Ketiga, disamping kegiatan agroindustri, maka jenis kegiatan industri lain yang dibangun sebaiknya diprioritaskan pada industri yang mempunyai intensitas
penggunaan tenaga kerja yang tinggi. Syarat ini harus dipenuhi agar di wilayah perdesaan mampu menyediakan kesempatan kerja di luar usaha tani yang mampu
menampung pertumbuhan tenaga kerja pada masyarakat perdesaan. Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan diharapkan akan dapat
mendukung kebijakan strategi pembangunan pertanian di wilayah perdesaan, sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mampu menyediakan
kesempatan kerja. Untuk itu pembangunan sektor primer dan sektor komplemennya sebaiknya dilakukan secara bersama-sama agar diperoleh dampak
sinergis yang kuat terhadap kinerja sistem ekonomi perdesaan.
2.2 Kelembagaan Agroindustri
Kelembagaan dipandang penting mengingat kelembagaan inilah yang mendasari keputusan untuk produksi, investasi dan kegiatan ekonomi lainnya,
yang dibuat oleh individu atau sebuah organisasi dalam konteks sosial atau interaksi dengan pihak lain. Perubahan dalam kelembagaan akan mengubah gugus
oportunitas yang dihadapi oleh para pelaku ekonomi sehingga keragaan ekonomi, seperti produksi, kesempatan kerja, kemiskinan, kerusakan lingkungan, distribusi
pendapatan dan lain-lain menuntut adanya perubahan dalam kelembagaan Pakpahan, 1991.
Menurut Mubyarto 1989, yang dimaksud dengan lembaga adalah organisasi atau kaidah-kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur
perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Lembaga-
lembaga dalam masyarakat desa ada yang bersifat asli berasal dari adat kebiasaan yang turun temurun, tetapi juga ada yang baru diciptakan, baik dari dalam maupun
dari luar masyarakat desa tersebut. Adapun pengertian lain dari kelembagaan yaitu merupakan seperangkat aturan tingkah laku yang mengatur pola hubungan dan
pola tindakan. Kelembagaan sangat penting dalam pembangunan nasional karena mempunyai konstribusi yang besar dalam memecahkan masalah aktual yang
dihadapi oleh masyarakat. Konstribusinya dalam proses pembangunan adalah
mengkoordinasikan para pemilik input dalam rangka menghasilkan output serta mendistribusikan output tersebut.
Hayami dan Kikuchi 1987 mendefinisikan lembaga pranata sebagai aturan-aturan yang dikukuhkan dengan sanksi oleh para anggota komunitas.
Aturan-aturan tersebut memudahkan koordinasi dan kerjasama di antara penduduk dalam pemakaian sumber-sumber daya, dengan membantu mereka membentuk
harapan-harapan yang dimiliki setiap orang dalam hubungannya dengan orang lain. Menciptakan, memelihara dan mengubah pranata ini memerlukan kolektif yang
berarti memerlukan biaya untuk perundingan dan pelaksanaan. Tindakan untuk perubahan kelembagaan tidak akan tersusun kecuali jika keuntungan dari
perubahan itu melebihi biayanya. Sementara itu, penyediaan sumberdaya, teknologi, dan permintaan pasar
pun menghendaki perubahan. Pranata-pranata yang efisien sifatnya ketika diciptakan, mungkin menjadi kurang efisien dalam memudahkan alokasi
sumberdaya. Ketidakseimbangan yang tumbuh akan menimbulkan kesempatan- kesempatan memperoleh keuntungan yang cukup besar guna menyusun tindakan
kolektif bagi perubahan kelembagaan. Sedangkan Ruttan 1984 mendefinisikan lembaga sebagai aturan perilaku
yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan, seperti keluarga, perusahaan dan kantor,
yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai sumberdaya. Yustika 2006 menyatakan bahwa kelembagaan tidak statis, namun
dinamis sesuai dengan interaksi ekonomi yang mempertemukan antar kepentingan. Sifat dinamis dari kelembagaan juga disebabkan oleh berubahnya
nilai-nilai dan kultur masyarakat seiring dengan perubahan masa. Dengan begitu, kelembagaan pasti akan berubah sesuai dengan tantangan dan kondisi zaman.
Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi. Pertama, perubahan konfigurasi antarpelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan
institutional change. Dalam pendekatan ini, perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari perubahan kepentingankonfigurasi pelaku ekonomi.
Kedua,perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk mempengaruhi mengatur kegiatan ekonomi termasuk aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Dari dua
spektrum tersebut, dapat diyakini bahwa perubahan kelembagaan sama pentingnya dengan desain kelembagaan itu sendiri.
Perubahan kelembagaan di dalam masyarakat berarti terjadinya perubahan di dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah
perubahan tersebut biasanya menuju ke peningkatan berbagai prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu,
pada, waktu yang bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem sosial yang kompleks. Perbedaan itu dapat berarti juga
memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi Yustika, 2006.
Manig 1992, seperti diacu dalam Yustika 2006, menyatakan adanya perubahan kelembagaan mendorong kepada perubahan kondisi-kondisi yang
kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan melalui faktor-faktor eksternal proses umpan balik permanen. Dengan demikian, perubahan
kelembagaan merupakan proses transformasi permanen yang merupakan bagian pembangunan. Oleh karena itu, tujuan utama dari setiap perubahan kelembagaan
adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar daripada perbaikan pemanfaatan sumber daya yang kemudian secara simultan menciptakan
keseimbangan baru misalnya keadilan sosial. Ragam kelembagaan yang berkembang cukup banyak namun dalam bidang
agroindustri yang berkembang di masyarakat petani adalah koperasi, kemitraan, contract farming, dan partisipasi. Koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat sudah
lama dikenal di Indonesia. Koperasi adalah salah satu badan usaha bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan mereka yang umumnya
berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas dasar persamaan hak, kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan para anggotanya Kartasapoetra, 1993. Menurut UU N0.25 tahun 1992 tentang koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang, atau
badan-badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas
asas kekeluargaan.
Kelembagaan kedua yang diterapkan di kalangan petani adalah kemitraan. Kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama yang menganut asas kesetaraan sebagai
konsekuensi logis dari kondisi alamiah bahwa manusia mengakui adanya keterbatasan dan saling ketergantungan. Petani bermitra dengan petani-petani
lainnya dalam Koperasi Unit Desa KUD, kemudian KUD ini bermitra dengan perusahaan besar. Para petani bermitra antar sesama petani untuk mendapatkan
skala ekonomi dari komoditi yang dihasilkannya sehingga dapat layak untuk diproses lebih lanjut agroindustri atau dijual kepada konsumen. Petani yang
bergabung dengan KUD mempunyai potensi lahan, tenaga kerja dan fasilitas kredit dari pemerintah tetapi lemah dalam manajemen, teknologi dan akses pasar. Karena
itu perlu bermitra dengan perusahaan besar yang memiliki kemampuan manajemen, modal, teknologi dan akses pasar tetapoii tidak memiliki tenaga kerja
dan lahan terbatas. Kemitraan tersebut akan meningkatkan efisiensi secara bersama secara keseluruhan, sehingga akan memberikan keuntungan yang lebih
tinggi pada petani dan perusahaan inti. Pembentukan kemitraan memiliki kelebihan karena lebih mudah dibentuk, lebih luwes diimplementasikan, tidak memerlukan
dana yang besar, beriko kecil, serta menimbulkan beberapa efek ganda yang cukup berarti bagi perusahaan Wahyudi, 1997.
Salah satu persoalan besar dari koperasi tradisional KUD-KUD yang dibentuk oleh pemerintah ini adalah bahwa para anggotanya tidak pernah
mempunyai suatu saham finansial yang cukup besar dalam koperasi. Karena koperasi seperti KUD merupakan bentukan organisasi yang umumnya dibiayai
oleh pemerintah. Kebanyakan koperasi-koperasi menderita berbagai persoalan organisasi dan kekurangan lack of governance, atau tidak mempunyai hak-hak
yang ditegaskan secara jelas property rights assignments, sehingga menghasilkan perilaku-perilaku para anggotany yang mengarah opportunistik,
seperti kecenderungan mau untung sendiri free riding, kerusakan moral moral hazard, persoalan agensi agency problems, ketidakefisienan birokrasi
bureaucratic inefficiencies dan kekurangan investasi dalam kegiatan ekonomi koperasi yang bersangkutan. Sebagai akibatnya, citra koperasi tradisional KUD
yang dibentuk pemerintah tersebut menjadi buruk dan jumlahnya menyusut dalam waktu akhir-akhir ini Rustiadi dan Pranoto, 2007.
Kelembagaan ketiga yang diterapkan di kalangan petani adalah contract farming, yaitu bentuk organisasi produksi yang menggabungkan secara vertikal
kegiatan petani kecil dengan perusahaan besar agroindustri. Penggabungan petani kecil dengan perusahaan besar tersebut dikenal dengan berbagai istilah seperti Inti
Satelit, Usaha Tani Kontrak contract farming atau Outgrower System Glover, 1984. Contract Farming didefinisikan sebagai suatu cara mengorganisasikan
produksi pertanian, dimana petani-petani kecil atau outgrower dikontrak oleh suatu badan pusat untuk memasok hasil pertanian sesuai persyaratan yang tercantum
dalam kontrak perjanjian. Badan pusat yang merupakan pembeli hasil produksi petani dapat memberikan bimbingan teknis, kredit dan masukan-masukan lainnya.
Model kontrak produksi seperti contract farming tersebut juga dikenal sebagai model inti satelit dimana badan pusat sebagai inti membeli hasil pertanian
dari petani satelit yang dikontrak tersebut. Dalam uraian khusus yang dipromosikan oleh The Commonwealth Development Corporation CDC, inti
merupakan sebuah nucleous estate, yaitu suatu wilayah kecil beserta unit pengolahan dan kepadanya sejumlah petani dikontrak untuk memasok hasil
pertanian Kirk, 1987. Kelembagaan lainnya di kalangan petani adalah partisipasi, yaitu sebagai
suatu keikutsertaan masyarakat secara aktif di dalam mencapai suatu tujuan. Pengalaman praktek dalam pemberdayaan sumberdaya menunjukkan bahwa
pengembangan masyarakat partisipatif merupakan pilihan yang cermat untuk memberdayakan masyarakat. Di dalam partisipasi, keterlibatan masyarakat dalam
proses pembangunan terjadi secara sukarela dan atas kemauan sendiri, dan sifat kesukarelaan tersebut menjadi ciri dari partisipasi. Partisipasi tidak dapat
dipaksakan tetapi harus tumbuh dari kesadaran dan kemauan sendiri. Kurnia 1997, menyatakan bahwa secara umum kelembagaan yang ada di
tingkat petani masih berfungsi sebagai lembaga kerjasama dalam melaksanakan kegiatan produksi. Sedangkan tahapan pasca produksi, yaitu pemasaran, pada
umumnya belum tersentuh. Pentingnya kesatuan dalam membentuk kelompok pemasaran ini berkaitan pula dengan upaya meningkatkan bargaining position
petani terhadap kekuatan lain. Ada kecenderungan bahwa sulitnya petani diikat dalam kegiatan kelompok yang bergerak di dalam bidang pemasaran ini, karena
acapkali mereka dihadapkan kepada kebutuhan yang mendesak. Untuk itu, salah satu prasyarat agar petani bias juga bergabung di dalam kelompok pemasaran
bukan hanya dalam kegiatan produksi, adalah harus adanya dukungan lembaga keuangan. Perlu dipikirkan adanya federasi kelompok tani dalam suatu wilayah
administrasi tertentu, yang berfungsi memperjuangkan kepentingan-kepentingan petani dengan pihak luar dan mengatur kesepakatan-kesepakatan di antara para
petani dalam menentukan jenis usaha yang akan dipilihnya. Pemberdayaan masyarakat dalam wadah koperasi, khususnya untuk sentra
pengembangan agribisnis dan agroindustri dapat dicapai dengan dua tahap. Tahap pertama adalah kerjasama sesama petani melalui koperasi, dan tahap kedua setelah
koperasi terbentuk dengan mantap adalah kerjasama kemitraan antara koperasi dengan perusahaan pembimbing. Dalam kelembagaan tersebut intervensi dari
pemerintah daerah diperlukan sebagai konsultan dalam membentuk dan menjalankan kemitraan sejajar, yang dapat berperan dalam rekayasa iklim usaha
yang kondusif, rekayasa dana dan rekayasa ekonomisasi teknologi tepat sasaran Maarif, 2000.
Menurut Didu 2000, pengembangan kelembagaan agroindustri harus mengindahkan aturan dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Karena itu
diperlukan kajian tentang faktor sosial budaya dan ekosistem dalam pembentukan kelembagaan, agar kelembagaan tersebut mampu menciptakan sumber kehidupan
alternatif bagi masyarakat, harapan hidup yang lebih banyak dan lebih baik, rasa keadilan dalam masyarakat dan memberikan jaminan tentang kelestarian fungsi
lingkungan hidup. Pengertian organisasi sering bercampur aduk dengan pengertian
kelembagaan. Organisasi berarti adanya hirarki untuk membuat pengambilan keputusan dan didalamnya terdapat unsur kelembagaan. Sedangkan kelembagaan
adalah aturan main untuk mengatur prilaku manusia atau organisasi secara individual sehingga kelembagaan membatasi prilaku individu. Oleh karena itu
kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan main atau rule of the game, the player of the game dan equilibrium rule of the game Anwar, 2003.
Bottomore 1975 dalam Saptana et al, 2001 mendefinisikan kelembagaan sebagai a complex or cluster of roles yang menyebutkan bahwa
konsep peranan role merupakan komponen utama kelembagaan. Sedikitnya terdapat lima sistem kelembagaan yaitu : sistem komunikasi, sistem ekonomi,
sistem kesepakatan, sistem otoritas dan pembagian kekuasaan serta sistem ritual untuk mempertahankan ikatan-ikatan sosial social cohession yang ada. Definisi
tersebut jelas menekankan pada pentingnya fungsi dan peranan kelembagaan dalam mewarnai tata kehidupan masyarakat.
Menurut North 1991 kelembagaan mengandung makna aturan main yang dianut masyarakat atau anggota yang dijadikan pedoman oleh seluruh anggota
masyarakat atau anggota organisasi dalam melakukan interaksi. Peran utama kelembagaan dalam masyarakat adalah mengurangi ketidakpastian uncertainty
dengan menciptakan struktur yang seimbang dalam interaksi manusia namun tidak otomatis efisien. Rachman 1999 menambahkan bahwa kelembagaan
secara evolusi tumbuh dari masyarakat atau sengaja dibentuk. Namun pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal esensial, yaitu penguasaan,
pemanfaatan, dan transfer teknologi. Keragaan yang merupakan dampak dari bekerjanya suatu institusi sangat tergantung pada bagaimana institusi mengatur
hal-hal tersebut.
2.3 Evaluasi Kelayakan Agroindustri