Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan. Sapi potong telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan, namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Laju peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,23 pada tahun 2007 Direktorat Jenderal Peternakan 2007. Kondisi tersebut menyebabkan sumbangan sapi potong terhadap produksi daging nasional rendah sehingga terjadi kesenjangan yang makin lebar antara permintaan dan penawaran Setiyono etal. 2007. Pada tahun 2006, tingkat konsumsi daging sapi diperkirakan 399.660 ton, atau setara dengan 1,70 −2 juta ekor sapi potong, sementara produksi hanya 288.430 ton. Pemerintah memproyeksikan tingkat konsumsi daging pada tahun 2010 sebesar 2,72 kgkapitatahun sehingga kebutuhan daging dalam negeri mencapai 654.400 ton dan rata-rata tingkat pertumbuhan konsumsi 1,49tahun Badan Pusat Statistik 2005. Universitas Sumatera Utara Populasi sapi potong pada tahun 2007 tercatat 11,366 juta ekor Direktorat Jenderal Peternakan 2007. Populasi tersebut belum mampu mengimbangi laju permintaan daging sapi yang terus meningkat. Untuk mengantisipasinya, pemerintah mengimpor daging sapi dan sapi bakalan untuk digemukkan. Kebijakan impor tersebut harus dilakukan walaupun akan menguras devisa negara, karena produksi daging sapi local belum mampu mengejar laju peningkatan permintaan di dalam negeri, baik kuantitas maupun kualitasnya. Di sisi lain, permintaan daging sapi yang tinggi merupakan peluang bagi usaha pengembangan sapi potong lokal sehingga upaya untuk meningkatkan produktivitasnya perlu terus dilakukan. Untuk mencapai efisiensi usaha yang tinggi, diperlukan pengelolaan usaha secara terintegrasi dari hulu hingga hilir serta berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan, sehingga dapat memberikan keuntungan yang layak secara berkelanjutan. Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak. Kemitraan adalah kerja sama antar pelaku agribisnis mulai dari proses praproduksi, produksi hingga pemasaran yang dilandasi oleh azas saling membutuhkan dan menguntungkan bagi pihak yang bermitra. Pemeliharaan sapi potong dengan pola seperti ini diharapkan pula dapat meningkatkan produksi daging sapi nasional yang hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Universitas Sumatera Utara Kabupaten Serdang Bedagai adalah kabupaten hasil pemekaran dari kabupaten Deliserdang. Sejak berpisah dari kabupaten induknya, perkembangan populasi ternak khususnya ternak sapi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada kurun waktu tahun 2005 sampai dengan 2009 populasi ternak sapi mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada tahun 2005 populasi ternak sapi di kabupaten Serdang Bedagai 8.344 ekor dan berkembang hingga 34.294 ekor di tahun 2009 sumber : Statistik Peternakan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov.Sumatera Utara Tahun 2009. Di Kecamatan Pantai Cermin sendiri perkembangan populasi ternak sapi tersebut cukup signifikan. Pada tahun 2008 populasi ternak sapi di kecamatan P. Cermin adalah 2.743 ekor, kemudian meningkat menjadi 5.255 ekor pada tahun 2009 dan 5.388 ekor di tahun 2010 sumber Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Serdang Bedagai. Jika dibandingkan dengan kecamatan lain di kabupaten Serdang Bedagai maka kecamatan P. Cermin memiliki populasi ternak sapi yang paling tinggi. Oleh karena itu potensi ternak sapi di kecamatan ini berpotensi untuk terus dikembangkan. Pola kemitraan atau kerjasama dalam suatu usaha sudah ada dimasyarakat petanipeternak sejak dahulu. Pola kemitraan usaha tersebut khususnya pada usaha ternak dikalangan petanipeternak sering dikenal dengan sebutan “gaduhan”. Gaduh berasal dari bahasa Jawa yang secara sederhana dapat diartikan sebagai seseorang yang memberikan modal yang dimilikinya untuk dikembangkan orang lain. Gaduh biasanya diterapkan pada peternakan dengan mekanisme bagi hasil antara peternak Universitas Sumatera Utara dan pemilik modal. Mekanisme gaduh ini telah terbukti saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Orang yang mempunyai kehidupan ekonomi yang lebih mapan memberi bantuan modal berupa ternak atau menitipkan ternaknya kepada petanipeternak untuk dipelihara. Hasil usaha akan dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemberi modal dan petanipeternak. Biasanya tidak ada ikatankontrak secara tertulis tentang kerjasama usaha tersebut. Kerjasana antara penggaduh dan penerima gaduhan hanya secara lisan dan didasarkan atas saling percaya, dan biasanya penerima gaduhan adalah orang yang sudah dikenal baik oleh penggaduh ataupun yang dikenalkan oleh kerabat penggaduh. Sistem gaduhan ternak ini dipakai juga oleh pemerintah dalam upaya pengembangan ternak dimasyarakat dan peningkatan kesejahteraan petanipeternak. Dalam hal ini antara pemerintah dan peternak ada kesepakatan yang ditetapkan dalam surat perjanjian. Surat perjanjian berisi tentang hal-hal yang harus dilaksanakan peternak kewajiban peternak dan sistem pembagian hasil ternak. Sebagai contoh sistem gaduhan ternak yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah kabupaten Berau di Provinsi Kalimantan Timur, perjanjian dituangkan dalam surat keputusan bupati. Dalam SK tersebut dinyatakan bahwa seekor sapi, dalam jangka waktu 4 empat tahun atau setelah menghasilkan seekor anak, penerima ternak bantuan harus menyerahkan induknya untuk digaduhkan kepada petani lainnya; Untuk ternak kerbau, Seekor kerbau, dalam jangka waktu 4 empat tahun atau setelah menghasilkan seekor anak, penerima ternak bantuan harus menyerahkan induknya Universitas Sumatera Utara untuk digaduhkan kepada petani lainnya; dan Seekor kambing, dalam jangka waktu 2 dua tahun atau setelah menghasilkan seekor anak, penerima ternak bantuan harus menyerahkan induknya untuk digaduhkan kepada petani lainnya. Didalam pelaksanaan pola kerjasama dengan sistem gaduhan ternak ini bisa saja menimbulkan permasalahan ataupun perselisihan, apalagi pola kerjasamanya hanya didasarkan pada saling percaya, tidak ada perjanjian secara tertulis. Pada sistem gaduhan pada ternak pemerintah saja, tidak jarang terjadi program berjalan tersendat-sendat. Hal tersebut dapat disebabkan dari pihak peternak maupun pemerintah sendiri. Dari pihak peternak ada anggapan karena ternak tersebut berasal dari pemerintah maka tanggung jawab untuk mengembalikan atau memenuhui kewajibannya tepat waktu tidak menjadi suatu keharusan sekali. Apalagi dari pihak pemerintah sendiri pengawasan dan monitoring terhadap keberlanjutan suatu program lemah sekali, karena tidak didukung oleh dana supervisi ataupun dana untuk sistem perguliran ternak. Akibatnya banyak ternak pemerintah yang “hilang” begitu saja tanpa memberikan arti bagi tujuan penambahan populasi ternak dan peningkatan kesejahteraan petanipeternak. Berbeda dengan sistem gaduhan pemerintah yang pengembaliannya berupa ternak program gaduhan ternak yang dijalankan oleh pesantren Abdurahman bin Auf di Klaten Jawa Tengah, dengan pembagian hasil 60 untuk petani dan 40 untuk pesantren. Program gaduhan sebagaimana yang dijalankan pesantren tersebut cukup efektif dalam meningkatkan pendapatan petani. Walaupun tidak ada ikatan Universitas Sumatera Utara perjanjian secara tertulis, tetapi prinsip yang dijalankan adalah kepercayaan dan keterbukaan. Petani dilibatkan mulai dari pembelian ternak maupun penjualan ternak, dan dilakukan secara terbuka. Seperti contoh dalam pembelian ternak, maka yang memilih sendiri ternaknya di pasar adalah petani sendiri, pesantren tinggal membayar. Dengan cara tersebut, maka petani penggaduh akan mantap dalam memelihara ternaknya dan tidak ada akal-akalanpenipuan dalam harga beli ternak. Selain itu pesantren menyediakan tenaga pendamping yang bertanggung jawab dalam program pendampingan ke masyarakat, dimana program pendampingan tersebut meliputi bidang pendampingan kesehatan ternak, maupun ikut andil dalam membangun mentalitas dan spiritualitas masyarakat sekitar. Sehingga ada proses saling berbagi, baik terkait bidang pengetahuan kesehatan ternak lewat pelatihan- pelatihan maupun program pertemuan rutin di kelompok petani. Dari hasil penelitian yang dilakukan Dyah Mardiningsih, dkk 2005 di kabupaten Grobogan, kemitraan dengan gaduhan ternak sapi masih belum mendapatkan hasil yang optimal. Walaupun pola pembagian hasil adalah 70 kepada petanipeternak dan 30 kepada pemberi modal, masih belum nyata meningkatkan pendapatan petanipeternak. Hal tersebut diakibatkan karena perilaku petanipeternak antara lain pengetahuan, sikap dan ketrampilan petani yang kurang memadai. Dari sikap peternak terlihat bahwa mereka kurang serius dan bertanggung jawab dalam memelihara ternak karena menganggap beternak hanya sebagai usaha sampingan atau untuk mengisi waktu setelah bertani. Dan dari pihak pemberi modal Universitas Sumatera Utara yaitu Coorporate Farming Bersemi, hanya bertindak sebagai pemberi modal. Tidak adanya upaya pendampingan seperti pemberian pengetahuan dan ketrampilan pada peternak,, supervisi kesehatan ternak, menyebabkan banyak petani yang tidak dapat melunasi kreditnya. Ditambah penerapan teknologi inseminasi buatan yang tidak berjalan secara optimal, sehingga produktifitas ternak yang diperkirakan meningkat tidak terpenuhi. Menurut Sasongko dan Farida Sukmawati 2006 pada pola gaduhan ternak kambing bahwa skala usaha peternakan yang kecil yang hanya memelihara 2 – 3 ekor ternak saja tidak dapat memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan kepada petanipeternak. Oleh karenanya pendekatan penambahan jumlah ternak skala usaha merupakan alternative bagi keberhasilan pengembangan peternakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petanipeternak.

1.2. Perumusan Masalah