21 109
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana
.” Dari keseluruhan peraturan yang pernah berlaku dan yang sekarang masih berlaku, dapat
ditegaskan bahwa men urut sejarah pengaturan tindak pidana korupsi, unsur ‘melawan hukum’
selalu dimaknai dalam arti yang luas formil dan materiil. Dalam pengertian yang luas itu, ‘melawan hukum’ dimaknai bukan saja sebagai perbuatan yang bertentangan dengan peraturan tertulis, tetapi
juga perbuatan yang tercela, karena bertentangan dengan rasa keadilan, atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Makna melawan hukum dalam arti luas ini merupakan
penyerapan makna melawan hukum onrechtmatige daad dalam hukum perdata yang dalam peraturan penguasa perang pusat dianggap sebagai bentuk perbuatan korupsi lainnya selain tindak pidana.
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perbuatan tersebut diatur sebagai tindak pidana dan pengaturan seperti ini berlanjut
hingga peraturan perundang-undangan terbaru.
2.2 Pendapat Berdasarkan Doktrin
Dalam literatur hukum pidana, diskursus tentang penafsiran ‘melawan hukum’ berawal dari dicantumkannya secara eksplisit kata ‘melawan hukum’ sebagai salah satu unsur pada sebagian
rumusan delik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Pencantuman tersebut membawa konsekuensi bahwa unsur ‘melawan hukum’ ini harus dicantumkan dalam surat
dakwaan dan dibuktikan di persidangan. Kemudian timbul pertanyaan, apakah delik yang tidak memuat istilah ‘melawan hukum’ secara eksplisit juga dapat dianggap memiliki sifat melawan
hukum tersebut, sehingga juga harus didakwakan dan dibuktikan? Perdebatan mengenai permasalahan ini kemudian melahirkan ajaran melawan hukum formil formele wederrechtelijkheid dan
ajaran melawan hukum materiil materiële wederrechtelijkheid, serta berimbas pada penafsiran mengenai arti atau makna ‘melawan hukum’ itu sendiri.
Pada awalnya, menurut ajaran melawan hukum formil, suatu perbuatan dianggap melawan hukum wederrechtelijk, apabila perbuatan tersebut telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam
rumusan dari suatu delik menurut undang-undang. Sedangkan menurut paham ajaran hukum materiil, suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum wederrechtelijk, atau tidak, bukan hanya harus
ditinjau kesesuaiannya dengan ketentuan-ketentuan hukum tertulis, melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas umum hukum yang tidak tertulis. Namun, telah terjadi pergeseran dalam
literatur hukum dari yang tadinya mengikuti literatur hukum Belanda
– di mana ajaran melawan hukum secara materiil tidak dimaknai dengan fungsi positifnya, yaitu hanya digunakan untuk
membatasi keberlakuan rumusan delik apabila terdapat alasan pembenar berdasarkan keadaan nyata kasus terkait, menjadi melawan hukum secara materiil dengan fungsi positif.
Makna melawan hukum secara materiil sebagaimana ditemukan dalam berbagai peraturan tentang tindak pidana korupsi yang pernah berlaku maupun yang masih berlaku, pada akhirnya sejalan
dengan perkembangan penafsiran ‘melawan hukum’ dengan fungsi positif menurut doktrin yang berkembang di Indonesia. Karena adanya pandangan seperti ini, maka baik dalam hukum pidana,
maupun dalam hukum perdata, pengertian ‘melawan hukum’ kemudian dipahami dalam dikotomi
22 109
antara penafsiran sempit formil, yaitu hanya menyangkut perbuatan yang telah diatur secara tegas di dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana, menjadi luas formil dan materiil, yaitu
meliputi segala perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Sebagaimana dalam perkembangan doktrin dan yurisprudensi di bidang hukum perdata,
perkembangan doktrin hukum pidana di Indonesia juga menerima makna ‘melawan hukum’ secara luas, yaitu perbuatan yang 1 bertentangan dengan hukum obyektif in strijd met het objectief recht, 2
bertentangan dengan hak subyektif orang lain in strijd met het subjectief recht van een ander, 3 tanpa hak zonder eigen recht,
4
tanpa wewenang onbevoegdheid,
5
dan bertentangan dengan hukum tidak tertulis ongeschreven recht.
6
Makna melawan hukum secara luas inilah yang mengejawantah dalam berbagai peraturan tindak pidana korupsi, sebagai termasuk juga perbuatan tercela, karena bertentangan dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Hal ini antara lain terlihat dari Penjelasan UU Nomor 3 Tahun 1971 yang dikutip sebelumnya,
yaitu
“dengan mengemukakan sarana melawan hukum, yang mengandung pengertian formil maupun materiil, maka dimaksudkan agar supaya lebih mudah memperoleh
pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum …”. Menurut Komariah E. Sapardjaja,
penjelasan pasal ini memungkinkan diterapkannya ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi positif.
7
Simpulan Komariah E. Sapardjaja tersebut sejalan dengan Penjelasan UU Nomor 31 Tahun 1999
– sebagaimana telah dikutip sebelumnya, yang juga membuka peluang penerapan melawan hukum materiil dalam fungsi positif.
8
2.3 Pendapat Berdasarkan Putusan-Putusan Pengadilan