Penerapan Pola Kemitraan Dengan Sistem “Gaduhan” Terhadap Kesejahteraan Petani/Peternak Di Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

(1)

PENERAPAN POLA KEMITRAAN DENGAN SISTEM

“GADUHAN” TERHADAP KESEJAHTERAAN

PETANI/PETERNAK DI KECAMATAN PANTAI CERMIN

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TESIS

Oleh

LINA SIMATUPANG

097024036/SP

 

 

 

 

 

 

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENERAPAN POLA KEMITRAAN DENGAN SISTEM

“GADUHAN” TERHADAP KESEJAHTERAAN

PETANI/PETERNAK DI KECAMATAN PANTAI CERMIN

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara 

Oleh

LINA SIMATUPANG

097024036/SP

PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENERAPAN POLA KEMITRAAN DENGAN SISTEM “GADUHAN” TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI/PETERNAK DI KECAMATAN PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

Nama Mahasiswa : Lina Simatupang Nomor Pokok : 097024036

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si) (Husni Thamrin, S.Sos., MSP)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 13 April 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si Anggota : 1. Husni Thamrin, S.Sos., MSP

2. Drs. Agus Suriadi, M.Si 3. Drs. Bengkel Ginting, M.Si 4. Prof. Subhilhar, Ph.D


(5)

PERNYATAAN

PENERAPAN POLA KEMITRAAN DENGAN SISTEM “GADUHAN” TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI/PETERNAK DI KECAMATAN

PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, April 2011 Penulis,


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pembagian hasil pada penerapan pola kemitraan dengan sistem “gaduhan”, mengetahui faktor-faktor yang membentuk kemitraan dengan sistem “gaduhan” dan untuk mengetahui penerapan pola kemitraan tersebut terhadap kesejahteraan petani/peternak.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai, dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengambilan sampel secara purposive dan dengan teknik snowball, dan diperoleh jumlah sampel adalah 74 orang peternak gaduhan yang telah memelihara ternak 2 tahun ke atas. Data kualitatif diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan FGD, sedangkan data kuantitatif diperoleh dari penyebaran kuesioner. Data dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa pola pembagian hasil pada kemitraan dengan sistem “gaduhan” di Kecamatan. Pantai Cermin adalah 50 : 50, artinya keuntungan usaha dibagi 50 % untuk peternak pemelihara dan 50% untuk pemilik modal; 60 : 40, artinya keuntungan usaha dibagi 60% untuk peternak pemelihara dan 40% untuk pemilik modal. Faktor-faktor yang membentuk pola kemitraan dengan sistem “gaduhan” adalah adanya ikatan kekeluargaan dan adanya keinginan pribadi/perorangan baik dari pemelihara ternak maupun pemilik modal. Hasil dari perhitungan korelasi menunjukkan adanya hubungan yang kuat dan signifikan pada penerapan pola kemitraan dengan sistem “gaduhan” terhadap kesejahteraan petani/peternak. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi masing-masing indikator yaitu : pendapatan r = 0,91; pendidikan r = 0,78; kesehatan r = 0,83 dan rasa bangga (self esteem) r = 0,73


(7)

ABSTRACT

This study aims to determine the distribution pattern of contribution on the implementation of a partnership with the system "gaduhan", knowing the factors that form a partnership with the sistem "gaduhan" and to know the effect of the implementation of these partnerships on the welfare of farmers

. This research was conducted in the district of Pantai Cermin, Serdang Bedagai, with qualitative and quantitative approaches. Purposive sampling and snowball techniques are used, and obtained the number of samples is 74 “gaduhan” farmers who have kept the cattle 2 years and above. The qualitative data obtained from interviews, observation and focus group discussions (FGD), while the quantitative data obtained from questionnaires. Data were analyzed using descriptive statistics.

The results illustrate that the pattern of income distribution in partnership with the system "gaduhan" in the district. P. Cermin is 50: 50, meaning that business profits were divided 50% to famers and 50% for owners of capital; 60: 40, meaning that business profits were divided 60% to farmers and 40% for owners of capital. The factors that form a partnership with the sistem "gaduhan" is the bond of kinship and personal desire / individuals from both livestock keepers and owners of capital. The results of the calculation of correlation indicates there is strong and significant relationship on the implementation of a partnership with the system "gaduhan" on the welfare of farmers. This is indicated by the correlation value of each indicator, namely: income r = 0.91; education r = 0.78; health r = 0.83 and self esteem r = 0.73


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas kasih dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul : Penerapan Pola Kemitraan dengan Sistem “Gaduhan” Terhadap Kesejahteraan Petani/Peternak di Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan bekerjasama selama penelitian dan yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini. Pihak-pihak tersebut adalah :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.sc.(CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A, selaku Ketua Program Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sunatera Utara


(9)

4. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si, selaku Sekretaris Program Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I penulis

5. Bapak Husni Thamrin, S.Sos., MSP, selaku Pembimbing II penulis

6. Suamiku tercinta dan Anak-anakku tersayang Winna dan Joe, yang telah mendampingi dan memberi semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini

7. Para Rekan di Studi Pembangunan khususnya teman-teman seangkatan di Jalur Eksekutif, yang telah memberi bantuan dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini

8. Segenap civitas akademika, khusunya para dosen dan staf sekretariat Program Magister Studi Pembangunan yang telah membantu dalam pelayanan akademik dan administrasi penulis.

Akhir kata penulis mengucapkan terimaksih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini, yang telah turut membantu baik materil maupun moril sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak pemangku kepentingan dan bagi dunia pendidikan.

Medan, April 2011


(10)

Lina Simatupang 097024036


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabanjahe pada tanggal 8 Nopember 1966, menikah pada tanggal 14 Juni 1996 dan telah dikarunia seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Pada saat ini penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di instansi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara, dan dipercayakan menduduki jabatan Kepala Seksi Produksi pada UPT Inseminasi Buatan sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang.

Pendidikan formal yang telah diselesaikan penulis adalah SD : SDN 020268 Binjai tahun 1980; SMP : SMPN-3 Binjai tahun 1983; SMA : SMAN-2 Binjai tahun 1986; S1 : Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor tahun 1991.

Pendidikan informal berupa kursus dan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti oleh penulis selama bekerja di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi Sumatera Utara adalah sbb:

No Nama Kursus/Pelatihan/Diklat Tempat Tahun

1. Sarlita Medan 1997

2. General English Medan 1998 3. Bahasa Indonesia Medan 1998


(12)

4. Manajemen Proyek Medan 1999 5. Pig Husbandry Philipina 2000

6. LAKIP Jakarta 2001

7. MAP INFO Jakarta 2001

8. Laboran Jawa Timur 2003 9. Inseminator Lampung 2004 10. Sperm Quality Bogor 2004 11. Diklat PIM - V Medan 2002 12. Diklat PIM - III Medan 2007


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……… i

ABSTRACT…………….. ii

KATA PENGANTAR………. iii

RIWAYAT HIDUP………. v

DAFTAR ISI ………... vii

DAFTAR TABEL ……….. ix

DAFTAR GAMBAR ……….. xi

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 7

1.3. Tujuan Penelitian ……… 8

1.4. Manfaat Penelitian ……….. 9


(14)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kemitraan ………. 13

2.2. Sistem Agribisnis dan Kemitraan Sapi Potong ………. 17

2.3. Peluang Pengembangan Sapi Potong ……… 21

2.4. Peranan Petani/Peternak Pada Usaha Peternakan ………. 24

2.5. Teori Kesejahteraan ……….. 30

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ……….. 35

3.2. Lokasi Penelitian ………... 36

3.3. Sampel Penelitian ……….. 36

3.4. Teknik Pengumpulan Data ……… 37

3.5. Definisi Konsep ……… 38

3.6. Definisi Operasional ………. 39

3.7. Teknik Analisa Data ………. 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………. 43


(15)

4.3. Hasil Penelitian Gambaran Responden………. 51

4.4. Pola Pembagian Hasil Pada Sistem Gaduhan ……….. 59

4.5. Faktor Yang Membentuk Kemitraan ……… 62

4.6. Kesejahteraan Petani/Peternak ………. 65

4.7. Analisis ………. 74

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ……… 92

5.2. Saran ……….. 94


(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Matriks Operasional Pengukuran Kuantitatif ……… 41

2. Luas Areal Pertanian menurut Jenisnya ……… 45

3. Populasi Ternak Besar dan Kecil di Kec. P. Cermin Tahun 2010 ………... 46 4. Jumlah Penduduk Menurut Usia Tahun 2005 ………... 47

5. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru di Pantai Cermin Tahun 2005 …... 48 6. Sarana Kesehatan di Pantai Cermin Tahun 2007 ……….. 49

7. Hasil Uji Validitas Setiap Butir Instrumen ……… 50

8. Gambaran Umur Responden ………. 52


(17)

10. Jumlah Kepemilikan Ternak Responden ………... 55

11. Lama Memelihara Ternak Gaduhan ……….. 56

12. Kepemilikan Aset Petani/Peternak ……… 58

13. Tanggapan Responden Pada Sistem Gaduhan Terhadap Pendapatan ……….

66

14. Tanggapan Responden Pada Sistem Gaduhan Terhadap Pendidikan ………...

67

15. Tanggapan Responden Pada Sistem Gaduhan Terhadap Kesehatan ………

68

16. Tanggapan Responden Pada Sistem Gaduhan Terhadap Rasa Bangga (self esteem) ………

69

17. Skor Rata-rata Jawaban Responden ……….. 70

18. Nilai Korelasi Variabel Kesejahteraan ……….. 72


(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1. Alur Pikir……… 10

2. Peta Kecamatan Pantai Cermin ………. 44


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian………... 100

2. Perhitungan Validitas Instrumen ………... 109

3. Data Hasil Penelitian ………. 113

4. Notulen FGD ………. 118


(20)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pembagian hasil pada penerapan pola kemitraan dengan sistem “gaduhan”, mengetahui faktor-faktor yang membentuk kemitraan dengan sistem “gaduhan” dan untuk mengetahui penerapan pola kemitraan tersebut terhadap kesejahteraan petani/peternak.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai, dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengambilan sampel secara purposive dan dengan teknik snowball, dan diperoleh jumlah sampel adalah 74 orang peternak gaduhan yang telah memelihara ternak 2 tahun ke atas. Data kualitatif diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan FGD, sedangkan data kuantitatif diperoleh dari penyebaran kuesioner. Data dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa pola pembagian hasil pada kemitraan dengan sistem “gaduhan” di Kecamatan. Pantai Cermin adalah 50 : 50, artinya keuntungan usaha dibagi 50 % untuk peternak pemelihara dan 50% untuk pemilik modal; 60 : 40, artinya keuntungan usaha dibagi 60% untuk peternak pemelihara dan 40% untuk pemilik modal. Faktor-faktor yang membentuk pola kemitraan dengan sistem “gaduhan” adalah adanya ikatan kekeluargaan dan adanya keinginan pribadi/perorangan baik dari pemelihara ternak maupun pemilik modal. Hasil dari perhitungan korelasi menunjukkan adanya hubungan yang kuat dan signifikan pada penerapan pola kemitraan dengan sistem “gaduhan” terhadap kesejahteraan petani/peternak. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi masing-masing indikator yaitu : pendapatan r = 0,91; pendidikan r = 0,78; kesehatan r = 0,83 dan rasa bangga (self esteem) r = 0,73


(21)

ABSTRACT

This study aims to determine the distribution pattern of contribution on the implementation of a partnership with the system "gaduhan", knowing the factors that form a partnership with the sistem "gaduhan" and to know the effect of the implementation of these partnerships on the welfare of farmers

. This research was conducted in the district of Pantai Cermin, Serdang Bedagai, with qualitative and quantitative approaches. Purposive sampling and snowball techniques are used, and obtained the number of samples is 74 “gaduhan” farmers who have kept the cattle 2 years and above. The qualitative data obtained from interviews, observation and focus group discussions (FGD), while the quantitative data obtained from questionnaires. Data were analyzed using descriptive statistics.

The results illustrate that the pattern of income distribution in partnership with the system "gaduhan" in the district. P. Cermin is 50: 50, meaning that business profits were divided 50% to famers and 50% for owners of capital; 60: 40, meaning that business profits were divided 60% to farmers and 40% for owners of capital. The factors that form a partnership with the sistem "gaduhan" is the bond of kinship and personal desire / individuals from both livestock keepers and owners of capital. The results of the calculation of correlation indicates there is strong and significant relationship on the implementation of a partnership with the system "gaduhan" on the welfare of farmers. This is indicated by the correlation value of each indicator, namely: income r = 0.91; education r = 0.78; health r = 0.83 and self esteem r = 0.73


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan. Sapi potong telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan.

Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan, namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Laju peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,23% pada tahun 2007 (Direktorat Jenderal Peternakan 2007). Kondisi tersebut menyebabkan sumbangan sapi potong terhadap produksi daging nasional rendah sehingga terjadi kesenjangan yang makin lebar antara permintaan dan penawaran (Setiyono etal. 2007). Pada tahun

2006, tingkat konsumsi daging sapi diperkirakan 399.660 ton, atau setara dengan 1,70−2 juta ekor sapi potong, sementara produksi hanya 288.430 ton. Pemerintah memproyeksikan tingkat konsumsi daging pada tahun 2010 sebesar 2,72 kg/kapita/tahun sehingga kebutuhan daging dalam negeri mencapai 654.400 ton dan rata-rata tingkat pertumbuhan konsumsi 1,49%/tahun (Badan Pusat Statistik 2005).


(23)

Populasi sapi potong pada tahun 2007 tercatat 11,366 juta ekor (Direktorat Jenderal Peternakan 2007). Populasi tersebut belum mampu mengimbangi laju permintaan daging sapi yang terus meningkat. Untuk mengantisipasinya, pemerintah mengimpor daging sapi dan sapi bakalan untuk digemukkan. Kebijakan impor tersebut harus dilakukan walaupun akan menguras devisa negara, karena produksi daging sapi local belum mampu mengejar laju peningkatan permintaan di dalam negeri, baik kuantitas maupun kualitasnya.

Di sisi lain, permintaan daging sapi yang tinggi merupakan peluang bagi usaha pengembangan sapi potong lokal sehingga upaya untuk meningkatkan produktivitasnya perlu terus dilakukan. Untuk mencapai efisiensi usaha yang tinggi, diperlukan pengelolaan usaha secara terintegrasi dari hulu hingga hilir serta berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan, sehingga dapat memberikan keuntungan yang layak secara berkelanjutan.

Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak. Kemitraan adalah kerja sama antar pelaku agribisnis mulai dari proses praproduksi, produksi hingga pemasaran yang dilandasi oleh azas saling membutuhkan dan menguntungkan bagi pihak yang bermitra. Pemeliharaan sapi potong dengan pola seperti ini diharapkan pula dapat meningkatkan produksi daging sapi nasional yang hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat.


(24)

Kabupaten Serdang Bedagai adalah kabupaten hasil pemekaran dari kabupaten Deliserdang. Sejak berpisah dari kabupaten induknya, perkembangan populasi ternak khususnya ternak sapi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada kurun waktu tahun 2005 sampai dengan 2009 populasi ternak sapi mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada tahun 2005 populasi ternak sapi di kabupaten Serdang Bedagai 8.344 ekor dan berkembang hingga 34.294 ekor di tahun 2009 (sumber : Statistik Peternakan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov.Sumatera Utara Tahun 2009).

Di Kecamatan Pantai Cermin sendiri perkembangan populasi ternak sapi tersebut cukup signifikan. Pada tahun 2008 populasi ternak sapi di kecamatan P. Cermin adalah 2.743 ekor, kemudian meningkat menjadi 5.255 ekor pada tahun 2009 dan 5.388 ekor di tahun 2010 (sumber Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Serdang Bedagai). Jika dibandingkan dengan kecamatan lain di kabupaten Serdang Bedagai maka kecamatan P. Cermin memiliki populasi ternak sapi yang paling tinggi. Oleh karena itu potensi ternak sapi di kecamatan ini berpotensi untuk terus dikembangkan.

Pola kemitraan atau kerjasama dalam suatu usaha sudah ada dimasyarakat petani/peternak sejak dahulu. Pola kemitraan usaha tersebut khususnya pada usaha ternak dikalangan petani/peternak sering dikenal dengan sebutan “gaduhan”. Gaduh berasal dari bahasa Jawa yang secara sederhana dapat diartikan sebagai seseorang yang memberikan modal yang dimilikinya untuk dikembangkan orang lain. Gaduh biasanya diterapkan pada peternakan dengan mekanisme bagi hasil antara peternak


(25)

dan pemilik modal. Mekanisme gaduh ini telah terbukti saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Orang yang mempunyai kehidupan ekonomi yang lebih mapan memberi bantuan modal berupa ternak atau menitipkan ternaknya kepada petani/peternak untuk dipelihara. Hasil usaha akan dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemberi modal dan petani/peternak.

Biasanya tidak ada ikatan/kontrak secara tertulis tentang kerjasama usaha tersebut. Kerjasana antara penggaduh dan penerima gaduhan hanya secara lisan dan didasarkan atas saling percaya, dan biasanya penerima gaduhan adalah orang yang sudah dikenal baik oleh penggaduh ataupun yang dikenalkan oleh kerabat penggaduh.

Sistem gaduhan ternak ini dipakai juga oleh pemerintah dalam upaya pengembangan ternak dimasyarakat dan peningkatan kesejahteraan petani/peternak. Dalam hal ini antara pemerintah dan peternak ada kesepakatan yang ditetapkan dalam surat perjanjian. Surat perjanjian berisi tentang hal-hal yang harus dilaksanakan peternak ( kewajiban peternak ) dan sistem pembagian hasil ternak. Sebagai contoh sistem gaduhan ternak yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah kabupaten Berau di Provinsi Kalimantan Timur, perjanjian dituangkan dalam surat keputusan bupati. Dalam SK tersebut dinyatakan bahwa seekor sapi, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun atau setelah menghasilkan seekor anak, penerima ternak bantuan harus menyerahkan induknya untuk digaduhkan kepada petani lainnya; Untuk ternak kerbau, Seekor kerbau, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun atau setelah menghasilkan seekor anak, penerima ternak bantuan harus menyerahkan induknya


(26)

untuk digaduhkan kepada petani lainnya; dan Seekor kambing, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun atau setelah menghasilkan seekor anak, penerima ternak bantuan harus menyerahkan induknya untuk digaduhkan kepada petani lainnya.

Didalam pelaksanaan pola kerjasama dengan sistem gaduhan ternak ini bisa saja menimbulkan permasalahan ataupun perselisihan, apalagi pola kerjasamanya hanya didasarkan pada saling percaya, tidak ada perjanjian secara tertulis. Pada sistem gaduhan pada ternak pemerintah saja, tidak jarang terjadi program berjalan tersendat-sendat. Hal tersebut dapat disebabkan dari pihak peternak maupun pemerintah sendiri. Dari pihak peternak ada anggapan karena ternak tersebut berasal dari pemerintah maka tanggung jawab untuk mengembalikan atau memenuhui kewajibannya tepat waktu tidak menjadi suatu keharusan sekali. Apalagi dari pihak pemerintah sendiri pengawasan dan monitoring terhadap keberlanjutan suatu program lemah sekali, karena tidak didukung oleh dana supervisi ataupun dana untuk sistem perguliran ternak. Akibatnya banyak ternak pemerintah yang “hilang” begitu saja tanpa memberikan arti bagi tujuan penambahan populasi ternak dan peningkatan kesejahteraan petani/peternak.

Berbeda dengan sistem gaduhan pemerintah yang pengembaliannya berupa ternak program gaduhan ternak yang dijalankan oleh pesantren Abdurahman bin Auf di Klaten Jawa Tengah, dengan pembagian hasil 60% untuk petani dan 40% untuk pesantren. Program gaduhan sebagaimana yang dijalankan pesantren tersebut cukup efektif dalam meningkatkan pendapatan petani. Walaupun tidak ada ikatan


(27)

perjanjian secara tertulis, tetapi prinsip yang dijalankan adalah kepercayaan dan keterbukaan. Petani dilibatkan mulai dari pembelian ternak maupun penjualan ternak, dan dilakukan secara terbuka. Seperti contoh dalam pembelian ternak, maka yang memilih sendiri ternaknya di pasar adalah petani sendiri, pesantren tinggal membayar. Dengan cara tersebut, maka petani penggaduh akan mantap dalam memelihara ternaknya dan tidak ada akal-akalan/penipuan dalam harga beli ternak. Selain itu pesantren menyediakan tenaga pendamping yang bertanggung jawab dalam program pendampingan ke masyarakat, dimana program pendampingan tersebut meliputi bidang pendampingan kesehatan ternak, maupun ikut andil dalam membangun mentalitas dan spiritualitas masyarakat sekitar. Sehingga ada proses saling berbagi, baik terkait bidang pengetahuan kesehatan ternak lewat pelatihan-pelatihan maupun program pertemuan rutin di kelompok petani.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Dyah Mardiningsih, dkk (2005) di kabupaten Grobogan, kemitraan dengan gaduhan ternak sapi masih belum mendapatkan hasil yang optimal. Walaupun pola pembagian hasil adalah 70% kepada petani/peternak dan 30% kepada pemberi modal, masih belum nyata meningkatkan pendapatan petani/peternak. Hal tersebut diakibatkan karena perilaku petani/peternak antara lain pengetahuan, sikap dan ketrampilan petani yang kurang memadai. Dari sikap peternak terlihat bahwa mereka kurang serius dan bertanggung jawab dalam memelihara ternak karena menganggap beternak hanya sebagai usaha sampingan atau untuk mengisi waktu setelah bertani. Dan dari pihak pemberi modal


(28)

yaitu Coorporate Farming Bersemi, hanya bertindak sebagai pemberi modal. Tidak adanya upaya pendampingan seperti pemberian pengetahuan dan ketrampilan pada peternak,, supervisi kesehatan ternak, menyebabkan banyak petani yang tidak dapat melunasi kreditnya. Ditambah penerapan teknologi inseminasi buatan yang tidak berjalan secara optimal, sehingga produktifitas ternak yang diperkirakan meningkat tidak terpenuhi.

Menurut Sasongko dan Farida Sukmawati (2006) pada pola gaduhan ternak kambing bahwa skala usaha peternakan yang kecil yang hanya memelihara 2 – 3 ekor ternak saja tidak dapat memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan kepada petani/peternak. Oleh karenanya pendekatan penambahan jumlah ternak (skala usaha) merupakan alternative bagi keberhasilan pengembangan peternakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani/peternak.

1.2. Perumusan Masalah

Pola kerjasama usaha ternak dengan sistem gaduhan dimasyarakat memang sudah berkembang dan berjalan sejak lama. Hal ini mungkin merupakan fenomena yang baik dalam upaya penguatan ekonomi kerakyatan maupun pemberdayaan masyarakat dipedesaan. Walaupun pola hubungan dalam kerjasama usaha ini adalah “saling percaya” namun mungkin dapat memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi kesejahteraan petani/peternak. Tentulah ada suatu pola-pola hubungan tertentu


(29)

dalam usaha gaduhan ini sehingga membuat kemitraan atau kerjasama tersebut dapat berkembang, langgeng, dan berkelanjutan.

Oleh karenanya penulis ingin merumuskan masalah yang akan menjadi perhatian pokok nantinya, yaitu:

1) Bagaimana pembagian hasil pada pola kemitraan dengan sistem “gaduhan” dijalankan dimasyarakat.

2) Faktor-faktor dominan apa yang membentuk pola kemitraan/kerjasama dengan sistem gaduhan tersebut.

3) Bagaimana hubungan pola kemitraan dengan sistem gaduhan terhadap kesejahteraan petani/peternak.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Untuk mengetahui pola pembagian hasil pada kemitraan dengan sistem gaduhan 2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang membentuk pola kemitraan dengan sistem

gaduhan.

3) Untuk mengetahui hubungan penerapan kemitraan dengan sistem gaduhan terhadap kesejahteraan petani/peternak


(30)

 

  27

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna antara lain :

1) Bagi pemerintah sebagai pertimbangan membuat kebijakan dalam peningkatan ekonomi kerakyatan dan peningkatan pemberdayaan masyarakat di pedesaan. 2) Bagi pelaku bisnis (pemodal) sebagai informasi usaha dibidang peternakan,

sehingga dapat menggunakan peluang yang ada dimasyarakat.

3) Bagi dunia pendidikan sebagai pembelajaran dan bahan informasi tentang pola kemitraan dengan sistem gaduhan yang ada dimasyarakat petani/peternak.


(31)

1.5. Kerangka Pemikiran

4) 5) 6)

Keterangan :

= Variabel = Indikator

= Dimensi

Faktor dominan  pembentuk kemitraan :  ‐ bantuan pemerintah  ‐ swasta / perusahaan  ‐ perseorangan/pribadi  ‐ yayasan  ‐ lainnya  Pedapatan  Pendidikan  Kesehatan 

Self‐Esteem  Pola pembagian hasil :  ‐ 50 : 50  ‐ 60 : 40  ‐ 70 : 30  ‐ Berupa ternak  ‐ Lainnya 

Pola

 

Kemitraan

 

dengan

 

sistem

 

“Gaduhan”

 

Kesejahteraan

 

Petani/Peternak

 


(32)

Pola kemitraan dengan sistem gaduhan ternak sapi sudah berkembang dimasyarakat, khususnya dikalangan petani/peternak. Kemitraan antara penggaduh (pemilik modal) dengan penerima gaduhan ternak (petani/peternak) dilaksanakan sedemikian rupa dan dengan model atau bentuk yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Melalui wawancara dan penyebaran/pengisian kuesioner kepada sampel peternak, akan diperoleh faktor –faktor dominan yang membentuk pola kerjasama / kemitraan dengan sistem gaduhan ternak sapi. Apakah kerjasama terbentuk oleh karena pemerintah memberi bantuan ternak dengan pola gaduhan, atau ternak gaduhan diberikan oleh perusahaan peternakan atau yayasan atau perorangan menggaduhkan ternaknya kepada petani/peternak atau lainnya.

Demikian pula kesepakatan terhadap pembagian hasil dari usaha ternak tersebut, apakah pembagian antara penggaduh dan penerima gaduhan dibagi sama rata (50% ; 50%), atau pembagian 60% : 40%; atau 70% : 30% atau pembagian berupa anak sapi yang lahir atau dalam bentuk lainnya.

Sehubungan dengan disepakatinya pola kemitraan/kerjasama antara penggaduh dan penerima gaduhan maka proses produksi (proses pemeliharaan ternak sapi) dilaksanakan oleh penerima gaduhan (petani/peternak). Melalui observasi, wawancara maupun pemberian kuesioner kepada petani/peternak, dilakukan analisa untuk mengetahui pengaruh pola kemitraan dengan sistem gaduhan ternak sapi tersebut terhadap pendapatan, kesehatan, pendidikan dan status sosio-kultur


(33)

petani/peternak di masyarakat desa. Keempat faktor tersebut dianggap yang mempengaruhi kesejahteraan petani/peternak.


(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kemitraan

Pada dasarnya konsep kemitraan (partnership) adalah jenis entitas bisnis di mana mitra (pemilik) saling berbagi keuntungan atau kerugian bisnis. Kemitraan sering digunakan diperusahaan untuk tujuan perpajakan, sebagai struktur kemitraan umumnya tidak dikenakan pajak atas laba sebelum didistribusikan kepada para mitra (yaitu tidak ada pajak dividen dikenakan).. Namun, tergantung pada struktur kemitraan dan yurisdiksi di mana ia beroperasi, pemilik kemitraan mungkin terkena kewajiban pribadi yang lebih besar daripada mereka yang akan memegang saham dari suatu perusahaan.

Pada sistem hukum perdata, kemitraan biasa diikat dengan kontrak (perjanjian) antara individu-individu yang dengan semangat kerjasama setuju untuk melaksanakan suatu usaha, berkontribusi dalam menggabungkan modal, pengetahuan atau kegiatan dan berbagi keuntungan. Mitra mungkin memiliki perjanjian kemitraan , atau deklarasi kemitraan dan di beberapa wilayah hukum seperti perjanjian mungkin terdaftar dan tersedia untuk inspeksi publik. Di banyak negara, kemitraan juga dianggap sebagai hukum badan , meskipun sistem hukum yang berbeda membuat kesimpulan yang berbeda tentang hal ini.


(35)

Bentuk dasar kemitraan adalah kemitraan umum , di mana semua mitra mengelola bisnis dan secara pribadi bertanggung jawab atas hutangnya. Bentuk lain yang telah dikembangkan di sebagian besar negara adalah kemitraan terbatas (LP), di mana mitra terbatas untuk mengelola bisnis dan dengan imbalan terbatas. Mitra Umum mungkin memiliki kewajiban bersama atau beberapa kewajiban bersama dan tergantung pada keadaan, tanggung jawab mitra terbatas pada investasi mereka dalam kemitraan tersebut. Mitra “diam” (silent partner) adalah mitra yang tetap berbagi dalam keuntungan dan kerugian pada usaha, tetapi tidak terlibat dalam mengelola usaha atau keterlibatan mereka dalam usaha tidak diketahui umum. Mitra ini biasanya hanya menyediakan modal.

Kemitraan Usaha Peternakan sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/Kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, adalah suatu usaha pembibitan dan atau budidaya peternakan dalam bentuk perusahaan peternakan atau peternakan rakyat, yang diselenggarakan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersial atau sebagai usaha sampingan untuk menghasilkan ternak bibit/ternak potong, telur, susu serta menggemukkan suatu jenis ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkan.


(36)

Kemitraan usaha pertanian berdasarkan azas persamaan kedudukan, kesela peningkatan keterampilan kelompok mitra oleh perusahaan mitra melalui perwuji kemitraan yaitu hubungan yang :

a) saling memerlukan dalam arti perusahaan mitra memerlukan pasokan bahan baku dan kelompok mitra memerlukan penampungan hasil dan bimbingan;

b) saling memperkuat dalam arti baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra sama-sama memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis, sehingga akan memperkuat kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya saing usahanya;

c) saling menguntungkan, yaitu baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra memperoleh peningkatan pendapatan, dan kesinambungan usaha;

Kemitraan usaha pertanian dapat dilaksanakan dengan pola:

1) Inti-plasma

Pola inti-plasma sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang didalamnya perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra sebagai plasma.


(37)

2) Sub kontak

Pola sub kontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang didalamnya kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya.

3) Dagang umum

Pola dagang umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang didalamnya perusahaan mitra memasarkan hasil produksi kelompok mitra atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra.

4) Keagenan

Pola keagenan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d merupakan hubungan kemitraan, yang didalamnya kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha perusahaan mitra.

5) Bentuk-bentuk lain, missal Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)

Pola KOA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e merupakan hubungan kemitraan, yang didalamnya kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal


(38)

dan/atau sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian.

2.2 Sisitem Agribisnis dan Kemitraan Sapi Potong

Pada periode 2005−2008, Departemen Pertanian melaksanakan tiga program utama pembangunan pertanian, yaitu: 1) peningkatan ketahanan pangan, 2) pengembangan agribisnis, dan 3) peningkatan kesejahteraan petani. Program pengembangan agribisnis diarahkan untuk memfasilitasi kegiatan yang berorientasi agribisnis dan memperluas kegiatan ekonomi produktif petani, serta meningkatkan efisiensi dan daya saing. Upaya peningkatan daya saing usaha ternak sapi potong rakyat secara teknis dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas sehingga produknya dapat dijual pada tingkat harga yang cukup murah tanpa mengurangi keuntungan peternak (Kuswaryan et al. 2003). Perluasan kegiatan ekonomi yang

berpeluang untuk dilaksanakan adalah mendorong kegiatan usaha tani terpadu yang mencakup beberapa komoditas, seperti integrasi tanaman ternak atau tanaman-ternak-ikan. Konsep agribisnis memandang suatu usaha pertanian termasuk peternakan secara menyeluruh (holistik), mulai dari subsistem penyediaan sarana produksi, produksi, pengolahan hingga pemasaran.

Menurut Syafa’at et al. (2003), konsep agribisnis atau strategi pembangunan

sistem agribisnis mempunyai ciri antara lain: 1) berbasis pada pendayagunaan keragaman sumber daya yang ada di masing-masing daerah (domestic resource


(39)

based), 2) akomodatif terhadap kualitas sumber daya manusia yang beragam dan

tidak terlalu mengandalkan impor dan pinjaman luar negeri yang besar, 3) berorientasi ekspor selain memanfaatkan pasar domestik, dan 4) bersifat multifungsi, yaitu mampu memberikan dampak ganda yang besar dan luas. Pembangunan pertanian dan peternakan berdasarkan konsep agribisnis perlu memperhatikan dua hal penting; pertama, berupaya memperkuat subsistem dalam satu sistem yang terintegrasi secara vertikal dalam satu kesatuan manajemen, dan kedua menciptakan perusahaan-perusahaan agribisnis yang efisien pada setiap subsistem. Jika hal ini dapat terwujud maka daya saing produk peternakan (daging, susu, dan telur) akan meningkat, terutama dalam menghadapi pasar global.

Agribisnis sapi potong diartikan sebagai suatu kegiatan usaha yang menangani berbagai aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan yang utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan, dan penyaluran sarana produksi, kegiatan budi daya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders), dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang

seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak (petani peternak dan perusahaan swasta). Sistem agribisnis sapi potong merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan dengan pembangunan sector industri dan jasa yang terkait dalam suatu kluster industri sapi potong. Kegiatan tersebut mencakup empat subsistem, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis budi daya, subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa penunjang. Menurut Siregar


(40)

dan Ilham (2003), agar pengembangan sistem usaha agribisnis tersebut dapat mengakomodasi tujuan untuk meningkatkan daya saing produk dan sekaligus melibatkan peternak skala menengah ke bawah, ada tiga alternatif kegiatan yang dapat dilakukan, yaitu: 1) integrasi vertikal yang dikelola secara profesional oleh suatu perusahaan swasta, 2) integrasi vertikal yang dilakukan peternak secara bersama-sama yang tergabung dalam wadah koperasi atau organisasi lainnya, dan 3) kombinasi keduanya atau dikenal dengan sistem usaha kemitraan.

Kemitraan dimaksudkan sebagai upaya pengembangan usaha yang dilandasi kerja sama antara perusahaan dan peternakan rakyat, dan pada dasarnya merupakan kerja sama vertikal (vertical partnership). Kerja sama tersebut mengandung

pengertian bahwa kedua belah pihak harus memperoleh keuntungan dan manfaat. Menurut Saptana et al. (2006), kemitraan adalah suatu jalinan kerja sama berbagai

pelaku agribisnis, mulai dari kegiatan praproduksi, produksi hingga pemasaran. Kemitraan dilandasi oleh azas kesetaraan kedudukan, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan serta adanya persetujuan di antara pihak yang bermitra untuk saling berbagi biaya, risiko, dan manfaat.

Sebagai contoh adalah kemitraan ayam broiler. Pada kemitraan tersebut, perusahaan bertindak sebagai inti dan peternak sebagai plasma. Dalam proses produksi, peternak hanya menyediakan tenaga kerja dan kandang, sedangkan pihak perusahaan menyediakan bibit, pakan, obat-obatan, pelayanan teknik berproduksi dan kesehatan hewan (Hartono 2000). Sedikitnya ada lima manfaat pembangunan


(41)

pertanian yang berkelanjutan melalui pendekatan sistem usaha agribisnis dan kemitraan, yaitu: 1) mengoptimalkan alokasi sumber daya pada satu titik waktu dan lintas generasi, 2) meningkatkan efisiensi dan produktivitas produk pertanian/peternakan karena adanya keterpaduan produk berdasarkan tarikan permintaan (demand driven), 3) meningkatkan efisiensi masing-masing subsistem

agribisnis dan harmonisasi keterkaitan antar subsistem melalui keterpaduan antar pelaku, 4) terbangunnya kemitraan usaha agribisnis yang saling memperkuat dan menguntungkan, dan 5) adanya kesinambungan usaha yang menjamin stabilitas dan kontinuitas pendapatan seluruh pelaku agribisnis (Saptana dan Ashari 2007).

Penerapan konsep kemitraan antara peternak sebagai mitra dan pihak perusahaan perlu dilakukan sebagai upaya khusus agar usaha ternak sapi potong, baik sebagai usaha pokok maupun pendukung dapat berjalan seimbang. Upaya khusus tersebut meliputi antara lain pembinaan finansial dan teknik serta aspek manajemen. Pembinaan manajemen yang baik, terarah, dan konsisten terhadap peternak sapi potong sebagai mitra akan meningkatkan kinerja usaha, yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu, melalui kemitraan, baik yang dilakukan secara pasif maupun aktif akan menumbuhkan jalinan kerja sama dan membentuk hubungan bisnis yang sehat.


(42)

2.3. Peluang Pengembangan Sapi Potong

Memelihara sapi potong sangat menguntungkan, karena tidak hanya menghasilkan daging dan susu, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan sebagai tenaga kerja. Sebagai tenaga kerja sapi dapat digunakan menarik gerobak, kotoran sapi juga mempunyai nilai ekonomis, karena termasuk pupuk organic yang dibutuhkan oleh semua jenis tumbuhan. Kotoran sapi dapat menjadi sumber hara yang dapat memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih gembur dan subur. Semua organ tubuh sapi dapat dimanfaat kan antara lain:

1) Kulit, sebagai bahan industri tas, sepatu, ikat pinggang, topi, jaket.

2) Tulang, dapat diolah menjadi bahan bahan perekat/lem, tepung tulang dan barang kerajinan

3) Tanduk, digunakan sebagai bahan kerajinan seperti: sisir, hiasan dinding dan masih banyak manfaat sapi bagi kepentingan manusia.

Hasil penelitian Rahmanto (2004) yaitu bahwa usaha sapi kereman yang sudah bersifat komersial mampu memberikan keuntungan bersih sebesar Rp. 760.850/ekor untuk penggemukan sapi bakalan PO dan Rp. 1.003.080/ekor untuk penggemukan sapi bakalan limousine selama 12 bulan. Keuntungan atas biaya tunai yang diperoleh untuk masing-masing jenis sapi tersebut yaitu Rp. 1.540.000 dan Rp. 3.430.000 dengan asumsi pada harga sapi potong cukup tinggi. Penurunan tingkat harga sapi


(43)

potong pada saat survei mengakibatkan keuntungan bersih yang diperoleh peternak hanya mencapai sekitar Rp. 166.400 per ekor selama pemeliharaan 4 bulan.

Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan

guna meningkatkan dinamika ekonomi. Menurut Saragih dalam Mersyah (2005), ada

beberapa pertimbangan perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu: 1) budi daya sapi potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan

tenaga kerja yang berkualitas tinggi,

2) memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes,

3) produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan pendapatan yang tinggi, dan

4) dapat membuka lapangan pekerjaan. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, dan sampai saat ini Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor. Kondisi tersebut mengisyaratkan suatu peluang untuk pengembangan usaha budi daya ternak, terutama sapi potong.

Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong. Pola pertama adalah pengembangan sapi potong yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan usaha pertanian, terutama sawah dan ladang. Pola kedua adalah pengembangan sapi tidak terkait dengan pengembangan usaha pertanian. Pola ketiga adalah pengembangan usaha penggemukan (fattening) sebagai usaha padat modal dan berskala besar,


(44)

meskipun kegiatan masih terbatas pada pembesaran sapi bakalan menjadi sapi siap potong.

Dalam upaya pengembangan sapi potong, pemerintah menempuh dua kebijakan, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Pengembangan sapi potong secara ekstensifikasi menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh pengadaan dan peningkatan mutu bibit, penanggulangan penyakit, penyuluhan dan pembinaan usaha, bantuan perkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan, dan pemasaran. Menurut Isbandi (2004), penyuluhan dan pembinaan terhadap petani-peternak dilakukan untuk mengubah cara beternak dari pola tradisional menjadi usaha ternak komersial dengan menerapkan cara-cara zooteknik yang baik.

Zooteknik tersebut termasuk sapta usaha beternak sapi potong, yang meliputi penggunaan bibit unggul, perkandangan yang sehat, penyediaan dan pemberian pakan yang cukup nutrien, pengendalian terhadap penyakit, pengelolaan reproduksi, pengelolaan pascapanen, dan pemasaran hasil yang baik. Indonesia memiliki peluang dan potensi yang besar dalam pengembangan sapi potong. Salah satu pendukungnya adalah peternak telah sejak lama memelihara sapi potong dan mengenal dengan baik teknik beternak secara sederhana serta ciri masing-masing jenis sapi yang ada di suatu lokasi.

Agar pengembangan sapi potong berkelanjutan, Winarso et al. (2005)

mengemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1) perlunya perlindungan dari pemerintah daerah terhadap wilayah-wilayah kantong ternak, terutama dukungan


(45)

kebijakan tentang tata ruang ternak serta pengawasan terhadap alih fungsi lahan pertanian yang berfungsi sebagai penyangga budi daya ternak, 2) pengembangan teknologi pakan terutama pada wilayah padat ternak, antara lain dengan memanfaatkan limbah industri dan perkebunan dan 3) untuk menjaga sumber plasma nutfah sapi potong, perlu adanya kebijakan impor bibit atau sapi bakalan agar tidak terjadi pengurasan terhadap ternak lokal dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi daging dalam negeri. Menurut Bahri et al.(2004), paling tidak ada tiga pemicu

timbulnya pengurasan populasi sapi lokal sebagai dampak dari tingginya permintaan daging sapi terutama pada periode 1997−1998, serta tingginya impor daging dan jerohan serta sapi bakalan, yaitu: 1) produksi dalam negeri tidak dapat mengimbangi peningkatan permintaan, 2) permintaan meningkat, sedangkan produksi dalam negeri menurun, dan 3) permintaan tetap sedangkan produksi dalam negeri menurun.

Hidajati dalam Syamsu et al. (2003) menyatakan, pengurasan sumber daya

ternak akan berakibat pada penurunan kualitas ternak yang ada di masyarakat, karena ternak yang berkualitas baik tidak tersisakan untuk perbibitan. Kuswaryan et al.

(2003) mengemukakan, usaha untuk menanggulangi pengurasan sapi bibit terbentur pada masalah kepemilikan ternak yang hanya berkisar antara 1−3 ekor sapi dewasa/KK dengan kemampuan memelihara 2−4 unit ternak. Kebijakan impor sapi dan daging sapi dapat menghambat laju pengurasan sapi di dalam negeri, selain menciptakan peluang usaha yang menguntungkan bagi importir sapi potong.


(46)

Selain itu, upaya pengembangan sapi potong perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain: 1) daging sapi harus dapat dikonsumsi oleh masyarakat dengan harga yang terjangkau, 2) peternakan sapi potong di dalam negeri (peternakan rakyat) secara finansial harus menguntungkan sehingga dapat memperbaiki kehidupan peternak sekaligus merangsang peningkatan produksi yang berkesinambungan, dan 3) usaha ternak sapi potong harus memberikan kontribusi yang positif terhadap perekonomian nasional (Kuswaryan et al.2004).

Persepsi peternak terhadap sistem usaha agribisnis sapi potong dengan pola kemitraan sangat baik. Hal ini ditunjukkan dengan makin berkembangnya usaha ternak sapi potong melalui pola kemitraan yang dilakukan oleh beberapa peternak atau pengusaha peternakan berskala besar karena pola tersebut secara ekonomis memberikan keuntungan yang layak kepada pihak yang bermitra. Hal ini sesuai dengan pendapat Roessali et al. (2005), bahwa usaha tani atau usaha ternak sapi

potong rakyat umumnya berskala kecil bahkan subsistem. Bila beberapa usaha kecil ini berhimpun menjadi satu usaha berskala yang lebih besar dan dikelola secara komersial dalam suatu sistem agribisnis maka usaha tersebut secara ekonomi akan lebih layak dan menguntungkan.

Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi kesejahteraan masyarakat peternak khususnya, dan perekonomian nasional umumnya (Kuswaryan


(47)

ini yang bernilai positif, yang berarti bahwa pengembangan peternakan sapi potong dalam negeri mampu menghasilkan surplus ekonomi.

2.4. Peranan Petani/Peternak Pada Usaha Peternakan

Dalam akselerasi pembangunan pertanian, pengetahuan petani/peternak mempunyai arti penting, karena pengetahuan petani/peternak dapat mempertinggi kemampuannya untuk mengadopsi teknologi baru di bidang pertanian. Jika pengetahuan petani/peternak tinggi dan petani/peternak bersikap positip terhadap suatu teknologi baru dibidang pertanian, maka penerapan teknologi tersebut akan menjadi lebih sempurna, yang pada akhirnya akan memberikan hasil secara lebih memuaskan baik secara kuantitas maupun kualitas

Pembangunan peternakan (sebagai bagian dari pertanian) pada hakekatnya berusaha mentransformasikan sistem peternakan tradisional menjadi sistem peternakan modern yang maju. Untuk mentrans-formasikan sistem peternakan tersebut , maka setiap strategi pembangunan sekurang-kurangnya mencakup dua dimensi prima yaitu dimensi teknis-ekonomi dan dimensi sosio-kultural. Dimensi teknis-ekonomi menyangkut proses peningkatan pengetahuan dan keterampilan berusaha para peternak, sementara dimensii sosio-kultural berintikan proses pentransformasian sikap mental, nilai-nilai, dan pola interpretasi peternak ke arah yang makin dinamis. Kedua dimensi tersebut saling terkait dan memiliki logika tersendiri sehubungan dengan elemenelemen yang mendukungnya.


(48)

Menurut Hayami & Kikuchi (1981) dalam proses transformasi di Asia, khususnya di Asia Tenggara, mendapat kesimpulan bahwa perubahan-perubahan pada dimensi sosio-kultural masyarakat petani berlangsung lebih lambat dibanding perubahan dalam dimensi teknis-ekonomi masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan dimensi sosio-kultural masyarakat petani/peternak merupakan proses yang rumit dan mendasar. Kesalahan sedikit saja dalam penanganannya dapat membawa malapetaka yang amat besar bagi kelangsungan kehidupan petani-peternak. Berjangkitnya “penyakit’ involusi bisa jadi merupakan salah satu contoh klasik tentang itu. Dengan kata lain, proses transformasi peternakan dapat diwujudkan bila terjadi perubahan dan perkembangan yang serasi antara dimensi teknis-ekonomi dan dimensi sosio-kultural masyarakat peternak. Proses inovasi teknologi baru akan terjadi bila dalam batas-batas tertentu telah timbul minat dan kesadaran dari sebagian atau seluruh anggota masyarakat terhadap manfaat suatu teknologi. Oleh sebab itu strategi pembangunan peternakan yang berhasil selain diarahkan untuk memperluas cakupan penyempurnaan teknologi intensifikasi, juga yang memberi perhatian sama besar terhadap usaha untuk mengembangkan kemampuan, sikap mental, dan responsitas petani-peternak, sehingga semakin banyak pula petani-peternak yang dapat dilibatkan dan menjalani proses perubahan.

Selain dari kemampuan individu petani/peternak syarat pelancar pembangunan pertanian adalah adanya kegiatan kerja sama Kelompok Tani. Kelompok dapat diartikan sebagai himpunan yang terdiri dari dua atau lebih individu dengan ciri-ciri


(49)

memiliki : (a) ikatan yang nyata; (b) interaksi dan interelasi sesame anggotanya ; (c) struktur dan pembagian tugas yang jelas; (d) kaidah-kaidah atau norma tertentu yang disepakati bersama; dan (d) keinginan dan tujuan yang sama. Bagi peternak, kelompok merupakan jaringan komunikasi yang mampu menggerakkan mereka untuk melakukan adopsi teknologi baru. Melalui wadah ini petani-peternak dibimbing dan diarahkan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan perekonomian dinamis (Herman Soewardi, 1985).

Beberapa keuntungan dari pembentukan kelompok tani adalah : (a) semakin eratnya interaksi dalam kelompok dan semakin terbinanya kepemimpinan kelompok; (b) semakin terarahnya peningkatan secara cepat tentang jiwa kerja sama antar petani; (c) semakin cepatnya proses perembesan (difusi) penerapan inovasi; (d) semakin naiknya kemampuan rata-rata pengembalian hutang (pinjaman petani); (e) semakin meningkatnya orientasi pasar, baik yang berkaitan dengan masukan (input) maupun produk yang dihasilkan; dan (f) semakin dapat membantu efisiensi pembagian air irigasi serta pengawasannya oleh petani sendiri. Di lain pihak, Sajogyo (1978) memberikan tiga alasan utama dibentuknya kelompok tani yang mencakup : (a) untuk memanfaatkan secara lebih baik (optimal) semua sumber daya yang tersedia; (b) dikembangkan oleh pemerintah sebagai alat pembangunan; dan (c) adanya alasan ideologis yang “mewajibkan “ para petani untuk terikat oleh suatu amanat suci yang harus mereka amalkan melalui kelompok taninya. Di dalam kelompok, petani-peternak dapat memperoleh informasi terutama informasi teknologi. Hal ini sesuai


(50)

pendapat Dudung Abdul Adjid (dalam Satpel Bimas, 1980), bahwa di dalam kelompok tani terdapat proses transformasi, yaitu mengolah informasi baru dari PPL menjadi informasi praktis, spesifik, sesuai kondisi masyarakat setempat. Selanjutnya dinyatakan bahwa PPL sebagai penyuluh marupakan “ujung tombak” proses adopsi inovasi, mengolah dan menyampaikan informasi teknologi baru melalui pengembangan dan pembinaan kegiatan kelompok tani.

Selanjutnya menurut Soekartawi (1988) karakteristik peternak dapat dilihat dari umur, tingkat pendidikan, jumlah pemilikan ternak, pengalaman beternak, hubungan dengan individu lain, dan hubungan dengan lembaga terkait. Umur berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam menerima sesuatu yang baru. Usia muda adalah saat dimana hidup penuh dinamis, kritis dan selalu ingin tahu hal-hal baru.. Seseorang yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi, begitu pula sebaliknya seseorang yang berpendidikan rendah, maka agak sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Inkeles (1984), bahwa hampir semua penelitian yang menyangkut modernisasi menunjukkan bahwa tingkat pendidikan merupakan factor utama. Artinya, tingkat kemodernan seseorang akan meningkat dengan bertambahnya pendidikan.

Jumlah pemilikan ternak mempengaruhi persepsi seseorang terhadap inovasi. Peternak yang mempunyai jumlah ternak relatif banyak dan pendapatan relatif tinggi, relatif berpandangan maju dan mempunyai wawasan luas. Artinya, mereka tidak


(51)

terlalu skeptis terhadap perubahan baru yang berada di sekitarnya, dan bahkan biasanya selalu berpandangan positif terhadap adanya perubahan (Soekartawi,1988).

Pengalaman beternak juga mempengaruhi persepsi mereka terhadap inovasi. Peternak yang berpengalaman akan lebih mudah diberi pengertian, artinya lebih cepat dalam menerima introduksi baru yang yang diberikan. Hubungan dengan individu lain, dan lembaga terkait, akan memberikan persepsi yang lebih baik terhadap inovasi, karena berkunjung atau berkonsultasi dengan sesama peternak, penyuluh, atau lembaga terkait akan menambah wawasan dan tingkat pengetahuannya. Wawasan dan tingkat pengetahuan yang diperoleh peternak menjadi pendorong baginya untuk mempersepsikan inovasi dengan lebih baik (Soekartawi, 1988). Berdasarkan ciri-ciri sosial ekonomi, karakteristik pengadopsi cepat ditandai oleh tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi yang lebih tinggi. Pengadopsi cepat mempunyai tingkat mobilitas sosial yang besar. Kekayaan dan keinovatifan muncul berjalan seiring, karena keuntungan yang besar diperoleh orang yang mempersepsi-kan inovasi dengan sangat baik dan mengadopsi pertama (golongan innovator).

2.5. Teori Kesejahteraan

Sejak tahun 1970 pembangunan ekonomi mengalami redefinisi. Sejak tahun tersebut muncul pandangan baru yaitu tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi tidak lagi menciptakan tingkat pertumbuhan GNP yang setinggi-tingginya, melainkan penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan


(52)

ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Todaro 2004: 21). Sesuai dengan tujuan pembangunan tersebut pembangunan suatu negara boleh dikatakan tidak berhasil apabila tidak dapat mengurangi kemiskinan, memperkecil ketimpangan pendapatan serta menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi penduduknya. Untuk mengukur keberhasilan pembangunan tidak cukup hanya menggunakan tolok ukur ekonomi saja melainkan juga harus didukung oleh indikator-indikator sosial (non ekonomi), antara lain seperti tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan akan kebutuhan perumahan .

Selanjutnya Todaro mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh 3 nilai pokok, yaitu : 1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), 2. Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia, dan 3. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude).

Sementara itu Swasono (2004 a.: 13) dalam bukunya berjudul Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan mengatakan Pembangunan ekonomi berdasarkan Demokrasi Ekonomi adalah pembangunan yang partisipatori dan sekaligus emansipatori. Ia mengatakan bahwa pembangunan ekonomi bukan saja berarti kenaikan pendapatan, tetapi juga kenaikan pemilikan (entitlement). Pembangunan ekonomi bukan hanya koelie yang naik upah / gajinya, tetapi adalah meningkat / meluasnya pemartabatan, peningkatan nilai tambah ekonomi dan sekaligus nilai tambah sosial-kultural, sang


(53)

koelie menjadi mitra usaha dalam sistem triple co, yaitu co-owwnership (ikut memiliki), codetermination (ikut menggariskan wisdom) dan co-responsibility (ikut bertanggungjawab)

Tujuan setiap pembangunan pada dasarnya adalah untuk mensejahterakan masyarakat. Konsep kesejahteraan masyarakat tidak hanya diukur dari jumlah pendapatan atau materi yang diterima saja, tetapi juga peranan yang dapat diambil dalam kehidupan sosial, dan peranan ikut serta dalam mengambil keputusan dan mengembangkan ide-ide. Sebagaimana yang diungkapkan Amartya Sen (2001), bahwa konsep kemiskinan bukan karena kurangnya kebutuhan materi, tetapi karena kurangnya kesempatan (akses) atau kemampuan untuk mengambil bagian dalam kehidupan social. Hal ini sering dikaitkan dengan partisipasi dan pemberdayaan.

Sen, (2002: 8) mengatakan bahwa welfare economics merupakan suatu proses rasional ke arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan. Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat kehidupan (levels of living), pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs fulfillment), kualitas hidup (quality of life) dan pembangunan manusia (human development). Selanjutnya Sen, A. (1992: 39-45) lebih memilih capability approach didalam menentukan standard hidup. Sen mengatakan: the freedom or ability to achieve desirable “functionings” is more importance than actual outcomes.

Persoalan mengenai capaian pembangunan manusia telah menjadi perhatian para penyelenggara pemerintahan. Berbagai ukuran pembangunan manusia dibuat,


(54)

namun tidak semuanya dapat digunakan sebagai ukuran standar yang dapat dibandingkan antar wilayah atau antar Negara. Oleh karena itu Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan suatu ukuran standar pembangunan manusia yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI)

Indeks Pembangunan Manusia didasarkan atas empat indicator yaitu angka harapan hidup, angka melek hidup, rata-rata lama sekolah, dan kemampuan daya beli. Indikator angka harapan hidup menggambarkan dimensi umur panjang yang mewakili bidang kesehatan, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mengukur capaian pembangunan bidang pendidikan dan kemampuan daya beli yang dilihat dari besarnya rata-rata pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan (Sumodiningrat, G. 2009 : 80)

Disamping IPM, paradigma pembangunan yang saat ini harus diperhitungkan adalah keberlanjutan dari pembangunan tersebut. Perspektif pembangunan berkelanjutan menjadi penting dimana kecenderungan sumberdaya yang semakin terbatas dan semakin tereksploitasi. Dengan demikian pembangunan tidak saja dipahami sebagai pembangunan ekonomi, tetapi sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral dan spiritual.

Secara harfiah, pembangunan berkelanjutan mengacu pada upaya memelihara/mempertahankan kegiatan membangun secara terus menerus. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi serta memiliki dimensi social dan politik. Pembangunan dapat dikatakan sebagi vector dari tujuan social suatu


(55)

masyarakat, dimana tujuan tersebut merupakan atribut yang ingin di capai dan dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut. Atribut tersebut mencakup kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan gizi dan kesehatan, pendidikan, akses kepada sumberdaya, distribusi pendapatan yang merata dan sebagainya. Sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum dimana karakter vector pembangunan tadi tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce et al., 1992). Selanjutnya Clark, 1989 menyatakan bahwa berkelanjutan berarti keseimbangan yang dinamis yang memiliki dua arti yaitu : pertama, keseimbangan sistem yang mengalami perubahan, dimana parameter perubahan dalam keseimbangan tersebut bersifat konstan; yang kedua, keseimbangan suatu sistem yang setiap parameternya mengalami perubahan, sehingga setiap perubahan misalnya dalam populasi dakan memicu restorasi nilai populasi awal.


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.

Pendekatan kualitatif pada penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang membentuk pola kemitraan pada pemeliharaan sapi dengan sistem gaduhan dan untuk mengetahui bagaimana pola pembagian hasil diantara kedua belah pihak yang saling bermitra.

Untuk menentukan indikator pada faktor dominan yang membentuk pola kemitraan dan pola pembagian hasil, sebelumnya dilaksanakan angket kepada petugas peternakan lapangan dari beberapa daerah di Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil angket diperoleh beberapa bentuk yang mendasari terjadinya proses gaduhan ternak, yaitu antara lain adanya bantuan pemerintah; kerjasama dengan pihak swasta/perusahaan; perseorangan/pribadi yang menanamkan modalnya; dari yayasan ( dalam upaya memberdayakan masyarakat).

Dari hasil angket dengan petugas juga diperoleh beberapa pola pembagian hasil antara penggaduh dan penerima gaduhan ternak, bentuk-bentuk pembagian hasil tersebut adalah : 50% : 50%; atau 60% : 40%; atau 70% : 30%; atau pembagian dalam bentuk anak sapi (ternak) jika induk sudah beranak.


(57)

Pendekatan kuantitatif adalah untuk melihat hubungan pola kemitraan dengan sistem gaduhan terhadap kesejahteraan peternak. Indikator kesejahteraan didekati menurut indeks pembangunan manusia, yang meliputi tingkat pendapatan, pendidikan, kesehatan ditambah dengan tingkat self-esteem (Todaro, 2004 dan Swasono, 2004)

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian adalah di Kecamatan Pantai Cermin, kabupaten Serdang Bedagai.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah petani/peternak yang memelihara ternak gaduhan di tiga desa di kecamatan P. Cermin, yaitu desa Kota Pari, Ujung Rambung dan Celawan. Pemilihan desa didasarkan pada populasi ternak sapi di ketiga desa tersebut adalah yang lebih besar.

Sampel penelitian diambil secara purposive, yaitu sampel petani/peternak adalah yang telah memelihara ternak gaduhan selama 2 tahun ke atas. Penentuan 2 tahun ke atas didasarkan pertimbangan bahwa selama kurun waktu 2 tahun petani/peternak telah menerima hasil dari usaha ternak gaduhan tersebut. Selanjutnya penunjukkan sampel dilakukan secara snow ball, yaitu penunjukkan sampel berikutnya adalah dari informasi petani/peternak gaduhan sebelumnya. Cara ini


(58)

disebabkan tidak adanya data atau tidak diketahuinya jumlah petani/peternak gaduhan di ketiga desa tersebut. Dari hasil pengambilan sampel dengan cara purposive dan bersifat snow ball tersebut diperoleh jumlah sampel penelitian sebesar 74 orang petani/peternak .

Selain itu untuk mendapatkan informasi, digunakan informan. Informan tersebut adalah petugas inseminator yang ada di kecamatan P.Cermin dan informan yang berasal dari petani/peternak. Informan dari petani/peternak adalah yang dianggap mewakili peternak disekitarnya dan yang mempunyai wawasan lebih luas. Informan yang berasal dari petani/peternak ini sebagai peserta pada Grup Diskusi Terarah (FGD) nantinya dengan jumlah sebanyak 12 orang.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengupulan data diawali dengan pendekatan kuantitatif, yaitu dengan penyebaran kuesioner kepada responden (sampel). Kuesioner tersebut disusun dengan menggunakan skala Likert, dengan pilihan jawaban mulai dari gradasi positif sampai dengan negatif. Pilihan tersebut antara lain Dapat, Kurang Dapat, Tidak Dapat atau Ya, Tidak Tahu, Tidak. Dari setiap jawaban nantinya akan diberikan skor, dimana mulai dari gradasi yang positif dengan nilai 3 sampai dengan gradasi yang negatif dengan nilai 1. Pada kuesioner ini digunakan tiga skala saja, sedangkan untuk gradasi yang sangat positif dan yang sangat negatif tidak digunakan. Hal ini disebabkan karena kedua gradasi tersebut akan membingungkan responden.


(59)

Responden pada penelitian ini adalah para petani/peternak, dimana pada umumnya pendidikan mereka rendah sehingga untuk tidak menyulitkan mereka dalam memilih jawaban maka dibuat gradasi dengan skala tiga saja. Tambahan lagi gradasi yang sangat positif dan sangat negatif dianggap tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner

Pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara, observasi dan dilanjutkan dengan teknik Focus Group Discussion (FGD) atau Grup Diskusi Terarah, panduan wawancara, observasi dan FGD dapat dilihat pada lampiran 1. Dari hasil pendekatan kualitatif ini akan diperoleh faktor-faktor dominan yang membentuk kemitraan dengan sistem ”gaduhan” dan pola pembagian hasil antara pemodal dan peternak. Selain itu dari hasil observasi diperoleh gambaran tentang kondisi fisik perumahan dan sistem perkandangan ternak.

3.5. Definisi Konsep

1) Pola kemitraan dengan sistem ”gaduhan” adalah bentuk kerjasama dibidang usaha ternak sapi, dimana pemilik modal memberikan modal berupa ternak sapi kepada petani/peternak untuk dipelihara.

2) Petani/peternak adalah orang yang memelihara ternak sapi baik dia mempunyai matapencarian sebagai petani dan atau peternak.


(60)

3) Pola pembagian hasil adalah proporsi pembagian keuntungan hasil usaha ternak gaduhan antara pemilik modal dengan petani/peternak sebagai pemelihara.

4) Faktor dominan yang membentuk kemitraan/kerjasama adalah faktor yang mendasari terjadinya kemitraan/kerjasama antara pemilik modal dan petani/peternak.

5) Kesejahteraan petani/peternak adalah keadaan yang menunjukkan adanya perbaikan dan kemajuan dibidang pendapatan, pendidikan, kesehatan dan rasa bangga (self esteem).

3.6. Definisi Operasional

Untuk memperjelas arti serta untuk mempermudah analisis dipaparkan definisi operasional variabel yang digunakan sebagai berikut :

1) Pola pembagian hasil pada pemeliharaan ternak dengan sistem ”gaduhan”. Variabel ini meliputi bagaimana pola pembagian hasil yang diterima oleh peternak dan pemilik modal. Pembagian hasil antara peternak dan pemilik modal mungkin dengan perbandingan 50% : 50%; atau 60% : 40%; atau 70% : 30%; atau pembagian dalam bentuk anak sapi (ternak) jika induk sudah beranak ataupun dalam bentuk lainnya.

2) Faktor-faktor dominan yang membentuk pola kemitraan pada pemeliharaan ternak dengan sistem ”gaduhan”.


(61)

Variabel ini meliputi faktor apa yang mendasari terbentuknya kemitraan dengan sistem gaduhan tersebut. Faktor-faktor tersebut mungkin adalah karena adanya bantuan pemerintah; atau kerjasama dengan pihak swasta/perusahaan; atau perseorangan/pribadi yang menanamkan modalnya; atau suatu yayasan dalam upaya memberdayakan masyarakat; atau lainnya. 3) Kesejahteraan petani/peternak; kesejahteraan petani/peternak didekati

menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu meliputi: a. Pendapatan;

Untuk mengukur indikator pendapatan diukur melalui persepsi petani/peternak terhadap antara lain : pola konsumsi, tersedianya tabungan, kepemilikan aset (barang elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah). Pengukuran indikator pendapatan ini merupakan bagian dari variabel-variabel indikator kesejahteraan menurut CBSM (Community Based Monitoring System) atau Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masayarakat (Lembaga Penelitian SMERU, 2005). b. Pendidikan;

Indikator ini diukur melalui persepsi peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani/peternak, tingkat pendidikan anggota keluarga. c. Kesehatan;

Indikator kesehatan diukur melalui persepsi terhadap penggunaan layanan medis ketika sakit, fasilitas MCK


(62)

(mandi-cuci-kakus), kebersihan lingkungan termasuk sistem perkandangan dan penanganan kotoran ternak

d. Rasa Bangga (Self-Esteem)

Indikator ini diukur melalui persepsi terhadap ”rasa bangga”; kenaikan pemilikan (entitlement) petani/peternak karena memelihara ternak gaduhan.

Tabel 1. Matriks Operasional Pengukuran Kuantitatif Variabel Penelitian Indikator Instrumen/Alat ukur Kesejahteraan

Petani/Peternak

Pendapatan - Pola konsumsi

- Kepemilikan asset (barang elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah)

- Tabungan

Pendidikan - Pengetahuan dan ketrampilan

petani/peternak

- Tingkat pendidikan anggota keluarga

Kesehatan - Penggunaan layanan medis

ketika sakit - fasilitas MCK

- kebersihan lingkungan

(penanganan kotoran ternak)

Self-Esteem - Rasa bangga

- Kenaikan pemilikan


(63)

3.7. Teknik Analisa Data

Untuk menganalisa data kuantitatif maka digunakan analisis statistik deskriptif dengan melakukan tabulasi secara tunggal, yang kemudian dituangkan dalam bentuk tabel frekwensi, persentase maupun diagram. Untuk melihat hubungan penerapan pola kemitraan dengan sistem gaduhan terhadap kesejahteraan petani/peternak digunakan analisa korelasi Product Pearson Moment, dengan menggunakan program

Microsoft Excel 2007.

Analisis data kualitatif mengikuti model Miles dan Huberman (1984), yaitu proses data direduksi kemudian penyajian data (data display) dan selanjutnya diverifikasi untuk ditarik kesimpulan (conclusion/drawing/verification).

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Pantai Cermin merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di kabupaten Serdang Bedagai. Secara geografis Pantai Cermin terletak pada posisi 2° 57” Lintang Utara, 3° 16” Lintang Selatan, 98° 33” Bujur Timur dan 99° 27” Bujur Barat. Ketinggian P. Cermin berkisar 0 – 3 m dari permukaan laut dengan luas


(64)

Kecamatan Pantai Cermin terletak pada daerah pesisir pantai timur Sumatera, beriklim tropis dengan kelembaban udara 84%. Curah hujan berkisar 30 sampai dengan 340 mm perbulan, dengan periodik tertinggi pada bulan September dan Oktober, ketinggian dari permukaan laut 0-3 m, rata-rata kecepatan udara berkisar 1,10 m/s dengan tingkat penguapan 3,47 mm/hari, temperatur udara perbulan minimum 24 C dan maksimal 34 C. Adapun batas wilayah dari kecamatan Pantai Cermin adalah:

Sebelah Utara : Selat Malaka Sebelah Selatan : Perbaungan

Sebelah Barat : Sei Ular/kabupaten Deli Serdang Sebelah Timur : Perbaungan


(65)

Gambar 2. Peta Kecamatan Pantai Cermin

Potensi wilayah Pantai Cermin antara lain sebagai daerah wisata ; Saat ini Kecamatan Pantai Cermin telah memiliki 5 lokasi pantai yaitu Pantai Mutiara 88, Pantai Gudang Garam, Pantai Pondok Permai, Pantai Cermin Theme Park dan Pantai Kuala Putri. Selain itu Pantai cermin berpotensi dalam pengembangan perikanan dan kealutan. Dengan garis pantai sepanjang 21 KM, maka Pantai Cermin memiliki potensi sumberdaya laut dan hasil laut. Walaupun berpotensi pada kedua sektor tersebut di atas, Pantai Cermin juga merupakan lumbung beras untuk Kabupaten Serdang Bedagai. Luas lahan pertanian di Kecamatan Pantai Cermin 3.338 Ha yang berada di 12 desa dengan luas cakupan sebagaimana tercantum dalam tabel 2.

Tabel 2. Luas Areal Pertanian menurut Jenisnya

No Desa Irigasi Irigasi Sederhana Tadah Pompa Jlh

Teknis ½ Teknis PU Desa Hujan

1. U.Rambung - 160 - - - 100 260

2. Celawan - 200 - 110 50 50 410

3. Kota Pari - - - 344 50 - 394


(66)

5. P.C.Kiri - 125 - 50 - - 175

6. Kuala lama - 178 - - 47 - 255

7. Sementara - 325 - - - - 325

8. B. II Terjun - 165 - 50 60 100 325

9. P. Kasih - 100 - - - - 100

10. A.Payung - 219 - 40 40 - 299

11. L.Saban - 184 100 50 50 20 404

12. N.Kisar - 310 - - - 20 330

Jumlah - 1.966 100 644 328 290 3.328

Sumber : www.serdangbedagaikab.go.id

    Luas areal pertanian cukup luas, meliputi 43,20 % dari luas seluruh Kecamatan Pantai Cermin. Jenis tanaman pertanian antara lain tanaman padi, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai dan jagung. Adanya potensi tanaman pangan ini memberikan peluang untuk pengembangan peternakan, yaitu pengembangan peternakan terintegrasi dengan tanaman pangan. Hal ini dimungkinkan karena tersedianya potensi makanan untuk ternak yang cukup dari limbah pertanian, dan sebaliknya potensi pupuk dari kotoran ternak untuk tanaman pangan.

Populasi ternak khususnya ternak besar di Kecamatan Pantai Cermin pada umumnya terkonsentrasi di Desa Kota Pari, Celawan dan Ujung Rambung. Populasi


(67)

ternak di Kecamatan P. Cermin dapat dilihat sebagaimana tercantum pada tabel 3. di bawah ini.

Tabel 3. Populasi Ternak Besar dan Kecil di Kec. Pantai Cermin Tahun 2010

No Desa Sapi Perah

Sapi Potong

Kerbau Kambing Domba Babi

1. P.Cermin Kanan 17 159 0 385 106 749

2. P.Cermin Kiri 0 155 11 358 171 0

3. Kota Pari 43 2.237 64 496 489 2.122

4. Celawan 0 675 6 396 420 952

5. Besar II Terjun 0 310 13 178 160 719

6. Sementara 0 139 9 257 188 0

7. Kuala Lama 0 177 11 185 143 782

8. Ara Payung 0 294 13 393 164 576

9. Lubuk Saban 0 132 35 293 181 0

10. Naga Kisar 0 249 16 169 195 1.386

11. Pematang Kasih 0 188 0 278 159 616

12. Ujung rambung 0 673 14 110 193 1.427

Jumlah 60 5.388 192 3.498 2.569 9.329


(68)

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa populasi ternak sapi potong sebahagian besar berada di desa Kota Pari (41,52%), diikuti Desa Celawan (12,52% dan Desa Ujung Rambung (12,49%). Oleh karenanya pengambilan sampel pada penelitian ini di ambil dari ketiga desa tersebut.

Jumlah penduduk dapat memberikan gambaran akan potensi tenaga kerja di suatu wilayah, khususnya jumlah penduduk usia produktif. Jika usia produktif tinggi maka potensi sumberdaya yang dapat dijadikan modal penggerak pembangunan semakin besar pula.

Berdasarkan data Serdang Bedagai Dalam Angka Tahun 2005, populasi penduduk di Kecamatan Pantai Cermin adalah 40.267 orang. Pada tabel 4. menunjukkan jumlah penduduk Kecamatan Pantai Cermin menurut usia.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Usia Tahun 2005

No Nama Desa Jumlah Penduduk Menurut Usia

0-5 6-12 13-16 17-59 >60 Jumlah

Jlh KK

1. Uj.Rambung 442 524 631 702 470 2.706 502

2. Celawan 855 960 1.422 1.576 801 5.572 1.152

3. Kota Pari 857 943 1.249 1.783 846 5.678 1.179

4. P.C.Kanan 557 643 851 977 630 3.655 755


(69)

6. B. II Terjun 653 745 857 887 692 3.877 783

7. Sementara 289 329 545 605 214 1.952 405

8. Kuala Lama 612 712 821 970 650 3.245 756

9. Ara Payung 350 450 463 514 471 1.299 274

10. P.Kasih 193 207 352 329 218 2.248 468

11. Lubuk Saban 396 372 644 675 348 2.474 545

12. Naga Kisar 575 624 796 991 452 3.418 751

Jumlah 6.312 7.180 9.530 10.915 6.136 40.267 8.376

Sumber : BPS Kab. Serdang Bedagai

Tingkat pendidikan adalah salah satu ukuran untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat. Sebagai komponen pada ukuran Indeks Pembangunan Manusia, pendidikan adalah faktor penting dan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dimiliki agar mampu meningkatkan potensinya. Kualitas pendidikan selain dipengaruhi oleh sistem pendidikan dan kurikulum yang ada, juga oleh sarana- dan prasarana yang tersedia, seperti gedung sekolah dan jumlah guru.

Banyaknya jumlah sekolah, jumlah murid dan guru di Kecamatan Pantai Cermin sebagaimana tercentum pada tabel 5 di bawah ini. Jika dilihat dari tabel 4 dan tabel 5 yaitu perbandingan antara jumlah penduduk usia sekolah (6 – 16 tahun) dan jumlah murid seluruhnya (dari SD s/d SMU dan Madrasah Tsanawiyah) maka pada tahun 2005 di Kecamatan Pantai Cermin ditemui prosentase anak sekolah masih rendah yaitu berkisar 41,92 %.


(70)

Tabel. 5. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru di Pantai Cermin Tahun 2005

No Jenis Jumlah Sekolah Jumlah Murid Jumlah Guru Sekolah

Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta

1. SD 24 3 5.705 199 -

-2. SLTP 2 2 740 151 66 25

3. SMU - 1 - 76 - 10

4. MTS 3 133 31

Jumlah 29 6 6.578 426 97 35

Sumber : Dinas Pendidikan Nasional Kab. Serdang Bedagai

Rasio guru terhadap murid dapat menggambarkan mutu pendidikan. Dari tabel 5 dapat pula dilihat bahwa rasio guru terhadap murid masih sangat rendah yaitu 1,88%, artinya jumlah guru dibandingkan dengan jumlah murid yang harus diajar sangat kurang (tidak seimbang). Rasio guru terhadap murid idealnya adalah 20%.

Kesehatan merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan manusia dan tingkat kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Jika kondisi kesehatan masyarakat tinggi, maka potensi untuk meningkatkan produktifitasnya akan tinggi pula. Manusia yang sehat diharapkan dapat melakukan aktifitas produktifnya dengan baik, dengan demikian dapat meningkatkan


(71)

kesejahteraannya. Ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai sangat membantu dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sarana kesehatan di Kecamatan Pantai Cermin sebagaimana dicantumkan pada tabel 6. di bawah ini.

Tabel 6. Sarana Kesehatan di Pantai Cermin Tahun 2007

No. Sarana Jumlah

1. Puskesmas 1

2. Puskesmas Pembantu 6 3. Balai Pengobatan Swasta 13 4. Praktek Dokter umum 4

5. Depot Obat 3

6. Dokter Umum 2

7. Dokter Gigi 3

8. Perawat 15

9. Bidan 12

Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Serdang Bedagai


(72)

Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan pada instrumen penelitian kesejahteraan petani/peternak. Uji validitas dan reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah setiap instrumen yang digunakan pada kuesioner dapat digunakan untuk mengukur penerapan pola kemitraan dengan sistem gaduhan terhadap kesejahteraan petani/peternak. Pada pengujian instrumen, responden yang digunakan berjumlah 30 orang dan jumlah butir instrumen yang diuji 11 butir (perhitungan lihat lampiran).

Dari hasil pengujian validitas terhadap setiap butir pertanyaan dalam kuesioner dengan menggunakan korelasi Pearson Moment, diperoleh sebagaimana tercantum dalam tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7. Hasil Uji Validitas Setiap Butir Instrumen

No.Butir Instrumen

Koefisien Korelasi (r hitung)

r kritis Keputusan

1 0,47 0,3 Valid

2 0,57 0,3 Valid 

3 0,56 0,3 Valid 

4 0,81 0,3 Valid 

5 0,51 0,3 Valid 

6 0,72 0,3 Valid 


(73)

8 0,79 0,3 Valid 

9 0,73 0,3 Valid 

10 0,33 0,3 Valid 

11 0,77 0,3 Valid 

Sumber : Hasil Analisis (Lihat Lampiran)

Dari hasil perhitungan ditemukan bahwa r hitung setiap butir instrumen lebih besar daripada 0,3 (r kritis), dengan demikian setiap butir instrumen dinyatakan valid.

Pengujian reliabilitas terhadap instrumen dilakukan dengan internal consistency dengan teknik belah dua (split half) yang dianalisis dengan rumus

Spearman Brown. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai reliabilitas adalah 0,81 (perhitungan lihat lampiran). Oleh karena setiap butir pertanyaan (instrumen) pada kuesioner adalah valid dan reliabel maka instrumen tersebut dapat digunakan untuk pengumpulan data pengaruh gaduhan ternak terhadap kesejahteraan petani/peternak.

4.3. Hasil Penelitian Gambaran Responden

Gambaran umum responden penelitian dimaksudkan agar mengetahui secara umum bagaimana gambaran umur (usia) responden, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jumlah kepemilikan ternak gaduhan yang mereka pelihara dan lamanya mereka telah memelihara ternak gaduhan.


(74)

Berdasarkan data yang diperoleh umur responden terentang mulai umur 21 tahun sampai dengan 60 tahun. Gambaran umur responden sebagaimana tercantum pada tabel 8.

Tabel 8. Gambaran Umur Responden

No Rentang Umur (Tahun) Jlh. Responden (org) Prosentase (%)

1. 21 – 25 2 2,70

2. 26 – 30 9 12,16

3. 31 – 35 8 10,81

4. 36 – 40 7 9,46

5. 41 – 45 18 24,32

6. 46 – 50 15 20,27


(75)

8. 56 – 60 8 10,81

Jumlah 74 100

Sumber : Hasil Tabulasi Data

Dari tabel 8 terlihat bahwa sebaran umur petani/peternak yang terbanyak adalah pada umur antara 41 s/d 45 tahun yaitu 24,32% dan diikuti pada umur 46 s/d 50 tahun sebesar 20,27%. Jika dilihat dari sebaran umur responden, maka petani/peternak pemelihara ternak gaduhan adalah pada sebaran usia produktif.

Gambaran komposisi penduduk dalam suatu pembangunan berguna untuk pertimbangan ketersediaan sumberdaya manusia. Selain itu sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan program pembangunan yang akan direncanakan dan bagaimana metode penyampaian maupun pembinaan yang akan dilaksanakan. Usia muda akan lebih cepat menyerap inovasi yang akan diperkenalkan dan diajarkan.

Dari hasil pengumpulan data diperoleh bahwa tingkat pendidikan petani/peternak pemelihara ternak gaduhan sebagian besar adalah Sekolah Dasar (SD). Frekwensi Peternak Menurut Tingkat Pendidikannya digambarkan pada diagram lingkaran di bawah ini.


(76)

Gambar 3. Diagram Tingkat Pendidikan Responden

Dari diagram 3 terlihat bahwa 70,27% petani/peternak pemelihara berpendidikan Sekolah Dasar (SD), 18,92 % berpendidikan SLTP (setara SMP) dan 10,81 % yang berpendidikan SLTA (setara SMA).

Berdasarkan hasil tabulasi diperoleh bahwa jenis pekerjaan responden adalah sebagai petani/peternak, pegawai negeri sipil dan wiraswasta. Pekerjaan sebagai petani/peternak yaitu sebesar 95,95%, pegawai negeri sipil 2,7 % dan sebagai wiraswasta sebesar 1,35%.

Usaha peternakan secara umum adalah sebagai mata pencaharian sampingan atau sambilan, selain daripada petani tanaman pangan dan nelayan. Gambaran jenis pekerjaan responden sebagaimana tercantum pada tabel 9 di bawah ini.


(77)

No. Jenis Pekerjaan Jlh. Responden (Org) Prosentase (%)

1. Pegawai Negeri 2 2,70

2. Petani/Peternak 71 95,95

3. Wiraswasta 1 1,35

Jumlah 74 100

Sumber : Hasil Tabulasi Data

Hasil dari pengumpulan data diperoleh bahwa kepemilikan ternak dari responden (petani/peternak) terentang mulai dari 2 ekor sampai dengan 53 ekor. Data jumlah kepemilikan ternak gaduhan petani/peternak dapat dilihat pada tabel 10


(78)

.

Tabel 10. Jumlah Kepemilikan Ternak Responden

No. Jumlah Ternak

Frekwensi Responden (org)

Prosentase (%)

Jumlah Ternak (ekor)

1. 2 ekor 18 24.32 36

2. 3 ekor 18 24.32 54

3. 4 ekor 16 21.62 64

4. 5 ekor 5 6.76 25

5. 6 ekor 8 10.81 48

6. 7 ekor 3 4.05 21

7. 8 ekor 3 4.05 24

8. 10 ekor 1 1.35 10

9. 19 ekor 1 1.35 19

10. 53 ekor 1 1.35 53

JUMLAH 74 100 354

Sumber : Hasil Tabulasi Data

Dari data 10 diperoleh bahwa sebagian besar petani/peternak mempunyai ternak hanya 2 sampai 3 ekor. Prosentase kepemilikan ternak gaduhan sebanyak 2 ekor adalah 24,32% dan yang memiliki 3 ekor juga 24,32%. Namun dari


(1)

Lampiran 5

FOTO – FOTO KEGIATAN


(2)

Kegiatan Wawancara dan Observasi dengan Responden

Kegiatan Wawancara dan Observasi dengan Responden


(3)


(4)

Salah Satu Tempat Ternak di Tambat


(5)


(6)