Perdebatan Pertama: Mengenai Arti Istilah ‘Melawan Hukum’

39 109

4. Pengertian ‘Melawan Hukum’ Tinjauan Literatur

Penelusuran perdebatan mengenai pengertian ‘melawan hukum’ di bidang hukum pidana Indonesia tidak bisa lepas dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang merupakan instrumen hukum pidana pertama, sekaligus juga yang meletakkan ‘melawan hukum’ sebagai unsur dalam pasal-pasalnya. Secara historis dan etimologi, ‘melawan hukum’ sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP tersebut berasal dari kata “wederrechtelijk” di dalam KUHP Belanda. Namun, kata “wederrechtelijk” di dalam KUHP Indonesia diterjemahkan tidak seragam sebagai ‘melawan hukum’, melainkan ada juga yang mengartikannya sebagai ‘melawan hak ’. 35 Oleh karena adanya perbedaan tersebut, maka terlebih dahulu akan diuraikan pandangan dari para ahli mengenai substansi atau makna yang terkandung dalam pasal-pasal yang mencantumkan istilah “wederrechtelijk” ini.

4.1 Perdebatan Pertama: Mengenai Arti Istilah ‘Melawan Hukum’

Mengenai arti dari istilah ‘melawan hukum’, sebagian ahli memberikan pendapat atau pandangannya sebagaimana diutarakan oleh Noyon. Menurut mereka, terdapat tiga pengertian dari ‘wederrechtelijk’, yaitu ‘in strijd met het objectief recht’ bertentangan dengan hukum objektif, ‘in strijd met het subjectief recht van een ander ’ bertentangan hak subjektif orang lain, dan ‘zonder eigen recht’ tanpa hak. 36 Van Bemmelen mengartikan melawan hukum tidak ada bedanya dengan arti melawan hukum di bidang hukum perdata. 37 Yang dimaksud oleh Van Bemmelen di sini adalah pengertian yang diberikan oleh Arrest tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum vs. Cohen, di mana Hoge Raad berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar: 38 a. Hak subjektif orang lain; b. Kewajiban hukum pelaku; c. Kaidah kesusilaan; d. Kepatutan dalam masyarakat. Sedangkan Pompe berpandangan ‘wederrechtelijk’ itu berarti ‘in strijd met het recht’ atau bertentangan dengan hukum yang mempunyai pengertian lebih luas daripada sekedar ‘in strijd met de wet’, atau bertentangan dengan undang-undang. 39 Pengertian ‘wederrechtelijk’ seperti itu, menurutnya, sesuai 35 Lihat tabel pasal yang memuat unsur melawan hukum dengan frasa melawan hukum dalam KUHP. 36 Lamintang, 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru, hlm. 337. 37 Komariah Emong Sapardjaja, 2002. Ajaran sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Alumni, hlm. 33. 38 Rosa Agustina, 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pasca Sarjana Fakultas Hukum- Universitas Indonesia, hlm. 52. 39 Pompe sebagaimana dikutip dalam Lamintang, 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru, hlm. 335. 40 109 dengan pengertian ‘onrechtmatig’ dalam Pasal 1365 Burgerlijk Wetboek BW, sebagaimana diterapkan oleh putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 di atas. Karena bermacam-macamnya pengertian melawan hukum itu, Noyon-Langemeyer 1954 mengusulkan agar fungsi kata ‘melawan hukum’ hendaknya disesuaikan dengan setiap delik tanpa secara asasi menghilangkan kesatuan artinya. Misalnya, Hoge Raad melalui putusan tanggal 28 Juni 1911, 40 menyangkut artikel 326 Ned. WvS Pasal 378 KUHP, menyatakan: “.....de dader geen eigen recht op de bevoordeling heeft ....” terdakwa tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati keuntungan itu. 41 Menurut Pompe, keuntungan yang diperoleh menurut cara yang disebut di dalam Pasal 326 Ned. WvS Pasal 378 KUHP atau penipuan, dengan sendirinya melawan hukum tidak tertulis. 42 Contoh lain, Hoge Raad dalam putusan tertanggal 31 Oktober 1932, N.J. 1933, hlm. 321, mengartikan ‘melawan hukum’ di situ sebagai “zonder geldige reden wegblijven, indien de betrokkene verplicht is te verschijnen” tanpa alasan yang sah tidak datang, jika yang bersangkutan wajib menghadap. 43 Dalam perdebatan tersebut, para ahli hukum pidana terlihat mencoba untuk menjelaskan istilah yang banyak dijumpai di dalam pasal-pasal KUHP. Mengenai keberatan-keberatan yang muncul dari para ahli mengenai arti melawan hukum dari pasal-pasal dalam KUHP di atas, selain pendapat dari Noyon sebelumnya, peneliti juga sependapat dengan Jan Remmelink dengan memilih solusi atas apa yang ditawarkan oleh Van Veen, yakni menetapkan pengertian tersebut satu persatu bagi tiap delik. Cakupan pengertian tersebut setiap kali harus ditetapkan kembali dengan merujuk pada maksud dan tujuan ketentuan terkait, sejarah pembentukannya, dan lain-lain. Lebih lanjut, menurut Remmelink, kiranya dengan cara demikian dapat dipastikan bahwa hasil akhirnya ‘melawan hukum’ itu akan memiliki arti zonder recht tanpa hak – tentu dengan catatan bahwa pengecualian akan selalu ada. 44 Lebih lanjut lagi, selain pendapat mengenai solusi atas adanya perbedaan pandangan tersebut, peneliti juga sependapat dengan Lamintang yang berpandangan bahwa perbedaan di antara para pakar tersebut terjadi, antara lain, karena kata ‘recht’ dalam bahasa Belanda dapat berarti ‘hukum’ dan dapat berarti ‘hak’. Kemudian ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia, kata ‘wederrechtelijk’ itu berarti ‘secara tidak sah’ yang dapat meliputi pengertian ‘bertentangan dengan hukum objektif’ dan ‘bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif’. 45 Dalam praktek pengadilan di Indonesia, sehubungan dengan istilah ‘melawan hukum’ dalam pengaturan delik-delik di dalam KUHP, pengadilan mengartikannya sebagai berikut: 40 Putusan yang mendahului perkara Lindenbaum-Cohen dalam bidang hukum perdata mengenai melawan hukum materiil. 41 Andi Hamzah, 2008, Azas-azas hukum pidana, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 132. 42 Andi Hamzah, 2002. Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana. Jakarta: Pusat Studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, hlm. 119. 43 Ibid, hlm. 120. 44 J. Remmelink, 2014. Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 189. 45 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm. 32. 41 109

1. Kasus pengancaman dengan kekerasan Pasal 335 ayat 1 ke-1 KUHP