Jadi, ada 4 dimensi kekerasan dalam rumah tangga. Pertama, kekerasan fisik yaitu kekerasan yang menyebabkan rasa sakit
atau luka pada tubuh istri. Kekerasan tersebut seperti menampar, menarik rambut, memukul, dan sebagainya. Kedua, kekerasan
psikologis ialah segala ucapan yang menyebabkan rasa takut, kehilangan kepercayaan diri atau tidak berdaya pada istri.
Misalnya berteriak, mengatur, menguntit, mengancam, dan sebagainya. Ketiga, kekerasan seksual yang menyerang atau
menyakiti dalam konteks seksual. Misalnya, meraba, menyentuh atau melakukan tindakan yang bersifat memaksa karena istri
tidak menginginkannya. Kekerasan yang terakhir yaitu kekerasan finansial yang menyakiti istri dalam konteks finansial.
Contohnya adalah menahan, mengawasi atau mengendalikan pengeluaran uang, menghambat karir istri, dan sebagainya.
3. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Djannah, dkk 2003 : 21 mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa tindakan kekerasan terjadi.
Faktor-faktor tersebut ialah : a.
Faktor Internal Faktor internal ini berasal dari dalam diri individu.
Purnianti Kolibonso 2003 : 3-4 mengemukakan bahwa keluarga adalah tempat dimana kekerasan fisik pertama kali
dirasakan dan keluarga adalah tempat pembenaran normatif kekerasan terjadi pada masa kanak-kanak. Hukuman kekerasan
fisik tersebut digunakan untuk mengajarkan jenis-jenis perilaku apa saja yang boleh dan tidak diperbolehkan, di sisi lain juga
sebagai proses belajar sosial pada anak yang membenarkan penggunaan kekerasan.
Proses belajar tersebut awalnya ialah mengasosiasikan cinta dengan kekerasan pada masa kanak-kanak. Orang tua ialah orang
terdekat yang dapat memukul anaknya untuk melatih mana yang baik dan yang buruk. Pada tahap ini, anak belajar bahwa orang
terdekat menjadi wajar jika memukulnya melakukan kekerasan. Selain itu juga memberi pengajaran dan budaya untuk
membenarkan tindakan kekerasan. Purnianti Kolibonso 2003 : 4 memberikan contoh, orang tua sering menahan diri untuk
melakukan pemukulan hingga orang tua tidak dapat menahan kemarahan atau rasa frustrasi atas tindakan anaknya. Pada situasi
ini, anak mempelajari bahwa kemarahan dan rasa frustrasi yang mendalam dapat membenarkan untuk melakukan tindakan
kekerasan. Pendapat ini dilengkapi oleh Poerwandari dalam Luhulima, 2000 : 14 yang mengungkapkan bahwa individu yang
sedang tertekan karena menghadapi suatu konflik atau masalah, merespon perasaan tertekannya dengan melakukan kekerasan
pada orang-orang disekitarnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hayati, dkk 2000 : 5 juga menambahkan bahwa perilaku meniru mempengaruhi individu dalam melakukan tindak
kekerasan. Seorang anak yang hidup dengan orang tua yang senang memukul sebagai cara berkomunikasi untuk
menyelesaikan masalah maka akan meniru perilaku orang tuanya dan diterapkan pada pasangannya. Tindak kekerasan sebagai
hasil belajar sosial tersebut akan terinternalisasi ke hubungan sosial lain terutama dalam hubungan yang dekat seperti suami
dan istri. Perilaku meniru ini juga bisa diperoleh melalui media lain, misalnya lingkungan masyarakat, televisi atau yang lain.
Selain itu, tanpa mendapatkan kekerasan pada masa kanak-kanak dapat juga dengan mengamati kekerasan yang terjadi pada orang
tuanya. Semakin sering anak mendapatkan hukuman fisik maka semakin tinggi juga kemungkinan pemukulan terhadap pasangan
Straus dalam Purnianti Kolibonso, 2003 : 4. Pernyataan-pernyataan di atas di dukung juga oleh pendapat
Langley, dkk dalam Salmah, 2004 : 87 ; Djannah dkk : 2003 : 20 yang mengemukakan bahwa kondisi psikis sebagai faktor
internal pada individu dalam melakukan tindak kekerasan. Kondisi psikis tersebut seperti sakit mental, pecandu alkohol dan
obat bius, penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, kurangnya komunikasi, penyelewengan seks, citra diri yang rendah,
frustrasi, perubahan situasi dan kondisi, dan kekerasan sebagai PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sumber daya untuk menyelesaikan masalah kebiasaan turunan dari keluarga atau orang tua. Utami 2002 : 18 mendukung
pernyataan tersebut dengan mengungkapkan bahwa suami melakukan kekerasan terhadap istri karena frustrasi atau stres
pekerjaan. b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ini berasal dari luar diri individu. Faktor ini terdiri dari dua hal, yaitu :
1. Persepsi tentang kekerasan pada masyarakat Kekerasan dalam rumah tangga dianggap tabu yang
harus ditutup agar tidak diketahui oleh lingkungan masyarakat karena merupakan permasalahan intern. Tamtiari
2005 : 11 menjelaskan juga bahwa struktur sosial budaya menjunjung tinggi kehormatan suatu rumah tangga sehingga
apabila terjadi kekerasan akan disembunyikan. Ia pun menambahkan bahwa perempuan mempunyai tugas untuk
menjaga keharmonisan rumah tangganya sehingga perempuan cenderung untuk menutupi tindak kekerasan yang
dialaminya. 2. Struktur Sosial dalam Masyarakat Budaya Patriarki
Menurut Darwin dalam Tamtiari, 2005 : 9, dilihat secara keseluruhan masyarakat Indonesia adalah masyarakat
patriarkis. Budaya patriarki yaitu budaya pada masyarakat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang meletakkan laki-laki sebagai makhluk yang istimewa, memiliki nilai yang lebih unggul, diutamakan. Sedangkan
perempuan sebagai makhluk yang memiliki kekurangan, lemah, dinomorduakan dan berperan di belakang Hayati,
dkk, 1999 : 5. Budaya patriarki tersebut sudah disosialisasikan dalam
lingkup keluarga sejak masa kanak-kanak. Poerwandari dalam Luhulima, 2000 : 16-17 berpendapat bahwa sejak
usia dini, laki-laki telah disosialisasikan untuk menyukai kekerasan. Hal tersebut dilakukan melalui bentuk permainan
yang keras, olah raga yang keras, program televisi yang menyajikan kekerasan sebagai cara untuk mendapatkan apa
yang diinginkan dan menyelesaikan masalah. Andari 2005 : 33 menjelaskan bahwa struktur sosial
budaya mengkonstruksikan perempuan untuk menjadi istri yang menyenangkan hati suami dan menjaga keutuhan
keluarga sehingga istri dapat dikatakan harus bertanggung jawab untuk menjaga keharmonisan keluarganya. Selain itu,
istri akan menggantungkan kehidupan ekonominya kepada suaminya. Gelles Moors dalam Djannah, dkk, 2003 : 3
menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga adalah ketergantungannya ekonomi istri
pada suami sehingga istri mungkin akan direndahkan oleh suaminya.
Budaya patriarki yang telah di pupuk sejak dini ini akhirnya terinternalisasi pada individu masing-masing
sehingga dikembangkan menjadi karakteristik kepribadian dan pola adaptasi tertentu pada hidupnya Poerwandari dalam
Luhulima, 2000 : 16. Laki-laki yang lebih diutamakan tersebut merasa diri mampu dan mengendalikan anak
sehingga istri dan anak harus tunduk pada dirinya Poerwandari, 2000 : 16. Tamtiari 2005 : 15-16
menambahkan bahwa pernikahan mencerminkan kepemilikan istri menjadi milik suami men’s property, sehingga suami
dianggap pantas jika melakukan kekerasan dengan alasan mendidik istrinya. Didikan tersebut sebagai wujud rasa
sayang dan perhatian suami terhadap istrinya. Pernyataan tersebut juga di dukung Suparno dalam Tamtiari, 2005 : 16
yang mengemukakan bahwa suami dianggap sah dan berhak memperlakukan istri sekehendak hatinya.
Jadi, kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk melukai atau menyakiti istrinya. Perbuatan
menyakiti istri dalam berbagai bentuk yaitu secara fisik seperti menampar, menjambak rambut, memukul, dan sebagainya. Selain itu
juga secara psikologis seperti berteriak, mengancam, mengatur, dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagainya. Selanjutnya secara seksual seperti meraba, menyentuh, atau melakukan tindakan yang bersifat memaksa. Bentuk yang terakhir
adalah secara finansial seperti menghambat karir istri, menahan dan mengawasi pengeluaran uang.
Ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi kekerasan dalam rumah tangga yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan faktor yang berasal dari diri individu seperti kondisi psikis misalnya penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, frustrasi,
kurangnya komunikasi, dan sebagainya dan proses belajar pada masa kanak-kanak. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri
individu seperti persepsi tentang kekerasan pada masyarakat dan budaya patriarki.
C. Hubungan antara Stres Kerja dan Kekerasan dalam Rumah Tangga