Latar Belakang Kajian kelembagaan agroindustri pangan olahan di kawasan-kawasan agropolitan Kota Batu Provinsi Jawa Timur:

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan ekonomi perdesaan, sebagai bagian dari pembangunan ekonomi daerah, sedikit banyak telah menghasilkan sesuatu dalam bentuk meningkatnya taraf hidup sebagian masyarakat desa, terealisasinya berbagai prasarana dan sarana yang memperluas pelayanan dasar kepada masyarakat desa. Meningkatnya taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat tersebut ditandai dengan meningkatnya konsumsi akibat meningkatnya pendapatan, dan meningkatnya pendapatan diakibatkan pula oleh meningkatnya produktifitas masyarakat. Sumodiningrat 2005 menyebutkan bahwa di era otonomi sekarang ini, selayaknya Desa adalah suatu self governing community yang dinamikanya disesuaikan dengan kebutuhan desa serta adat istiadat masyarakat setempat. Hal ini menuntut adanya alternatif formulasi strategi dan kebijakan yang efektif bagi kondusifnya perubahan yang diinginkan dalam konteks perdesaan. Sehubungan dengan itu perlu dioptimalkan pendekatan yang lebih partisipatif dalam setiap proses pembangunan yang dilakukan di perdesaan, dalam konteks pembangunan perdesaan yang berorientasi pada pendekatan partisipatif, perlu disiapkan pranata sumberdaya-sumberdaya yang ada, termasuk sumberdaya manusia. Kenyataan menunjukkan masih banyaknya masalah krusial atas kesiapan sumberdaya-sumberdaya dalam membangun kawasan perdesaan, antara lain adalah masih rendahnya mutu sumberdaya manusia, lemahnya lembaga pemerintahan desa dan lembaga masyarakat desa dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, terbatasnya jangkauan pelayanan lembaga perekonomian dalam mendukung usaha ekonomi desa, dan belum meratanya prasarana dan sarana sosial ekonomi dalam melayani kebutuhan masyarakat desa serta masih lemahnya akses informasi untuk mengoptimalkan sumberdaya kepada masyarakat. Meningkatnya fungsi kelembagaan, baik kelembagaan pemerintah maupun kelembagan masyarakat desa, dan partisipasi aktif masyarakat desa, dapat mengurangi kesenjangan pembangun antardesa dan antardesa dengan kota, dan mengurangi masalah kemiskinan adalah merupakan tantangan utama yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi perdesaan saat ini. Kota Batu merupakan daerah pertanian dan perkebunan yang subur, banyak menghasilkan Apel berkualitas dalam berbagai jenis, serta sayur -sayuran dan bermacam tanaman hias atau bunga-bunga yang menjadi primadona komoditas unggulan daerah. Kota Batu juga dikenal luas sebagai daerah wisata pegunungan yang sejuk. Kota Batu mulai tumbuh sebagai kawasan hunian seiring masuknya perkebunan kolonial pada pertengahan abad ke-19 di Jawa Timur. Penduduk Kota Batu sebagaimana penduduk kota lain di Indonesia memiliki mata pencaharian sebagian besar petani, pengrajinindustri kecil, pegawai negeri, TNI, Polri, buruh bangunan dan wiraswasta lainnya. Komposisi penduduk Kota Batu menurut mata pencaharian terlihat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sektor pertanian menyerap tenagakerja terbesar. Tabel 1. Komposisi Penduduk Kota Batu menurut Mata Pencaharian Tahun 2003 dan 2007 No Mata Pencaharian Tahun 2003 Tahun 2007 Jumlah Persentase Jumlah Persentase 1 Petani 29882 53.52 40658 53.28 2 Buruh Industri 5271 9.44 7171 9.39 3 PengrajinIndustri Kecil 1454 2.60 1979 2.90 4 Buruh Bangunan 2368 4.24 3221 4.22 5 Pedagang 4812 8.62 6546 8.57 6 AngkutanSopir 442 0.79 601 0.78 7 Pegawai Negeri 3489 6.25 4746 6.21 8 TNI 742 13.29 1009 1.32 9 Polri 78 0.14 106 0.13 10 Pensiunan 1683 30.15 2289 2.99 11 Peternak 5865 10.50 7979 10.45 Jumlah 55.842 100 76305 100 Sumber: Batu dalam Angka 2003 dan data Lapangan Tahun 2007 diolah Komposisi penduduk Kota Batu dari hasil penelitian di lapangan dan data Skunder dari dinas terkait BPS-Daerah ditemukan bahwa tingkat kenaikan jumlah penduduk rata-rata pertahun awal Tahun 2004 sampai 2007 adalah 8 persen pertahun. Pertumbuhan penduduk tersebut sebagian besar masih bekerja di sektor pertanian dan sektor industri olahan off farm serta perdagangan hasil-hasil pertanian. Dengan sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor pertanian, sehingga sektor pertanian di Kota Batu memiliki konstribusi 21.17 untuk PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan 23.54 untuk PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2005. Berikut data PDRB Tahun 2003 sampai Tahun 2005 Tabel 2. Distribusi PDRB dari masing-masing sektor Kota Batu Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan dalam persentase. Tabel 2. Distribusi PDRB Kota Batu dan Konstribusi Setiap Sektor Tahun 2003- 2005 dalam persentase No Sektor Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan 2003 2004 2005 2003 2004 2005 I Pertanian 22.79 21.95 21.17 23.88 23.70 23.54 II Pertambangan dan Penggalian 0.23 0.22 0.23 0.22 0.22 0.22 III Industri Pengolahan 8.77 8.31 8.34 8.77 8.41 8.33 IV Listrik dan Air Bersih 1.74 1.76 1.80 1.58 1.59 1.62 V Bangunan 1.39 1.46 1.59 1.34 1.40 1.48 VI Perdagangan, Hotel dan Restoran 43.26 43.44 43.14 43.00 42.75 42.27 VII Pengangkutan dan Komunikasi 3.61 3.70 3.81 3.49 3.63 3.62 VIII Keuangan, Persewaan dan Jasa Konstruksi 4.45 4.47 4.54 4.64 4.69 4.79 IX Jasa – Jasa 13.76 14.67 15.37 13.09 13.62 14.12 Sumber: BPS Kota Batu Tahun 2003 – 2005 data diolah Masih minimnya akses informasi yang diperoleh masyarakat untuk dapat mengoptimalkan potensi sumberdaya baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia untuk kesejahteraan masyarakat perdesaan, maka sangat dibutuhkan kajian optimalisasi upaya pemberdayaan kelembagaan sipil dan pemerintah. Dengan demikian, lambat tapi pasti peningkatan pembangunan ekonomi perdesaan yang berbasis off farm akan tercapai. Kota Batu secara geografis memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah. Untuk dapat memaksimalkan potensi sumberdaya limpahan hasil pertanian dan dalam upaya menghadapi tekanan angkatan kerja, secara alami masyarakat Kota Batu berupaya memanfaatkan potensi tersebut. Upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam sebagai bahan baku agroindustri dalam sub sektor Makanan dan Minuman terlihat cukup mendominasi sektor Industri Pengolahan di Kota Batu.. Kondisi tersebut terlihat pada perkembangan sektor industri pengolahan yang inputnya sebagian besar memanfaatkan hasil dari sektor pertanian daerah setempat. Pada tahun 2005, sub sektor Makanan dan Minuman memberikan konstribusi sebesar 3,86 terhadap PDRB Kota Batu atau sebesar 46,28 terhadap Sektor Industri Pengolahan atas dasar harga berlaku, dan sebesar 3,90 terhadap PDRB Kota Batu atau sebesar 46,82 terhadap Sektor Industri Pengolahan atas dasar harga konstan. Tabel 3. menunjukkan pertumbuhan industri makanan dan minuman olahan limpahan hasil pertanian Tahun 2003 sampai Tahun 2005 di Kota Batu. Tabel 3. Distribusi Persentase Sektor Industri Pengolahan dan Konstribusi Setiap Sub-Sektor Tahun 2003 - 2005 No Sub Sektor Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan 2003 2004 2005 2003 2004 2005 1. Makanan dan Minuman 3.56 3.79 3.86 3.52 3.80 3.90 2. Textil, Kulit dan Alas Kaki 1.41 0.68 0.67 1.39 0.68 0.68 3. Barang dari Kayu Hasil Hutan 1.31 1.30 1.20 1.35 1.36 1.16 4. Kertas Barang Cetakan 0.24 0.24 0.25 0.23 0.23 0.23 5. Pupuk Kimia Barang dari Karet 0.50 0.50 0.52 0.52 0.53 0.54 6. Semen Barang Galian Non Logam 1.43 1.43 1.50 1.39 1.43 1.46 7. Logam Dasar Besi Baja 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8. Alat Angkutan, Mesin Peralatan 0.15 0.15 0.14 0.16 0.16 0.14 9. Barang-barang Lainnya 0.20 0.21 0.20 0.21 0.22 0.22 Jumlah 8.77 8.31 8.34 8.77 8.41 8.33 Sumber: BPS Kota Batu data diolah Pertumbuhan sub sektor makanan dan minuman dari tahun 2003 sampai tahun 2005 menunjukkan perkembangan yang sangat lambat. Hal ini dimungkinkan terjadi karena masih sangat terbatasnya akses yang dapat diperoleh masyarakat perdesaan di Kota Batu dalam mengadaptasi keterampilan pengolahan hasil-hasil pertanian menjadi produk agroindustri olahan yang lebih banyak memberikan nilai tambah secara ekonomi bagi petani. Namun, lambatnya perkembangan kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat bisa pula disebabkan oleh minimnya perhatian dari Pemerintah Kota Batu dalam memberikan dukungan dan pembinaan kepada masyarakat petani yang umumnya berada di perdesaan. Rustiadi dan Pranoto 2007 menyatakan bahwa perkembangan sektor industri ternyata banyak yang tidak terkait secara langsung dengan sektor pertanian dan perdesaan. Sementara sektor-sektor pertanian dan perdesaan tidak menyerap tenaga kerja lebih banyak, padahal pertumbuhan angkatan kerja di sektor tersebut relatif tinggi. Sebagai akibatnya terjadi kelebihan excess supply tenaga kerja yang kemudian bermigrasi secraa eksesif dari perdesaan ke perkotaan yang apabila ukuran kota mengalami ”diseconomies of scale’ kemudian menimbulkan berbagai ”penyakit” urbanisasi yang berdampak dan menimbulkan biaya-biaya sosial maupun kerusakan lingkungan hidup. Pertumbuhan sektor industri yang dipacu oleh kebijakan pemerintah, ternyata terlalu tergantung over dependent kepada kapital dari luar dan mengalami kelebihan over capasity, sehingga keadaan ekonomi nasional yang berkait dengan ekonomi dunia yang dinamik kemudian menjadi rentan terhadap resiko-resiko yang suatu waktu menjadi penyebab ambruknya sektor tersebut. Dalam upaya memperkuat ekonomi masyarakat perdesaan, Erwidodo 1997, menyatakan bahwa sulit jika hanya mengandalkan kegiatan berbasis pertanian saja. yang terpenting saat ini adalah bagaimana menyediakan lapangan kerja sebesar-besarnya bagi penduduk di perdesaan. Untuk itu prioritas harus diberikan kepada kegiatan usaha yang mempunyai kaitan ke depan dan ke belakang yang besar. Bahwa sektor pertanian merupakan sektor dominan di perdesaan dalam penyerapan tenaga kerja, tetapi keinginan untuk mempertahankan dominasi sektor pertanian sama halnya dengan memaksa sektor ini untuk menghadapi tekanan yang semakin besar. Yang akan terjadi bukan sektor pertanian yang modern dan efisien, tetapi justru sektor pertanian yang semakin gurem sebagai akibat dari fragmentasi lahan dan pemilikan aset pertanian yang berlangsung terus menerus. Dalam kondisi struktur kepemilikan dan penguasaan seperti itu, maka tidak ada cara lain yang lebih strategis untuk memperkuat ekonomi perdesaan kecuali dengan cara memacu pertumbuhan sektor-sektor lain, terutama sektor industri berbasis pertanian. Penyediaan jasa-jasa publik di wilayah perdesaan menjadi syarat agar masyarakat perdesaan dapat meningkatkan produktivitasnya. Jasa-jasa input produksi di wilayah perdesaan seperti air untuk irigasi, tenaga listrik, jalan penghubung desa feeder roads, dan jaringan telekomunikasi yang biasa disebut barang publik public good di masa lalu sepenuhnya disediakan dan dibiayai oleh pemerintah. Tetapi, di daerah-daerah tertentu persediaan jasa ini sangat kurang, seperti berlaku di wilayah luar Jawa bahkan di pulau Jawa sendiri keadaan ini berlaku di beberapa wilayah perdesaan terisolir seperti di daerah pegunungan Dieng. Di sisi yang lain penyediaan jasa-jasa publik tersebut hanya dapat disediakan dengan biaya yang sangat mahal, karena tidak efisien dan kurangnya transparansi pembangunan infrastruktur di Indonesia. Jika suatu wilayah perdesaan kekurangan infrastruktur barang publik, maka seringkali menjadi terisolir, sehingga hanya pedagang tertentu yang mampu memasukinya, dan sebagai akibatnya pedagang tersebut akan menjadi spatial monopoly-monopsony monopoli penguasaan atas akses sumberdaya tertentu di sebuah wilayah tertentu yang cenderung mengeksploitasi para petani kecil Rustiadi dan Pranoto, 2007. Keberadaan infrastruktur jalan dan telekomunikasi di Kota Batu sudah sangat memadai. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan sektor pariwisata yang berkembang pesat, terlihat dari besarnya konstribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku sebesar 43.14 dan untuk PDRB Atas Dasar Harga Konstan sebesar 42.27 Tahun 2005. Pariwisata di Kota Batu didukung oleh perkembangan kawasan Kusuma Agro Wisata, Jatim Park, Wisata Alam Selecta, Wisata Air Panas Songgoriti, Terminal-terminal Agribisnis, Klub Bunga dan beberapa obyek wisata lainnya yang sangat terkait erat dengan keberadaan Kota Batu sebagai sentra wisata Jawa Timur. Berubahnya status Batu, dari Kota Administratif di Wilayah Kabupaten Malang menjadi Kota yang berdiri sendiri berdasarkan UU Nomor 112001 tanggal 21 Juni 2001, memang menjadikan Kota Batu dapat memiliki kesempatan yang lebih besar dalam melaksanakan pembangunan wilayahnya sesuai dengan potensi daerah yang dimilikinya. Perubahan status tersebut juga akan membawa implikasi terhadap keberadaan struktur Pemerintahan Kota dan Desa-desaKelurahan, yang pada gilirannya dapat mengancam keberadaan status perdesaan-perdesaan di wilayahnya, sekaligus dapat menyebabkan tergusurnya eksistensi kelembagaan lokal di perdesaan yang telah banyak melahirkan kearifan lokal dengan sistem dan adat istiadat yang selama ini dijalankan. Akibat lain yang dapat berlangsung adalah terjadinya proses pengkotaan terhadap desa-desa, yang pada gilirannya akan sangat mempengaruhi perkembangan sektor pertanian dan arah pembangunan wilayah perdesaan secara umum. Namun, dengan orientasi program pembangunan yang terarah dan tetap dalam koridor meningkatkan keterkaitan desa-kota, maka tidak menutup kemungkinan munculnya dinamisasi pertumbuhan sosial ekonomi yang lebih berarti baik di desa maupun di kota. Pembangunan sektor pertanian dan wilayah perdesaan sekarang dianggap sangat penting, karena apabila pembangunan sektor ini di wilayah tersebut menjadi tidak berhasil dikembangkan, terutama dalam jangka menengah dan jangka panjang, akan dapat memberi dampak-dampak negatif terhadap pembangunan nasional keseluruhannya, berupa terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok tingkat pendapatan. Pada gilirannya keadaan ini menciptakan ketidak-stabilan instability yang rentan terhadap setiap goncangan yang menimbulkan gejolak ekonomi-sosial yang dapat terjadi secara berulang-ulang Rustiadi et al, 2004. Kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan telah menimbulkan derasnya proses speed up processes migrasi penduduk yang berlebihan dari wilayah perdesaan ke kawasan kota-kota besar. Karena itu berkembanglah sektor-sektor informal dan pemukiman-pemukiman kumuh di perkotaan. Kondisi ini pada akhirnya juga memperlemah kondisi wilayah perkotaan yang sebelumnya mengalami kemajuan yang cukup pesat. Keadaan ini selanjutnya menimbulkan persoalan-persoalan dalam masyarakat kawasan kota yang sudah terlalu padat, sehingga menimbulkan kongesti, pencemaran hebat, permukiman kumuh, keadaan sanitasi yang buruk, dan menurunnya kesehatan pada gilirannya akan menurunkan produktivitas masyarakat perkotaan. Menyadari akan berbagai permasalahan pembangunan perdesaan dan belum optimalnya berbagai program pembangunan yang pernah dilaksanakan, strategi pengembangan agropolitan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dalam enam tahun terakhir dimaksudkan untuk melakukan percepatan pembangunan kawasan perdesaan, tidak hanya bertumpu pada kepentingan pemenuhan kebutuhan pangan beras nasional, tetapi secara lebih spesifik mengedepankan potensi lokal atas komoditas-komoditas unggulan di tiap kawasan agropolitan yang dikembangkan. Kawasan-kawasan tersebut dirancang untuk mensinergikan berbagai potensi yang ada, guna mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah. Program pengembangan dan pembangunan kawasan Agropolitan telah dilaksanakan di 98 kawasan yang tersebar dalam 33 Provinsi. Pemerintah Kota Batu sendiri sejak tahun 2003 juga telah menjadikan strategi pengembangan kawasan agropolitan sebagai salah satu program kebijakan pembangunan daerahnya. Diharapkan dengan strategi tersebut, akan dapat meningkatkan pergerakan perekonomian wilayah yang lebih dinamis dengan menitikberatkan pada sektor pertanian yang diintegrasikan dengan sektor pariwisata. Strategi pengembangan kawasan agropolitan yang dilakukan di Kota Batu tersebut memiliki relevansi yang sangat erat dalam mengintegrasikan pembangunan ekonomi wilayah, melalui pengembangan sistem agribisnis terpadu dalam rangka memperoleh nilai tambah produksi serta dapat meningkatkan jumlah produksi pertanian, yang pada gilirannya akan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di perdesaan. Dalam rangka mendukung pengembangan kawasan agropolitan di Kota Batu, telah dilakukan program rintisan dengan pendekatan action research kaji terap, berupa identifikasi potensi dan masalah untuk mengetahui arah pengembangan dan kebutuhan mendesak, diantaranya: Pemetaan Tanah dan Pewilayahan Komoditas Potensial di Kota Batu kegiatan baru, Gerakan Penanaman Apel Kembali kegiatan baru, Peningkatan Produksi Hasil Pertanian Ramah Lingkungan kegiatan lanjutan, Pengembangan Kebun Bibit Desa kegiatan lanjutan, Pengembangan Kebun Campur Kawasan Panderman kegiatan lanjutan, Usaha Konservasi pada Lahan Berlereng kegiatan lanjutan, Rekayasa Teknologi Pertanian pada Lahan SempitPekarangan kegiatan baru, dan Pengembangan Agroindustri Spesifik dan Pemberdayaan Wanita kegiatan baru. Secara umum, kawasan pertanian di Kota Batu telah memiliki hubungan timbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan antara kegiatan usaha budidaya on farm dan pengembangan produk olahan skala rumah tangga off farm. Sayangnya, perhatian terhadap perkembangan sub-sistem agribisnis yang banyak memberikan nilai tambah produksi pertanian khususnya dalam sub sistem pengolahan agroindustri dirasakan masih sangat kurang. Padahal, keberhasilan melakukan pembinaan dan pengembangan di sektor agroindustri ini akan dapat mencerminkan efektifitas strategi pengembangan kawasan agropolitan secara keseluruhan. Sudut pandang inilah yang akan ditelaah secara lebih spesifik dalam penelitian ini, dengan mengkaji aspek kelembagaan agroindustri pangan olahan dan keterkaitannya dalam memberikan daya dorong bagi pembangunan ekonomi wilayah perdesaan di Kota Batu.

1.2 Perumusan Masalah