Implikasi Internal terhadap Warga Muhammadiyah

2. Implikasi Internal terhadap Warga Muhammadiyah

Ada ungkapan yang menjadi bahan pembicaraan umum di lingkungan kantor Muhammadiyah Yogyakarta, “belum sepenuhnya sembuh dari trauma kegagalan politik pada Pemilu 2004, sudah ditambahi lagi kegagalan yang orang luar menyebut kegagalan MD mengusung Jk-Win, meski padahal hanya elit-elit tertentu saja yang ngebet di panggung Pemilu 2009.”. lalu sebagian kelompok lainnya, teriak, “saatnya kembali ke khittah Muhammadiyah,” saatnya mengatakan, “Muhammadiyah yes! Politik, no!”.

Pasca pemilu 2009 yang dimenangkan SBY-Budiono dan Demokrat beberapa kalangan MD menyalahkan sikap DS yang frontal melawan SBY dan mendukung JK hal ini dianggap menjadikan MD gagal mendapatkan posisi menteri dalam kabinet. Hal ini ternyata penting di level grass root sebab selama ini MD selalu akomodatif terhadap peme- rintahan dan sebaliknya. Politik elit MD yang dinakhodai DS tidak membuahkan hasil. Justru, benih-benih oposisi terus dikobarkan. Bagi kalangan aktifis MD yang progresif dan liberal ini justru baik adanya sebab MD sebagai civil society akan semakin kuat untuk memberikan koreksi dan kritik kepada pemerintah. Ini pun jika tidak dipahami orang kebanyakan sebagai politik pelarian MD.

Menurut sebagian pengamat politik, kalahnya JK-Win adalah salah satu indikator tidak lakunya NU dan MD dalam menggalang dukungan untuk JK. Sokongan itu pasti tidak ada di SK atau intruksi PP. Namun dalam beberapa kesempatan, misalnya Tanwir ‘Aisyiyah di UMY yang dihadiri JK, “dukungan itu” tidak bisa dikatakan tidak eksplisit. Juga pada kesempatan-kesempatan lainnya, dukungan itu sangat muda dibaca.

Persoalannya, tidak semua warga MD tertarik dengan politik, orang MD yang tertarik dengan politik sudah di PAN, wajar kalau di kampung kampung MD juga menang SBY yang didukung oleh PAN. Ada banyak warga Muhammadiyah di desa beriman politik kepada Amien Rais dan bukan kepada DS apalagi elit Muhammadiyah (lokal) yang PNS hampir dipastikan akan berkampanye secara sukarela untuk SBY.

Bagi kubu MD non-politis kekalahan JK itu dianggap sebagai kewajaran sebab sejarah membuktikan, hal itu hanya memperboros energi

umat. Jika dukungan itu memperoleh hasil, imbalan (reward) yang diberikan

Polit ik Elit e Muhammadiyah

pada organisasi lebih kecil dibandingkan dengan apa yang dinikmati oleh elitenya. Sebaliknya, jika gagal maka hukuman (punishment) secara psikologis dan moral, umumnya akan lebih banyak dibebankan pada warganya. Tanpa dukung mendukung pun, organisasi masyarakat seperti NU dan MD, terbukti bisa berkiprah maksimal. Di MD mungkin berlaku mantra kedua: Politik bukan panglima! Sehingga tidak perlu berjibaku diperju- angkan. Haedar Nashir termasuk mengajak anggota Muhammadiyah ‘rileks’ dalam menghadapi pemilu.

Ada benarnya, bahwa peran yang tepat bagi MD adalah menjaga jarak dengan kekuasaan, memperteguh independensi, untuk berkontribusi secara nyata terhadap bangsa dan memperkuat civil society. Tradisi civil society yang sudah berjalan di MD lewat jalur pendidikan dan amal usaha, tentu amat sayang bila ditinggalkan begitu saja. Justru, dengan menjadi “oposan” yang baik, mereka akan lebih leluasa untuk bekerjasama dengan siapa saja tanpa kehilangan sikap kritisnya. Toh, tanpa berkuasa pun, MD tidak akan kehabisan cara untuk berkiprah menyumbangkan yang terbaik bagi bangsa seperti yang selama ini dijalaninya. Politik romantisme dan ketidak- percayaan diri dengan mengorbankan independensi sebuah organisasi dan membebani para anggotanya, sudah selayaknya diakhiri. 79

Abdul Mu’ti (2010) 80 membuat catatan setelah beberapa hari menjelang pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, SMS kalangan internal MD yang intinya mengharapkan agar “tradisi” Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh kader MD tetap dapat dipelihara dan diperjuangkan. Mukti menbalas dengan menuliskan bahwa ‘kewenangan penentuan jabatan menteri itu sepenuhnya ditangan presiden’. Menurutnya, tidak etis apabila MD merekomendasikan nama menteri sementara pada saat

79 Ahmad Fuad Fanani, Membendung “Syahwat” Politik Muhammadiyah, Kompas, tanpa tahun.

80 Abdul Mu’ti, Muhammadiyah sebagai gerakan Civil Society yang tidak anti Pemerintah, Jurnal Pemikiran Maarif , vol. XII 2010, hlm 69-70.

81 Ketika presiden mengumumkan nama-nama menteri KIB II secara resmi, saya menerima sms dengan nada berbeda-beda. Sebagian besar bernada marah dan pesimistis. “Gara-

gara berpolitik, sekarang MD kena batunya. Gigit jari tidak satupun mendapatkan jatah menteri .”Kecian deh lu”. Demikianlah antara lain pesan pendek yang bernada marah.

David Efendi

pemilihan presiden, MD mendukung calon lain yang ternyata kalah.” 81 Secara kelakar, hal ini wajar karena MD ‘tidak berpolitik kok minta menteri.’ Kalau mau jabatan menteri ya berpolitik.” Ketika Mukti katakan bahwa jabatan menteri juga penting untuk “kebanggaan” dan memperkuat dakwah, politisi MD tersebut menjawab: ”Sudahlah. Dulu, pada jaman Belanda, MD tidak memiliki menteri, bahkan MD juga ditekan oleh penjajah Belanda. Dalam situasi demikian, toh MD bisa hidup dan berkembang dengan baik.”

Dalam konteks gerakan MD, menurut Abdul Mukti (2010) dialog singkat di atas bukanlah sekedar curahan hati atau pikiran tetapi lebih jauh memiliki makna yang menggambarkan pandangan internal MD mengenai relasi MD dengan negara. Dan ini akan berpengaruh pada model politik MD di hari-hari yang akan datang.

Dampak lainnya, selain trauma politik bagi kalangan adalah ada rasa ‘dendam’ ketika kubu politik secara tidak langsung disindir oleh kelompok Muhammadiyah non-politis dan Muhammadiyah politik di luar PMB. Aktivis PMB mengaku tidak dihargai dan merasa kecewa. Sebagai konse- kuensi, aktivis PMB menyebar ke berbagai partai yang dianggap akan bisa menghidupi dan menyalurkan bakat politiknya. PMB, bagi mereka, adalah eksperimen politik alternatif MD yang paling mutakhir, dan banyak hal yang dapat diambil hikmahnya. Terutama bagi peminat politik praktis yang berlatar MD sejati.