Tabel 4.11 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung BUMN
No Komponen
Teknologi Batas
Bawah Batas
Atas SoA
Kontribusi Normal
Bobot Kontribusi
Total LTi
UTi STi
Ti
I TECHNOWARE
1.1 Proses
Pendinginan dan Pengendapan
1,20 3,00
0,27 0,19
0,10 0,26
1.2 Proses Anaerobik
1,60 3,20
0,08 0,19
0,50 1.3
Proses Aerobik 1,20
3,20 0,35
0,21 0,20
1.4 Proses
penanganan akhir limbah
3,80 5,40
0,39 0,49
0,20 II
HUMANWARE
2.1 Pekerja
1,40 3,00
0,28 0,21
0,20 0,30
2.2 Supervisor
1,60 3,40
0,64 0,31
0,20 2.3
ManajerEksekutif 2,20
3,40 0,68
0,34 0,60
III INFOWARE
4,00 5,80
0,26 0,50
1,00 0,50
IV ORGAWARE
3,80 5,40
0,34 0,48
1,00 0,48
Keterangan : SoA = State of the art Tabel 4.12 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung Perusahaan
Swasta yang Sudah Go Public
No Komponen
Teknologi Batas
Bawah Batas
Atas SoA
Kontribusi Normal
Bobot Kontribusi
Total LTi
UTi STi
Ti
I TECHNOWARE
1.1 Proses Pendinginan dan
Pengendapan 1,20
3,20 0,27
0,19 0,10
0,26 1.2 Proses Anaerobik
1,60 3,20
0,07 0,19
0,50 1.3 Proses Aerobik
1,20 3,20
0,34 0,21
0,20 1.4 Proses
penanganan akhir limbah
3,80 5,80
0,37 0,51
0,20 II
HUMANWARE
2.1 Pekerja 1,20
3,00 0,26
0,19 0,20
0,30 2.2 Supervisor
1,40 3,40
0,62 0,29
0,20 2.3 ManajerEksekutif
2,20 3,40
0,68 0,34
0,60 III
INFOWARE 3,40
6,40 0,25
0,46 1,00
0,46 IV
ORGAWARE 3,60
6,00 0,32
0,49 1,00
0,49
Tabel 4.13 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung Perusahaan Swasta
No Komponen
Teknologi Batas
Bawah Batas
Atas SoA
Kontribusi Normal
Bobot Kontribusi
Total LTi
UTi STi
Ti
I TECHNOWARE
1.1 Proses Pendinginan dan
Pengendapan 1,00
3,00 0,27
0,17 0,10
0,18 1.2 Proses Anaerobik
1,20 3,00
0,08 0,15
0,50 1.3 Proses Aerobik
1,00 3,00
0,34 0,19
0,20 1.4 Proses penanganan
akhir limbah 1,20
5,00 0,24
0,23 0,20
II HUMANWARE
2.1 Pekerja 1,20
3,00 0,26
0,19 0,20
0,21 2.2 Supervisor
1,40 3,00
0,64 0,27
0,20 2.3 ManajerEksekutif
1,20 3,20
0,30 0,20
0,60 III
INFOWARE 3,40
6,20 0,23
0,45 1,00
0,45 IV
ORGAWARE 3,40
5,60 0,27
0,44 1,00
0,44
Hasil perhitungan pada Tabel 4.11 sampai Tabel 4.12 tersebut disajikan dalam bentuk diagram THIO Gambar 4.15. Dari diagram tersebut menunjukkan
bahwa adanya kesamaan nilai-nilai THIO PKS di Lampung, terutama dalam aspek Orgaware
dan Infoware. Terlihat proses penanganan LCPKS yang dikelola BUMN dan perusahaan swasta go public relatif lebih baik dibanding perusahaan swasta
dalam aspek Technoware dan Humanware.
Infoware
0.2 0.4
0.6 0.8
0.2 0.2
0.4 0.6
0.8
Technoware
0.4 0.6
0.8 0.8
0.6 0.4
0.2
Perusahaan Go Public
BUMN Perusahaan
Swasta
O rg
aw are
H um
a nw
are
Gambar 4.15 Diagram THIO Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung
4.4.1.2 Kandungan Teknologi Antara PKS di Provinsi Lampung dan PTPN V Tandun Provinsi Riau
a Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi Penanganan LCPKS Data hasil rekapitulasi penentuan batas bawah LL dan batas atas UL
derajat kecanggihan setiap komponen teknologi antara PKSI di Provinsi Lampung dan PKS PTPN V Tandun dapat dilihat pada Lampiran 37 dan Lampiran 38.
Penentuan batas bawah LL dan batas atas UL derajat kecanggihan setiap komponen teknologi digunakan metode skoring. Pada kasus pengolahan LCPKS di
Provinsi Lampung dan PKS di PTPN V Tandun hasil perhitungan LL dan UL untuk setiap komponen teknologi dapat dilihat pada Tabel 4.14. Dari tabel tersebut dapat
dilihat bahwa unit penanganan LCPKS PTPN V Tandun lebih baik dalam proses kolam anaerobiknya. Hal ini terjadi karena PTPN V Tandun telah melakukan
penangkapan gas metana untuk digunakan sebagai energi listrik.
Tabel 4.14 Batas Atas UL dan Batas Bawah LL Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung dan PTPN V Tandun
Komponen Teknologi
PKS Lampung
PTPN V Tandun
Keterangan
LL UL LL UL
TECHNOWARE
Proses Pendinginan dan Pengendapan
1,20 3,20 1,40 3,20 Peralatan penangan limbah cair di PKS Lampung dan PTPN V Tandun masih
manual dan prosesnya masih alami. Proses Anaerobik
1,20 3,20 3,80 7,40 PKS Lampung : Dibiarkan terbuka di dalam kolam dengan kedalaman lebih dari 5 m.
PTPN V Tandun : Dilakukan penangkapan gas metana.
Proses Aerobik 1,20 3,40 1,20 3,40 PKS Lampung dan PTPN V Tandun masih
manual dan prosesnya sangat sederhana. Proses penanganan
akhir limbah 3,60 5,60 4,00 5,60 Dialirkan dan dimanfaatkan untuk land
application
HUMANWARE
Pekerja 1,20 3,40 1,20 3,00 Pekerja dan supervisor di PKSI Lampung
dan PTPN V Tandun memiliki kemampuan adapting
dan improving yang sama, sedangkan eksekutif di PKS Lampung lebih
rendah dibandingkan eksekutif di PTPN V Tandun dalam penanganan limbah cair.
Supervisor 1,40 3,40 1,60 4,20
ManajerEksekutif 1,60 3,40 4,20 6,00
INFOWARE
3,40 6,20 4,00 6,60 Pemanfaatan teknologi informasi di PKS Lampung hampir sama dengan yang
digunakan di PTPN V Tandun ORGAWARE
3,60 5,80 6,60 8,20 Organisasi penanganan limbah cair di PKS Lampung belum terlalu jelas, sedangkan di
PTPN V Tandun cukup jelas.
Menurut Mahendra 2013, pemanfaatan biogas dari LCPKS telah dilaksanakan oleh PTPN V Unit Tandun Provinsi Riau sejak tahun 2011. Dalam
pelaksanaannya PTPN V Unit Tandun menggunakan teknologi covered in-ground
anaerobic digester cigar untuk mengolah LCPKS menjadi biogas. Selanjutnya
biogas yang dihasilkan digunakan untuk membangkitkan boiler yang menghasilkan energi listrik. Dari hasil penghematan akibat subtitusi biogas untuk bahan bakar
selama satu tahun sebesar Rp 3.301.322.000.00.
b State-of-the-art dan Hasil Perhitungan Kandungan Teknologi Penanganan
LCPKS di Provinsi Lampung
dan PKS PTPN V Tandun
Data hasil rekapitulasi penentuan state-of-the-art setiap komponen teknologi antara PKSI di Provinsi Lampung dan PKS PTPN V Tandun dapat dilihat pada
Lampiran 39 dan Lampiran 45. State-of-the-art setiap komponen teknologi dinilai skornya berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh pakar. Hasil penelitian penentuan
state-of-the-art
dan hasil perhitungan kandungan teknologi PKS di Provinsi
Lampung dan PKS PTPN V Tandun dapat dilihat pada Tabel 4.15 dan 4.16.
Tabel 4.15 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung
No Komponen
Teknologi Batas
Bawah Batas
Atas SoA
Kontribusi Normal
Bobot Kontribusi
Total LTi
UTi STi
Ti I
TECHNOWARE
1.1 Proses Pendinginan dan Pengendapan
1,20 3,20
0,28 0,196
0,10 0,24
1.2 Proses Anaerobik 1,20
3,20 0,09
0,154 0,50
1.3 Proses Aerobik 1,20
3,40 0,34
0,216 0,20
1.4 Proses penanganan akhir limbah
3,60 5,60
0,40 0,489
0,20 II
HUMANWARE
2.1 Pekerja 1,20
3,40 0,36
0,221 0,20
0,28 2.2 Supervisor
1,40 3,40
0,62 0,293
0,20 2.3 ManajerEksekutif
1,60 3,40
0,62 0,302
0,60 III
INFOWARE 3,40
6,20 0,27
0,462 1,00
0,46 IV
ORGAWARE 3,60
5,80 0,33
0,480 1,00
0,48
Tabel 4.16 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di PTPN V Tandun
No Komponen
Teknologi Batas
Bawah Batas
Atas SoA
Kontribusi Normal
Bobot Kontribusi
Total LTi
UTi STi
Ti I
TECHNOWARE
1.1 Proses Pendinginan dan Pengendapan
1,40 3,20
0,30 0,216
0,10 0,55
1.2 Proses Anaerobik 3,80
7,40 0,82
0,752 0,50
1.3 Proses Aerobik 1,20
3,40 0,34
0,217 0,20
1.4 Proses penanganan akhir limbah
4,00 5,60
0,45 0,525
0,20 II
HUMANWARE
2.1 Pekerja 1,20
3,00 0,82
0,297 0,20
0,53 2.2 Supervisor
1,60 4,20
0,86 0,426
0,20 2.3 ManajerEksekutif
4,20 6,00
0,88 0,643
0,60 III
INFOWARE 4,00
6,60 0,37
0,551 1,00
0,55 IV
ORGAWARE 6,60
8,20 0,59
0,838 1,00
0,84
Hasil perhitungan pada Tabel 4.15 dan Tabel 4.16 tersebut dapat pula disajikan dalam bentuk diagram THIO Gambar 4.16. Diagram tersebut
memperlihatkan adanya kesenjangan nilai-nilai THIO di PKS Lampung dan PTPN V Tandun, sehingga jika PKS di Provinsi Lampung ingin menerapkan teknologi
penangkapan gas metana menjadi energi listrik, maka PKS di Provinsi Lampung harus meningkatkan Technoware, Humanware,Infoware, dan Orgaware.
1
1
1 0.6
0.8 0.2
0.4 0.8
Technoware
Infoware
0.2 0.4
0.6 0.2
0.4 0.6
0.8
0.2
0.6 0.8
0.4
PKS PTPN V Tandun
PKS Lampung
H u
ma n
w a
re
Or g
a w
a re
Gambar 4.16 Diagram THIO Penanganan LCPKS di Lampung dan PTPN V Tandun 4.4.2 Analisis AHP
Analytical Hierarchy Process
Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa terdapat enam strategi yang perlu dipilih untuk implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik di Provinsi
Lampung. Strategi-strategi tersebut adalah sebagai berikut: a. Pemerintah membuat regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan
energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS b. Mendorong pemerintah meningkatkan infrastruktur yang menunjang bisnis
biomasa berbasis kelapa sawit c. Sosialisasi Permen ESDM No. 42012 kepada para pengambil keputusan
pimpinan PKS d. Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya
dibeli PT PLN Persero. e. Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi
listrik berbasis biogas ke PT PLN Persero. f. Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan
bagi kepentingan sendiri.
Penentuan skala prioritas strategi dilakukan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process AHP
dengan narasumber dari pelaku bisnis, konsultan bisnis, akademisi, pemerintah pusat dan daerah. Beberapa keuntungan
metode AHP antara lain dapat diterapkan untuk memecahkan berbagai problema yang terukur, tidak terukur, maupun yang memerlukan suatu judgment, dan
menghasilkan model tunggal yang mudah dipahami Saaty, 2000; Wang et al., 2011. Struktur hirarki strategi implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik
dapat dilihat pada Gambar 4.17.
Data hasil penelitian penentuan faktor yang berperan dalam strategi implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada
Lampiran 46 dan rekapitulasinya dapat dilihat pada Tabel 4.17. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari kelima faktor tersebut faktor komitmen pemerintah untuk
membeli energi berbasis limbah sangat tinggi menempati prioritas pertama dengan bobot 28,89 . Dewasa ini komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis
limbah sangat tinggi, hal ini dapat dilihat dari regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri ESDM tentang harga energi listrik berbasis limbah yang disesuaikan secara
regular Hutapea, 2012.
Faktor yang kedua adalah kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat, dengan bobot 25,97 . Pada periode
2012-2031 PT PLN Persero memprediksi kebutuhan energi listrik Indonesia akan naik rata-rata 10,1 per tahun. Hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan
kebutuhan listrik selama 10 tahun terakhir yang mengalami peningkatan rata-rata 9,2tahun. Pada tahun 2011 rasio kelistrikan Indonesia baru mencapai 67,98 dan
ditargetkan mencapai 91 di tahun 2019 PT. PLN, 2012. Bahkan di Provinsi Lampung pada tahun 2011 rasio kelistrikan baru mencapai 45 , dari jumlah kepala
keluarga 1.575.974 KK BPS Propinsi Lampung, 2012.
Faktor yang ketiga adalah mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit, dengan bobot 18,33. Biomasa yang sudah memiliki peluang
pasar adalah cangkang kernel kelapa sawit. Cangkang kernel kelapa sawit digunakan untuk campuran batubara pada mesin boiler Yuswidjajanto, 2012. Faktor yang
keempat adalah komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK. Faktor kelima adalah kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi
terbarukan semakin kuat.
Gambar 4.17 Struktur Hirarki Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik
Masyarakat Internasional
IMPLEMENTASI PEMANFAATAN POME
MENJADI ENERGI LISTRIK
Pemerintah Indonesia Kebutuhan Energi
Dunia Terus Meningkat
Komitmen Pemerintah Untuk
Membeli Energi Komitmen Dunia
terhadap Emisi GRK
Peluang Pasar Biomasa Kelapa
Sawit Kampanye Energi
Terbarukan Semakin Kuat
Pengusaha PKS
Peningkatan Infrastruktur Biomasa
Kelapa Sawit Sosialisasi PERMEN
ESDM No 4 thn 2012 Pembuatan Contoh
Industri Biogas POME dibeli
PT PLN Regulasi Kewajiban
PKS POME Biogas
Pembuatan Juklak yang Akomodatif
Penjualan Listrik ke PT PLN
Pengembangan Teknologi Biogas
Berbasis POME yang Murah
Masyarakat Internasional
IMPLEMENTASI PEMANFAATAN POME
MENJADI ENERGI LISTRIK
Pemerintah Indonesia Kebutuhan Energi
Dunia Terus Meningkat
Komitmen Pemerintah Untuk
Membeli Energi Komitmen Dunia
terhadap Emisi GRK
Peluang Pasar Biomasa Kelapa
Sawit Kampanye Energi
Terbarukan Semakin Kuat
Pengusaha PKS Goal
:
Faktor :
Aktor :
Strategi :
Tabel 4.17 Faktor yang Berperan dalam Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS Menjadi Energi Listrik
Faktor-faktor Bobot
Prioritas A Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum
tercukupi dan cenderung terus meningkat 25,97
II B Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis
limbah sangat tinggi 28,89
I C Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan
emisi GRK 16,81
IV D Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa
berbasis kelapa sawit 18,33
III E Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari
energi terbarukan semakin kuat 10,00
V
Data hasil penelitian penentuan aktor yang berperan dalam strategi implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Lampiran 47 dan
rekapitulasinya dapat dilihat pada Tabel 4.18. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari ketiga aktor tersebut, aktor Pemerintah Indonesia menempati prioritas pertama dengan
bobot 48,96 . Pemerintah Indonesia sebagai aktor memiliki peran yang penting yaitu regulator. Peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia dapat memaksa pengusaha
PKS untuk mebangun methane facilities. Pemerintah Indonesia yang dimaksud adalah badan atau kementerian yang ditugaskan oleh negara untuk mengatur tentang
implementasi Pemanfaatan LCPKS Menjadi Energi Listrik. Pemerintah Indonesia dalam hal ini dapat Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup,
Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, atau lintas kementerian.
Keberhasilan implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik juga sangat tergantung pada komitmen pengusaha PKS Mahendra, 2013. Hal ini karena
pengusaha PKS sebagai subjek dan sekaligus sebagai obyek dalam pelaksanaan. Lebih lanjut Mahendra 2013 menyatakan bahwa selama ini sudah ada beberapa PKS yang
melakukan implementasi penangkapan gas metana atas inisiataif pengusaha. Sedangkan Masyarakat Internasioal yang mencakup LSM penggiat lingkungan dan konsumen,
perannya paling kecil, hal ini karena peran yang diberikan tidak mengikat secara langsung.
Tabel 4.18 Aktor dalam Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik
Aktor Bobot Gabungan
Prioritas A Pemerintah Indonesia
48,96 I
B Pengusaha PKS 29,86
II C Mayarakat Internasional
21,17 III
Data hasil penelitian penentuan skala prioritas strategi implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Lampiran 48 sampai
Lampiran 50 dan rekapitulasinya dapat dilihat pada Tabel 4.19. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa strategi pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS
memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS menempati urutan pertama. Mahendra 2013 menyatakan bahwa pemanfaatan LCPKS menjadi energi
listrik akan berdampak positif terhadap industri kelapa sawit nasional. Dampak positif yang dapat diperoleh adalah 1 pengurangan emisi gas rumah kaca dari gas metana, 2
penghematan energi, walaupun industri kelapa sawit saat ini merupakan industri surplus energi, 3 penghilangan dampak negatif lainnya seperti bau tidak sedap, dan 4
memunculkan peluang bisnis baru, yaitu produksi dan distribusi biogas.
Munculnya strategi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi dari LCPKS akan berdampak positif terhadap industri kelapa sawit nasional, yaitu:
1 Pengurangan gas rumah kaca dari pemanfaatan gas metana 2 Penghematan energi, walaupun industri kelapa sawit saat ini merupakan industri
surplus energi. Pemenfaatan biogas dapat mengurangi penggunaan biomasa yang lain, sehingga PKS memungkinkan untuk mendapat pendapatan dari penjualan
biomasa, seperti cangkang kelapa sawit
3 Penghilangan dampak negatif lainnya seperti bau tidak sedap 4 Memunculkan peluang bisnis baru, yaitu produksi dan distribusi biogas terkompres
untuk mobil, seperti yang telah dilakukan para peneliti di Pusat Penelitian Kelapa Sawit PPKS Medan.
Tabel 4.19 juga memperlihatkan bahwa strategi kedua adalah mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit.
Kelapa sawit sebagai sumber energi belum tergali secara maksimum. Potensi sumber energi dari kelapa sawit antara lain cangkang, sabut buah, dan batang kelapa sawit.
Karakteristik energi yang berasal dari biogas LCPKS memiliki potensi untuk digunakan PKS itu sendiri, sedangkan biomasa yang lain memiliki potensi untuk dijual. Oleh
karena itu, peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit penting untuk ditingkatkan.
Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN Persero menempati prioritas ketiga. Strategi ini
berkaitan dengan kenyataan di lapangan bahwa sampai saat ini belum ada PKS yang memproduksi biogas dan kelebihan energinya di jual ke PT PLN Persero. Walaupun
sudah ada Permen ESDM No. 4 tahun 2012 yang menyatakan bahwa PT PLN Persero wajib membeli energi listrik berbasis biogas LCPK seharga Rp 975,00kwh tetapi
kenyataan di lapangan masih manyak masalah.
Tabel 4.19 memperlihatkan bahwa strategi pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri menempati prioritas
kelima. Hal ini mungkin para pemilik PKS lebih senang membeli teknologi yang sudah ada dari pada mengembangkan teknologi sendiri. Hasanudin 2013 menyatakan bahwa
sebagian besar teknologi biogas dari limbah hasil pertanian berasal dari luar negeri.
Tabel 4.19 Rekapitulasi Hasil Penentuan Skala Prioritas Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik
Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot Gabungan
Skala Prioritas
48,96 29,86
21,17 A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS
memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS POME
0,3677 0,2099
0,2581 29,73
I
B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit
0,1857 0,1562
0,2279 18,58
II C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4 2012 kepada para
pengambil keputusan pimpinan PKS 0,0753
0,1505 0,1024
10,35 VI
D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN Persero.
0,1417 0,1505
0,1004 13,56
IV E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang
penjualan energi istrik berbasis biogas ke PT PLN Persero. 0,1445
0,2246 0,1866
17,73 III
F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri
0,0851 0,1083
0,1247 10,04
V
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan
Total kapasitas terpasang pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung mencapai 622 tonjam. Pada tahun 2011 kapasitas terpakai riil sekitar 45 dengan kendala
utama bahan baku yang terbatas. Semua pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung telah memiliki unit pengolahan LCPKS seperti yang disyaratkan oleh pemerintah. Secara
umum pabrik kelapa sawit melakukan proses penanganan limbah cair yang hampir sama, yaitu penurunan suhu LCPKS, proses anaerobik, dan proses aerobik. LCPKS
kemudian dialirkan ke kolam indikator untuk selanjutnya dialirkan ke perairan umum. Beberapa PKS memanfaatkan LCPKS sebagai pupuk cair land application, tetapi ada
juga yang tidak dimanfaatkan sama sekali atau langsung dibuang ke perairan umum. Salah satu PKS telah memanfaatkan limbah cair sebagai sumber air untuk menyiram
pada proses pembuatan kompos dan sebagai media budidaya Spirulina dan Chlorella.
Fermentasi LCPKS pada suhu 55
o
C, 45
o
C, dan 27-28
o
C berturut-turut memerlukan waktu 42 hari untuk menurunkan COD 86,86; 57 hari untuk menurunkan
COD 84,31 ; dan 196 hari untuk menurunkan COD sebesar 57,25 . Produksi metana pada fermentasi LCPKS suhu 55
o
C, 45
o
C, dan 27-28
o
C berturut-turut adalah 0,28 m
3
; 0,25 m
3
; and 0,19 m
3
untuk setiap kg Penyisihan COD. Fermentasi LCPKS pada suhu 55
o
C, 45
o
C, dan 27-28
o
C berturut-turut mampu menghasilkan biogas dengan kandungan metana 65,44; 62,57; dan 59,15. Penerapan teknologi CSTR pada suhu fermentasi
55
o
C selama 42 hari berpotensi menghasilkan energi listrik sebesar 5,29 MW dan berpotensi menurunkan emisi GRK sebesar 203.584 ton CO
2
e. Faktor kekuatan utama yang menjadi landasan untuk implementasi LCPKS
menjadi energi listrik di Provinsi Lampung adalah 1 Adanya komitmen yang tinggi dari pimpinan PKS mengikuti peraturan pemerintah yang berlaku, 2 Semua PKS telah
memiliki SDM yang khusus menangani LCPKS, dan 3 LCPKS berpotensi sebagai sumber energi listrik karena mililiki nilai COD lebih dari 40.000 mgL. Sedangkan
faktor kelemahan yang harus diperhatikan adalah 1 Belum semua pimpinan PKS memahami Permen ESDM No 4 tahun 2012, 2 Rendahnya komitmen pimpinan PKS
dalam memanfaatkan LCPKS menjadi energi listrik, dan 3 Pengadaan teknologi biogas dari LCPKS masih mahal.
Pengembangan pengolahan LCPKS menjadi energi listrik didukung oleh adanya peluang, yaitu 1 Adanya komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk membeli energi
berbasis limbah, 2 Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa kelapa sawit, dan 3 Peningkatan kebutuhan energi secara terus menerus. Ancaman yang perlu
diperhatikan adalah 1 Belum ada regulasi yang mengatur penangkapan gas metana dari LCPKS, 2 Implementasi penjualan energi ke PLN masih banyak kendala, dan 3
Subsidi pemerintah terhadap energi fosil masih tinggi.
Kandungan teknologi proses penanganan LCPKS di Provinsi Lampung hampir sama antara perusahaan milik pemerintah BUMN, perusahaan milik swasta yang
telah go public, dan perusahaan milik swasta yang belum go public baru sebatas cukup memadai. Nilai kandungan teknologi diseluruh PKS di Provinsi Lampung masih
berada di bawah nilai kandungan teknologi di PTPN V Tandun, yang telah menerapkan teknologi penangkapan metana dan mengkonversinya menjadi energi listrik. Untuk
dapat menerapkan teknologi penangkapan gas metana menjadi energi listrik di semua
PKS di Provinsi Lampung, peningkatan kinerja technoware, humanware, infoware, dan orgaware THIO
mutlak diperlukan.
Enam strategi yang menjadi prioritas utama untuk implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik adalah 1 Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua
PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS, 2 Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit, 3
Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN Persero, 4 Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS
menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN Persero, 5 Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri,
dan 6 Sosialisasi Permen ESDM No. 42012 kepada para pengambil keputusan pimpinan PKS.
5.2 Saran
Diperlukan regulasi pemerintah tentang 1 pengaturan pembangunan pabrik kelapa sawit terutama PKS yang tidak memiliki kebun kelapa sawit sendiri dan 2 batas
maksimum emisi gas rumah kaca yang berasal dari unit pengolahan LCPKS. Diperlukan petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci Permen ESDM No 4 tahun 2012
tentang harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN Persero dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah. Sosialisasi yang
lebih luas tentang insentif-insentif yang diberikan pemerintah kepada badan usaha atau perseorangan yang melakukan proses pengolahan limbah menjadi energi listrik perlu
dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang 1 model-model kemitraan pemanfaatan energi listrik dari LCPKS untuk masyarakat di sekitar pabrik kelpa sawit,
2 Pemanfaatan air buangan dan sludge hasil dari proses pengolahan LCPKS menjadi energi listrik, dan 3 Aplikasi suhu pada proses produksi biogas dengan sistem
kontinyu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Dikti Depdikbud atas bantuan finansial penelitian ini melalui skim Penprinas MP3EI Tahun 2012. Terima kasih juga
disampaikan kepada seluruh pimpinan perusahaan PKS di Provinsi Lampung, dan kepada Direksi dan Pimpinan PTPN V, atas bantuan data, informasi, dan diskusi.
Ucapan terimakasih juga disampaikan untuk Laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas
Lampung dan Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman NH, Rosli YM, and Azhari NH. 2011. Development of a membrane anaerobic system MAS for palm oil mill effluent POME treatment.
Desalination, 266: 208–212 .
Adhi AC. 2012. Pemanfaatan pembangkit bioenergi untuk mengurangi penggunaan BBM dan peningkatan akses listrik. Lokakarya Analisis dan Evaluasi Program
Bioenergi Dirjen EBTK Kementerian ESDM. Bandar Lampung, 10-11 September 2012.
Ahmad A, Setiadi T, Syafilla M, dan Liang OB. 2001. Studi kinetika reaksi hidrolisis senyawa kompleks organik dalam proses biodegradasi anaerob. J. Biosains. 1: 10-
16. Ahmad AL, Ismail S, and Bhatia S. 2003. Water recycling from palm oil mill effluent
using membrane technology. Desalination. 157: 87-95. Ahmad A, Bahruddin, Said ZA, dan David A. 2012. Uji kinerja bioreaktor hibrid
anaerob dalam mengolah limbah cair pabrik kelapa sawit dengan beban kejut. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres MAKSI 2012. Bogor, 26 Januari 2012.
APHA. 1998. Standard method for examination of wastewater. 20
th
Edition. American Public Health Association.Washington DC.
Alkadri, Ati Widiati, Aunur Rofiq Hadi, Dodi Slamet Riyadi, Dwi Martono Arlianto, Fathoni Moehtadi, Hamid, Kusrestuwardhani, Muchdie, Nunu Noviandi,
Siswanto, Sewoyo, Socia Prihawantoro, Sri Handoyo Mukti, Sri Rudatin. 1999. Manajemen Teknologi untuk Pengembangan Wilayah Konsep Dasar, Contoh
Kasus, dan Implikasi Kebijakan. Edisi Revisi. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Jakarta.
Badiei M, Jamaliah MJ, Nurina A, Siti RSA, Lim SS, Kamaruzzaman MA. 2012. Microbial community analysis of mixed anaerobic microflora in suspended sludge
of asbr producing hydrogen from palm oil mill effluent. International Journal of Hydrogen Energy. 37: 3169-3176.
Baloch MI, Akunna JC, and Collier PJ. 2007. The Performance of a phase separated granular bed bioreactor treating brewery wastewater. Bioresource Technol. 98:
1849-1855. Bitton G. 1999. Wastewater microbiology. 2
nd
Edition. Wiley-Liss Inc. NewYork. Borja R and Banks CJ. 1994a. Anaerobic digestion of palm oil mill effluent using an
up-flow anaerobic sludge blanket reactor. Biomass and Bioenergy. 6: 381-389. Borja R and Banks CJ. 1994b. Treatment of palm oil mill effluent by upflow anaerobic
filtration. Journal of Chemical Technology and Biotechnology. 61: 103-109. Borja R and Banks CJ. 1995a. Response of an anaerobic fluidized bed reactor treating
ice-cream wastewater to organic, hydraulic, temperature and pH shocks. Journal of Biotechnology. 39: 251-259.
Borja R and Banks CJ. 1995b. Comparison of an anaerobic filter and an anaerobic fluidized bed reactor treating palm oil mill effluent. Process Biochemistry. 30:
511-521. Borja R and Banks CJ. 1994c. Anaerobic digestion of palm oil mill effluent using an
up-flow anaerobic sludge blanket reactor. Biomass and Bioenergy. 6: 381-389. Chan YJ, Mei FC, and Chung LL. 2010. Biological treatment of anaerobically digested
palm oil milleffluent POME using a lab-scale sequencing batch reactor SBR. Journal of Environmental Management. 91: 1738-1746.
Chan YJ, Mei FC, Chung LL. 2012. An integrated anaerobic–aerobic bioreactor IAAB for the treatment of palm oil mill effluent POME: Start-up and steady state
performance. Process Biochemistry. 47: 485–495. Chang R. 2005. Kimia Dasar: Konsep-konsep Inti. Edisi ketiga. Alih Bahasa Suminar
Setiati Achmadi. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Chen WM, Tseng ZJ, and Lee KS, Chang JS. 2005. Fermentative hydrogen production with clostridium butyricum CGS5 isolated from anaerobic sewage sludge. Int. J.
Hydrogen Energy. 30: 1063-1070. Chong MF, Abdul RR, Shirai Y, Hassan MA. 2009. Biohydrogen production by
clostridium butyricum EB6 from palm oil mill effluent. Int. J. Hydrogen Energy. 34: 764-771.
Choi WH, Chang HS, Sung MS, Praveen AG, Jeong JK, Joo YP. 2013. Anaerobic treatment of palm oil mill effluent using combined high-rate anaerobic reactors.
Bioresource Technology. Xxx: xxx- xxx. Choorit, W. and Wisarnwan, P. 2007. Effect of Temperature On The Anaerobic
Digestion Of Palm Oil Mill Effluent. Electronic Journal of Biotechnology. 10: 376-385
Darminto F. 2010. Komoditas perkebunan unggulan Komoditi Kelapa Sawit. Dinas Perkebunan Provinsi Lampung. Bandar Lampung.
David FR. 2006. Strategic Management: Concepts and Cases. 10
th
Ed. Alih bahasa : Ichsan Setyo Budi. Penerbit Salemba Empat. Jakarta.
Deublin D and Steinhauser A. 2008. Biogas from waste and renewable resource. Wiley-VCH Verlag GmbH Co. KgaA. Weinheim.
Ditjen Perkebunan. 2011. Policy of government of indonesia on sustainable palm oil ISPO. International Conference and Exhibition of Palm Oil. Jakarta, 11-13 May.
Ditjen Perkebunan. 2012. Statistik Perkebunan Indonesia 2012. Ditjen Perkebunan Deptan. Jakarta.
Ditjen PPHP Deptan. 2006. Pedoman Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit. Ditjen PPHP Deptan. Jakarta.
Gumbira-Sa’id E., Rachmayanti M, dan Muttaqin Z. 2004. Technology management of agribusiness: The key to the global competitiveness of agribusiness products, 2nd
Ed. Ghalia Indonesia, Jakarta. HACH Company. 2004. DR4000 Spectrophotometer Models 48000 and User Manual
0804 3ed. HACH Company World Headquarters. Corolado. Hasanudin U. 2013. Potensi penyediaan energi dari limbah industri sawit, tepung
tapioka, dan peternakan. Lokakarya dan Seminar Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia IKABI. Bogor, 10-11 September 2013.
Houghton SJ. 2009. Global Warming: The Complete Briefing. 4
th
Edition. Cambridge University Press.
Hu B and Chen SL. 2007. Pretreatment of methanogenic granules for immobilized hydrogen fermentation. Int. J. Hydrogen Energy. 32: 3266-3273.
Hutapea M. 2012. Capaian pengembangan bioenergi. lokakarya analisis dan evaluasi program bioenergi Dirjen EBTK Kementerian ESDM. Bandar Lampung, 10-11
September 2012. ICRA. 2005. Biomass for electricity generation in ASEAN. Background Paper, Final
Version 7.0. http:www.Innovation Energie Developpment IED. ICRA. ECASEAN programme.orgpdf 8 Februari 2012.
Indrasti N S. 2012. Prinsip dasar dalam penerapan produksi bersih pada agroindustri. Pelatihan Pengolahan Limbah Agroindustri Menuju Produksi Bersih. Bogor, 27
Juni 2012. IPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the
National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. eds. Published: IGES, Japan.
Janurianto A. 2011. The role of palm oil business players to people prosperity: “BSP” Experience. International Conference and Exhibition of Palm Oil. Jakarta, 11-13
May 2011. Kaewmai R, Aran HK, Charongpun M. 2012. Greenhouse gas emissions of palm oil
mills in thailand. International Journal of Greenhouse Gas Control. 11: 141-151. Kamahara H, Udin H, Anugerah W, Ryuichi T, Yoichi A, Naohiro G, Hiroyuki D,
Koichi F. 2010. Improvement potential for net energy balance of biodiesel derived from palm oil: A case study from Indonesian practice. biomass and bioenergy.
34:1818-1824.
Kapdi AA, Vijay VK, Rajest S K, and Prasat R. 2004. Biogas scrubbing compression and storage: perspectives and prospectus in india context. Renewable Energy. 4:
1-8. Khemkhao M, Nuntakumjorn B, Techkarnjanaruk S, and Chantaraporn P. 2011. Effect
of chitosan on UASB treating POME during a transition from mesophilic to thermophilic conditions. Bioresource Technology 102: 4674–4681
Khemkhao M, Nuntakumjorn B, Techkarnjanaruk S, and Phalakornkule C. 2012. UASB performance and microbial adaptation during a transition from mesophilic
to thermophilic treatment of palm oil mill effluent. Journal of Environmental Management. 103: 74-82.
Khanal SK. 2008. Anaerobic Biotechnology for Bioenergy Production. USA: Blackwell Publishing.
Lam MK and Keat TL. 2011. renewable and sustainable bioenergies production from palm oil mill effluent pome: win–win strategies toward better environmental
protection. Biotechnology Advances Journal. 29:124-14. Marimin dan Maghfiroh. 2011. Aplikasi Teknik Pengaambilan Keputusan dalam
Manajemen Rantai Pasok. Cetakan kedua. IPB Press. Bogor Mahajoeno E, Lay BW, Sutjahjo SH, dan Siswanto. 2008. Potensi limbah cair pabrik
minyak kelapa sawit untuk produksi biogas. Biodiversitas. 9:48-52. Mahendra B. 2013. Methane capture utilization for power plant. International
Conference and Exhibition on Palm Oil. JICC Jakarta, 7-9 May 2013. MENKLH. 1995. Buku Panduan Penerapan Produksi Bersih pada Industri Kelapa
Sawit. KLH-RI-NORAD. Jakarta. Metcalf and Eddy. 2003. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, and Reuse. 4
th
ed. McGraw-Hill. Singapore. Mohammadi P, Ibrahim S, Suffian M, Annuar M, Sean L. 2011. Effects of different
pretreatment methods on anaerobic mixed microflora for hydrogen production and COD reduction from palm oil mill effluent. Journal of Cleaner Production. 19:
1654-1658.
Najafpour GD, Zinatizadeh AL, Mohamed AR, Hasnain IM, and Nasrollahzadeh H. 2006. High-rate anaerobic digestion of palm oil mill effluent in an upflow
anaerobic sludge-fixed film bioreactor. Process Biochemistry. 41: 370-379. Panda H and K Ramanathan. 1997. Technological capability assessment as an input for
strategic planning: Case Studies at Electricitd de France and Electricity Berating Authority of Thailand. Technovation. 17:359-390.
Pemerintah Provinsi Lampung. 2010. Peraturan Gubernur Lampung No 7 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha danatau Kegiatan di Provinsi
Lampung. Bandar Lampung.