83 109
7. Simpulan
1. Dalam hukum pidana, pengertian ‘melawan hukum’ wederrechtelijk mempunyai arti
yang luas formil dan materiil. Para ahli menyatakan melawan hukum dalam arti luas berarti meliputi perbuatan yang in strijd met het objectief recht, in strijd met het subjectief recht
van een ander, zonder het eigen recht, dan in strijd met ongeschreven recht bertentangan dengan hukum obyektif, bertentangan dengan hukum subyektif hak orang lain, tanpa hak,
dan bertentangan dengan hukum tak tertulis. Dengan kata lain,
‘melawan hukum’ dalam arti luas ini, bukan saja berarti perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
hukum tertulis, tetapi juga asas-asas umum hukum yang berlaku, termasuk juga hukum tidak tertulis.
2. Dalam rumusan delik, keberadaan sifat melawan hukum merupakan syarat mutlak dari
dapat dipidananya tindakan. Jika sifat ini dinyatakan dengan tegas dalam suatu rumusan delik sebagai suatu unsur, maka dia harus dicantumkan dalam dakwaan dan
dibuktikan di persidangan. Namun, jika tidak dicantumkan secara tegas dalam rumusan delik, maka yang perlu dibuktikan hanyalah perbuatan yang dilarang dalam rumusan
delik tersebut.
3. Dalam sejarah pengaturan tindak pidana korupsi secara khusus, pengertian ‘melawan
hukum ’ telah dikenal sejak adanya Peraturan Penguasa Militer Tahun 1957, meski
bukan sebagai unsur delik. Dalam peraturan tersebut, ‘melawan hukum’ memiliki
makna yang sangat luas, yaitu ditafsirkan sebagai semua perbuatan yang tidak bermoral.
Istilah ‘melawan hukum’ kemudian dicantumkan di dalam rumusan tindak pidana
‘korupsi lainnya’ dalam Peraturan Penguasa Perang Tahun 1958, namun kemudian tak dapat dijumpai lagi dalam rumusan UU Nomor 24Prp1960 yang
menggantikannya. Pengertian ‘melawan hukum’ dicantumkan lagi secara khusus
sebagai unsur delik tindak pidana korupsi yang diatur di dalam UU Nomor 3 Tahun 1971, dalam makna formil dan materiilnya. Pengaturan dan makna melawan hukum
yang demikian juga dapat dijumpai dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sekarang berlaku, yaitu UU Nomor 31 Tahun 1999.
4. Pengertian ‘melawan hukum’ dalam arti luas tidak hanya berkembang dalam doktrin
dan peraturan tindak pidana korupsi, tetapi juga dalam praktek penerapan hukumnya. Beberapa putusan pengadilan yang dikaji dalam penelitian ini, baik dari masa Orde
Lama sampai masa Reformasi memperlihatkan adanya penerapan unsur ‘melawan
hukum ’ dalam arti luas. Penerapan ‘melawan hukum’ dalam arti luas ini juga tetap dapat
dijumpai, meski telah ada Putusan MK pada tahun 2006 yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat 1 tidak mempunyai kekuatan mengikat, sehingga
‘melawan hukum
’ dalam pasal ini harus dimaknai sebagai melawan hukum formil. Mahkamah Agung dalam Putusan No. 103 KPid2007, misalnya, berargumen bahwa putusan
MK tersebut membuat makna melawan hukum dalam Pasal 2 ayat 1 menjadi tidak jelas, sehingga hakim harus menggali arti
‘melawan hukum’ tersebut kepada nilai
84 109
hukum yang berkembang dalam masyarakat pada saat ketentuan itu diterapkan dalam kasus konkret. Ini berarti sifat melawan hukum dalam Pasal 2 ayat 1 masih dimaknai
sebagai melawan hukum dalam arti luas.
5. Meskipun ‘melawan hukum’ menjadi unsur dari rumusan delik dalam Pasal 2 ayat 1
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur ini bukan merupakan kernbestanddeel unsur pokok, melainkan hanya menjadi sarana bagi perbuatan yang dilarang, yaitu
memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau korporasi. Oleh karena itu, terpenuhinya unsur ini tidak dengan sendirinya menyebabkan seseorang dapat dihukum, kecuali
dapat dibuktikan bahwa perbuatan melawan hukum itu ditujukan untuk memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau korporasi tersebut. Dengan demikian, pembuktian
terhadap unsur ini tidak hanya mengharuskan terdapatnya hubungan antara
‘melawan hukum
’ dan ‘memperkaya diri’, tapi juga adanya keinsafan pelaku bahwa perbuatan melawan hukum ditujukan untuk memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau
korporasi.
6. Sifat melawan hukum juga memiliki hubungan yang erat dengan unsur
‘menyalahgunakan kewenangan’ dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sifat ini terkandung inherent di dalam unsur menyalahgunakan kewenangan
tersebut. Dalam praktek penegakan hukum, perbedaan antara keduanya dapat dilihat dengan indikator, antara lain, ketika suatu perbuatan melawan hukum dilakukan tanpa
ada dasar hukum atau landasan sama sekali, sementara suatu perbuatan yang menyalahgunakan kewenangan, selalu memiliki hubungan dengan suatu kedudukan
atau jabatan tertentu dari pelaku, atau berada dalam lingkup kewenangan pelaku berdasarkan kedudukan atau jabatannya.
85 109
8. Saran