Wirawan, 2012.
4.3.2. Analisis Faktor Eksternal
Data analisis SWOT faktor eksternal implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Lampiran 44 dan Lampiran 45. Matriks hasil
analisis EFE penanganan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Tabel 4.16. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa komitmen pemerintah yang sangat
tinggi untuk membeli energi berbasis limbah merupakan peluang yang sangat besar untuk dimanfaatkan oleh kalangan industri kelapa sawit di Provinsi Lampung. Hal
ini didukung oleh mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit seperti cangkang dari biji kelapa sawit. Peluang tersebut juga dikuatkan oleh
kebutuhan energi dunia yang cenderung terus meningkat dan kebutuhan energi dalam negeri yang belum tercukupi Winarno, 2012.
Dalam rangka mendorong pengembangan tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan termasuk biogas dan menata
kembali pengaturan pembelian kelebihan tenaga listrik excess power dari masyarakat, maka pemerintah berkomitmen dengan mengeluarkan Permen ESDM
No. 4 Tahun 2012. Permen tersebut menugaskan PT PLN Persero membeli kelebihan tenaga listrik excess power dari masyarakat yang menggunakan energi
terbarukan dengan harga tertentu Hutapea, 2012.
Industri kelapa sawit di Provinsi Lampung menghadapi peluang sekaligus ancaman dalam implementasi penanganan LCPKS menjadi energi listrik. Matriks
EFE dapat memberi penjelasan mengenai peluang dan ancaman yang dihadapi industri kelapa sawit dalam penanganan LCPKS menjadi energi listrik. Berdasarkan
hasil analisis Matriks EFE, diperoleh jumlah skor rata-rata untuk faktor kunci eksternal adalah sebesar 2,651 artinya kemampuan perusahaan untuk memanfaatkan
peluang yang ada dan mengatasi ancaman-ancaman yang dihadapi oleh perusahaan berada pada kondisi menengah.
Faktor-faktor yang menjadi ancaman utama adalah belum adanya regulasi yang mewajibkan PKS melakukan penangkapan gas metana dari LCPKS dan pada
tahap implementasi penjualan energi ke PLN Persero masih menemui banyak kendala Soerawidjaja, 2012. Beberapa kendala penjualan energi listrik yang
diproduksi oleh masyarakat ke PT PLN Persero antara lain tuntutan kontinyuitas dan biaya penyambungan dari pembangkit ke gardu induk PLN Adhi, 2012.
Tabel 4.9 Matriks EFE Penanganan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung
Faktor Penentu Bobot
Rating Total
Skor Prio-
ritas Faktor Peluang
A Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus
meningkat 0,097
3,17 0,309
III
B Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi
0,111 3,33
0,370 I
C Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK
0,098 2,67
0,261 IV
D Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit
0,101 3,25
0,329 II
E Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat
0,095 2,67
0,252 V
Faktor Ancaman
F Subsidi pemerintah terhadap energi yang bersumber dari fosil masih tinggi
0,093 2,33
0,217 III
G Keberlanjutan program CDM diragukan dan harga perdagangan karbon sangat rendah
0,089 2,58
0,230 IV
H Biaya pembangunan unit pengolahan LCPKS menjadi biogas masih mahal
0,107 2,50
0,267 V
I Belum ada regulasi yang mewajibkan PKS melakukan penangkapan gas metana dari
LCPKS 0,110
1,83 0,202
I
J Pada tahap implementasi penjualan energi ke PLN Persero masih menemui banyak kendala
0,099 2,17
0,214 II
Jumlah
1 2,651
Berdasarkan dari perhitungan matriks IFE dan EFE diperoleh jumlah skor rata-rata sebesar 2,514 dan 2,651. Penggabungan antara nilai IFE dan EFE pada
matriks IE akan menunjukkan posisi implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik berada pada sel ke lima V seperti yang diperlihatkan pada Gambar
4.15.
Berdasarkan gambar matriks IE tersebut dapat diketahui bahwa pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik di Provinsi Lampung berada pada sel lima V,
sehingga strategi terbaik yang sebaiknya dilakukan adalah menjaga dan mempertahankan hold and maintain posisi yang selama ini sudah diraih.
Kebijakan yang umum dari strategi ini adalah dengan melakukan penetrasi pasar dan mengembangkan produk baru. Artinya pemilik dan manajemen PKS harus