spasial yang rendah. Sedangkan satelit TERRA-AQUA dengan sensor MODIS mengorbit bumi secara polar yaitu dari utara menuju selatan pada ketinggian 705 km
dan melewati garis khatulistiwa pada pukul 10:30 waktu lokal Thoha 2008.
B. Hubungan antara Curah Hujan dengan Hotspot
Pada Gambar 8 menjelaskan bahwa curah hujan bulanan di Kecamatan Bukit Batu dari tahun 2008 hingga 2010 berkisar antara 1511 mm hingga 1768 mm. Curah
hujan terendah terjadi pada tahun 2008, sedangkan curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2010. Pada tahun 2008 jumlah curah hujan di kecamatan Bukit Batu adalah
1511 mm. Pada tahun 2009 jumlah curah hujan di kecamatan Bukit Batu adalah 1574.5 mm. Sedangkan pada tahun 2010 jumlah curah hujan di kecamatan Bukit Batu
adalah 1768 mm.
Sumber Data: Dinas Pertanian Kabupaten Bengkalis Riau
Gambar 8 Curah hujan tahunan di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau tahun 2008-2010
Nilai kisaran curah hujan bulanan pada tahun 2008 berkisar antara 77 mm hingga 315 mm, curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari dan curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan Maret dengan nilai perbedaan kisaran curah hujan sebesar 238 mm. Nilai kisaran curah hujan bulanan yang terjadi daripada tahun 2009 berkisar
antara 63 mm hingga 279 mm, curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September dengan nilai perbedaan kisaran
curah hujan sebesar 216 mm. Nilai kisaran curah hujan bulanan yang terjadi pada tahun 2010 berkisar antara 147 mm hingga 207 mm, curah hujan terendah terjadi ada
bulan Februari dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September dengan nilai
perbedaan kisaran curah hujan sebesar 60 mm. Rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September yaitu sebesar 27 mmhari, sedangkan rata-rata curah hujan
terendah adalah bulan Oktober sebesar 84.67 mmhari.
Sumber Data: Dinas Pertanian Kabupaten Bengkalis Riau
Gambar 9 Rata-rata curah hujan bulanan Kecamatan Bukit Batu, Propinsi Riau tahun 2008-2010
Menurut Syaufina 2008 pola iklim di Bengkalis berbeda dengan pola iklim di Pulau Jawa. Pola iklim di Pulau Jawa umumnya hanya mempunyai satu periode
musim kemarau, yaitu Juni-September akan tetapi di daerah Bengkalis berbeda. Daerah Bengkalis mempunyai dua periode musim kemarau, yaitu pada bulan
Februari-Maret dan bulan Juli- September. Keadaan yang yang terjadi saat ini dimungkinkan adanya efek pemanasan global yang terjadi di saat ini, yang
memberikan dampak perubahan periode musim kemarau dan musim penghujan. Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, jumlah hotspot akan berkurang
bahkan tidak ada sama sekali. Pada Gambar 10 dan Gambar 11 terlihat disaat curah hujan tinggi maka titik hotspot akan berkurang, begitu sebaliknya jika curah hujan
rendah maka deteksi hotspot akan lebih tinggi. Pada bulan Agustus, terjadi kenaikan intensitas hujan, yang menyebabkan jumlah hotspot dari satelit NOAA maupun satelit
TERRA-AQUA juga mengalami penurunan. Tetapi tidak selalu hotspot pada suatu bulan rendah disebabkan karena curah
hujan yang tinggi, begitu pun sebaliknya. Berdasarkan Gambar 10 terlihat pada bulan Mei dan Juli dan Gambar 11 pada bulan April, curah hujan yang rendah tidak serta
merta meningkatkan hotspot.
Gambar 10 Distribusi antara curah hujan dengan data hotspot NOAA-18 dari tahun 2008-2010
Gambar 11 Distribusi antara curah hujan dengan data hotspot MODIS dari tahun 2008- 2010
Dalam menentukan model persamaan terbaik dari hubungan antara nilai curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot baik dari satelit NOAA dan satelit TERRA-
AQUA di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, terlebih dahulu dilakukan pengujian korelasi untuk melihat signifikansi hubungan antara curah hujan
dengan data titik panas hotspot. Jika diketahui hubungan curah hujan dan hotspot di Desa Sepahat signifikan, maka dilanjutkan dengan mencari model persamaan
hubungan antara jumlah curah hujan dengan deteksi hotspot di Desa Sepahat. Dilihat dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa berdasarkan hasil pengujian
korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot yang diperoleh dari Satelit NOAA adalah -0.893. Sedangkan pengujian korelasi antara jumlah curah
hujan dengan jumlah deteksi hotspot yang diperoleh dari Satelit TERRA-AQUA adalah -0.588. Notasi negatif - pada hasil uji korelasi tersebut menunjukkan arah
kedua hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah data hotspot baik data yang diperoleh dari satelit NOAA maupun satelit TERRA-AQUA mempunyai hubungan
terbalik. Hubungan terbalik memberikan arti kenaikan suatu variabel akan diikuti dengan penurunan variabel berikutnya.
Tabel 1 Hasil pengujian korelasi antara jumlah deteksi titik panas hotspot terhadap curah hujan di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau tahun 2008-
2010.
No Parameter Nilai korelasi
P-Value 1.
Korelasi jumlah titik panas hotspot dari data satelit NOAA-18 bulanan rata-rata dengan curah hujan
rata-rata -0.893 0.017
2 Korelasi jumlah titik panas hotspot dari data satelit
TERRA-AQUA bulanan rata-rata dengan curah hujan rata-rata
-0.588 0.008
Korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dari data satelit NOAA adalah 0.893 yang dapat dikategorikan memiliki hubungan yang sangat kuat
dan berdasarkan uji signifikan hasilnya menunjukkan nilai 0.017 yang berarti asosiasi kedua variabel adalah signifikan. Begitu juga dengan korelasi antara jumlah curah
hujan dengan jumlah hotspot dari data satelit TERRA-AQUA adalah 0.588 dapat dikategorikan memiliki hubungan yang kuat dan berdasarkan uji signifikan hasilnya
menunjukkan nilai 0.008 yang berarti asosiasi kedua variabel adalah signifikan. Hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot akan dianggap
signifikan jukan nilai P-Value 0.05. Nilai korelasi dari hubungan antara jumlah curah hujan dan jumlah deteksi hotspot yang lebih dari 0.5 membuat hubungan jumlah
curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dapat dilakukan pengujian dengan mengunakan regresi polynomial kubik untuk mendapatkan model dan persamaan
terbaik. Hasil pengujian regresi polynomial kubik antara jumlah curah hujan dengan
jumlah deteksi hotspot berdasarkan data dari satelit NOAA-18 diketahui nilai koefisien determinasi R-Sq sebesar 0.963, nilai adjusted R Square sebesar 90.7
dengan standar devisiasi S sebesar 9.16856 Gambar 12. Model terbaik berdasarkan nilai koefisien determinasi terbesar, model persamaannya adalah sebagai berikut:
y = 146.5 – 17.49x + 8.52x
2
– 0.5444x
3
, dimana y adalah jumlah hotspot dan x adalah curah hujan
14 12
10 8
6 4
2 300
250 200
150 100
x1 y
S 9.16856
R-Sq 96.3
R-Sqadj 90.7
Fitted Line Plot
y = 146.5 - 17.49 x1 + 8.52 x1 2 - 0.5444 x1 3
Gambar 12 Kurva hubungan antara curah hujan dengan jumlah hotspot dari Satelit NOAA di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Riau tahun 2008-2010
90 80
70 60
50 40
30 20
10 300
250 200
150 100
50
x2 y
S 46.0095
R- Sq 57.4
R- Sq ad j 48.9
Fi t t e d Li ne P l ot
y = 239. 6 - 14. 90 x2 + 0 .4 2 0 4 x2 2 - 0 .0 0 3 0 0 2 x2 3
Gambar 13 Kurva hubungan antara curah hujan dengan jumlah hotspot dari Satelit TERRA-AQUA di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Riau tahun 2008-
2010
Analisis hubungan antara curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot yang diperoleh dari Satelit TERRA-AQUA di Desa Sepahat pada tahun 2008-2010 dengan
menggunakan regresi polynomial kubik, didapat nilai koefisien determinasi R-Sq sebesar 0.574, nilai adjusted R Square sebesar 48.9 dengan standar deviasi 46.0095
Gambar 13. Model terbaik berdasarkan nilai koefisien determinasi terbesar, model persamaannya adalah sebagai berikut:
y = 239.6 – 14.9x + 0.4204x
2
– 0.003002x
3
, dimana y adalah jumlah hotspot dan x adalah curah hujan.
Jika dibandingkan antara nilai korelasi hubungan jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dari satelit NOAA dan satelit TERRA-AQUA, nilai korelasi
antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dari satelit NOAA jauh lebih baik daripada hubungan korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi
hotspot daripada satelit TERRA-AQUA.
C. Analisis Kejadian Kebakaran Lahan Gambut