Perencanaan Ruang Terbuka Hijau Ekologis Sebagai Habitat Burung di Kawasan Perumahan Bukit Cimanggu City

(1)

BUKIT CIMANGGU CITY

DIAN KHAERUNNISA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Perencanaan Ruang Terbuka Hijau Ekologis sebagai Habitat Burung di Kawasan perumahan Bukit Cimanggu City adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada daftar pustaka skripsi ini.

Bogor, Februari 2013

Dian Khaerunnisa A44062918


(3)

© Hak Cipta Milik Dian Khaerunnisa dan IPB

Tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izinDian Khaerunnisa dan IPB


(4)

Habitat Burung di Perumahan Bukit Cimanggu City. Dibimbing oleh QODARIAN PRAMUKANTO.

Semakin banyaknya penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan papan yaitu kawasan permukiman dan perumahan. Bertambahnya kawasan perumahan menyebabkan Ruang Terbuka Hijau yang ada menjadi semakin sedikit. Hal ini mempengaruhi fungsi ekologis yang dimiliki oleh Ruang Terbuka Hijau yaitu sebagai habitat burung. Habitat burung tergusur oleh keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Sembiring (dalam Antara News, 2010), semakin banyaknya pertumbuhan pembangunan mengurangi jumlah ruang terbuka hijau sebagai tempat tinggal burung-burung. Beliau juga menyatakan bahwa Indonesia memiliki 1.599 jenis burung, atau peringkat keempat di dunia tetapi dari 1.599 spesies itu, 234 jenis di antaranya terancam punah. Oleh karena itu diperlukan adanya upaya untuk merencanakan Ruang Terbuka Hijau yang dapat berfungsi secara ekologis yaitu sebagai habitat burung. Tujuan studi ini adalah merencanakan ruang terbuka hijau di kawasan permukiman Bukit Cimanggu City dengan cara mengevaluasi Ruang Terbuka Hijau yang ada lalu mengembangkan menjadi Ruang Terbuka Hijau sebagai habitat burung. Pengambilan data lapang dilakukan pada bulan September hingga Oktober 2011 dengan menggunakan teknik sampling. Teknik sampling yang digunakan adalah sampling acak. Contoh sampel yang diambil meliputi data taman komunitas, taman RT/ketetanggaan dan taman halaman rumah. Data yang diambil dalam contoh sampel adalah data jenis vegetasi dan satwa. Selain dengan teknik sampling dilakukan pula teknik wawancara untuk mendapatkan data jenis satwa. Kesesuaian tapak untuk dijadikan kawasan permukiman ekologis sebagai habitat burung dapat diketahui dengan proses analisis. Analisis pertama adalah menganalisis kebutuhan RTH untuk permukiman dengan cara membandingkan luas eksisting RTH dengan standard berupa aturan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5 tahun 2008. Kedua dilakukan analisis kesesuaian lahan. Analisis kesesuaian lahan terbagi menjadi dua yaitu analisis kesesuaian RTH sebagai tempat bersarang dan analisis biofisik. Analisis kesesuaian RTH sebagai tempat


(5)

Analisis biofisik dilakukan dengan membandingkan jenis tanah, vegetasi, iklim dan hidrologi eksisting dengan kriteria berdasarkan teori Van Hoeve (1989) mengenai iklim, jenis tanaman dan jenis makanan yang dihasilkan (Hails et al., 1990), bentuk tajuk (Halle, dalam Rusilawati, 2002) dan tinggi tanaman (Handayani, 1995).

Hasil analisis pertama menyatakan bahwa masih ada beberapa luas Ruang Terbuka Hijau yang tidak memenuhi luas standard dari PU. Hasil analisis kesesuaian RTH sebagai tempat bersarang menyatakan bahwa luas Ruang Terbuka Hijau yang ada, tidak memenuhi standard sebagai area perlindungan sumber burung (source) tetapi dapat dikembangkan sebagai area perlindungan penampung (sink). RTH di sekitar lokasi dianggap sebagai potensi area sumber. Berdasarkan hasil analisis biofisik diketahui bahwa jenis tanaman yang dominan adalah tanaman penghasil pakan biji-bijian dengan tipe percabangan nezeran dan rauh. Tipe percabangan nezeran kurang disukai oleh burung karena percabangannya terlalu terbuka sedangkan tipe percabangan rauh sangat disukai sebagai tempat bersarang karena percabangannya tertutup. Analisis drainase menunjukan tipe drainase yang ada adalah saluran drainase terbuka dan tertutup. Analisis iklim menunjukan bahwa suhu dan kelembaban di lokasi studi telah sesuai untuk satwa burung.

Berdasarkan hasil analisis dan sintesis, dapat disusun rencana ruang terbuka hijau dengan pengembangan konsep perencanaan yang meliputi konsep ruang ekologis, konsep vegetasi dan konsep aktivitas satwa. Konsep ruang ekologis dibagi menjadi daerah perlindungan daerah burung sumber (source), daerah penampung (sink) dan koridor. Konsep vegetasi menerapkan teori Leedy (1978) mengenai enam jenis tanaman di area perlindungan yaitu tanaman konifer, tanaman peneduh, semak, tanaman tepi air, rumput, gabungan tanaman. Konsep aktivitas dibuat untuk aktivitas burung. Burung dapat masuk ke kawasan perumahan lalu menuju ke kawasan sink yang telah dikembangkan. Rencana Ruang Terbuka Hijau disusun ke dalam ruang vegetasi untuk bersarang (sink), ruang vegetasi koridor dan ruang potensi area sumber (source).


(6)

BUKIT CIMANGGU CITY

DIAN KHAERUNNISA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013


(7)

Judul : Perencanaan Ruang Terbuka Hijau Ekologis Sebagai Habitat Burung di Kawasan Perumahan Bukit Cimanggu City

Nama : Dian Khaerunnisa

NRP : A44062918

Program Studi : Arsitektur Lanskap

Mengetahui, Dosen Pembimbing

Ir. Qodarian Pramukanto, MSi. NIP. 19620214 1987031 1 002

Menyetujui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP.19480912 1974122 2 001


(8)

 

KATA

PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya dan Rasulullah SAW sebagai suri tauladan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tugas akhir dengan baik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan sebesar-besarnya kepada:

1. Orang tua yang telah mendukung baik secara moril maupun materil. 2. Ir.Qodarian Pramukanto, MSi. selaku pembimbing skripsi.

3. Teman-teman departemen Arsitektur Lanskap angkatan 43 atas dukungan dan doanya.

Penelitian ini penulis susun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir yaitu skripsi. Skripsi ini dibuat supaya dapat bermanfaat untuk masyarakat.

Sesungguhnya penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun untuk perkembangan berikutnya.

Bogor, Februari 2013


(9)

 

DAFTAR ISI

 

Halaman

Daftar Isi.. ...x

Daftar Tabel ...xii

Daftar Gambar ... xiii

Daftar Lampiran ...xvi

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Tujuan ...2

1.3 Manfaat ...2

1.4 Kerangka Pikir Studi ...2

BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Definisi Lanskap Ekologi... ...5

2.2 Kawasan Permukiman ...6

2.3 Ruang Terbuka Hijau ...7

2.4 Ruang Terbuka Hijau pada Permukiman. ...10

2.5 Mengembangkan RTH Untuk Burung ...17

2.6 Perencanaan Lanskap ...29

BAB III Metodologi 3.1 Tempat dan Waktu... 31

3.2 Batasan Studi... 32

3.3 Alat dan Bahan Penelitian ...32

3.4 Metodologi ...33

BAB IV Analisis dan Sintesis 4.1 Data Biofisik ...48

4.1.1 Kondisi Umum Tapak ...48

4.1.2 Kondisi Biofisik Tapak ...51

4.1.2.1 Bukit Cimanggu City ...51

4.1.2.2 Alokasi Ruang dan Lahan Tapak ...51

4.1.2.3 Iklim ...57


(10)

 

4.1.2.5 Vegetasi...58

4.1.2.6 Topografi dan Tanah ...61

4.1.2.7 Kondisi Satwa Burung ...61

4.2 Analisis ...61

4.2.1 Analisis Kebutuhan RTH untuk Permukiman ...61

4.2.2 Analisis Kesesuaian Lahan untuk Bersarang ...66

4.2.3 Analisis Biofisik ...67

4.3 Sintesis ...87

BAB V Perencanaan Lanskap 5.1 Konsep Perencanaan ...92

5.2Pengembangan Konsep ... 92

5.2.1 Konsep Ruang ... 92

5.2.2 Konsep Vegetasi ... 93

5.2.3 Konsep Aktivitas ... 93

5.3 Block plan ... 94

5.4 Rencana Lanskap ... 96

BAB VI Simpulan dan Saran 6.1 Simpulan ... 105

6.2 Saran ... 106

Daftar Pustaka ...107 LAMPIRAN


(11)

 

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Kepemilikan RTH ...9

2. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk ...10

3. Standar kebutuhan RTH oleh Umum ...15

4. Cara Membedakan Jenis Vegetasi secara Spasial ...21

5. Jenis Pohon Yang Disukai Burung ...22

6. Klasifikasi Iklim Menurut Schmidt-Ferguson ...29

7. Tahap Pelaksanaan dan Alokasi Waktu Studi ...31

8. Jenis, Bentuk Pengambilan, Sumber dan Bentuk Data ...32

9. Kunci Identifikasi Citra IKONOS ...35

10. Kriteria luas berdasarkan peraturan ...41

11. Kriteria luas habitat burung ideal daerah ...42

12. Persaratan/Kriteria Biofisik Lokasi Habitat Burung ...43

13. Klasifikasi Vegetasi Berdasarkan Kriteria ...45

14. Penggunaan Lahan pada Bukit Cimanggu City ...53

15. Klasifikasi Tata Guna Lahan Bukit Cimanggu City ...53

16. Alokasi Jenis Ruang dan Lahan untuk Pemukim yang Direncanakan Oleh Pengembang ...55

17. Vegetasi Pohon di Bukit Cimanggu Villa ...58

18. Standard Kebutuhan RTH menurut PU ...62

19. Luas Beberapa Sampel Taman Ketetanggaan ...63

20. Luas RTH taman lingkungan kawasan ...64

21. Jenis RTH dan Fungsi area yang dapat dikembangkan ...66

22. Karakter jenis tanah latosol ...69

23. Jumlah ragam tanaman berdasarkan kriterianya ...71

24. Ragam jenis tanaman dengan kriteria di RTH halaman rumah ...79

25. Tingkat kesesuaian lahan BCC sebagai habitat burung ...88

26. Matrik hubungan kesesuaian lahan dengan konsep pengembangan ...94

27. Jenis vegetasi dan fungsinya ...99


(12)

 

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Kerangka pikir ...3

2. Contoh Tata Letak Jalur Hijau Jalan ...14

3.Skema hipotetik penyebaran populasi dengan struktur sumber dan penampung (sink-source) ...18

4. Ketebalan RTH optimal pada koridor burung ...19

5. Diagram skematis perbandingan bentuk-bentuk areal ...19

6. Penataan spasial lokasi ideal habitat burung ...20

7. Tipe tanaman yang harus ada merencanakan suatu kawasan di perkotaan menjadi perlindungan habitat liar ...22

8. Tipe-tipe arsitektur pohon (Halle dalam Rusilawati, 2002) ...24

9. Tata vegetasi pada daerah perlindungan, transisi, koridor dan lapangan rumput bagi satwa burung ...25

10. Jaring-jaring makanan ...26

11. Denah Lokasi ...31

12. Diagram Alur metodologi ...33

13. Sampel Taman Lingkungan ...36

14. Sampel Taman RT ...36

15. 3 (Tiga) pembagian wilayah untuk sampel taman rumah ...37

16. Penentuan sampel melalui layar monitor computer ...37

17. Struktur penggunaan lahan Bukit Cimanggu City ...38

18. Tahapan Analisis- Sintesis ...40

19. Jarak yang dibutuhkan dalam area penampung ...43

20. Masterplan Bukit Cimanggu City (BCC) ...49

21. Peta Batas Penelitian ...50

22. Peta Eksisting Bangunan...52

23. Peta Tata Guna Lahan ...54

24. RTH Permukiman: (a) Taman Rumah, (b) Taman RT, (c) Taman Komunitas, dan (d) Jalur Hijau Jalan ...56

25. Data Iklim kota Bogor Tahun 1996-2006 ...57


(13)

 

27. Beberapa Jenis Vegetasi di RTH Publik BCC ...59

28. Peta Vegetasi ...60

29. Sampel Taman Ketetanggaan / RT: (a) Sampel 1, (b) Sampel 2, (c) Sampel 3, dan (d) Sampel 4 ...62

30. Taman Lingkungan: (a) Taman 1, (b) Taman 2, dan (c) Taman 3 ...63

31. Lokasi Tempat Usulan penambahan RTH ...64

32.Peta Sebaran Sampel RTH ...65

33. Tempat penampungan sampah ...67

34. Koridor ...68

35. Taman lingkungan Casa Grande ...70

36. Lapangan Tenis ...73

37. RTH Taman Masjid ...75

38. Sampel RT-1 ... 76

39. Sampel RT-2 ...77

40. Sampel RT-3 ...77

41. Sampel RT-4 ...78

42. Segment 1 Master plan ...80

43. Sampel Blok A3-9 ...80

44. Sampel Blok H16 ...81

45. Sampel Blok R3-1 ...81

46. Segment 2 Master plan ...81

47. Sampel Blok M3-23 ...82

48. Sampel Blok L4-07 ...82

49. Sampel Blok N8-9 ...82

50. Segment 3 Master plan ...83

51. Sampel Blok W5-19 ...83

52. Sampel Blok T6-7 ...83

53. Sampel Blok W5-19 ...84

54. Peta Aliran Drainase ...86

55. Teori area penampung-sumber (sink-source) Wiens dan Rotenberry yang diterapkan pada BCC ...87

56. Overlay peta ...89


(14)

 

58 Konsep ruang sebagai habitat burung ...92

59. Jenis tanaman yang ada di area perlindungan ...93

60. Aktivitas pergerakan burung ...94

61. Block Plan ...95

62. Rencana Ruang Terbuka Hijau ...97

63. Peletakkan area bersarang dalam area perlindungan ...98

64. Jalur hijau sebagai koridor ...98

65. Struktur dalam penanaman roof garden ...98

66. Strata tanaman dalam perlindungan habitat liar ...99

67. Rencana Taman Komunitas – Taman Masjid ... 100

68. RTH danau Casa Grande ... 101

69. RTH Taman RT ... 101

70. Rencana Taman RT ... 102


(15)

 

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Daftar Klasifikasi Tanaman di Taman Casa Grande ...112

2. Daftar klasifikasi tanaman Lapangan Tenis BCC ...113

3. Daftar klasifikasi tanaman Taman Masjid BCC ...114


(16)

Dian Khaerunnisa merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Moerdianto dan Yunifiati. Lahir di kota Jakarta pada tanggal 24 November 1988. Pendidikan formal penulis dilalui di SD Kartika XI-10 Bandung tahun 1994 -2000, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Jayapura tahun 2001-2004, dan SMUN 77 Jakarta tahun 2004-2006. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Penulis diterima di Mayor Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam bidang keorganisasian. Penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) pada divisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) tahun 2007. Pada tahun 2008, penulis menjabat sebagai ketua Badan Pengawas Himpro HIMASKAP. Penulis juga aktif dalam mengikuti kegiatan sekolah yaitu Bina Sekolah untuk mengajarkan Pendidikan Lingkungan. Prestasi yang pernah diraih yaitu Medali Emas dalam Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) bidang pengabdian masyarakat pada PIMNAS tahun 2009.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara global, masalah lingkungan disebabkan oleh empat faktor utama, yaitu pertambahan penduduk yang cepat, polusi, pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, menurunnya etika dalam menghargai alam dengan perlahan. Semakin banyaknya penduduk menyebabkan pertambahan kebutuhan akan perumahan.

Perumahan merupakan lingkungan hidup yang perlu ditata untuk memberikan kenyamanan bagi penghuninya. Kenyamanan lingkungan dapat dibangun melalui penataan ruang terbuka hijau (RTH) yang menjamin fungsi baik psikis, fisik, maupun ekologis. Fungsi ekologi RTH merupakan salah satu fungsi lingkungan yang penting namun seringkali diabaikan. Adanya asosiasi antara hidupan liar dengan aktivitas manusia di lingkungan permukiman ini, selain menciptakan kenyamanan melalui berbagai bentuk atraksi (seperti pengamatan burung) dan sarana pendidikan lingkungan, juga sangat bermanfaat sebagai sarana penyeimbang lingkungan (fungsi edapis) yang sangat diperlukan di kawasan permukiman. Bentuk integrasi antara hidupan liar dengan aktivitas kehidupan manusia di kawasan permukiman yang berjalan seimbang mencerminkan adanya kualitas lingkungan yang baik. Fungsi penyeimbang lingkungan dari ruang terbuka hijau permukiman dapat diwujudkan melalui penataan ruang terbuka hijau yang kaya akan keanekaragaman biologi. Keanekaragaman biologi tersebut menandakan stabilitas lingkungan.

Menurut Sembiring (dalam, Antara News, 2010), burung merupakan salah satu kelompok terbesar vertebrata yang banyak dikenal, diperkirakan ada sekitar 8.600 jenis yang tersebar di dunia. Daerah Jawa dan Bali memiliki hampir 500 jenis avifauna yang mewakili setengah dari suku burung di dunia. Di daerah Jawa dan Bali terdapat lebih dari 100 cagar alam tetapi umumnya berukuran sangat kecil dan tidak cukup untuk melindungi komunitas burung secara lengkap. Menurut Sembiring (2010), kerusakan lingkungan berdampak pada punahnya burung itu, di samping ulah manusia yang melakukan perburuan unggas tersebut.


(18)

"Rusaknya lingkungan membuat burung berpindah ke tempat lain mencari tempat perlindungan yang lebih aman," ujarnya. Dia mengatakan bahwa semakin banyaknya pertumbuhan pembangunan mengurangi jumlah ruang terbuka hijau sebagai tempat tinggal burung-burung itu.

Permasalahan yang terjadi di kawasan terbangun perkotaan, termasuk permukiman adalah adanya ketidakseimbangan ekologis. Berkurangnya populasi dari satwa burung di kawasan pemukiman yang perkotaan akan menimbulkan ketidakseimbangan ekologis. Salah satu upaya untuk menciptakan keseimbangan ekologis ini, adalah dengan memberdayakan fungsi ruang terbuka, termasuk ruang terbuka hijau di kawasan permukiman sebagai habitat burung.

1.2 Tujuan

Tujuan dari studi ini adalah merencanakan ruang terbuka hijau ekologis sebagai habitat burung di kawasan permukiman.

1.3 Manfaat

Hasil studi ini diharapkan dapat dijadikan alternatif pemikiran bagi pemerintah dan pengembang perumahan dalam cara mengembangkan RTH secara ekologis di kawasan perumahan.

1.4 Kerangka Pikir Studi

Bukit Cimanggu City merupakan salah satu perumahan terbesar di kota Bogor yang menerapkan konsep green. Konsep green diaplikasikan dengan banyaknya ruang terbuka hijau berupa taman dan jalur hijau. Bukit Cimanggu City memiliki fungsi-fungsi penting dari perumahan yaitu berupa hunian, fasilitas umum, fasilitas sosial dan infrastruktur. Beberapa fungsi tersebut memiliki ruang terbuka hijau (RTH) yang luas dan bentuknya disesuaikan dengan bentuk perumahan. Faktor- faktor yang menentukan akan berpengaruh dalam merencanakan kawasan Bukit Cimanggu City sebagai habitat burung. Gambar 1 adalah kerangka pikir dalam studi ini.


(19)

RTH

Komunitas RTH RT

RTH Halaman Rumah

RTH

Infrastruktur RTH Drainase

Evaluasi RTH Menurut PU - RTH Komunitas

- RTH RT

- RTH Halaman Rumah

Evaluasi Kriteria Ekologis

• Pola ruang habitat burung - Area Bersarang

- Area Transisi - Koridor • Biofisik

Perencanaan RTH

Gambar 1. Kerangka pikir

Berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang diakibatkan meningkatnya pembangunan papan menjadi salah satu penyebab terjadinya ketidakseimbangan ekologis. Salah satu dampaknya yaitu berkurangnya habitat burung. Oleh karena itu, diperlukan adanya perencanaan Ruang Terbuka Hijau ekologis sebagai habitat burung dengan mempertimbangkan aspek peraturan pemerintah, fisik dan biofisik tapak. Pertama luas RTH perlu dievaluasi supaya dapat diketahui kesesuaiannya dengan standard Peraturan Menteri Pekejaan Umunu No.5 Tahun 2008. RTH yang dievaluasi yaitu RTH komunitas, RTH RT atau ketetanggaan dan RTH halaman rumah. Kedua dievaluasi menurut kriteia ekologis yaitu pola ruang habitat burung untuk bersarang dan evaluasi secara

+

RTH Permukiman Ketidakseimbangan Ekologis


(20)

biofisik. Analisis kesesuaian RTH untuk tempat besarang dilakukan dengan membandingkan luas eksisting RTH dengan standard luas habitat burung ideal berdasarkan standard The University of Montana (2010). Ruang-ruang yang dibutuhkan sebagai habitat burung yaitu area bersarang, area transisi dan koridor. Analisis biofisik dilakukan dengan membandingkan jenis tanah, vegetasi, iklim dan hidrologi eksisting dengan teori Van Hoeve (1989) mengenai iklim, jenis tanaman dan jenis makanan yang dihasilkan (Hails et al., 1990), bentuk tajuk (Halle, dalam Rusilawati, 2002) dan tinggi tanaman (Handayani, 1995). Selanjutnya dilanjutkan dengan tahap perencanaan RTH.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Lanskap Ekologi

Menurut Forman dan Godron (1986) bahwa lanskap mempunyai sifat yang heterogen dengan struktur yang berbeda pada distribusi spesies, energi, dan material pada elemen patches, koridor dan matriks. Ekologi dapat disebut sebagai bagian dari ekosistem yang menunjuk kepada organisme atau makhluk hidup yang berada di suatu tempat dan berinteraksi dengan lingkungan.

Lanskap ekologi mempunyai teori dasar ekologi yang kuat antara perencana lanskap dan ekologis yang berhubungan dengan bagian-bagian lanskap antara tiga pandangan yaitu aspek visual, aspek kronologi dan aspek ekosistem. Kesepahaman pada kerja lanskap menggambarkan struktur, proses dan lokasi. Dengan struktur, komposisi biologi dan elemen alami dengan lingkungan manusia. Hubungan fungsional antara elemen seperti, iklim, bentukan lahan, tanah, flora dan fauna. Proses menggambarkan pergerakan energi, material, dan organisme di lanskap. Sedangkan lokasi menunjuk pada distribusi elemen dan proses di lanskap dan hubungannya dengan iklim dan bentukan lahan (Thompson, 1997). Taman ekologi memiliki definisi bahwa heterogenitas, atau pola-pola spasial yang berbeda, terdiri atas inti pertanyaan penelitian dalam lanskap ekologi. Tema utama yang terdiri dari lanskap ekologi meliputi:

• pola spasial atau struktur lanskap, mulai dari padang gurun ke kota

• hubungan antara proses pola dan lanskap, termasuk implikasi ekologis

pola populasi, komunitas, dan ekosistem

• efek skala pada lanskap

• proses yang terlibat dalam pembentukan pola, seperti fisik (abiotik)

lingkungan hidup, tanggapan demografis ini, dan gangguan rezim

• hubungan antara aktivitas manusia untuk lanskap pola, proses dan

perubahan (misalnya aplikasi dalam perencanaan penggunaan lahan) Lansekap ekologi terjadi pada berbagai skala, sehingga sebuah "pemandangan" dapat mencakup wilayah yang terdiri dari beberapa ekosistem, atau mungkin merupakan rumah berbagai serangga yang memanjang beberapa meter di


(22)

seberang. Daripada ukuran tertentu, lanskap didefinisikan oleh pola spasial (heterogenitas) dan proses-proses yang terjadi di atasnya yang berada di bawah pertimbangan. Dengan demikian, resolusi, gandum, dan sejauh mana konsep-konsep penting dalam ekologi lansekap. Ini juga berarti bahwa tingkat organisasi, berbeda dari skala, adalah konsep yang penting, yang berasal dari jenis interaksi di bawah pertimbangan dalam usaha penelitian tertentu. Dengan penentuan aspek-aspek studi, pola dapat dinilai, yang biasanya digambarkan sebagai suatu mosaik tambalan.

Lanskap memiliki beberapa hal yang tidak diharapkan:

a Kumuh (slum [slúm]) yaitu lanskap dengan sarana dan prasarana

lingkungan yang inferior.

b Squatter [skówtu(r)] yaitu liar, hunian liar.

c Urban sprawl [sprol] yaitu menyebar tidak teratur

Berakibat pada penurunan kualitas estetika dan penyediaan sarana dan prasarana (jejaring lintas wilayah, penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dll) menjadi tidak layak.

d Konurbasi (conurbation [‘kónur’beyshun]), agregasi atau jejaring yang

kontinyu komuniti kota, tidak ada jeda kota-desa. Relevan dengan efisiensi sarana dan prasarana.

e Lapuk (blight [blIt]), integritas lanskap rusak

Satu atau beberapa sentra prasarana dan sarana permukiman dengan aksesibilitas tertinggi secara internal (dengan seluruh bagian di kawasan urban) dan secara eksternal (dengan pusat-pusat perkotaan lainnya lainnya) dengan standard memadai.

2.2. Kawasan Permukiman

Populasi penduduk yang secara alami meningkat dan terjadinya pemusatan penduduk di kota-kota pulau Jawa menyebabkan masalah pembangunan permukiman semakin mendesak terutama di pulau Jawa. Perumahan dan prasarana lingkungan merupakan kebutuhan dasar setiap keluarga dalam masyarakat Indonesia dan merupakan faktor yang sangat penting dalam


(23)

peningkatan stabilitas sosial, dinamika dan produktivitas masyarakat. (Batubara, 1982)

Permukiman kota dihadapkan dengan permasalahan penggunaan lahan yang sangat padat disebabkan mahalnya lahan dan ruang yang terbatas (Carpenter dan Walker, 1975). Hal ini menciptakan suasana kota yang menekan. Skala yang terbentuk dalam pembangunan kota dan ruang kota seringkali gagal mencapai skala manusia. Oleh karena itu, kekurangan ruang menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan kota.

Dalam UU No. 4 tahun 1992, disebutkan pula bahwa ciri–ciri utama dari permukiman adalah sebagai berikut:

• Mayoritas peruntukan adalah hunian

• Fasilitas yang dikembangkan lebih pada pelayanan skala lingkungan (neighbourhood)

• Luas kawasan yang dikembangkan lebih kecil dari 1000 Ha

• Kebutuhan fasilitas perkotaan bagi penduduk kawasan hunian skala besar masih tergantung atau memanfaatkan fasilitas perkotaan yang berada di pusat kota

2.3. Ruang Terbuka Hijau

Dinas Tata Kota DKI, membagi Ruang Terbuka Hijau menjadi tiga yaitu : a) Ruang Terbuka Hijau Makro, seperti kawasan pertanian, perikanan, hutan lindung, hutan kota dan landasan pengaman bandar udara.

b) Ruang Terbuka Hijau Medium, seperti kawasan area pertamanan (city park),

sarana olah raga, sarana pemakaman umum.

c) Ruang Terbuka Hijau Mikro, lahan terbuka yang ada di setiap kawasan permukiman yang disediakan dalam bentuk fasilitas umum seperti taman bermain (play ground), taman lingkungan (community park), lapangan olah raga.

Menurut PERMENDAGRI no.1 tahun 2007 tentang penataaan RTH kawasan perkotaan, ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas balk dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjangljalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang


(24)

selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung

manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Ruang Terbuka Hijau mempunyai fungsi sebagai berikut:

a sebagai area perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan

penyangga kehidupan

b sebagai area untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan

keindahan lingkungan

c sebagai sarana rekreasi

d sebagai sarana pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai

macam pencemaran baik di darat, perairan maupun udara,

e sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi

masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan

f sebagai tempat perlindungan plasma nutfah

g sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro,

h sebagai sarana pengatur tata air.

Hernowo dan Prasetyo (1989) menyatakan bahwa bentuk RTH kota dapat berupa taman lingkungan, jalur hijau, kebun pekarangan, areal rekreasi, lapangan rumput, makam, tepian sungai, kanal dan lain-lain.

Kriteria penataan RTH menurut Supriyanto (1996) adalah merupakan

keterkaitan hubungan antara bentang alam dengan jenis pemanfaatan ruang serta kriteria vegetasi. Alokasi RTH : (1) rencana RTH dikembangkan sesuai dengan jenis pemanfaatan ruang kotanya, (2) pada lahan yang bentang alamnya bervariasi menurut keadaan lereng dan kegiatan di atas permukaan laut serta kedudukannya terhadap jalur sungai, jalur jalan dan jalur pengaman utilitas.

Menurut Peraturan Menteri Pekerjan Umum No.5 tahun 2008 mengenai penyediaan dan pemanfaatan RTH di kawasan perkotaan, RTH dibedakan ke dalam RTH publik dan RTH privat. Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut:


(25)

2. proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat;

3. apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah

memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

Pembagian jenis-jenis RTH publik dan RTH privat adalah sebagaimana Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kepemilikan RTH

No Jenis Area Publik Area Privat

1 RTH Pekarangan

a. Pekarangan rumah tinggal V

b. Halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat

usaha V

c. Taman atap bangunan V

2 RTH Taman dan Hutan Kota

a. Taman RT v V

b. Taman RW v V

c. Taman kelurahan v V

d. Taman kecamatan v V

e. Taman kota v

f. Hutan kota v

g. Sabuk hijau (green belt) v

3 RTH Jalur Hijau Jalan

a. Pulau jalan dan median jalan v V

b. Jalur pejalan kaki v V

c. Ruang dibawah jalan layang v

4 RTH Fungsi Tertentu

a. RTH sempadan rel kereta api v

b. Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi v

c. RTH sempadan sungai v

d. RTH sempadan pantai v

e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air v

f. Pemakaman v


(26)

2.4. Ruang Terbuka Hijau pada Pemukiman

Proses kehidupan di kota, menuntut manusianya berkompetisi dan terlibat dalam aktivitas rutin yang menyebabkan stress dan kejenuhan sehingga manusia yang hidup di lingkungan perkotaan memerlukan lingkungan yang sehat dan bebas polusi. RTH memberikan manfaat kehidupan yang nyaman dengan berperan sebagai penyumbang ruang bernapas yang segar dan memberikan keindahan visual (Simonds, 1983). Carpenter, Lanphear dan Walker (1975) mengatakan bahwa manusia membutuhkan lingkungan hijau di tengah-tengah lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karena itu, RTH berfungsi untuk melembutkan kesan keras dari struktur fisik, menolong manusia mengatasi tekanan- tekanan dari kebisingan, udara panas dan polusi di sekitarnya sebagai pembentuk kesatuan ruang.

Menurut Peraturan Menteri Perumahan Rakyat no.34 tahun 2006

mengenai penyelenggaraan prasarana, sarana dan utilitas kawasan perumahan, kawasan perumahan perlu menyediakan ruang terbuka hijau yang bermanfaat untuk menjaga kualitas dan keseimbangan lingkungan di sekitar kawasan. Ruang terbuka hijau bermanfaat tidak langsung seperti perlindungan tata air, dan konservasi hayati atau keaneka-ragaman hayati, dan bermanfaat langsung seperti kenyamanan fisik (teduh, segar) dan mendapatkan bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), tempat wisata (bermain) serta bangunan umum yang bersifat terbatas (WC umum, pos polisi, lampu taman, gardu listrik, dan lain-lain). Persyaratan ruang terbuka hijau didasarkan luas wilayah dan berdasarkan jumlah penduduk. Bentuk tipologi ruang terbuka hijau berupa ruang terbuka hijau taman lingkungan dan taman kota, jalur hijau, jalur hijau sempadan sungai, jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau tegangan tinggi, RTH pemakaman, dan RTH pekarangan (Tabel 2).

Tabel 2. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk

No Unit lingkungan

Tipe RTH Luas minimal /unit (m²)

Luas minimal /kapita (m²)

Lokasi

1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 di tengah

2 2500 jiwa Taman RW 1.25 0,5 di pusat kegiatan


(27)

4 120000

jiwa

Taman 24 0,2 Dikelompokan Pemakaman Disesuaikan 1,2 Tersebar

5 480000

jiwa

Taman kota 144 0,3 di pusat wilayah/ Hutan kota Disesuaikan 4,0 di dalam/ kawasan Untuk

fungsi-fungsi tertentu

Disesuaikan 12,5 disesuaikan dengan kebutuhan

Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 5 Tahun 2008

Beberapa kriteria RTH permukiman (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5 Tahun 2008)

1. RTH Pekarangan

Pekarangan adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai aktivitas. Luas pekarangan disesuaikan dengan ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB) di kawasan perkotaan, seperti tertuang di dalam PERDA mengenai RTRW di masing-masing kota. Untuk memudahkan di dalam pengklasifikasian pekarangan maka ditentukan kategori pekarangan sebagai berikut:

a. Pekarangan Rumah Besar

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah besar adalah sebagai berikut:

1) kategori yang termasuk rumah besar adalah rumah dengan luas lahan di atas 500 m2;

2) ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar bangunan (m2) sesuai peraturan daerah setempat;

3) jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 3 (tiga) pohon pelindung ditambah dengan perdu dan semak serta penutup tanah dan atau rumput.

b. Pekarangan Rumah Sedang

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah sedang adalah sebagai berikut:

1) kategori yang termasuk rumah sedang adalah rumah dengan luas lahan antara 200 m² sampai dengan 500 m²;

2) ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m²) dikurangi luas dasar bangunan (m²) sesuai peraturan daerah setempat;


(28)

3) jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon pelindung ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

c. Pekarangan Rumah Kecil

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah kecil adalah sebagai berikut:

1) kategori yang termasuk rumah kecil adalah rumah dengan luas lahan dibawah 200 m²;

2) ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m²) dikurangi luas dasar bangunan (m²) sesuai peraturan daerah setempat;

3) jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon pelindung ditambah tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

4) keterbatasan luas halaman dengan jalan lingkungan yang sempit, tidak menutup kemungkinan untuk mewujudkan RTH melalui penanaman dengan menggunakan pot atau media tanam lainnya.

2. RTH Taman Rukun Tetangga

Taman Rukun Tetangga (RT) adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkup 1 (satu) RT, khususnya untuk melayani kegiatan sosial di lingkungan RT tersebut. Luas taman ini adalah minimal 1 m² per penduduk RT, dengan luas minimal 250 m². Lokasi taman berada pada radius kurang dari 300 m dari rumah-rumah penduduk yang dilayani. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70% - 80% dari luas taman. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman, juga terdapat minimal 3 (tiga) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.

3. RTH Taman Rukun Warga

RTH Taman Rukun Warga (RW) dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu RW, khususnya kegiatan remaja, kegiatan olahraga masyarakat, serta kegiatan masyarakat lainnya di lingkungan RW tersebut. Luas taman ini minimal 0,5 m² per penduduk RW, dengan luas minimal 1.250 m². Lokasi taman berada pada radius kurang dari 1000 m dari


(29)

rumah-rumah penduduk yang dilayaninya. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70% - 80% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 10 (sepuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.

4. RTH Kelurahan

RTH kelurahan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kelurahan. Luas taman ini minimal 0,30 m² per penduduk kelurahan, dengan luas minimal taman 9.000 m2. Lokasi taman berada pada wilayah kelurahan yang bersangkutan. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 25 (dua puluh lima) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman aktif dan minimal 50 (lima puluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.

5. RTH Kecamatan

RTH kecamatan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kecamatan. Luas taman ini minimal 0,2 m² per penduduk kecamatan, dengan luas taman minimal 24.000 m². Lokasi taman berada pada wilayah kecamatan yang bersangkutan.Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 50 (limapuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk taman aktif dan minimal 100 (seratus) pohon tahunan dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.

6. Sabuk Hijau

Sabuk hijau merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah kawasan, dan lain-lain) atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak


(30)

saling mengganggu, serta pengamanan dari faktor lingkungan sekitarnya. Sabuk hijau dapat berbentuk:

- RTH yang memanjang mengikuti batas-batas area atau penggunaan lahan

tertentu, dipenuhi pepohonan, sehingga berperan sebagai pembatas atau pemisah;

- Hutan kota;

- Kebun campuran, perkebunan, pesawahan, yang telah ada sebelumnya

(eksisting) dan melalui peraturan yang berketetapan hukum, dipertahankan keberadaannya.

Fungsi lingkungan sabuk hijau:

- Peredam kebisingan;

- Mengurangi efek pemanasan yang diakibatkan oleh radiasi energy matahari;

- Penapis cahaya silau;

- Mengatasi penggenangan; daerah rendah dengan drainase yang kurang baik

sering tergenang air hujan yang dapat mengganggu aktivitas kota serta menjadi sarang nyamuk.

- Penahan angin; untuk membangun sabuk hijau yang berfungsi sebagai penahan

angin perlu diperhitungkan beberapa faktor yang meliputi panjang jalur, lebar jalur.

7. RTH Jalur Hijau Jalan

Untuk jalur hijau jalan, RTH dapat disediakan dengan penempatan tanaman antara 20–30% dari ruang milik jalan (rumija) sesuai dengan kelas jalan. Untuk menentukan pemilihan jenis tanaman, perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu fungsi tanaman dan persyaratan penempatannya. Disarankan agar dipilih jenis tanaman khas daerah setempat, yang disukai oleh burung-burung, serta tingkat evapotranspirasi rendah.


(31)

Tabel 3. Standar kebutuhan RTH oleh umum (Simonds, 1983)

Hierarki ∑KK/wilayah RTH

(m²/jiwa)

Bentuk perumahan

Ketetanggaan 2500 12 •Pekarangan, taman rumah

•T. lingkungan skala kecil •Taman bermain

Komuniti 10000 20 •T. lingkungan skala besar

•Lapangan olah raga •Koridor lingkungan •Termasuk RT Ketetanggaan

Kota 40 Taman kota

•Jalur hijau

•Lapangan olah raga •Koridor, ada 2.

Wilayah 80 T. Rekreasi sekitar kota

•Jalur lingkar kota •Hutan kota •Sawah/kebun

Kriteria Vegetasi untuk RTH Pekarangan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, 2008):

a. Kriteria Vegetasi untuk RTH Pekarangan Rumah Besar, Pekarangan Rumah Sedang, Pekarangan Rumah Kecil, Halaman Perkantoran, Pertokoan, dan Tempat Usaha

Kriteria pemilihan vegetasi untuk RTH ini adalah sebagai berikut: a) memiliki nilai estetika yang menonjol;

b) sistem perakaran masuk ke dalam tanah, tidak merusak konstruksi dan bangunan;

c) tidak beracun, tidak berduri, dahan tidak mudah patah, perakaran tidak mengganggu pondasi;

d) ketinggian tanaman bervariasi, warna hijau dengan variasi warna lain seimbang;

e) jenis tanaman tahunan atau musiman; f) tahan terhadap hama penyakit tanaman;

g) mampu menjerap dan menyerap cemaran udara;


(32)

b. Kriteria Vegetasi untuk RTH Taman dan Taman Kota

Kriteria pemilihan vegetasi untuk taman lingkungan dan taman kota adalah sebagai berikut:

a) tidak beracun, tidak berduri, dahan tidak mudah patah, perakaran tidak mengganggu pondasi;

b) tajuk cukup rindang dan kompak, tetapi tidak terlalu gelap;

c) ketinggian tanaman bervariasi, warna hijau dengan variasi warna lain seimbang;

d) perawakan dan bentuk tajuk cukup indah; e) kecepatan tumbuh sedang;

f) berupa habitat tanaman lokal dan tanaman budidaya; g) jenis tanaman tahunan atau musiman;

h) jarak tanam setengah rapat sehingga menghasilkan keteduhan yang optimal; i) tahan terhadap hama penyakit tanaman;

j) mampu menjerap dan menyerap cemaran udara;

k) sedapat mungkin merupakan tanaman yang mengundang burung. c. Kriteria Vegetasi untuk Sabuk Hijau

Kriteria pemilihan vegetasi untuk RTH ini adalah sebagai berikut:

- Peredam kebisingan; untuk fungsi ini dipilih penanaman dengan vegetasi berdaun rapat. Pemilihan vegetasi berdaun rapat berukuran relatif besar dan tebal dapat meredam kebisingan lebih baik.

- Ameliorasi iklim mikro; tumbuhan berukuran tinggi dengan luasan area yang cukup dapat mengurangi efek pemanasan yang diakibatkan oleh radiasi energi matahari.

- Penapis cahaya silau; peletakan tanaman yang diatur sedemikian rupa

sehingga dapat mengurangi dan menyerap cahaya.

- Mengatasi penggenangan.

- Tanaman yang ditanam didominasi oleh tanaman yang cukup tinggi, dengan

dahan yang kuat namun cukup lentur;

- Memiliki kerapatan daun berkisar antara 70–85%. Kerapatan yang kurang, tidak dapat berfungsi sebagai penahan angin. Sebaliknya kerapatan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan terbentuknya angin turbulen;


(33)

- Tanaman harus terdiri dari beberapa strata yaitu tanaman tinggi sedang dan rendah, sehingga mampu menutup secara baik.

2.5. Mengembangkan RTH Untuk Burung

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mengembangkan RTH untuk pelestarian burung:

1. Lokasi, Luas dan Bentuk Habitat

Burung merasa betah tinggal di suatu tempat apabila terpenuhi tuntutan hidupnya seperti habitat yang mendukung dan aman dari gangguan. Lokasi yang direncanakan menjadi habitat burung harus mempunyai hubungan dengan daerah sumber populasi satwa burung (Gambar 4). Hubungan ini didasari bahwa populasi burung penyebarannya bersifat mosaic pada berbagai tipe di suatu tempat.

Menurut Hails et al. (1990), tipe habitat yang diperlukan untuk

membentuk habitat burung di perkotaan adalah:

- Daerah alami yang merupakan “sumber burung” bagi taman-taman kota

atau daerah yang berfungsi sebagai penampung.

- Taman-taman atau area lain yang dapat dikembangkan sebagai area

burung berkembang biak.

- Koridor tanaman untuk menghubungkan antara sumber burung dan daerah

berkembang biak.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membentuk habitat burung perkotaan, yaitu:

- Keanekaragaman jenis tanaman

- Penutup tanah dan tanaman rendah

- Kompleksitas dan kerapatan pohon.

Konsep desain RTH sebagai habitat burung berupa :

- Daerah perlindungan (refugee)

- Daerah transisi

- Hamparan rumput

- Koridor tanaman

Lokasi RTH yang direncanakan dianggap sebagai suatu ruang dengan


(34)

merupakan populasi yang menempati habitat yang sesuai untuk berkembang biak. Bila jumlah keturunan yang dihasilkan melebihi daya tampung habitat setempatnya maka akan terjadi penyebaran keluar populasi sumber tersebut. Kadang terjadi kondisi populasi penampung menempati tipe-tipe habitat yang tidak memadai sebagai tempat untuk berbiak dan hasil reproduksinya tidak cukup besar untuk mempertahankan tingkat populasi setempat. Dalam hal ini ukuran populasi penampung dipertahankan dengan perpindahan-perpindahan dari populasi sumber dan sebaliknya individu-individu dari populasi penampung dapat berpindah mengisi kekosongan-kekosongan yang terjadi pada habitat populasi sumber di dekatnya (Wiens dan Rotenberry, 1981).

Gambar 3. Skema hipotetik penyebaran populasi dengan struktur sumber dan

penampung (sink-source) (Wiens dan Rotenberry, 1981)

Jarak dan bentuk ketebalan RTH koridor yang ideal terdapat pada Gambar 5 (Meurk, 2005). Bila total area adalah 6.25 hektar, maka jarak batas terluar dengan area inti adalah 50 meter. Perbandingan antara luas area inti dengan total luas area adalah 1 banding 5. Jarak antara jalanan dan area bermain adalah 10 meter.

Bentuk habitat yang baik untuk keberlangsungan hidup burung adalah habitat yang mampu melindungi dari gangguan maupun menyediakan kebutuhan hidupnya. Berdasarkan teori biogeografi pulau terdapat alternatif bentuk habitat satwa seperti pada Gambar 6 (Hernowo dan Prasetyo, 1989).

Penampung 

Penampung

Penampung 

Sumber  Sumber 


(35)

625 m

Core area = 0 ha Total area = 6.25 ha

Jalanan dan Jalur Ketetanggaan

Area bermain Untuk Habitat Burung

10 m

Core area0.06 ha

Total area 1.56 ha Gambar 4. Ketebalan RTH optimal pada koridor burung (Meurk, 2005)

Gambar 5. Diagram skematis perbandingan bentuk-bentuk areal. Gambar sebelah kiri merupakan alternatif yang lebih baik dari gambar di sebelah kanan.

Menurut The University of Montana (2010), ada 3 jenis lokasi yang harus

didirikan (Gambar 7):

1. Open and Cavity Nests

Luas sebesar 5 meter dan plot radius 11.3 meter berpusat pada sarang untuk semua sarang yang diketahui telah mengandung telur.

A B C D E F

100 m 50 m

Zona Pembatas

10 m

125 m

125 m

25 m 25 m


(36)

2. Systematic Description Of Vegetation on Plots

Serangkaian poin dalam sistem grid harus dibentuk untuk vegetasi sampel di tingkat plot. Untuk situs yang melakukan penghitungan titik burung, plot poin vegetasi harus berpusat pada titik-titik survei. Empat pasang 5 - dan plot m 11,3 vegetasi harus dilakukan pada setiap titik vegetasi plot.

3. Vegetation on Nests Without Eggs

Biasanya menggunakan minimal jenis vegetasi ( misalnya jenis 30 tanaman).

Gambar 6. Penataan spasial lokasi ideal habitat burung

2. Komposisi dan Struktur Vegetasi

Komposisi dan struktur vegetasi mempengaruhi jenis dan jumlah burung yang terdapat di suatu habitat. Hal ini disebabkan karena tiap jenis burung mempunyai relung yang berbeda. Menurut Hails, Kavanagh, Kumari dan Arifin (1990) bahwa keanekaragaman struktur vegetasi dan penutupan vegetasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi keanekaragaman dan populasi burung di daerah perkotaan.

Struktur vegetasi suatu habitat merupakan penentu kuat bagi keanekaragaman jenis satwa ( Meents, Rice, Anderson dan Ohmart, 1983). Hasil penelitian mereka menunjukan bahwa keanekaragaman jenis satwa mempunyai korelasi dengan distribusi dedaunan atau ketinggian tajuk. Keragaman tinggi tajuk


(37)

merupakan fungsi dari lapisan vegetasi serta distribusi dedaunan/tajuk di antara lapisan-lapisan tadi dan keragaman jenis akan semakin meningkat sesuai dengan meningkatnya keragaman tajuk. Hal ini disebabkan banyak faktor-faktor lain yang turut menentukan keragaman jenis satwa pada suatu habitat. Sebagai contoh adalah keterbukaan atau kerapatan kanopi termasuk faktor yang menentukan. Habitat yang kanopinya relatif terbuka mempunyai lebih banyak jenis burung dibandingkan dengan habitat yang rapat dan tertutup.

Tabel 4. Cara Membedakan Jenis Vegetasi secara Spasial

Tekstur Bentuk Bayangan

Pohon Kasar Bulat Panjang, Warna gelap

Semak Sedang Bergerombol Sedang, Warna

Abu-abu

Penutup Tanah Halus Kotak, Persegi panjang,

Tak Beraturan

Sedikit, Warna redup

Hails et al. (1990) mengelompokan tata letak tanaman menjadi dua daerah, yaitu:

- Tanaman daerah dalam (interior species) yaitu species yang hanya dapat

hidup di tengah atau pedalaman hutan. Dibuat begitu rapat untuk menghindari datangnya gangguan.

- Tanaman daerah tepi (edge species) yaitu tanaman yang hidup di tepi-tepi

habitat tertentu dimana habitat tersebut masih dapat dinikmati untuk rekreasi.

Menurut Leedy (1978), ada beberapa tipe tanaman yang harus ada merencanakan suatu kawasan di perkotaan menjadi perlindungan habitat liar yaitu tanaman konifer, semak berbunga sepanjang tahun, rerumputan, gabungan tanaman, kolam, tanaman tepi air dan tanaman peneduh (Gambar 8).

Jenis tanaman yang ideal sebagai elemen RTH kota untuk habitat burung adalah jenis tanaman yang mempunyai fungsi bermacam-macam bagi satwa burung. Fungsi tanaman tersebut adalah sebagai tempat berlindung, bertengger dan beristirahat, tempat mencari makan dan tempat berkembang biak.


(38)

Gambar 7. Tipe tanaman yang harus ada merencanakan suatu kawasan di perkotaan menjadi perlindungan habitat liar (Leedy, 1978)

Karakter jenis tanaman yang disukai burung berkaitan dengan strata ketinggian tanaman, diameter tajuk, sistem percabangan, struktur tanaman dan kelebatan tajuk dan jenis makanan yang dihasilkan (Pakpahan, 1993). Tabel 5 adalah daftar jenis pohon yang disukai burung.

Tabel 5. Jenis Pohon Yang Disukai Burung (www.kutilang.or.id)

Nama Lokal Nama Latin Nama local Nama Latin

Aren Arengga pinnata Kersen/Talok Muntingia calabura

Bambu Bambusa Langsat Lansium domesticum

Harendong nagri Miconia speciosa Lobi-lobi Flacourtia inermis

Dadap ayam Erythrina variegate Menteng/bencoy Baccaurea lanceolata

Dadap srep Erythrina indica Namnam Cynometra cauliflora

Kaliandra Caliandra callothyrsus Nangka Artocarpus communis

Kantil Michelia campaka Pala Myristica fragrans

Trembelekan Lantana camara Rambutan Nephelium lappaceum

Kenanga Cananga odorata Rukem Flacourtia rukam

Murbei Morus alba Salam Eugenia polyanthum

Nusa indah Mussaenda frundosa Srikaya Annonona squamosa

Palem Livistona rotundifolia Sawo kecik Manilkara kauki

Palem merah Cyrtostachys lacca Asem kranji Pithecellobium dulce

Pinang sirih Areca catechu Bodi Ficus religiosa

Pohon

Kupu-kupu Bauhinia variegate Beringin Ficus benjamina

Si anak nakal Duranta repens Cemara laut Casuarina equisetiolia

Soka Ixora spp Flamboyan Delonix regia

Pisang hias Heliconia spp Jarak pagar Jatropha curcas

Arbei Rubus rosaefolium Keben Baringtonia asiatica

Belimbing Averrhoa carambola Kayu putih Melaleuca leucadendron

Tanaman konifer

Semak berbunga sepanjang tahun

Rumput Gabungan tanaman Kolam Tanaman tepi air

Tanaman peneduh


(39)

p d s j p a m y t a R Buni Duku conde Durian Gowok Jomblang Jambu air Jambu biji Jambu bol Kelapa Kemang Kepel Hails penghasil m dan serangg sedang untu jenis rumpu

pterocarpum acuminate, b Siste merupakan p yang disuka terbuka. M arsitekturnya Roux, Rauh Gamb Antid

et Lans Duri Euge polyc Euge Euge Psidi Euge Coco Mang Stele burah

s et al. (199 makanan ada ga, menghas

k burung pe ut-rumputan.

m, berbuah

bersifat men em percaba percabangan ai burung ad enurut Hall a bagi habit dan Altim (

bar 8. Tipe-ti

desma bunius sium domestik o zibethinus enia hephalum enia cumini enia jambos ium guajava enia malaccae os nucifera givera caesia echocarpus hol 90) menyatak alah yang m

silkan bung emakan biji-b

Pohon yan

seperti Ficu

ngundang ser angan poho n yang kontin dalah tajuk t

le (dalam

tat burung d Gambar 9).

ipe arsitektur

s Kap

kum Kare

Lo

Lab Min Preh

Ran

ensis Sem

Seng

a Tanj Turi

kan bahwa j enghasilkan a, baik tana bijian maka ng bertekstu

us benjamin

rangga. on yang d

nyu (Mukhta tertutup nam Rusilawati, dibagi menja

r pohon (Ha

puk et kebo an ndi h ndu alas mpur gon jung i enis tanama buah, dapa aman tahun sumber biji ur daun halu

a dan berbu

disukai buru ar dan Elviza mun adapula

2002), poh adi empat tip

alle, dalam R

Ceiba pe Ficus ela Ficus glo Vitex pub Melia az Ficus str Gossamp Dillenia Albizzia f Mimusop Sesbania

an yang dipi at mengunda nan maupun

i-bijian didap

us sperti Pe

unga sepert

ung pada ar, 1986). Be a yang meny hon berdas pe yaitu tip

Rusilawati, 2 etandra astica omerata bercens zedarach ricta pinus heptaph pubescens falcataria pos elengi a grandiflora lih sebagai ang burung musiman, patkan dari eltophorum

i Bauhinia

umumnya entuk tajuk yukai tajuk arkan tipe e Nezeran, 002) hylla


(40)

Tipe arsitektur pohon Nezeran mempunyai tipe percabangan kontinyu pada batang utama dengan tajuk terbuka. Tipe pohon Roux mempunyai tipe percabangan yang sama dengan Nezeran tetapi dengan tajuk tertutup. Tipe arsitektur pohon Rauh mempunyai tipe percabangan kontinyu pada cabang samping (cabang sekunder) dan bentuk tajuk tertutup. Tipe arsitektur pohon Attim mempunyai percabangan kontinyu pada cabang tersier dan bentuk tajuknya tertutup.

Hails et al. (1990) membedakan tata letak penanaman vegetasi pada ruang

terbuka hijau kota sebagai habitat burung berdasarkan fungsi daerahnya, yaitu

vegetasi pada daerah perlindungan (refuges), vegetasi pada daerah transisi,

vegetasi koridor dan vegetasi padang rumput. Tata letak tanaman pada RTH sebagai habitat burung (Gambar 10) dibedakan sebagai berikut:

- Tanaman pada daerah perlindungan (refugee), terdiri dari komponen pepohonan

yang ditanam rapat satu sama lain dan kelompok perdu tahan naungan yang ditanam di antara pepohonan tersebut.

- Tanaman pada daerah transisi, merupakan daerah yang berada di luar daerah perlindungan dan mengelilingi daerah perlindungan. Tanaman di daerah transisi berupa semak dan rumput.

- Tanaman koridor adalah tanaman penghubung antara daerah perlindungan, dimana burung-burung dapat melintas mudah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk mencari makan, mencari pasangan maupun tempat bersarang. Koridor dapat berupa jalur pepohonan, semak atau berupa sungai kecil untuk burung air dan rawa.

- Tanaman padang rumput merupakan daerah terluar setelah transisi atau dapat berdiri sendiri, terpisah dari daerah yang lebih rapat. Tanamannya berupa hamparan atau lapangan.

Ruang dimana burung-burung dapat ditemukan untuk mencari makan, beristirahat dan berkembang biak oleh Handayani (1995) dikelompokan dalam beberapa strata yaitu strata 1 (0 - 0,6 m), strata 2 (0,6 - 1,8 m), strata 3 ( 1,8 – 4,5 m), strata 4 (4,5 – 15 m) dan strata 5 ( >15 m). Jenis burung yang menggunakan strata 1 dan 2 adalah prenjak, kutilang dan burung gereja. Strata 3 dan 4 lebih


(41)

banyak digunakan sebagai tempat untuk beristirahat dan bersarang bagi burung-burung karena menyediakan lebih banyak tempat untuk sembunyi. Selain itu, strata 3 dan 4 juga menyediakan makanan, baik berupa buah-buahan maupun serangga. Hampir semua jenis burung menggunakan ruang ini. Sedang strata 5 banyak digunakan oleh jenis burung yang menyukai tajuk pohon, baik mencari makan, bersarang maupun beristirahat. Burung yang sering terlihat pada strata ini adalah kepodang dan kutilang.

Gambar 9. Tata vegetasi pada daerah perlindungan, transisi, koridor dan lapangan

rumput bagi satwa burung (Hails et al., 1990)

3. Sumberdaya Pakan Untuk Burung

Rantai makanan adalah peristiwa memakan dan dimakan dengan urutan tertentu. Contoh : Makanan --> Ulat --> burung prenjak --> burung rajawali --> bakteri. Tumbuhan dimakan ulat, ulat dimakan burung prenjak, burung prenjak di makan burung rajawali.

Keterangan :

1. Tumbuhan bertindak sebagai produsen 2. Ulat bertindak sebagai konsumen tingkat I

3. Burung prenjak bertindak sebagai konsumen tingkat II


(42)

5. Bakteri bertindak sebagai decomposer / pengurai

Jaring-jaring makanan adalah kumpulan beberapa rantai makanan yang saling berhubungan. Gambar 10 merupakan gambaran jaring-jaring makanan.

Gambar 10. Jaring-jaring makanan

Menurut Boer (1994), ritme dan sedikit perubahan-perubahan stokastik dalam penawaran sumberdaya makanan dan kelimpahannya, menentukan pola dan cara pemanfaatan habitat oleh banyak jenis burung. Komponen makanan adalah penting, yaitu : (a) jenis makanan, (b) banyaknya sumberdaya makanan dan (c) distribusi makanan berdasarkan waktu. Jenis-jenis burung tersebut dapat diklasifikasikan dalam kelas-kelas makanannya, sebagai berikut :

a. Frugivore

Frugivore adalah jenis burung pemakan buah. Frugivore terbagi kedalam dua kelompok yaitu burung-burung yang memakan buah-buah ukuran besar dan burung-burung yang memakan buah-buah ukuran kecil (Karr dalam Boer, 1994).

b. Insectivore

Insectivore adalah jenis burung pemakan serangga. Fauna serangga ataupun kepadatan kehadiran Arthropoda berkorelasi erat dengan derajat penutupan tanah hutan (Numelin dalam Boer, 1994). Oleh karena itu, perubahan iklim mikro akibat penutupan tajuk merupakan hal yang penting.


(43)

c. Generalist

Secara teoritis, kelompok burung tidak begitu terspesialisasi dalam makanan yaitu insectivore-frugivore, insectivore, nectarivore-insectivore-frugivore atau nectarivore-frugivore (Boer, 1994).

4. Faktor Pendukung RTH Ekologis

Berdasarkan penelitian Deppe dan Rottenberry (2008), migrasi burung bergantung pada distribusi spesies baik luas area maupun tipe vegetasi dan hubungan migran dengan arsitektur atribut antara skala spasial dan ekologis. Komposisi dari tanaman dan arsitektur vegetasi menjadi salah satu yang berpengaruh untuk migrasi burung pada skala yang luas termasuk jenis vegetasi pantai. Hubungan migran dengan arsitektur atribut antara skala spasial dan ekologis membuktikan bahwa burung mempertimbangkan bentuk arsitektural dan sisi ekologis untuk bermigrasi pada suatu tempat. Burung-burung di alam mempunyai perilaku mendekati air bersih yang tergenang. Oleh karena itu, ketersediaan air bersih untuk mandi dan minum merupakan hal yang penting.

Pergerakan satwa antar patch melintasi gap tersebut yang kemudian ditanggapi oleh satwa secara berbeda pada skala spasial yang sangat spesifik.

Pergerakan satwa antar patch melintasi gap akan bervariasi pada tiap spesies

tergantung pada tipe patch dan faktor lain, seperti cuaca, musim, rute alternatif,

serta resiko yang mungkin dihadapi (predator, jarak) (Wiens dan Rotenberry, 1981). Beberapa sistem klasifikasi iklim yang sampai sekarang masih digunakan dan pernah digunakan di Indonesia antara lain adalah (mbojo.wordpress.com):

a.Sistem Klasifikasi Koppen

Koppen membuat klasifikasi iklim berdasarkan perbedaan temperatur dan curah hujan. Koppen memperkenalkan lima kelompok utama iklim di muka bumi yang didasarkan kepada lima prinsip kelompok nabati (vegetasi). Kelima kelompok iklim ini dilambangkan dengan lima

huruf besar dimana tipe iklim A adalah tipe iklim hujan tropik (tropical

rainy climates), iklim B adalah tipe iklim kering (dry climates), iklim C


(44)

iklim D adalah tipe iklim hutan bersalju dingin (cold snowy forest climates) dan iklim E adalah tipe iklim kutub (polar climates).

b.Sistem Klasifikasi Mohr

Klasifikasi Mohr didasarkan pada hubungan antara penguapan dan besarnya curah hujan, dari hubungan ini didapatkan tiga jenis pembagian bulan dalam kurun waktu satu tahun dimana keadaan yang disebut bulan basah apabila curah hujan >100 mm per bulan, bulan lembab bila curah hujan bulan berkisar antara 100 – 60 mm dan bulan kering bila curah hujan < 60 mm per bulan.

c.Sistem Klasifikasi Schmidt-Ferguson

Sistem iklim ini sangat terkenal di Indonesia. Menurut Irianto, dkk (2000) penyusunan peta iklim menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson lebih banyak digunakan untuk iklim hutan. Pengklasifikasian iklim menurut Schmidt-Ferguson ini didasarkan pada nisbah bulan basah dan bulan kering seperti kriteria bulan basah dan bulan kering klasifikasi iklim Mohr. Schmidt-Fergoson membagi tipe-tipe iklim dan jenis vegetasi yang tumbuh di tipe iklim tersebut adalah sebagai berikut; tipe iklim A (sangat basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe iklim B (basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe iklim C (agak basah) jenis vegetasinya adalah hutan dengan jenis tanaman yang mampu menggugurkan daunnya dimusim kemarau, tipe iklim D (sedang) jenis vegetasi adalah hutan musim, tipe iklim E (agak kering) jenis vegetasinya hutan savana, tipe iklim F (kering) jenis vegetasinya hutan savana, tipe iklim G (sangat kering) jenis vegetasinya padang ilalang dan tipe iklim H (ekstrim kering) jenis vegetasinya adalah padang ilalang.


(45)

Berdasarkan Van Hoeve (1989), burung memiliki suhu yang naik turun, namun waktu burung keluar dari sarang adalah saat bulan kering. Suhu udara untuk burung di daerah tropis bertahan berkisar 25 – 30º C.

Menurut Thomas (1979), penyediaan RTH merupakan salah satu usaha pengelolaan habitat satwa di perkotaan. Dalam membentuk RTH kota yang dapat digunakan sebagai habitat burung, maka dilakukan pendekatan yang bertujuan:

1. Untuk memperoleh keanekaragaman spesies yang tinggi. Dalam hal ini,

semua spesies dianggap penting dan diharapkan populasi semua spesies cukup memadai.

2. Untuk meningkatkan populasi spesies tertentu. Dalam hal ini hanya

spesies tertentu yang diutamakan.

Menurut Bennett (1999), berdasarkan asalnya koridor dapat dibedakan atas:

- Koridor alami, seperti sungai dengan tanaman pinggiran sungai (riparian),

termasuk kontur lingkungan yang merupakan hasil dari proses lingkungan.

- Koridor remnant, seperti strip hutan yang tidak ditebang dalam suatu

pembukaan lahan, pepohonan di sisi jalan, atau habitat alami yang dipertahankan sebagai penyambung antar kawasan lindung,yang terpecah karena adanya pembukaan lahan atau gangguan lingkungan.

- Koridor regenerasi, merupakan hasil dari pertumbuhan kembali suatu strip

tanaman yang dulu telah mengalami pembukaan atau gangguan.

- Koridor buatan seperti tanaman pertanian, windbreaks atau shelterbelts,

umumnya merupakan tanaman introduksi (non-indigenous atau eksotik).

- Koridor gangguan, seperti jalan kereta, jalan raya, atau fitur lainnya yang

merupakan hasil dari gangguan yang bersifat tetap dan berbentuk strip panjang.

2.6.Perencanaan Lanskap

Menurut Siti Nurisjah (2009), perencanaan lanskap adalah salah satu bentuk produk utama dalam kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap ini

merupakan suatu bentuk kegiatan penataan yang berbasis lahan (land based

planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai dan merupakan proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu


(46)

model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetik dan lestari yang mendukung berbagai kebutuhan dan keinginan manusia dalam upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan termasuk kesehatannya. Kegiatan perencanaan lanskap adalah satu bentuk kegiatan yang menitik beratkan pada data dan informasi yang dikumpulkan serta proses pengolahan data dan informasi tersebut untuk mendapatkan hasil seperti yang diinginkan atau dikonsepkan. Hasil perencanaan lanskap yang baik bila produk yang dihasilkan akan berdaya guna tinggi bagi para pemakainya dan berkelanjutan bagi lanskap atau kawasan yang direncanakan penataannya. Dalam kegiatan perencanaan lanskap ini maka proses perencanaan dinyatakan sebagai suatu proses yang dinamis, saling terkait dan saling mendukung satu dengan yang lain. Proses ini merupakan suatu alat yang terstruktur dan sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan awal dari suatu bentukan fisik dan fungsi lahan/tapak bentang alam, keadaan yang diinginkan setelah dilakukan berbagai rencana perubahan, serta cara dan pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan tersebut.

Rachman (1984) menyatakan bahwa dalam proses perencanaan meliputi beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu tahap inventarisasi data, analisis, sintesis, perencanaan, perancangan, pelaksanaan dan diakhiri dengan tahap pemeliharaan.


(47)

  3 P b T 3.1 Tempat Stud Provinsi Jaw Stud bulan Juli 20

Tabel 7. Tah No Jenis

1 Pembua

2 Mengur

3 Survey

4 Perenca

5 Penyus

t dan Waktu

di dilakukan wa Barat (Ga

di ini dilaksa 011 hingga D

hap Pelaksan s Kegiatan

atan Proposal rus perizinan

Lapang anaan RTH E

unan laporan

Tanp

MET

u

di kawasan p ambar 11).

anakan dalam Desember 20

naan dan Alo

l Ekologis n Gambar pa skala

BAB III

TODOLO

perumahan B

m jangka wa 011 sebagaim

okasi Waktu

1 2 11. Denah L

OGI

Bukit Ciman

aktu 6 (enam mana disajik

u Studi Bula

3 4

Lokasi

nggu City, K

m) bulan ya kan pada Tab

an ke- 4 5 Kota Bogor, ang dimulai bel 7. 6


(48)

 

3.2Batasan Studi

Studi ini dibatasi sampai tahap penyusunan rencana lanskap (landscape

plan) ruang terbuka hijau perumahan Bukit Cimanggu City, Bogor.

3.3 Alat dan Bahan Penelitian

Alat – alat yang digunakan pada kegiatan penelitian ini terdiri atas :

a.Kamera digital untuk mengambil data visual yang dibutuhkan

b. Perangkat komputer dengan software Arcview 3.3 untuk analisis spasial,

Microsoft Word 2007, AutoCAD 2007, Adobe Photoshop CS4, Adobe

Illustrator CS3 dan Google SketchUp 7 untuk pembuatan perencanaan RTH ekologis.

Bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian ini, disamping dilakukan pengkajian data lapangan juga membutuhkan data dan peta pendukung sebagaimana disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Jenis, Bentuk Pengambilan, Sumber dan Bentuk Data

Jenis Data

Bentuk Pengambilan

Data

Sumber Data Bentuk Data Interpretasi

Data Fisik/ Lanskap

1. Master plan Sekunder Developer Data spasial -Batas tapak

-Tata Guna Lahan

2. Tanah Sekunder Bappeda Deskriptif Jenis Tanah

3. Peta Tata Guna Lahan

Primer dan sekunder

Developer,

Survey lapang Data spasial Tata Guna Lahan

4. Citra Satelit (Quickbird 2006)

Sekunder Pemda/ Bappeda Kota

Bogor

Data Spasial

- Vegetasi - Aksesibilitas - Infrastruktur

5. Iklim Sekunder Kantor

Meteorologi dan Geofisika

Data statistik

-Suhu -Curah Hujan -Kelembaban


(49)

 

3.4 Metodologi

Tahap metodologi terdiri dari persiapan (inventarisasi), pengumpulan data, analisis-sintesis dan perencanaan. Diagram alur tahap metodologi terdapat pada Gambar 12.

Gambar 12. Diagram Alur metodologi

3.4.1 Persiapan

Proses persiapan meliputi penyusunan proposal, desk study, memilih lokasi penelitian, serta pengumpulan data. Tahap ini dilanjutkan dengan pemilihan lokasi dengan pengecekan lapang untuk mengetahui kondisi eksisting dari tapak. Kawasan perumahan Bukit Cimanggu City dipilih sebagai tempat studi karena dianggap memiliki potensi dan kriteria yang dapat dikembangkan ruang terbuka hijau ekologis.

3.4.2 Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui survei lapang, wawancara dan studi pustaka. Data yang telah terkumpul akan diolah menjadi peta dasar dan peta tematik. Peta dasar akan membantu dalam proses menentukan lokasi sampel.

PERSIAPAN PENGUMPULAN DAN

PENGOLAHAN DATA ANALISIS DAN SINTESIS PERENCANAAN

Memilih lokasi studi Pengumpulan Data: -survey lapang, -studi pustaka, - wawancara Pengolahan Data: -Pembuatan Peta Dasar -Pembuatan Peta Tematik

(Peta penutup lahan dan peta tata guna lahan) -Menentukan lokasi

contoh sampel

Pengecekan lapang RTH sampel

Membandingkan Luas eksisting RTH dengan peraturan PU No.5 Tahun 2008

Membandingkan Luas eksisting RTH dengan kriteria habitat burung ideal dari University of Montana

(2010)

Analisis Biofisik

Peta kesesuaian lahan

Konsep perencanaan Rencana RTH Ekologis sebagai Habitat Burung Proposal

Desk study Pengembangan

konsep


(50)

 

3.4.2.1 Peta Dasar

Penyiapan peta dasar dilakukan dengan menggunakan data yang tersedia yaitu

master plan. Peta dasar digunakan sebagai acuan dalam pembuatan peta-peta tematik lainnya.

3.4.2.2 Peta Tematik

Peta tematik dibuat 2 (dua) jenis peta yaitu peta penutupan lahan dan peta tata guna lahan.

¾ Penutupan Lahan

Klasifikasi penggunaan lahan disusun berdasarkan informasi spasial

seperti master plan kawasan pemukiman dan citra satelit. Peta ini berguna untuk

mengetahui pola permukiman kawasan berdasarkan kondisi eksisting pada tapak yang meliputi ruang terbangun dan non-terbangun. Peta ini juga berguna dalam membantu identifikasi penutupan lahan serta membantu dalam menganalisis lokasi-lokasi di luar tapak sebagai daerah sumber asal burung dan daerah potensial untuk dikembangkan.

Klasifikasi penutupan lahan dilakukan melalui intepretasi visual terhadap citra satelit Quickbird 2006. Penutupan lahan diklasifikasikan ke dalam dua kelas yaitu ruang terbuka dan ruang terbangun.

a. Ruang terbangun

b. Ruang terbuka

Ruang terbuka terdiri atas RTH (Ruang Terbuka Hijau) dan badan air. RTH terdiri dari kelompok tanaman sedangkan badan air berupa sungai dan danau. Citra satelit digunakan untuk mengklasifikasikan jenis tanaman menjadi beberapa sub-klas yaitu pohon, semak, dan penutup tanah. Delineasi kelas penutup lahan dilakukan pada layar monitor komputer. Setelah klasifikasi penutup lahan, dilakukan verifikasi dan survei lapang untuk setiap kelasnya. Kunci interpretasi citra yang digunakan berdasarkan karakteristik citra, seperti bentuk, warna, tekstur, dan bayangan (Tabel 9). Untuk memastikan data dan jenis tanaman, akan dilakukan pengecekan lapang.


(51)

 

Tabel 9. Kunci Identifikasi Citra

Bentuk Warna Tekstur Bayangan

Ruang Terbuka

a.RTH - Pohon -Semak - Penutup tanah -Kompleks (penutup tanah, semak, pohon) b. Ruang Terbuka lain

- air -Bulat -Titik,bulat, memanjang -Kotak, Tidak beratuuran -Tidak beraturan

- Memanjang, kotak, tidak beraturan

- Hijau tua - Hijau tua/muda -Hijau muda -Hijau agak kehitaman -Hijau pekat, cokelat Kasar Agak kasar Halus Kasar Halus -Ada, memanjang -Ada, sedikit -Tidak ada -Ada -Tidak ada Ruang Terbangun -Jalan -Rumah/Bangunan -Memanjang -Kotak -Abu-abu, Hitam -Warna terang Halus Agak kasar Tidak ada Ada

Interpretasi citra dilakukan secara visual melalui digitasi pada layar monitor. Pelaksanaan interpretasi mengikuti langkah- langkah sebagai berikut :

- Memasukan data kedalam sistem komputer

- Registrasi untuk menempatkan koordinat citra pada pada koordinat

geografisnya

- Pemilihan lokasi dengan luasan tertentu untuk areal interpretasi

- Identifikasi obyek berdasarkan kunci interpretasi citra

- Delineasi (digitasi) obyek hasil identifikasi dan klasifikasi

- Penyajian hasil interpretasi

Cara mendigitasi tapak pada Arcview 3.2 adalah sebagai berikut:

• Buka data tapak yang telah diregistrasi.

• Tekan tombol “View” pada toolbar lalu tekan “New Theme” untuk

membuat tema baru. Bentuk tema yang akan dipilih berbentuk “polygon”.

Beri nama sesuai kunci interpretasi citra, misalnya: Tema Bangunan.

• Untuk memulai mendigitasi, tekan tombol ”Theme” lalu tekan ”Start

editing”. Bila sudah selesai mendigitasi, tekan tombol “Theme” lalu tekan “Stop editing”.

• Bila sudah selesai membuat digitasi, simpan file project dalam bentuk apr.

Untuk pengecekan lapang , metode yang dilakukan adalah berupa teknik sampling. Sampling yang digunakan adalah sampling acak. Cara pengacakan dilakukan dengan menutup mata lalu memilih contoh sampel melalui layar


(52)

 

monitor computer. Klasifikasi sampel berdasarkan jenis RTH yang ada di perumahan yaitu taman lingkungan, taman ketetanggaan/RT, taman halaman rumah dan koridor. Kawasan BCC tidak memiliki ruang terbuka hijau yang diperuntukan untuk kawasan RW sehingga taman RW tidak dimasukkan dalam klasifikasi. Berikut adalah metode pengambilan sampel tiap RTH:

- Taman lingkungan. Untuk taman lingkungan, data diambil pada setiap

taman lingkungan yang ada di perumahan. Data yang diambil berupa data jenis vegetasi dan satwa. Ketiga sampel merupakan keseluruhan taman lingkungan yang ada di perumahan Bukit Cimanggu City. Pada Gambar 13 terdapat hasil digitasi sampel taman lingkungan.

Gambar 13. Sampel Taman Lingkungan

- Taman RT. Untuk taman RT, data diambil pada beberapa taman RT yang

ada di perumahan. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan menutup mata lalu memilih lokasi contoh sampel pada layar komputer. Banyaknya sampel yang diambil adalah 4(empat) sampel dari total keeluruhan taman RT yang berjumlah 16 taman. Data yang diambil adalah berupa data jenis vegetasi dan satwa. Pada Gambar 14 terdapat hasil digitasi sampel taman RT.


(53)

 

- Taman halaman rumah. Berdasarkan master plan terdapat tiga kelompok

segment. Dibagi menjadi 3 (tiga) bagian untuk memudahkan dalam menentukan wilayah sampel. Berdasarkan Peraturan Mentei Pekerjaan Umum No.5 Tahun 2008, kategori RTH pekarangan/ halaman rumah dibagi menjadi 3(tiga) yaitu pekarangan rumah besar, rumah sedang dan rumah kecil sehingga masing-masing bagian dipilih tiga sampel rumah. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan menutup mata lalu memilih lokasi contoh sampel pada layar komputer karena diharapkan sampel yang didapat adalah tiga kategori luas rumah. Sampel rumah yang didapat akan dibagi menjadi tiga kategori luas yaitu kategori rumah besar (

≥ tipe 90), rumah sedang (tipe 90-45) dan rumah kecil ( ≤ tipe 45).

Gambar 15. Penentuan sampel melalui layar monitor komputer

Gambar 16 adalah pembagian tapak menjadi tiga bagian untuk dapat menentukan lokasi sampel taman rumah. Titik biru pada gambar merupakan sampel yang telah dipilih.


(54)

 

- Koridor. Penghubung antar taman. Data koridor yang diambil berupa data

jenis vegetasi yang berada di jalur hijau jalan dan jalur biru yang menghubungkan dengan antar RTH taman dan antara RTH taman dengan sumber di luar tapak.

¾ Peta Tata Guna Lahan

Peta tata guna lahan diperoleh dari master plan lalu dilakukan klasifikasi

berdasarkan fungsi lanskap perumahan yaitu hunian, fasilitas umum, fasilitas sosial dan infrastruktur. Bukit Cimanggu City (BCC) membagi kawasannya menjadi empat yaitu hunian, fasilitas umum, infrastruktur dan lain-lain. Fasilitas umum terbagi menjadi RTH taman, area komersil, mesjid dan area rekreasi. Infrastruktur terbagi menjadi dua yaitu saluran drainase dan jalan sedangkan lain-lain terbagi menjadi kavling dan kebun. Diagram penggunaan lahan di kawasan Bukit Cimanggu City terdapat pada Gambar 17.

Gambar 17. Struktur penggunaan lahan Bukit Cimanggu City

3.4.2.3 Data Pendukung 1. Tanah

Data tanah berguna untuk mengetahui jenis tanah dan tingkat kesuburan tanah.

2. Iklim

Data iklim disusun berdasarkan kriteria kenyamanan manusia yang mempengaruhi yaitu suhu dan kelembaban.

Bukit Cimanggu City

Hunian Fasilitas Umum

RTH Taman

Area komersil

Area rekreasi Mesjid

Infrastruktur

Saluran drainase

Jalan

Lain-lain


(1)

Nama Ta Pinus Kersen tanjung mangga Palem pu Cemara la ketapang Pala rambutan Palem raj palem eko Pohon ba nangka Cemara k pohon ku Palem me angsana Teh-tehan Pisang kip bugenvil alang-alan Lamp *Hasil an anaman Nama Pinus merk Muntingia c Mimusops e Mangifera i tri Veitchia me aut Casuarina

equisetifolia Terminalia Myristica fr Cerberra od n Nephellium

a Roystonea r or tupai Wodyetia b ambu Bambussa s Artocarpus heterophyll kipas Thuja orien upu-kupu Bauhinia pu

erah Cyrtostachy Becc. Pterocarpu n Acalypha m pas Ravenala

madagasca Bougainvill ng Imperata cy

iran 3. Daftar k

nalisis pribadi 

a Latin Jenis tanama

kusii pohon calabura

pohon elengi

pohon indica L.

pohon erilii

pohon a pohon

catappa pohon fragrans pohon dollam pohon m lappaceum pohon regia pohon ifurcata

pohon sp.

pohon lus pohon ntalis pohon

urpurea

pohon ys lakka pohon

s indicus

pohon macrophylla

semak riensis semak lea sp.

semak ylindrica penutup

tanah lasifikasi tanam s an Jenis pakan Biji Buah p

man Taman Masj

n yang dihasilkan Penarik serangga Nektar jid BCC*  Tipe arsi Nezeran Roux itektural Rauh Altim

Tinggi tanaman (Str 1 2 3 4

rata ke-) Jenis b yang dikemb 4 5 gereja, p emprit, m gereja, s kutilang gereja, s kutilang gereja, s kutilang gereja, p emprit, m gereja, p emprit, m gereja, s kutilang gereja, p emprit, m gereja, p emprit, m gereja, s kutilang gereja, p emprit, m Hummin gereja, p emprit, m Gereja, e burung dapat bangkan perkutut, merpati riti, riti, riti, perkutut, merpati perkutut, merpati riti, perkutut, merpati perkutut, merpati riti, perkutut, merpati ngbird perkutut, merpati emprit


(2)

(3)

110 

 

Lampiran 4. Tabel Jenis Pohon Yang Disukai Burung

Nama Lokal Nama Latin Nama local Nama Latin Aren Arengga pinnata Kersen/Talok Muntingia

calabura

Bambu Bambusa Langsat Lansium

domesticum Harendong nagri Miconia speciosa Lobi-lobi Flacourtia inermis Dadap ayam Erythrina variegate Menteng/bencoy Baccaurea

lanceolata Dadap srep Erythrina indica Namnam Cynometra

cauliflora Kaliandra Caliandra

callothyrsus

Nangka Artocarpus communis

Kantil Michelia campaka Pala Myristica fragrans Trembelekan Lantana camara Rambutan Nephelium

lappaceum Kenanga Cananga odorata Rukem Flacourtia rukam

Murbei Morus alba Salam Eugenia

polyanthum Nusa indah Mussaenda frundosa Srikaya Annonona

squamosa Palem Livistona rotundifolia Sawo kecik Manilkara kauki Palem merah Cyrtostachys lacca Asem kranji Pithecellobium

dulce

Pinang sirih Areca catechu Bodi Ficus religiosa Pohon

Kupu-kupu

Bauhinia variegate Beringin Ficus benjamina Si anak nakal Duranta repens Cemara laut Casuarina

equisetiolia Soka Ixora spp Flamboyan Delonix regia Pisang hias Heliconia spp Jarak pagar Jatropha curcas Arbei Rubus rosaefolium Keben Baringtonia

asiatica Belimbing Averrhoa carambola Kayu putih Melaleuca

leucadendron Buni Antidesma bunius Kapuk Ceiba petandra Duku condet Lansium domestikum Karet kebo Ficus elastica Durian Durio zibethinus Lo Ficus glomerata Gowok Eugenia

polychephalum

Laban Vitex pubercens Jomblang Eugenia cumini Mindi Melia azedarach Jambu air Eugenia jambos Preh Ficus stricta Jambu biji Psidium guajava Randu alas Gossampinus heptaphylla Jambu bol Eugenia

malaccaensis

Sempur Dillenia pubescens Kelapa Cocos nucifera Sengon Albizzia falcataria Kemang Mangivera caesia Tanjung Mimusopos elengi Kepel Stelechocarpus

burahol

Turi Sesbania grandiflora


(4)

111 

   


(5)

RINGKASAN

DIAN KHAERUNNISA. Perencanaan Ruang Terbuka Hijau Ekologis sebagai

Habitat Burung di Perumahan Bukit Cimanggu City. Dibimbing oleh

QODARIAN PRAMUKANTO.

Semakin banyaknya penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan papan yaitu kawasan permukiman dan perumahan. Bertambahnya kawasan perumahan menyebabkan Ruang Terbuka Hijau yang ada menjadi semakin sedikit. Hal ini mempengaruhi fungsi ekologis yang dimiliki oleh Ruang Terbuka Hijau yaitu sebagai habitat burung. Habitat burung tergusur oleh keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Sembiring (dalam Antara News, 2010), semakin banyaknya pertumbuhan pembangunan mengurangi jumlah ruang terbuka hijau sebagai tempat tinggal burung-burung. Beliau juga menyatakan bahwa Indonesia memiliki 1.599 jenis burung, atau peringkat keempat di dunia tetapi dari 1.599 spesies itu, 234 jenis di antaranya terancam punah. Oleh karena itu diperlukan adanya upaya untuk merencanakan Ruang Terbuka Hijau yang dapat berfungsi secara ekologis yaitu sebagai habitat burung. Tujuan studi ini adalah merencanakan ruang terbuka hijau di kawasan permukiman Bukit Cimanggu City dengan cara mengevaluasi Ruang Terbuka Hijau yang ada lalu mengembangkan menjadi Ruang Terbuka Hijau sebagai habitat burung. Pengambilan data lapang dilakukan pada bulan September hingga Oktober 2011 dengan menggunakan teknik sampling. Teknik sampling yang digunakan adalah sampling acak. Contoh sampel yang diambil meliputi data taman komunitas, taman RT/ketetanggaan dan taman halaman rumah. Data yang diambil dalam contoh sampel adalah data jenis vegetasi dan satwa. Selain dengan teknik sampling dilakukan pula teknik wawancara untuk mendapatkan data jenis satwa. Kesesuaian tapak untuk dijadikan kawasan permukiman ekologis sebagai habitat burung dapat diketahui dengan proses analisis. Analisis pertama adalah menganalisis kebutuhan RTH untuk permukiman dengan cara membandingkan luas eksisting RTH dengan standard berupa aturan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5 tahun 2008. Kedua dilakukan analisis kesesuaian lahan. Analisis kesesuaian lahan terbagi menjadi dua yaitu analisis kesesuaian RTH sebagai tempat bersarang dan analisis biofisik. Analisis kesesuaian RTH sebagai tempat


(6)

bersarang dilakukan dengan membandingkan luas eksisting RTH dengan standard luas habitat burung ideal berdasarkan kriteria The University of Montana (2010). Analisis biofisik dilakukan dengan membandingkan jenis tanah, vegetasi, iklim dan hidrologi eksisting dengan kriteria berdasarkan teori Van Hoeve (1989)

mengenai iklim, jenis tanaman dan jenis makanan yang dihasilkan (Hails et al.,

1990), bentuk tajuk (Halle, dalam Rusilawati, 2002) dan tinggi tanaman

(Handayani, 1995).

Hasil analisis pertama menyatakan bahwa masih ada beberapa luas Ruang Terbuka Hijau yang tidak memenuhi luas standard dari PU. Hasil analisis kesesuaian RTH sebagai tempat bersarang menyatakan bahwa luas Ruang Terbuka Hijau yang ada, tidak memenuhi standard sebagai area perlindungan

sumber burung (source) tetapi dapat dikembangkan sebagai area perlindungan

penampung (sink). RTH di sekitar lokasi dianggap sebagai potensi area sumber.

Berdasarkan hasil analisis biofisik diketahui bahwa jenis tanaman yang dominan

adalah tanaman penghasil pakan biji-bijian dengan tipe percabangan nezeran dan

rauh. Tipe percabangan nezeran kurang disukai oleh burung karena

percabangannya terlalu terbuka sedangkan tipe percabangan rauh sangat disukai

sebagai tempat bersarang karena percabangannya tertutup. Analisis drainase menunjukan tipe drainase yang ada adalah saluran drainase terbuka dan tertutup. Analisis iklim menunjukan bahwa suhu dan kelembaban di lokasi studi telah sesuai untuk satwa burung.

Berdasarkan hasil analisis dan sintesis, dapat disusun rencana ruang terbuka hijau dengan pengembangan konsep perencanaan yang meliputi konsep ruang ekologis, konsep vegetasi dan konsep aktivitas satwa. Konsep ruang

ekologis dibagi menjadi daerah perlindungan daerah burung sumber (source),

daerah penampung (sink) dan koridor. Konsep vegetasi menerapkan teori Leedy

(1978) mengenai enam jenis tanaman di area perlindungan yaitu tanaman konifer, tanaman peneduh, semak, tanaman tepi air, rumput, gabungan tanaman. Konsep aktivitas dibuat untuk aktivitas burung. Burung dapat masuk ke kawasan

perumahan lalu menuju ke kawasan sink yang telah dikembangkan. Rencana

Ruang Terbuka Hijau disusun ke dalam ruang vegetasi untuk bersarang (sink),