Wanprestasi Analisis Klasula Force Majeure Dalam Suatu Perjanjian (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 587 PK/PDT/2010)

34 c. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia. Namun yang sering dijumpai dalam pelaksanaan suatu perjanjian adalah ketika salah satu pihak tidak mematuhi dan melaksanakan apa yang telah diperjanjikan wanprestasi.

3. Wanprestasi

Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. 56 Hal ini diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut : “Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja“. Kata “perintah“ bevel dalam Pasal 1238 diatas mengandung suatu peringatan dan karenanya “bevel“ juga bisa diterjemahkan dengan “peringatan“. Karena di sana dikatakan, bahwa perintahperingatan itu ditujukan kepada debitur si berhutang dan debitur si berhutang adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “ perintahperingatan“ itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak -tuntut atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa isi perintah kreditur, namun demikian, sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan– 56 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 2003, hal 147. Universitas Sumatera Utara 35 bisa disimpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintahperingatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya. Perintah atau peringatan surat teguran itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi“. 57 Suatu somasi harus diajukan secara tertulis yang menerangkan apa yang dituntut, atas dasar apa serta pada saat kapan diharapkan pemenuhan prestasi. Hal ini berguna bagi kreditur apabila ingin menuntut debitur di muka pengadilan. Dalam gugatan inilah, somasi menjadi alat bukti bahwa debitur betul-betul telah melakukan wanprestasi. 58 Somasi tidak perlu diberitahukan terlebih dahulu kepada pengadilan akan tetapi pengirim somasi wajib membuat suatu berita acara penerimaan somasi kepada pihak calon tergugat, hal ini untuk membuktikan bahwa penggugat telah beritikad baik menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya berperkara dipengadilan hal ini memberikan penilaian permulaan kepada hakim bahwa tergugat beritikad buruk. 59 Dalam hal tenggang waktu suatu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan, maka Pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. 57 J. Satrio, Beberapa Segi Hukum tentang Somasi Bagian I, diakses dari http:www.hukum online.com berita baca lt4cbfb836aa5d0beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian-i-brioleh-j- satrio-, pada tanggal 16 juli 2012` 58 PNH Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : Djambata, 1999, Hal.340. 59 Somasi atau Teguran, diakses dari http:www.negarahukum.comhukumsomasi-atau- teguran.html, pada tanggal 11 Agustus 2012. Universitas Sumatera Utara 36 Bentuk wanprestasi ketiadalaksanaan dapat terwujud dalam beberapa bentuk yaitu: 60 a. Debitor sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya; b. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya; c. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya; d. Debitor melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitor untuk tidak mau melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitor untuk tidak melaksanakannya. 61 Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi, dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu : 62 a. Menuntut pemenuhan perikatan; b. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbal- balik, menuntut pembatalan perikatan; c. Menuntut ganti rugi; d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi; e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi. Perlunya diketahui apakah penyebab dari terjadinya wanprestasi mengingat akibat yang terjadi karena tindakan wanprestasi itu dilakukan, semuanya dibuktikan di hadapan hakim. Seorang Debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu: 63 60 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004, Hal.70. 61 Ibid. 62 Handri Raharjo, op.cit, hal 81-84. Universitas Sumatera Utara 37 a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa overmacht atau Force majeure; b. Mengajukan bahwa si berpiutang kreditur sendiri juga telah lalai exceptio non adimpleti contractus; c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi pelepasan hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking. Menurut Subekti, ada 4 akibat dari terjadinya wanprestasi yaitu : 64 a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi; b. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; c. Peralihan Risiko; d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi diatas, lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut : 65 a. Ganti rugi Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur yakni biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran dan perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Misalnya Jika seorang sutradara mengadakan perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukkan, dan pemain ini kemudian tidak datang sehingga pertunjukkan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain. Yang dimaksudkan dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya dalam hal jual beli sapi. Kalau sapi yang dibelinya itu mengandung suatu 63 Subekti, op.cit, hal.55. 64 Ibid, hal 45. 65 Ibid, hal.47-54. Universitas Sumatera Utara 38 penyakit yang menular kepada sapi-sapi lainnya milik si pembeli, hingga sapi-sapi ini mati karena penyakit tersebut. Yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya. 66 Hal ini sesuai dengan isi Pasal 1246 KUHPerdata yang mana menyatakan bunga sebagai ...untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya.. Pasal 1247 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan: “Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya” Dan Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan: “Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi, bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian” Dari dua pasal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ganti rugi itu dibatasi, hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi. b. Pembatalan perjanjian Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian, sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur, mungkin ada orang yang tidak Universitas Sumatera Utara 39 dapat melihat sifat pembatalannya atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman karena debitur menganggap dibebaskan dari kewajiban memenuhi prestasi. Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan: “Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan” Berdasarkan ketentuan pasal di atas maka jelas bahwa pembatalan perjanjian tidak terjadi secara otomatis pada waktu debitur nyata–nyata melalaikan kewajibannya, akan tetapi harus dimintakan kepada hakim dan disebutkan dengan jelas, bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum. c. Peralihan risiko Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam Pasal 1237 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Yang dimaksudkan dengan “risiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. Universitas Sumatera Utara 40 Peralihan risiko dapat digambarkan demikian: Menurut Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka risiko dalam jual-beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya si penjual, risiko itu beralih kepada dia. d. Pembayaran biaya perkara Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara Pasal 181 ayat 1 HIR. Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di depan hakim. Dari pembahasan-pembahasan di atas dapat dilihat apabila wanprestasi yang dilakukan dalam perjanjian itu terjadi akibat dari keadaan memaksa Force majeure, maka dapat melepaskan pihak yang tidak memenuhi kewajiban itu dari tuntutan ganti kerugian.

B. Force Majeure 1.

Pengertian Force Majeure Di dalam KUH-Perdata tidak ada defenisi tentang keadaan memaksa, namun hanya memberikan batasan. Sehingga dari batasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak terduga, tidak disengaja, dan tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh debitur, dimana debitur tidak dapat Universitas Sumatera Utara 41 melakukan prestasinya kepada kreditur dan dengan terpaksa peraturan hukum juga tidak diindahkan sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya dan keadaan ini dapat dijadikan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. 67 Beberapa ahli hukum juga memberikan pandangannya mengenai konsep keadaan memaksa Force MajeureOvermacht diantaranya adalah : 68 a. R. Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian. Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” overmacht, selain keadaan itu “di luar kekuasaannya” si debitur dan “memaksa”, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si debitur. b. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir H.F.A. Vollmar: overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan absolute overmacht atau masih memungkinkan memenuhi 67 Handri Raharjo, op.cit, hal 104. 68 Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010, hal 7. Universitas Sumatera Utara 42 perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar kemampuan manusia atau dan menimbulkan kerugian yang sangat besar relative overmacht. c. Purwahid Patrik mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah debitur tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka akan berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian keadaan memaksa Force Majeure adalah suatu keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa yang diperjanjikan, disebabkan adanya suatu peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, di mana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko. 69

2. Pengaturan Force Majeure dalam Peraturan Perundang-Undangan

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122