Kekeliruan Mahkamah Konstitusi dalam mengartikan wederrechtelijkheid adalah

96 109 Perpu No. 24 Tahun 1960 dan UU No. 3 Tahun 1971 menegaskan bahwa yang menjadi unsur pokok adalah “memperkaya diri sendiri, orang lain atau badan”. Penjelasan Pasal 1 sub a UU No. 3 Tahun 1971 memberikan makna bahwa perbuatan melawan hukum baru dapat dipidana apabila perbuatan itu sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau badan. Unsur melawan hukum dan unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau badan, sejatinya harus dibaca secara utuh sebagai satu kesatuan dan pemaknaannya tidak dapat dipisah. Kedua Undang-Undang di atas, merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, sehingga unsur terpenting dalam Pasal 2 ayat 1 adalah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara melawan hukum atau melawan hak. Dengan demikian, untuk membuktikan suatu perbuatan merupakan korupsi atau bukan, yang pertama kali harus dilakukan adalah apakah pelaku mendapat suatu keuntungan dari perbuatan yang dilakukannya dimana pelaku pada dasarnya tidak berhak untuk mendapatkan kekayaan atau keuntungan tersebut. Dengan demikian, dalam membuktikan sifat melawan hukum dari perbuatan “memperkaya” pada Pasal 2 ayat 1, semestinya tidak diartikan untuk memidanakan perbuatan lain yang menurut masyarakat patut dipidana dan tidak dirumuskan dalam Undang-Undang, melainkan harus dimaknai bahwa perbuatan memperkaya, dalam wujud tertentu, mengandung sifat tercela menurut masyarakat. Sebagai contoh lihat putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Desember 1983 No. 275 KPid1982 yang dalam pertimbangannya menyatakan “… apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan perbuatan melawan hukum …”. 120 Bahwa sifat tercela dari perbuatan memperkaya telah ada pada keadaan di mana pegawai negeri yang menerima fasilitas yang berlebihan dengan menyalahgunakan kekuasaannya – yang menurut masyarakat memang benar tercela.

2. Kekeliruan Mahkamah Konstitusi dalam mengartikan wederrechtelijkheid adalah

berbeda dengan onrechtmatige daad Menurut Moeljatno, Vos yang notabene merupakan penganut ajaran melawan hukum materiil, merumuskan perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh masyarakat. Rumusan ini dipengaruhi oleh pendapat Hoge Raad dalam LindenbaumCohen-arrest. 121 Moeljatno juga berpendirian sama, dan mengatakan, bahwa kiranya tidaklah mungkin selain dari pada mengikuti ajaran melawan hukum yang materiil. Sebab, bagi orang Indonesia, belum pernah ada saat bahwa hukum dan Undang-Undang dipandang sama. 122 Komariah Emong Sapardjaja menyatakan bahwa: “[P]ada awalnya masalah kepatutan tidak boleh diterapkan di pidana. Namun, ketika hukum perdata memasukkan perbuatan tidak patut sebagai unsur melawan hukum, pakar hukum pidana Belanda mengatakan bahwa melawan 120 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Penerbit P.T Alumni, 2002, Bandung, hlm. 162. 121 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 131. 122 Ibid. 97 109 hukum bidang pidana tidak berbeda lagi dengan bidang hukum perdata seperti termuat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Berarti perbuatan tidak patut itu juga diadopsi di bidang hukum pidana .” 123 Dalam konteks undang-undang pemberantasan tidak pidana korupsi, sebenarnya terlihat jelas bahwa melawan hukum dalam hukum pidana wederrechtelijk, jika dibandingkan dengan melawan hukum dalam hukum perdata onrechtmatig, tidak memiliki perbedaan. Hal ini diindikasikan dengan adanya ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak P idana Korupsi yang menyatakan, “Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. ” Sudah barang tentu, dalam hal ini, pasal yang digunakan adalah Pasal 1365 mengenai ‘onrechtmatige daad ’ atau perbuatan melawan hukum. 124 Jadi, sifat melawan hukum sebagai unsur tindak pidana tidak semata-mata harus diartikan bertentangan dengan hukum tertulis saja, tetapi juga bisa diartikan bertentangan dengan haknya sendiri atau hak orang lain. Terbukti benar apa yang dikatakan Vos, dengan mengemukan contoh putusan HR 28 Juli 1911 dalam hal penipuan yang pertimbangan hukumnya, ialah “sifat menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum dalam penipuan karena si pembuat tidak mempunyai hak atas keuntungan tersebut”. 125

3. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU No.