BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena yang akhir-akhir ini marak terjadi dalam kehidupan sehari- hari adalah kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh lapisan
masyarakat manapun. Kekerasan dalam rumah tangga yaitu pola perilaku yang bersifat menyerang sehingga menciptakan ancaman atau melukai yang
dilakukan oleh pasangannya Kyriacou dalam Luhulima, 2000:54-55. Berdasarkan hasil penelitian dan kasus yang banyak terjadi, Tamtiari 2005 :
14 menjelaskan bahwa fenomena kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri terbukti paling banyak terjadi. Maka, pada penelitian ini, fenomena
kekerasan dalam rumah tangga dibatasi berdasarkan relasi gender antara suami dengan istri. Poerwandari menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah
tangga tersebut dapat dipilah ke dalam berbagai bentuk, yaitu kekerasan fisik, psikologis, seksual, finansial dan spiritual Luhulima, 2000 : 11-12.
Menurut psikolog Jari, Ida Hidayat dan Endang Sukawati http:www.pikiran-rakyat.comcetak2007042007210105.htm, dari
tahun ke tahun, KDRT dengan korban wanita cenderung meningkat. Pada bulan April 2002 hingga bulan Maret 2007, Jari telah menangani 134 kasus
kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk kekerasan yang banyak dialami oleh perempuan adalah kekerasan psikis dan fisik.
1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kekerasan dalam rumah tangga ini juga dapat terjadi dimanapun, termasuk dalam satuan militer, salah satunya TNI-AD. Adib Muttaqin 2005 :
17 juga menjelaskan bahwa di daerah militer banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan. Pelaku kekerasan tersebut berasal dari kalangan militer. Bentuk
kekerasan yang dilakukan berupa kekerasan fisik, seksual dan psikologis. Lebih lanjut lagi, berdasarkan data kasus yang dimiliki LSM Rifka Annisa pada tahun
2006, terdapat 17 kekerasan yang dilakukan oleh TNIPolri. Kekerasan tersebut terdiri dari 12 kekerasan terhadap istri, 4 kekerasan dalam pacaran, dan 1
perkosaan. Lettu Inf. Leo.A.S yang merupakan Pasi Intel Yonif 726Tamalatea juga mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi di Kompi-C
pada Yonif 726Tamalatea wawancara pribadi, 21 Februari 2008. Lettu Inf. Leo.A.S menjelaskan bahwa istri prajurit TNI-AD yang memiliki golongan
Tamtama tersebut mengalami kekerasan fisik yaitu dipukul oleh suaminya. Namun demikian, prajurit itu membela diri dengan mengatakan bahwa yang
salah adalah istrinya. Kesalahan istrinya ialah berhutang uang di berbagai tempat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi wawancara pribadi, 21 Februari
2008. Fenomena ini dapat dikatakan unik karena banyak terjadi dalam
kehidupan sehari-hari namun demikian sering ditutupi sehingga tidak dapat diketahui oleh banyak orang dengan alasan tabu, aib keluarga, dan dianggap
urusan intern keluarga Andari, 2005:22 ; Tursilarini, 2004:41 ; Prastyowati, 2004:47. Hal ini akan mempersulit mengungkap kenyataan sesungguhnya
seberapa besar dan seberapa banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sedang terjadi.
Kekerasan dalam rumah tangga ini dapat terjadi karena berbagai faktor. Langley, dkk dalam Prastyowati, 2003 : 62-63 menyatakan bahwa budaya
patriarki menempatkan laki-laki untuk memegang kekuasaan dalam keluarga Pernyataan tersebut juga didukung oleh Poerwandari dalam Luhulima, 2000 :
14-16 mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Struktur sosial dan pembagian kekuasaan masyarakat juga mempengaruhi kekerasan dalam rumah tangga.
Struktur sosial ini memberikan hak istimewa dengan mengutamakan laki-laki. Selain itu, faktor psikis dapat membuat suami melakukan kekerasan pada istri.
Faktor psikis tersebut antara lain penyelewengan seks, citra diri yang rendah, frustrasi, perubahan situasi dan kondisi, dan kekerasan sebagai sumber daya
untuk menyelesaikan masalah Langley dalam Djannah, 2003 :20. Salah satu faktor yang mempengaruhi kekerasan dalam rumah tangga
yaitu stres kerja. Diahsari 2001 : 363 menjelaskan stres kerja sebagai ancaman yang berasal dari tuntutan pekerjaan atau kurang terpenuhinya kebutuhan
individu di tempat kerja. Respon stres yang muncul pada individu yaitu perilaku, kognitif, fisiologis, dan psikologis. Respon perilaku meliputi
peningkatan konsumsi pada rokok dan alkohol, tidak nafsu makan atau makan berlebihan, dan sebagainya. Pada respon kognitif meliputi ketidakmampuan
mengambil keputusan, sulit berkonsentrasi, peka terhadap ancaman, dan sebagainya. Respon fisiologis berupa sulit tidur, sakit kepala, sulit buang air
besar, dan sebagainya Handoyo, 2001 : 65-66. Respon psikologis seperti marah, cemas, frustrasi, dan sebagainya.
Pada saat individu mengalami stres kerja maka salah satu respon psikologis yang muncul yaitu frustrasi Spector, 1994 : 419. Frustrasi ialah
suatu situasi pada individu saat tidak tercapainya tujuan karena ada rintangan yang menghalangi individu tersebut Rukminto, 1994 : 165. Hal ini didukung
oleh Mulyati 1999 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara stres kerja dengan perilaku agresi pada anggota ABRI. Kekerasan dalam rumah tangga
merupakan salah satu manifestasi dari agresi. Selain itu, juga ada penelitian dari berbagai peneliti Utami, 2005:18 ; Salmah, 2004:63 ; Prastyowati, 2003:63
yang menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya kekerasan dalam rumah tangga yaitu stres pekerjaan.
Stres kerja pada prajurit TNI-AD dapat dipengaruhi oleh disiplin militer. Pada Bab 1 Pasal 1 Peraturan Disiplin Militer 2005 : 2-3 menyebutkan disiplin
militer sebagai segala bentuk peraturan dan ketentuan-ketentuan mengenai ketaatan dan kepatuhan terhadap semua perintah kedinasan dari tiap-tiap atasan
dengan seksama dan bertanggung jawab. Hal ini berarti prajurit TNI patuh dan taat dalam melaksanakan tugas dan kewajiban kedinasan maupun dalam
kehidupan sehari-hari. Namun demikian, ada indikasi disiplin tersebut disalahgunakan oleh atasan sehingga terjadi penyimpangan disiplin militer.
May. Siswono 2005 : 28 menjelaskan bahwa cukup banyak perwira PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengeluarkan kata-kata berupa ancaman dan dendam karena tidak terpenuhinya kebutuhan pribadi sehingga menghambat karir anggota-anggotanya.
Heriyono dalam Gema Infanteri 2005 : 18 juga menjelaskan bahwa terkadang perintah atasan sering berubah, tidak jelas dan berlebihan di luar jam
dinas. Selanjutnya, terkadangpun terjadi pemaksaan kehendak dan tanpa memikirkan kepentingan bawahannya. Lebih lanjut lagi, kondisi fisik juga
mempengaruhi stres kerja. Ada indikasi bahwa pekerjaan sebagai TNI-AD mempunyai resiko kematian yang tinggi.
Selanjutnya, perintah komandan bersifat mutlak prerogatif. Schultz Schultz 2006:368 mengungkapkan bahwa pola kepemimpinan merupakan
salah satu pembangkit stres. Pembangkit stres yang terakhir adalah ciri-ciri individu. Individu yang berada pada suatu lingkungan kerja harus dapat
beradaptasi dan menginternalisasi nilai-nilai yang dianggap penting bagi organisasi tersebut. Jika individu tidak dapat beradaptasi maka dapat
menimbulkan stres. Respon individu pada tuntutan lingkungan tergantung dari penilaian
kognitif dan kemampuan individu dalam pemecahan masalah mengenai tuntutan tersebut. Individu akan mengalami distress jika merasa tidak memiliki
kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dianggap penting baginya sehingga memandang permasalahan sebagai suatu ancaman. Sebaliknya,
individu akan mengalami eustress jika merasa mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang dianggap penting sehingga memandang permasalahan
sebagai suatu tantangan yang dapat memotivasi dirinya Schultz Schultz, 2006:358 ; Munandar, 2001:399-400. Individu yang mengalami stres akan
muncul gejala-gejala seperti fisiologis, psikologis, kognitif dan perilaku. Ada indikasi bahwa ketidakberanian individu untuk mengungkapkan
perasaan ini membuat perasaan menjadi tertekan terutama yang bersifat negatif sehingga dialihkan ke anggota keluarga yang mempunyai kedudukan lebih
lemah dari dirinya Sears, 2005:23-24. Salah satu bentuk pengalihan perasaannya tersebut ialah kekerasan dalam rumah tangga yang merupakan
manifestasi dari agresi. Kekerasan juga dipengaruhi oleh karakteristik individu. Sejak masa anak-
anak ada yang diberi pelajaran mengenai perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan memberikan hukuman fisik. Hal ini menjadi proses belajar
sosial pada masa anak-anak bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar dilakukan. Proses belajar pada anak-anak tersebut berkembang menjadi karakter
kepribadian individu. Pada penelitian ini, individu yang akan diteliti adalah prajurit TNI-AD.
Prajurit TNI-AD termasuk individu yang jarang diteliti dalam penelitian sehingga penelitian ini akan menjadi menarik dan unik. Selain itu, pada satuan
militer masih jarang membicarakan sisi psikologis suatu kehidupan di lingkungan tersebut. Individu tersebut yaitu prajurit pada tingkat Tamtama
karena merupakan tingkat yang paling rendah dibandingkan bintara dan perwira. Prajurit yang diteliti adalah yang sudah menikah dengan usia
pernikahan minimal 6 bulan dan bertempat tinggal di rumah dinas Yonif 400Raider Semarang.
Peneliti ingin membahas mengenai stres kerja yang dialami prajurit TNI- AD dengan kekerasan dalam rumah tangga pada istrinya. Diharapkan dengan
adanya penelitian ini akan menambah pemahaman dan kesadaran di lingkungan bahwa masalah ini merupakan tanggung jawab bersama baik di keluarga,
masyarakat, pemuka agama, dan lain sebagainya.
A. Rumusan Masalah