Maknadan Prosesi Tradisi Tumplek Ponjen

bahwa tugas untuk menikahkan anak-anaknya telah selesai, dan mengajarkan kepada sesamanya untuk saling memberi ”. 36 Meskipun tradisi tumplek ponjen tidak diharuskan, tetapi tetap saja ada orang yang menyalahi dari adanya tradisi tumplek ponjen itu. Masih ada orang yang beranggapan bahwa tradisi tumplek ponjen harus dilakukan. jika tidak, akan berdampak sesuatu kepada masa depan rumah tangganya, seperti tidak lancarnya rezeki. Di dalam adat hal ini tidak dibenarkan. Bapak Nawawi menjelaskan “itu tidak boleh, itu termasuk melakukan dosa sirik, jadi adegan ini semata-mata hanya tontonan seni budaya untuk dilestarikan ”. 37 36 Hasil wawancara pribadi dengan bapakNawawi di Desa Kedungwungu pada hari kamis 30 Juli 2016. 37 Hasil wawancara pribadi dengan bapakNawawi di Desa Kedungwungu pada hari kamis 30 Juli 2016. 56

BAB IV INTERAKSI ANTARA TRADISI

TUMPLEK PONJEN DI DESA KEDUNGWUNGU DENGAN ADAT, HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Interaksi Tradisi Tumplek Ponjen di Desa Kedungwungu dengan Adat Menurut Koenjaraningrat, adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan. Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar serta keseluruhan hasil dari budi dan karyanya. Kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti „budi’ atau akal, dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. 1 Tradisi tumplek ponjen adalah adat yang terdapat pada serangkaian prosesi pernikahan adat jawa, nama tumplek ponjen itu sendiri berasal dari kata tumplek yang berarti tumpah keluar semua, dan punjen yang artinya sesuatuyang dipanggul anak yang menjadi tanggung jawab orang tua, kata punjen dapat dimaknai juga sebagai pundi-pundi, yang menyimbolkan harta benda hasil jerih payah orang tua. 2 Tumplek ponjen ini biasa juga disebut dengan mantu si bungsu, pada saat seseorang menikahkan atau dalam bahasa jawa mantu anaknya yang terakhir 1 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa Jakarta: Balai Pustaka, 2000,h. 19. 2 Dodik priambada, Penganten Jawa, diakses pada tanggal 28 Agustus 2015 http:pengantenjawa.blogspot.co.id200805mantu-si-bungsu-tumplak-punjen.html. maka secara adat jawa ada tata laksana yang menandai mantu terakhir yaitu acara tumplek ponjen. 3 B. Interaksi Tradisi Tumplek Ponjen di Desa Kedungwungu dengan Hukum Islam Islam merupakan agama yang fleksibel dan dinamis, cocok untuk semua kalangan, untuk semua waktu dan kondisi. Islam juga sebenarnya mengatur tentang kehidupan bermasyarakat. Mengenai bermasyarakat, dalam Fiqh tidak detail membahas mengenai cara bermasyarakat. Namun itulah fungsi manusia diberikan akal supaya dapat berfikir, penyelesaian bermasyarakat dengan cara yang islami. Hukum Islam juga ditetapkanuntuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat. 4 Fiqh memang tidak menjelaskan mengenai tradisi tumplek ponjen.Tradisi tumplek ponjen hanya dijelaskan di dalam salah satu adat di Indonesia.Meskipun demikian, pada dasarnya adat yang sudah memenuhi syarat dapat diterima secara prinsip. 5 Bahkan di dalamkaidah fiqih menyebutkan bahwa: ةمكحم ةداعلا “Adat itu dapat menjadi dasar hukum” Ulama sepakat dalam menerima adat. Adat yang dalam perbuatanitu terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharat atau unsur manfaatnya lebih besar dari unsur mudharatnya serta adat yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur maslahat, namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik 3 Edi, tumplak Punjen, artikel diakses pada tanggal 29 Agustus 2015 https:kidemangsodron78.wordpres.comacara-khusustumplek-punjen. 4 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh MunakahatJakarta: Kencana 2010, hal. 13. 5 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2012, h. 74. oleh Islam. Adat dalam bentuk itu dikelompokkan kepada adat atau urf yang shahih. 6 Melihat dari segi penilaian baik dan buruknya, adat atau urf terbagi menjadi 2 macam, yaitu urf sahih dan urffasid. Urfsahih ialah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟, juga tidakmenghalalkan yang haram dan juga tidakmembatalkan yang wajib. 7 Sedangkan urf fasid yaitu apa yang saling dikenal orang, tapi berlainan dari syariat, atau menghalalkan yang haram, atau membatalkan yang wajib. 8 Ulama yang mengamalkan adat sebagai dalil hukum menetapkan 4 syarat dalam pengamalannya: 9 a. Adat itu bernilai maslahat. b. Adat itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan tertentu. c. Adat itu telah berlaku sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. d. Adat itu tidak bertentangan dengan nash. 10 Dari segi objeknya, tradisi tumplek ponjen termasuk kedalam al „urf al- „amali, yakni kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. 6 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, hal. 395. 7 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, Penerjemah: Noer Iskandar al-Barsany, Moh. Tolchah Mansoer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 131. 8 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fikih, Penerjemah: Halimuddin, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005, hal. 105. 9 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, hal. 74. 10 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996, hal. 144. Dari segi cakupannya, tradisi tumplek ponjen termasuk ke dalam al „urf al- khash yakni kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan di daerah tertentu. Dalam hal ini tradisi tumplek ponjen merupakan tradisi khusus bagi masyarakat adat Jawa. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, tradisi tumplek ponjen termasuk kedalam Al- „urf al-shahihyakni kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash alquran dan hadis, tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Tokoh Agama Desa Kedungwungu KH. Ismail juga menjelaskan bahwa “boleh saja diberlakukan, tidak ada larangannya, selagi tradisi tersebut tidak bertentangan dengan agama”. 11 Karena beliau berpandangan bahwa tradisi tumplek ponjen ini diperbolehkan. Beliau juga menambahkan “tradisi ini hanya pemberian dan bentuk syukur dari orang tua, dalam tatacara tradisi ini juga tidak mengandung nilai syirik, yang meminta kepada selain Allah, atau menyajikan sesaji untuk leluluhur untuk mengharapkan sesuatu. ”. 12 Beliau juga menuturkan bahwa tradisi tumplek ponjen hanyalah adat. Meskipun berpotensi menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat, seperti syirik. Beliau menanggapi hal itu bahwa “Bahkan jika ada adat yang bertetangan dengan syariat, maka adat tersebut tidak boleh dilakukan”. 11 Hasil wawancara pribadi dengan KH. Ismail di Desa Kedungwungu pada hari kamis 28 Juli 2016. 12 Hasil wawancara pribadi dengan KH. Ismail di Desa Kedungwungu pada hari kamis 28 Juli 2016.