Pendekatan Paradigma Pedagogik Reflektif PPR

4

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Pendekatan Paradigma Pedagogik Reflektif PPR

Pengertian PPR dalam BAB II ini hampir semuanya diambil dari buku Paradigma Pedagogi Reflektif yang merupakan terjemahan dari Ignatian Pedagogy, A Practical Approach diterjemahkan oleh Rm. J. Subagya, SJ. tahun 2010. 1. Sejarah munculnya PPR Awal mula terbentuknya istilah PPR yaitu ada seorang yang bernama Ignatius. Ia mendirikan Serikat Jesus tahun 1540. Kelompok religius ini tidak pertama-tama langsung menerapkannya di sekolah-sekolah, namun kepentingan masyarakat waktu itu menuntut Ignatius untuk mengambil keputusan memilih pendidikan sebagai cara yang efektif bagi pengembangan manusia-manusia yang unggul dalam imannya dan berkarakter. Keberhasilan sekolah-sekolah yang didirikan oleh para Jesuit, anggota Serikat Jesus, menjadi kekaguman banyak orang sehingga dengan cepat tersebar dan diminati negara Eropa, yang menjadi kunci keberhasilannya adalah adanya seperangkat Rencana Pengajaran sekolah Jesuit. Pada tahun 1581 pemimpin tertinggi Serikat Jesus, Claudius Aquaviva membentuk sebuah tim yang tugasnya mengumpulkan “best practices” dari sekolah- sekolah Jesuit itu, dan merumuskan sebuah “ Rencana Pengajaran”. Di Eropa dikenal dengan nama” Ratio Studiorum” yang disingkat dengan nama “ Ratio atque Institutio Studiorum Societatis Iesu ” Rencana Pengajaran untuk Lembaga Pendidikan Serikat Jesus. Tim itu menyelesaikan draft Ratio Studiorum tahun 1586 dan digunakan untuk dievaluasi di kemudian hari. Sejak itu dengan cepat lebih dari 1000 sekolah yang dikelola Jesuit di berbagai tempat selalu mengacu pada Ratio Studiorum untuk mengembangkan pendidikannya. 5 Berabad-abad kemudian sampai abad ke-20, kehebatannya diterima dan diakui banyak orang. Pemimpin tertinggi Jesuit, P.H. Kolvenbach SJ, membuat tim untuk merumuskan ulang Ratio Studiorum agar sesuai dengan konteks zaman. Pada tahun 1993, di Roma ada tim yang betugas untuk menyebarluaskan Rencana Pengajaran itu di belahan dunia. Mereka selalu berkumpul dan berbagi pengalaman mengenai metode-metode kunci dalam penyelenggaraan pendidikan modern. Mereka sadar bahwa Ignatius telah mewariskan metode pedagogis yang berkembang dari spiritual Ignatian yang sangat mendalam. Maka dokumen yang dikembangkan dalam forum itu berjudul “Ignatian Pedagogy. A Practical Approach. Dari pertemuan itu, Paradigma Pedagogi Ignatian mulai menggema dan mengubah penyelenggaraan pendidikan disekolah-sekolah Jesuit di mana-mana. 2. Pengertian Menurut buku Paradigma Pedagogi Reflektif yang merupakan terjemahan dari Ignatian Pedagogy, A Practical Approach yang diterjemahkan oleh Rm. J. Subagya, SJ. tahun 2010, Paradigma Pedagogi Reflektif adalah “suatu pendekatan yang dilakukan pengajar untuk mendampingi siswanya dalam perkembangannya baik dalam segi berpikir dan bertindak dalam menerapkan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga siswa memiliki pribadi yang utuh dan manusiawi ”. Pengertian tersebut sesuai dengan esensi dari pendidikan yaitu sebagai suatu proses penanaman nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan itu sendiri seharusnya mendampingi peserta didik untuk berproses tumbuh dan berkembangnya kesadaran nilai-nilai kehidupan atau nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan yang diperoleh tersebut akan direfleksikan, dan hasil dari refleksi siswa akan diterapkan dalam kehidupannya sehingga akan tampak perubahan pola tingkah laku dan sikap yang utuh. Utuh di sini adalah siswa mampu memiliki sikap yang berbudi pekerti, berbela rasa pada sesama dan lingkungan, yakni sikap yang mengarah ke arah positif yang mampu dipertanggungjawabkan. Hasil dari pembentukan 6 semacam itu merupakan kemauannya sendiri dalam mengambil keputusan- keputusan yang bertanggung jawab. Proses pembelajaran berbasiskan PPR di sekolah atau di kelas, tidak lain mengarah pada perkembangan pribadi yang semakin utuh. Namun jangan hanya terintegrasi dalam keutuhan pribadinya sebagai seorang manusia, tetapi PPR yang diintegrasikan dalam proses pembelajaran di sekolah adalah membantu peserta didik berkembang menjadi seorang pribadi yang kompeten, bersuara hati, bertanggung jawab, dan memiliki kepedulian pada sesama. Pribadi semacam itulah yang disebut pribadi yang utuh baik dari dalam dan luar dirinya. 3. Dinamika PPR Secara umum model pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pedagogik reflektif ini mencakup lima langkah pokok, antara lain Tim Penyusun P3MP dan LPM, Universitas Sanata Dharma, 2008:20 dan Riyanto, 2009:

1 Konteks

Tahap awal dari pembelajaran yang berbasis pedagogi reflektif ini adalah pengenalan konteks siswa. Siswa diajak mencermati konteks-konteks yang ada dalam hidupnya sehingga mereka mampu mengenali faktor-faktor yang berpotensi mendukung atau menghambat proses pembelajaran yang akan dialaminya. Guru akan memulai proses pembelajarannya dari diri siswa yaitu dengan memahami dunia siswa termasuk cara-cara hidup keluarga dan lingkungannya, kebudayaan dan adat, dan juga tekanan sosial, politik, agama, ekonomi yang terjadi di sekitarnya, dan hal lain yang mempengaruhi dunia siswa dan mempengaruhinya ke arah yang baik dan buruk. Hal ini dilakukan karena siswa adalah subjek yang akan ditantang, didorong, dan didukung untuk mencapai perkembangan pribadi yang utuh. Pemahaman konteks ini akan 7 membantu guru dalam menciptakan suasana belajar yang berkualitas, yakni siswa akan lebih memahami bahwa orang lain merupakan teman sejati dalam belajar. Konteks-konteks yang perlu dipahami oleh guru: a. Konteks kehidupan nyata siswa. Kehidupan nyata siswa yang meliputi cara hidup keluarga, teman-teman, kelompok sebaya, keadaan sosial-ekonomi, kesenangan, lembaga pendidikan, susasana kebudayaan atau yang lain yang berdampak menguntungkan atau merugikan siswa. Selain itu, kadang berguna dan penting dalam mendorong para siswa berefleksi atas faktor-faktor kontekstual yang mereka alami dan bagaimana hal itu mempengaruhi sikap, tanggapan, penilaian dan pilihan mereka. 1 Pengertian-pengertian yang dibawa siswa ketika memulai proses belajar. Pengertian dan pemahaman yang siswa peroleh dari studi sebelumnya atau dari lingkungan hidup siswa merupakan konteks belajar yang harus diperhatikan. Selain itu, perasan, sikap, dan nilai- nilai yang para siswa miliki termasuk konteks nyata proses belajar mereka. 2 Konteks sosio-ekonomi, politik, kebudayaan, kebiasaan kaum muda, agama, media massa, dan lain-lain merupakan lingkungan hidup siswa yang dapat mempengaruhi perkembangan siswa dalam hubungannya dengan orang lain. Misalnya siswa yang status ekonominya rendah akan berdampak pada harapan siswa untuk berhasil dalam studi dan dalam mengembangkan kreativitas siswa secara bebas menjadi terhambat. 3 Situasi sekolah tempat proses belajar mengajar terjadi. Keberhasilan proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh situasi sekolah yang bersifat kondusif. Sekolah seharusnya diberi perhatian lebih 8 sebagai tempat pengembangan moral dan pembentukan religius siswa. Secara konkret, unsur-unsur suasana sekolah dapat diwujudkan dalam perhatian pada mutu akademik, kepercayaan orang lain, perhatian dan penghargaan pada sesama, memperlakukan sesama secara jujur dan adil, usaha membantu siswa menjadi pribadi yang dewasa dan utuh baik dalam hal moral dan imannya. Tanpa unsur-unsur tersebut kekuatan khas pendidikan dan pengajaran akan melemah, karena kepercayaan dan persahabatan antara guru dan siswa merupakan prasyarat yang menunjang Paradigma Pedagogi Reflektif. Pemahaman konteks itu akan sangat membantu para guru dalam menciptakan hubungan yang dicirikan oleh autentisitas dan kebenaran. Jika suasana saling mempercayai dan saling menghargai terjadi, siswa akan mengalami bahwa orang lain merupakan teman sejati dalam proses belajar. Dalam suasana seperti itulah proses belajar akan berjalan lancar secara sekaligus berkualitas. b. Pengalaman Bagi Ignatius, pengalaman berarti “mengenyam sesuatu hal dalam batin”. Pengalaman yang didapat siswa fakta, pengertian, asas akan dianalisis dan dinilai ide-idenya untuk lebih memahami dan menghargai maknanya. Tahap pengalaman merupakan tahap yang sangat penting dalam menentukan tingkat pencapaian kompetensi yang dicapai baik dalam aspek kognitif, psikomotorik, maupun afektif. Selain itu, tahap ini juga menjadi bahan atau dasar bagi tahap refleksi dan aksi yang merupakan kelanjutan dari tahap pengalaman. Di dalam pembelajaran, pengalaman sama artinya dengan pengalaman belajar, atau dalam RPP Rencana Pelaksanaan Pembelajaran disebut dengan kegiatan pembelajaran. Pengalaman di sini adalah pengalaman belajar yang dialami siswa untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Di dalam tahap 9 ini, siswa akan diajak mendalami materi belajar agar pada dirinya terbangun pemahaman dan menumbuhkan sikap positif terkait dengan pemahaman tersebut keterampilan. Pengalaman yang akan dipelajari siswa berasal dari pengalaman langsung dan pengalaman tidak langsung. Pengalaman langsung didapat dari pengalaman interpersonal, misalnya saat diskusi, praktikum, kegiatan lintas alam, mengambil bagian dari olah raga, dan sebagainya. Sedangkan pengalaman tidak langsung bisa lewat membaca atau mendengarkan. Sesuatu hal yang siswa baca dan dengar akan ditantang guru untuk merangsang imajinasi dan indera siswa, sehingga mereka dapat dengan sunguh-sungguh memasuki kenyataan yang sedang dipelajari. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan metode role playing, pemakaian audio visual, dan sebagainya. c. Refleksi Refleksi merupakan unsur yang penting dalam Pendekatan Pedagogi Reflektif, karena menjadi penghubung antara pengalaman dan tindakan. Agar pengalaman belajar yang diperoleh siswa dapat bermakana maka perlu direfleksikan. Tujuan dari kegiatan refleksi adalah a Siswa mampu menangkap nilai hakiki dari apa yang dipelajari; b Menemukan keterkaitan antar unsur pengetahuan dan antara pengetahuan dengan realitasnya; c Memahami implikasi pengetahuan dan seluruh tanggung jawabnya guna menemukan kebenaran dan kebebasan; dan d Membentuk hati nurani siswa baik itu dalam hal keyakinan, nilai, sikap dan seluruh cara bernalar mereka. Istilah refleksi dipakai dalam arti: menyimak kembali penuh perhatian bahan studi tertentu, pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan supaya dapat menangkap maknanya lebih mendalam. Jadi refleksi adalah suatu proses yang memunculkan makna dalam pengalaman manusiawi. Di dalam proses ini guru membimbing siswa merefleksikan pengalaman belajarnya, dan siswa diberi kebebasan untuk berefleksi. Siswa mempertimbangkan pengalamannya 10 dari sudut pandang pribadi dan manusiawi, dengan tujuan agar siswa mampu memahami kebenaran yang dipelajari secara lebih baik, mengetahui reaksi perasaan yang dialami, agar siswa mampu menemukan maknanya bagi diri sendiri dan mulai memahami siapa dirinya serta bagaimana sikapnya terhadap orang lain. Ada kemungkinan siswa yang telah berefleksi tidak menunjukkan perubahan ke arah perkembangan. Hal ini bisa terjadi karena siswa baru dalam taraf perkembangan untuk menjadi dewasa, akan tetapi yang penting guru sudah menanamkan benih kehidupan ke dalam diri siswa dan benih itu pasti akan tumbuh pada saatnya. Refleksi dalam Pedagogi Ignasian harus bermuara pada keputusan dan tekad yang kuat untuk melakukan segala hal yang siswa rasakan, dan refleksi jangan menjadi mentah kalau hanya menghasilkan pemahaman dan reaksi afektif. Hal ini dikarenakan pengalaman harus bersifat positif dan memberikan perubahan pada diri siswa sehingga menjadi pribadi yang utuh. d. Tindakan Paradigma Pedagogi Ignasian tidak hanya berhenti pada refleksi, tetapi justru dari refleksi itu diharapkan siswa terdorong untuk mengambil keputusan atau komitmen dan kemudian melaksanakannya. Refleksi yang bermula dari pengalaman harus berakhir pada realitas pengalaman yang baru dalam wujud pengambilan sikap atau tindakan. Perwujudan pengalaman baru inilah yang disebut aksi. Di dalam proses pembelajaran, yang dimaksud dengan tindakan adalah memaknai hasil pembelajaran dengan pikiran dan hati untuk mewujudkan pengetahuannya dalam kehidupan nyata. Jika siswa tersebut mengalami keberhasilan atau kegagalan, ia akan kembali kepada Tuhan untuk bersyukur atau memohon kepada-Nya agar semuanya menjadi lebih baik lagi. 11 e. Evaluasi Tahap terakhir dari pembelajaran yang berbasis pedagogi reflektif adalah evaluasi. Tahap ini dilakukan untuk memantau kemajuan akademik dan menilai kemajuan pembentukan pribadi siswa secara menyeluruh. Tes, ulangan, atau ujian merupakan alat evaluasi untuk menilai atau mengukur seberapa jauh pengetahuan sudah dikuasai dan keterampilan sudah diperoleh, yang tidak lain hal ini merupakan hasil dari evaluasi. Hasil evaluasi ini akan menjadi umpan balik bagi guru dan siswa. Bagi siswa, hasil evaluasi ini bermanfaat untuk memperbaiki cara belajarnya, sedangkan bagi guru merupakan masukan untuk memperbaiki cara dan metode pembelajaran yang digunakan. Di dalam pedagogi Ignasian, evaluasi dilakukan dalam aspek akademis dan aspek kemanusiaan. Evaluasi akan dilakukan secara periodik untuk mendorong guru dan siswa memperhatikan perkembangan pengetahuan, sikap dan tindakan-tindakan yang selaras dengan prinsip men and women for and with other. 2. Ciri-ciri PPR Paradigma Pedagogi Reflektif mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan pendidikan Jesuit Paradigma Pedagogi Reflektif.2010:66, yaitu: a Paradigma Pedagogi Reflektif dapat diterapkan kepada semua kurikulum. Paradigma ini tidak menuntut tambahan apapun selain pendekatan baru pada cara kita mengajarkan mata pelajaran yang ada. b Paradigma Pedagogi Reflektif fundamental untuk proses belajar mengajar. Paradigma tersebut dapat diterapkan pada ranah akademik dan non-akademik kegiatan ekstrakurikuler, olah raga, retret, dan sebagainya. Dalam bidang studi tertentu sejarah, matematika, bahasa, sastra, fisika, dan kesenian, 12 paradigma ini dapat dijadikan sebagai panduan dalam mempersiapkan pengajaran, memilih bahan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Paradigma ini dapat membantu peserta didik menemukan hubungan antara suatu bidang studi dengan bidang studi lain, selain itu dapat membantu menyaturagakan studi peserta didik dengan yang dahulu sudah dipelajari. Penerapan teratur dari pola ini dalam kegiatan belajar mengajar akan membantu pembentukan kebiasaan berefleksi dahulu sebelum bertindak. c Paradigma Pedagogi Reflektif menjamin para pengajar menjadi pengajar yang lebih baik. Paradigma ini akan membantu para pengajar memperkaya isi materi maupun susunan kegiatan yang diajarkan. Para pengajar akan berusaha lebih keras menuntut para siswa untuk belajar lebih aktif dan menjadi lebih bertanggung jawab terhadap hasil studi. Paradigma ini membantu para pengajar memotivasi para siswa untuk menghubungkan apa yang mereka pelajari dalam pengalaman mereka. d Paradigma Pedagogi Reflektif mempribadikan proses belajar dan mendorong siswa merefleksikan makna dan arti dari apa yang dipelajari. Pengalaman dalam hidup siswa akan membantu mereka menjadi lebih kritis dalam proses belajar mengajar serta meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. Pengalaman yang siswa peroleh direfleksikan lebih pribadi agar tercipta hubungan pengajar dan siswa yang lebih dekat. e Paradigma pedagogi reflektif menekankan matra sosial belajar maupun mengajar. Para pengajar harus mendorong kerja sama yang erat dan berbagi pengalaman serta dialog reflektif antara para siswa. Serta mendorong siswa untuk bergerak maju kearah kegiatan yang berdampak baik bagi hidup orang lain. Pengalaman yang paling mendalam timbul dari hubungan manusiawi dengan sesama dan pengalaman bersama orang lain. Refleksi harus selalu mengantar siswa untuk makin menghargai hidup orang lain. 13 3. Pengembangan Pendidikan Melalui PPR Penerapan PPR dapat membantu perkembangan pendidikan budaya yang ada di masyarakat. Beberapa kemungkinan yang masih terus dicoba dan dikembangkan lebih lanjut adalah sebagai berikut Tim Redaksi Kanisius, 2008:45: a. Budaya antikorupsi, antikekerasan, antiperusakan lingkungan. Upaya yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan budaya ini satu per satu, misalnya sebagai berikut. 1 Antinyontek ≈ antikorupsi Menumbuhkan budaya antikorupsi pada siswa dapat dilakukan dengan cara siswa diajak membahas masalah korupsi dengan memperbincangkan misalnya, kejadiannya, dampaknya, siapa yang dirugikan, siapa yang diuntungkan, perasaan orang-orang yang terkena imbas negatifnya dan lain- lain. Cara ini kemudian direfleksikan dan siswa diminta untuk melakukan aksinya. Antikorupsi dapat diberikan dengan mengembangkan budaya antinyontek. Strategi yang bisa dilakukan oleh guru adalah diciptakannya suasana atau wacana sebagai konteks bahwa lebih bekerja sendiri daripada menyontek. Bila ada siswa kedapatan nyontek, guru tidak memarahinya tetapi mengajak berefleksi. Dengan metode kerja kelompok, siswa kan diajak bekerja keras sehingga tumbuh rasa percaya diri dan tidak takut mengikuti tes tanpa gagal. 2 Persaudaraan, solidaritas dan saling menghargai ≈ antikekerasan Hubungan antara persaudaraan, solidaritas dan menghargai sesama sangat erat. Cara pengembangan persaudaraan dan solidaritas akan mengurangi tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat kita. Jika solidaritas tanpa disertai adanya 14 penghargaan terhadap sesama, akan membuat persaudaraan menjadi kurang berarti. Persaudaraan akan mampu menumbuhkan cara pandang, sikap dan perilaku antikekerasan. Cara pengembangan ini akan berhasil jika pengalaman itu direfleksikan dan ditanggapi dengan aksi, dan selanjutnya seluruh proses dievaluasi. 3 Mencintai lingkungan hidup ≈ antiperusakan lingkungan Mencintai lingkungan di sini adalah mencintai kelas sehingga membuatnya nyaman. Pengalaman untuk mengembangkan cinta lingkungan dapat dilakukan praktik-praktik di sekolah misalnya dengan membersihkan kelas, membuat kelas nyaman, atau memelihara kebun di depan kelas masing-masing. b. Sikap kemanusiaan kritis Pendidikan tidak hanya menjadikan seorang siswa menjadi cerdas dalam hal akademik, tatapi harus cerdas dalam sikap kemanusiaan yang kritis. Maksudnya peserta didik yang cerdas dalam bersikap, memutuskan, memilih, menilai dan bertindak. Hal ini dapat diwujudkan dengan bantuan atau bimbingan guru yang selalu mengajak siswanya untuk melihat kejadian- kejadian aktual yang terjadi di mayarakat demi pembentukan sikap kritis dalam memberikan pendapat. c. Religiositas terbuka Di dalam pemberian materi ajar sebaiknya siswa tidak hanya menerimanya secara pasif, melainkan secara aktif yaitu siswa yang selalu diajak untuk berpikir dan bkerja secara aktif. Dengan adanya masalah yang dijadikan tantangan, siswa akan aktif bernalar, bereksplorasi dan berkreasi. Melalui pembelajaran religiositas siswa dibantu untuk memahami dan menghayati nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai keagamaan. 15 d. Penalaran, eksplorasi, kreativitas, dan kemandirian Siswa seharusnya diajak untuk melakukan perubahan sosial menuju kebersamaan yang damai lawan korupsi, kekerasan, dan perusakan lingkungan hidup. Maka diperlukan kemampuan penalaran, eksplorasi, dan kemandirian dalam belajar. Untuk penalaran, siswa diajak untuk memecahkan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, siswa akan berusaha mencari jalan keluar dengan mencari data-data eksplorasi, mengutak-ngatik solusi, dan mencari data untuk mengujinya kreativitas. e. Kemahiran berbicara Siswa diharapkan untuk mampu berbicara logis, sistematis, manarik dan berisi dalam bahasa yang baik dan benar. Dengan memiliki kemampuan ini, diharapkan siswa akan memiliki sikap kepemimpinan yang mempunyai tujuan untuk memperjuangkan perubahan sosial. 16

BAB III METODE PENELITIAN