pekerjaan, resiko dan bahaya pekerjaan, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, struktur dan iklim organisasi, tuntutan dari
luar organisasi, dan ciri-ciri individu. Respon tersebut dipengaruhi oleh penilaian kognitif individu. Individu yang melihat tuntutan tersebut
sebagai suatu tantangan sehingga lebih termotivasi akan mengalami eustress. Sedangkan individu yang melihat tuntutan sebagai suatu
ancaman maka akan mengalami distress. Respon stres individu terhadap lingkungannya terdiri dari 4 aspek. Pertama, respon
psikologis seperti cemas, depresi, kelelahan, dan sebagainya. Kedua, respon fisiologis seperti keringat dingin, jantung berdebar, gangguan
perut dan sebagainya. Ketiga, respon perilaku dimana individu akan merokok berlebihan, terjadi kekerasan di tempat kerja, dan sebagainya.
Aspek yang terakhir yaitu respon kognitif, konsentrasi dan perhatian yang menurun pada individu, sulit membuat keputusan, dan
sebagainya.
C. Agresi yang Dialihkan
Displacement Agression
BaronByrne 2005 : 144 mengungkapkan bahwa frustrasi merupakan salah satu faktor yang secara potensial menyebabkan agresi.
Frustrasi terkadang menghasilkan agresi karena adanya hubungan yang mendasar antara afek negatif perasaan yang tidak menyenangkan dengan
perilaku agresif. Hal ini didukung dengan pernyataan Berkowitz dalam Krahe, 2005 : 57-58 bahwa afek negatif dalam bentuk amarah merupakan
mediator penting antara frustrasi dan agresi. Frustrasi merupakan salah satu kejadian aversif yang dapat menimbulkan afek negatif dalam bentuk marah.
Kejadian aversif tersebut seperti ketakutan, kesakitan fisik, atau ketidaknyamanan secara psikologis.
Lebih lanjut lagi, Sears 2005 : 23-24 mengatakan bahwa ada perasaan agresi yang tidak dapat diekspresikan terhadap penyebab marah
disebut sebagai agresi yang dialihkan. Agresi yang dialihkan akan mengekspresikan agresi terhadap sasaran pengganti. Terkadang orang
merasa kesal atau marah terhadap orang lain tetapi tidak dapat membalasnya. Hal tersebut disebabkan karena orang yang menyebabkan
marah itu terlalu kuat, terhambat melakukannya atau terlalu cemas mengenai akibat ke depannya. Inilah yang membuat seseorang ingin mengalihkan
perasaan agresinya dengan cara yang lain. Sears 2005 : 24 menjelaskan bahwa pada umumnya agresi yang dialihkan diarahkan pada sasaran yang
dipersepsi lebih lemah atau kurang kuat. Pernyataan ini di dukung oleh Krahe 2005 : 56 yang menyatakan bahwa orang yang takut akan hukuman
akan mengalihkan agresinya ke orang yang lebih lemah darinya. Selanjutnya, Murpraptomo 1992 : 7 menjelaskan bahwa kekerasan
terhadap wanita ialah manifestasi dari agresi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Kekerasan dalam Rumah Tangga
1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Berdasarkan UU No.34 Tahun 2004 http:www.kowani.or.id
mainindex.asp?lang=idp=101f=apr012005001, kekerasan dalam rumah tangga yang biasa disingkat menjadi KDRT ialah :
Setiap perbuatan terhadap perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, danatau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Kyriacou, dkk dalam Luhulima, 2000 menjelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah pola perilaku yang bersifat
menyerang sehingga menciptakan ancaman atau melukai yang dilakukan oleh pasangannya.
Kekerasan ini terjadi pada area domestik dalam bentuk intimate violence atau private violence. Yuarsi dalam Tursilarini, 2004 : 63
menyatakan intimate violence ini terjadi antara suami-istri yang berupa perbuatan kekerasan secara seksual pada istri oleh suami. Selanjutnya,
Poerwandari dalam Luhulima, 2000 : 13 menyatakan bahwa pelaku dan korban memiliki hubungan keluarga atau kedekatan seperti istri,
pacar atau anak. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan dalam arena domestik dengan konteks rumah tangga yaitu oleh suami terhadap istri.
Kekerasan ini berupa perbuatan untuk menyakiti atau melukai pasangannya dalam bentuk apa pun. Peneliti membatasi kekerasan
dalam rumah tangga ini khususnya pada istri. Tamtiari 2005 : 14 menjelaskan berdasar pada hasil penelitian dan kasus yang banyak
terjadi, bahwa fenomena kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri terbukti paling banyak terjadi.
2. Dimensi Kekerasan dalam Rumah Tangga
Poerwandari dalam Luhulima, 2000 : 11 menyatakan ada 4 dimensi dari kekerasan dalam rumah tangga. Dimensi-dimensi tersebut
yaitu : a.
Kekerasan Fisik Adib Muttaqin 2005 : 12 menjelaskan bahwa kekerasan
fisik merupakan setiap tindakan yang dapat menyebabkan rasa sakit, luka, cedera pada tubuh, dan menyebabkan kematian baik
yang dilakukan dengan menggunakan alat atau tanpa alat. Bentuk-bentuk tersebut antara lain seperti menampar, memukul
dengan tangan ataupun benda, menarik rambut, menyundut dengan rokok, mengabaikan kesehatan istri, melukai dengan
senjata, dan lain-lain Hayati, dkk, 1999 : 1. Purnianti Kolibonso 2003 : 32 menambahkan bentuk-bentuk kekerasan
antara lain penganiayaan, pengurungan dikurung di dalam rumah dan memberikan pekerjaan yang berlebihan.
b. Kekerasan Psikologis
Kekerasan psikologis adalah segala perbuatan atau ucapan yang dapat mengakibatkan ketakutan atau hilangnya kepercayaan
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak serta perasaan tidak berdaya pada korban Adib Muttaqin,2005 : 12-13. Kekerasan
psikologis ini tidak menimbulkan bekas seperti kekerasan fisik namun demikian dapat meruntuhkan harga diri bahkan
menimbulkan dendam di hati istri kepada suami. Kekerasan ini bahkan lebih sulit di atasi daripada kekerasan fisik Djannah,
dkk, 2003 : 34-35. Bentuk-bentuk kekerasan psikologis tersebut menurut
Poerwandari dalam Luhulima, 2000 : 11 seperti berteriak- teriak, menghina, menguntit, mengancam misalnya dicerai,
dipukul, dibunuh, merendahkan, pengabaian, tuduhan, penolakan, membentak, menyumpah, mengatur, memata-matai,
dan tindakan-tindakan yang menyebabkan rasa takut. Selain itu, perbuatan, pembatasan, pemutusan hubungan dengan masyarakat
maupun dengan keluarga, melarang istri bekerja, sering meninggalkan rumah tanpa alasan dan teror merupakan bentuk-
bentuk kekerasan psikologis yang lain Purnianti Kalibonso, 2003 : 33. Hayati 1999 : 1 menambahkan bentuk-bentuk
tersebut seperti melarang istri untuk ikut terlibat kegiatan sosial PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kemasyarakatan dan memisahkan istri dengan anak-anak bila tidak menuruti keinginan suami.
c. Kekerasan Seksual Budi Sampurna dalam Luhulima, 2000 : 56 mengatakan
bahwa kekerasan seksual ini adalah segala sesuatu yang bersifat penyerangan terhadap perempuan dalam konteks seksual.
Kekerasan ini berupa ajakan ke arah seksual seperti gurauan, melecehkan atau merendahkan yang mengarah kepada seksual,
menyentuh, meraba, mencium, memaksa berhubungan seksual saat istri sedang tidak menginginkannya mungkin karena sedang
haid atau sakit. Hayati 1999 : 2 menambahkan bentuk kekerasan antara lain tidak memenuhi kebutuhan seksual istri,
memaksa istri melakukan hubungan seksual dengan cara yang tidak disukai istri, menggugurkan kandungan istri, dan memaksa
istri melakukan hubungan seksual dengan orang lain. d.
Kekerasan Finansial Poerwandari dalam Luhulima, 2000 : 12 menyebutkan
bentuk-bentuk kekerasan finansial seperti mengambil uang, menahan atau tidak memberikan kebutuhan finansial,
mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil- kecilnya, serta menghambat karir pasangannya. Semua hal
tersebut dimaksudkan untuk dapat mengendalikan tindakan korban.
Jadi, ada 4 dimensi kekerasan dalam rumah tangga. Pertama, kekerasan fisik yaitu kekerasan yang menyebabkan rasa sakit
atau luka pada tubuh istri. Kekerasan tersebut seperti menampar, menarik rambut, memukul, dan sebagainya. Kedua, kekerasan
psikologis ialah segala ucapan yang menyebabkan rasa takut, kehilangan kepercayaan diri atau tidak berdaya pada istri.
Misalnya berteriak, mengatur, menguntit, mengancam, dan sebagainya. Ketiga, kekerasan seksual yang menyerang atau
menyakiti dalam konteks seksual. Misalnya, meraba, menyentuh atau melakukan tindakan yang bersifat memaksa karena istri
tidak menginginkannya. Kekerasan yang terakhir yaitu kekerasan finansial yang menyakiti istri dalam konteks finansial.
Contohnya adalah menahan, mengawasi atau mengendalikan pengeluaran uang, menghambat karir istri, dan sebagainya.
3. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Djannah, dkk 2003 : 21 mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa tindakan kekerasan terjadi.
Faktor-faktor tersebut ialah : a.
Faktor Internal Faktor internal ini berasal dari dalam diri individu.
Purnianti Kolibonso 2003 : 3-4 mengemukakan bahwa keluarga adalah tempat dimana kekerasan fisik pertama kali
dirasakan dan keluarga adalah tempat pembenaran normatif kekerasan terjadi pada masa kanak-kanak. Hukuman kekerasan
fisik tersebut digunakan untuk mengajarkan jenis-jenis perilaku apa saja yang boleh dan tidak diperbolehkan, di sisi lain juga
sebagai proses belajar sosial pada anak yang membenarkan penggunaan kekerasan.
Proses belajar tersebut awalnya ialah mengasosiasikan cinta dengan kekerasan pada masa kanak-kanak. Orang tua ialah orang
terdekat yang dapat memukul anaknya untuk melatih mana yang baik dan yang buruk. Pada tahap ini, anak belajar bahwa orang
terdekat menjadi wajar jika memukulnya melakukan kekerasan. Selain itu juga memberi pengajaran dan budaya untuk
membenarkan tindakan kekerasan. Purnianti Kolibonso 2003 : 4 memberikan contoh, orang tua sering menahan diri untuk
melakukan pemukulan hingga orang tua tidak dapat menahan kemarahan atau rasa frustrasi atas tindakan anaknya. Pada situasi
ini, anak mempelajari bahwa kemarahan dan rasa frustrasi yang mendalam dapat membenarkan untuk melakukan tindakan
kekerasan. Pendapat ini dilengkapi oleh Poerwandari dalam Luhulima, 2000 : 14 yang mengungkapkan bahwa individu yang
sedang tertekan karena menghadapi suatu konflik atau masalah, merespon perasaan tertekannya dengan melakukan kekerasan
pada orang-orang disekitarnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hayati, dkk 2000 : 5 juga menambahkan bahwa perilaku meniru mempengaruhi individu dalam melakukan tindak
kekerasan. Seorang anak yang hidup dengan orang tua yang senang memukul sebagai cara berkomunikasi untuk
menyelesaikan masalah maka akan meniru perilaku orang tuanya dan diterapkan pada pasangannya. Tindak kekerasan sebagai
hasil belajar sosial tersebut akan terinternalisasi ke hubungan sosial lain terutama dalam hubungan yang dekat seperti suami
dan istri. Perilaku meniru ini juga bisa diperoleh melalui media lain, misalnya lingkungan masyarakat, televisi atau yang lain.
Selain itu, tanpa mendapatkan kekerasan pada masa kanak-kanak dapat juga dengan mengamati kekerasan yang terjadi pada orang
tuanya. Semakin sering anak mendapatkan hukuman fisik maka semakin tinggi juga kemungkinan pemukulan terhadap pasangan
Straus dalam Purnianti Kolibonso, 2003 : 4. Pernyataan-pernyataan di atas di dukung juga oleh pendapat
Langley, dkk dalam Salmah, 2004 : 87 ; Djannah dkk : 2003 : 20 yang mengemukakan bahwa kondisi psikis sebagai faktor
internal pada individu dalam melakukan tindak kekerasan. Kondisi psikis tersebut seperti sakit mental, pecandu alkohol dan
obat bius, penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, kurangnya komunikasi, penyelewengan seks, citra diri yang rendah,
frustrasi, perubahan situasi dan kondisi, dan kekerasan sebagai PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sumber daya untuk menyelesaikan masalah kebiasaan turunan dari keluarga atau orang tua. Utami 2002 : 18 mendukung
pernyataan tersebut dengan mengungkapkan bahwa suami melakukan kekerasan terhadap istri karena frustrasi atau stres
pekerjaan. b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ini berasal dari luar diri individu. Faktor ini terdiri dari dua hal, yaitu :
1. Persepsi tentang kekerasan pada masyarakat Kekerasan dalam rumah tangga dianggap tabu yang
harus ditutup agar tidak diketahui oleh lingkungan masyarakat karena merupakan permasalahan intern. Tamtiari
2005 : 11 menjelaskan juga bahwa struktur sosial budaya menjunjung tinggi kehormatan suatu rumah tangga sehingga
apabila terjadi kekerasan akan disembunyikan. Ia pun menambahkan bahwa perempuan mempunyai tugas untuk
menjaga keharmonisan rumah tangganya sehingga perempuan cenderung untuk menutupi tindak kekerasan yang
dialaminya. 2. Struktur Sosial dalam Masyarakat Budaya Patriarki
Menurut Darwin dalam Tamtiari, 2005 : 9, dilihat secara keseluruhan masyarakat Indonesia adalah masyarakat
patriarkis. Budaya patriarki yaitu budaya pada masyarakat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang meletakkan laki-laki sebagai makhluk yang istimewa, memiliki nilai yang lebih unggul, diutamakan. Sedangkan
perempuan sebagai makhluk yang memiliki kekurangan, lemah, dinomorduakan dan berperan di belakang Hayati,
dkk, 1999 : 5. Budaya patriarki tersebut sudah disosialisasikan dalam
lingkup keluarga sejak masa kanak-kanak. Poerwandari dalam Luhulima, 2000 : 16-17 berpendapat bahwa sejak
usia dini, laki-laki telah disosialisasikan untuk menyukai kekerasan. Hal tersebut dilakukan melalui bentuk permainan
yang keras, olah raga yang keras, program televisi yang menyajikan kekerasan sebagai cara untuk mendapatkan apa
yang diinginkan dan menyelesaikan masalah. Andari 2005 : 33 menjelaskan bahwa struktur sosial
budaya mengkonstruksikan perempuan untuk menjadi istri yang menyenangkan hati suami dan menjaga keutuhan
keluarga sehingga istri dapat dikatakan harus bertanggung jawab untuk menjaga keharmonisan keluarganya. Selain itu,
istri akan menggantungkan kehidupan ekonominya kepada suaminya. Gelles Moors dalam Djannah, dkk, 2003 : 3
menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga adalah ketergantungannya ekonomi istri
pada suami sehingga istri mungkin akan direndahkan oleh suaminya.
Budaya patriarki yang telah di pupuk sejak dini ini akhirnya terinternalisasi pada individu masing-masing
sehingga dikembangkan menjadi karakteristik kepribadian dan pola adaptasi tertentu pada hidupnya Poerwandari dalam
Luhulima, 2000 : 16. Laki-laki yang lebih diutamakan tersebut merasa diri mampu dan mengendalikan anak
sehingga istri dan anak harus tunduk pada dirinya Poerwandari, 2000 : 16. Tamtiari 2005 : 15-16
menambahkan bahwa pernikahan mencerminkan kepemilikan istri menjadi milik suami men’s property, sehingga suami
dianggap pantas jika melakukan kekerasan dengan alasan mendidik istrinya. Didikan tersebut sebagai wujud rasa
sayang dan perhatian suami terhadap istrinya. Pernyataan tersebut juga di dukung Suparno dalam Tamtiari, 2005 : 16
yang mengemukakan bahwa suami dianggap sah dan berhak memperlakukan istri sekehendak hatinya.
Jadi, kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk melukai atau menyakiti istrinya. Perbuatan
menyakiti istri dalam berbagai bentuk yaitu secara fisik seperti menampar, menjambak rambut, memukul, dan sebagainya. Selain itu
juga secara psikologis seperti berteriak, mengancam, mengatur, dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagainya. Selanjutnya secara seksual seperti meraba, menyentuh, atau melakukan tindakan yang bersifat memaksa. Bentuk yang terakhir
adalah secara finansial seperti menghambat karir istri, menahan dan mengawasi pengeluaran uang.
Ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi kekerasan dalam rumah tangga yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan faktor yang berasal dari diri individu seperti kondisi psikis misalnya penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, frustrasi,
kurangnya komunikasi, dan sebagainya dan proses belajar pada masa kanak-kanak. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri
individu seperti persepsi tentang kekerasan pada masyarakat dan budaya patriarki.
C. Hubungan antara Stres Kerja dan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Lingkungan militer mempunyai disiplin militer yang tinggi. Namun demikian, disiplin tersebut terkadang disalahgunakan oleh atasan sehingga
terjadi penyimpangan disiplin militer. Pada karya militer yang dibuat May. Siswono 2005 : 28 mengatakan bahwa ada penyimpangan disiplin militer
yang dilakukan atasan kepada bawahannya. Penyimpangan yang dilakukan oleh atasan seperti memerintahkan prajurit untuk kepentingan pribadi, di
luar jam dinas. Cukup banyak perwira yang mengeluarkan kata-kata ancaman serta dendam karena tidak terpenuhinya kebutuhan pribadi. Hal
tersebut pada akhirnya dapat menghambat karir anggota-anggotanya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Perasaan diancam baik oleh atasan maupun oleh rekan kerjanya tersebut juga dapat mempengaruhi kesehatan individu dan organisasi sehingga
memunculkan stres kerja Kahn dalam Munandar, 2001 : 395. Lebih lanjut lagi, Heriyono dalam Gema Infanteri 2005 : 18
mengungkapkan bahwa perintah atasan seringkali berubah-ubah dan tidak jelas, ada perintah yang berlebihan di luar jam dinas, pemaksaan kehendak
dan tidak memikirkan kepentingan bawahannya. Kapt. Inf. Faisal A.Y menjelaskan bahwa golongan tamtama merupakan golongan pelaksana yang
melaksanakan perintah atasan sehingga tidak ada job desk yang jelas wawancara pribadi, 3 April 2008. Hal ini membuat prajurit TNI
mengalami role ambiguity. Selanjutnya, kondisi fisik juga mempengaruhi stres kerja. Pekerjaan sebagai TNI-AD mempunyai resiko kematian yang
tinggi. Mayjen. TNI Agus Soeyitno dalam Gema Diponegoro, 2007 : 52 menyatakan bahwa tentara bersumpah sebelum dilantik untuk setia
mengabdi kepada negara apapun resikonya. Tentara bertugas untuk menjaga keamanan negara sehingga sering dikirim untuk operasi militer pada
wilayah-wilayah yang membutuhkan keamanan. Ruang gerak bawahan menjadi terbatas karena adanya penyimpangan
disiplin militer yang dilakukan oleh atasan. Hal tersebut dapat memunculkan frustrasi karena ada keinginan yang tidak terpenuhi pada individu dalam
menjalankan kehidupannya sehari-hari. Waktu yang ada lebih banyak dihabiskan untuk memenuhi perintah atasan yang berlebihan di luar jam
dinas Heriyono dalam Gema Infanteri 2005 : 18. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kapt. Inf Faisal A.Y mengungkapkan bahwa pola kepemimpinan pada militer cenderung otoriter wawancara pribadi, 10 April 2008. Bagi
pimpinan, perintah adalah segala-galanya dan bersifat mutlak, bawahan juga jarang ikut ambil bagian dalam membuat keputusan. Schultz Schultz
2006 : 368 menyatakan bahwa pola kepemimpinan merupakan salah satu pembangkit stres. Pembangkit stres yang terakhir adalah ciri-ciri individu.
Individu yang berada pada suatu lingkungan kerja harus dapat beradaptasi dan menginternalisasi nilai-nilai yang dianggap penting bagi organisasi
tersebut. Jika individu tidak dapat beradaptasi maka dapat menimbulkan stres.
Respon individu pada tuntutan-tuntutan yang diberikan oleh lingkungan berbeda-beda. Respon tersebut tergantung dari penilaian kognitif
dan kemampuan individu dalam memecahkan permasalahan mengenai tuntutan tersebut. Individu akan mengalami distress jika merasa tidak
memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan, padahal permasalahan tersebut dianggap penting bagi dirinya. Individu akan
memandang permasalahan sebagai suatu ancaman bagi dirinya. Sebaliknya, individu akan mengalami eustress jika merasa mampu untuk menyelesaikan
permasalahan yang dianggap penting bagi dirinya. Individu akan memandang permasalahan sebagai suatu tantangan sehingga dapat
memotivasi dirinya Munandar, 2001 : 399-400 ; Schultz Schultz, 2006 : 358.
Individu yang mengalami stres kemudian muncul gejala-gejala seperti fisiologis, psikologis, kognitif dan perilaku. Gejala fisiologis yang dialami
prajurit TNI seperti keringat dingin dan gangguan perut saat dipanggil untuk menghadap atasan. Selain itu juga merasa ada gangguan tidur karena
terbayang-bayang dengan tugas yang sedang diberikan dan bayangan mengenai atasannya. Sedangkan gejala psikologis seperti kesal, kecewa dan
bosan karena atasan terkadang tidak puas dengan hasil dari tugas yang diberikan wawancara pribadi, 10 April 2008.
Pada gejala kognitif, prajurit TNI merasa sulit berkonsentrasi dalam bekerja, berkurangnya nafsu makan sehingga berat badan menurun
wawancara pribadi, 10 April 2008. Selanjutnya, ketidakberanian prajurit mengutarakan perasaan ini dapat membuat perasaannya tertekan terutama
yang bersifat negatif sehingga dialihkan ke anggota keluarga yang mempunyai kedudukan lebih lemah dari dirinya. Salah satu pengalihan
perasaannya tersebut ialah kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Darwin dalam Tamtiari, 2005 : 9 struktur sosial budaya
yang sudah tersebar luas di lingkungan masyarakat yaitu budaya patriarki. Budaya ini mempengaruhi seseorang melakukan kekerasan yang
menerapkan bahwa laki-laki mempunyai posisi yang lebih tinggi daripada perempuan. Pengertian ini menganggap bahwa perempuan merupakan hak
milik laki-laki dan laki-laki mempunyai hak untuk mendidik pasangannya. Didikan tersebut juga dapat dilakukan dengan cara kekerasan yang diartikan
sebagai rasa sayang dan cinta kepada pasangannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kekerasan juga dipengaruhi oleh karakteristik individu. Keluarga merupakan tempat awal yang mengenalkan bahwa kekerasan merupakan hal
yang wajar Purnianti Kolibonso, 2003 : 3-4. Sejak individu masih anak- anak ada yang diberi pelajaran mengenai perilaku yang boleh dan tidak
boleh dilakukan dengan memberikan hukuman fisik. Hal ini menjadi proses belajar sosial pada masa anak-anak bahwa kekerasan merupakan hal yang
wajar dilakukan. Selain itu, perilaku meniru juga mempengaruhi tindak kekerasan Hayati, dkk, 2000 : 5. Orang tua ada yang melakukan kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Hal ini akan ditiru oleh anak- anak dan diterapkan pada pasangannya. Proses belajar pada anak-anak
tersebut berkembang menjadi karakter kepribadian individu. Selain itu, kondisi psikis individu juga dapat mempengaruhi seseorang
melakukan kekerasan. Langley, dkk dalam Salmah, 2004 : 87 ; Djannah dkk : 2003 : 20 menyebutkan kondisi psikis tersebut seperti sakit mental,
pecandu alkohol dan obat bius, penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, kurangnya komunikasi, penyelewengan seks, citra diri yang rendah,
frustrasi, perubahan situasi dan kondisi, dan kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah kebiasaan turunan dari keluarga atau orang
tua. Berikut ini dijabarkan bagan hubungan antara stres kerja dan kekerasan dalam rumah tangga.
Gambar 1 Hubungan Stres Kerja dan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Faktor Eksternal : 1. Persepsi masyarakat mengenai
kekerasan 2. Budaya Patriarki
3. Perilaku Meniru Faktor Internal :
1. Perilaku Meniru 2. Pengalaman kekerasan
pada masa kanak-kanak 3. Kondisi Psikis
Pembangkit Stres : 1. Penyimpangan disiplin militer oleh atasan 4. Konflik Peran
2. Beban kerja berlebih 5. Ciri-Ciri Individu
3. Resiko kematian yang tinggi 6. Struktur organisasi yang kaku
Penilaian Kognitif
Merasa lebih tidak mampu mengatasi, memandang
sebagai ancaman
Distress : 1. Reaksi Psikologis
2. Reaksi Fisiologis 3. Reaksi Perilaku
4. Reaksi Kognitif
Displacement Aggresion
Kekerasan dalam Rumah Tangga : Fisik,
Psikologis, Ekonomi, Seksual
D. Hipotesis