Keadaan Fisik Keraton Surakarta

2. Keadaan Fisik Keraton Surakarta

a. Susunan Umum Bangunan Keraton Surakarta Keraton Surakarta mulai dibangun pada masa pemerintahan

Susuhunan Paku Buwono II sebagai pengganti Keraton Kartasura yang sudah rusak. Susuhunan Paku Buwono II membangun Keraton secara tergesa-gesa, dan perpindahan ke Surakarta dilakukan ketika Keraton dalam keadaan belum selesai. Tiga tahun setelah menempati Keraton baru Susuhunan Paku Buwono

II wafat (1749), sehingga penyelesaian pembangunan Keraton ditangani oleh II wafat (1749), sehingga penyelesaian pembangunan Keraton ditangani oleh

1) Lingkaran I : Kedhaton Kedhaton merupakan tempat yang paling keramat. Hal ini di karenakan terdapatnya Prabasuyasa, yaitu tempat menyimpan tanda-tanda kebesaran kerajaan. Kedhaton luasnya ± 92.230 m 2 , dibatasi oleh dua

pintu yaitu kori Kamandungan di sebelah utara dan selatan, dan jalan Baluwarti di sebelah timur dan barat. Untuk dapat mencapai Kedhaton dari arah utara harus melalui lima buah kori, yaitu kori Gladhag, Pamurakan, Brajanala, Kamandhungan, dan Srimanganti.

Di dalam lingkaran Kedhaton terdapat tiga buah halaman yaitu halaman Srimanganti, Plataran Kedhaton, dan halaman Magangan. Halaman Srimanganti terletak di sebelah utara plataran Kedhaton, memiliki dua buah bangsal yang saling berhadapan, yaitu Bangsal Marakata di sebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur. Kedua bangsal itu berfungsi sebagai tempat abdi dalem yang akan menghadap raja. Bangsal Marakata untuk abdi dalem lebet, sedangkan Bangsal Marcukundha untuk abdi dalem prajurit.

Berikutnya halaman Magangan. Di tengah-tengah halaman Magangan terdapat Bangsal terbuka yang berfungsi untuk menyimpan berbagai macam barang Keraton, seperti made renggo, yaitu peralatan khitan putra dan kerabat raja. Juga berfungsi untuk menyiapkan barisan prajurit yang akan bertugas dan tempat magang bagi calon prajuri Keraton.

Selain itu, untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan seremoni religius Keraton seperti pembuatan kenduri gunungan dalam upacara Grebeg Syawal dan Gerebeg Maulud.

Di seputar pelataran Kedhaton terdapat komplek bangunan yang bermacam-macam. Halaman yang luas di depan pendhapa Sasana Sewaka ditanami pohon sawo manila sebagai penyejuk dan memperindah pandangan. Jumlah pohon sawo manila sebanyak 88 buah yang mengingatkan angka 1888 sebagai tahun didirikannya bangunan Sasana Sewaka. Secara jelas bangunan-bangunan yang terdapat di Kompleks Istana Kedhaton antara lain :

1.1 Di pusat istana

1.1.1 Prabasuyasa Prabasuyasa adalah sebuah bangunan dalem ageng (rumah besar) yang terletak di belakang Pendhapa Sasana Sewaka. Sasana Sewaka merupakan tempat pribadi raja, yaitu tempat duduk raja saat ulang tahun naik tahta (jumenengan) di hadapan putra-putranya yang ditampilkan tarian Sakral Bedhaya Ketawang . Prabasuyasa menghadap ke selatan. Di dalamnya terdapat empat buah kamar pribadi raja beserta ranjang kebesarannya (Krobongan) berupa rumah kecil berpagar kaca. Sebelah timur disebut kamar gading, kamar besar dan kamar pusaka yang dipakai khusus menyimpan benda-benda pusaka kerajaan. Di sebelah barat, terdapat kamar prabasana yaitu tempat untuk menghadap putra raja. Prabasuyasa dibangun pada tahun 1694 Jawa.

1.1.2 Sasana Parasadya Sasana Parasadya adalah nama agi paringgitan (tempat pertunjukkan wayang). Tempat ini merupakan tempat duduk raja sewaktu menyaksikan pagelaran wayang kulit.

1.1.3 Sasana Sewaka Sasana Sewaka merupakan sebutan bagi pendhapa. Didirikan pada tahun 1698 Jawa (1888 M), merupakan tempat duduk raja di hadapan para abdi dalem lebet.

1.1.4 Sasana Handrawina Sasana Handrawina merupakan tempat pesta atau makan raja beserta keluarganya. Dibangun pada masa Sunan Paku Buwono

VI.

1.1.5 Paningrat Paningrat merupakan teras dari pendapa Sasana Sewaka.

1.1.6 Maligi Maligi merupakan tempat khitan putra raja. Dibangun pada tahun 1882 M, terletak di sebelah Timur Sasana Sewaka.

1.2 Di sebelah timur halaman istana, terdapat tiga bangsal :

1.2.1 Bangsal Bujana, terletak di bagian selatan. Merupakan tempat untuk menjamu para tamu kerajaan.

1.2.2 Bangsal Pradangga Kidul, terletak di sebelah utara Bangsal Bujana. Merupakan tempat gamelan, yang dibunyikan sewaktu Keraton mempunyai keperluan.

1.2.3 Bangsal Pradangga Lor, letaknya di sebelah utara bangsal Pradangga Kidul. Merupakan tempat menyinpan alat-alat musik/ orkestra.

1.3 Sasana Prabu Merupakan tempat kantor raja. Letaknya di sebelah Selatan Parasadya. Adapun di sebelah Utara parasadya sebagai tempat kantor wakil raja.

1.4 Bangunan-bangunan yang mengelilingi Istana :

1.4.1 Sasana Wilapa (kantor Sekertariatan), terletak di sebelah utara sasana parasadya. Dahulu digunakan untuk para abdi dalem carik kasepuhan yang mengerjakan surat-surat saja. Sekarang berfungsi sebagai bagian muka dari kaputren. Jadi, untuk memperluas rumah kaputren.

1.4.2 Panti Wardaya, kantor perbendaharaan

1.4.3 Reksa Handana, kantor kas Keraton

1.4.4 Bale Kretarta, kantor perlengkapan

1.5 Panggung Sanggabuwana Panggung Sanggabuwana merupakan bangunan berbentuk menara persegi delapan, bertingkat empat, dan tingginya 30 meter. Menurut kepercayaan tempat ini digunakan untuk pertemuan antara raja dengan Kanjeng Ratu Selatan ( Kanjeng Ratu Kencana Sari ), yang beristana di Parang Tritis. Nama Panggung Sanggabuwana sebenarnya merupakan sengkalan angka tahun saat didirikannya bangunan itu. Beberapa ahli menjelaskan :

1.5.1 Menurut KRMH Yosodipuro, kata panggung merupakan gabungan kata pa dan gung. Agung artinya besar, jadi pa agung berarti pa besar. Dalam huruf atau abjad Jawa ada aksara yang dinamakan aksara murda (huruf besar). Huruf pa besar bentuknya sama dengan angka Jawa yang bernilai 8. Adapun kata songgo terdiri dari song bernilai 9 dan ga (angka Jawa) bernilai 1. Kemudian buwana bernilai 1. Kalau digabung mendapat angka 8911. Karena angka ini merupakan sengkalan, maka membacanya dari belakang (dari kanan ke kiri). Sehingga menjadi 1198 H atau 1782 M, sama dengan tahun 1708 Jawa, yaitu pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana III.

1.5.2 Menurut Radjiman, Panggung Sanggabuwana mempunyai nama lengkap Panggung Luhur Sangga Buwana. Panggung 1.5.2 Menurut Radjiman, Panggung Sanggabuwana mempunyai nama lengkap Panggung Luhur Sangga Buwana. Panggung

1.5.3 Menurut RM. Ng. Tiknopranoto dan R. Mardisueignya, panggung bernilai 8, song (kosong) bernilai 0, ga (huruf Jawa) bernilai 7, dan buwana bernilai 1. Jadi merupakan tahun 1708 Jawa.

1.5.4 Tahun berdirinya panggung Sanggabuwana dapat juga dijelaskan melalui sengkalan memet berupa gambar seekor ular naga yang sedang terbang yang sedang dinaiki oleh manusia. Apabila dibaca, gambar tersebut berbunyi naga muluk tinitihan jamna. Naga artinya ular raksasa bernilai 8, muluk artinya mabul atau hilang nilainya 0, tinitihan artinya dinaiki berarti 7, dan Jamna artinya manusia bernilai 1. Jadi menunjukkan tahun 1708 Jawa (Depdikbud, 1999: 13).

2) Lingkaran II : Komplek Bangunan di Baluwarti Wilayah yang disebut Baluwarti (benteng) ini terletak di luar tembok Kedhaton di kawasan bersisi empat yang luas, yang dikelilingi oleh tembok berukuran tebal 2 meter dan tinggi 3-6 meter. Ruang bertembok ini melingkari wilayah seluas 180 hektar berada di antara dua alun-alun bujur sangkar yang luas, yaitu alun-alun utara dan selatan. Wilayah ini mempunyai dua buah pintu masuk, yaitu Kori Brajanala Utara dan Kori Brajanala Selatan.

Komplek bangunan Baluwarti merupakan kediaman para pangeran, kerabat raja, dan para abdi dalem. Rumah-rumah kediamanyang berada di komplek Baluwarti dapat diketahui status penghuninya yaitu dengan cara memperhatikan bentuk atau tipe rumah beserta alat perlengkapannya. Adapun tipe-tipe rumah dapat diklasifikasikan menjadi Komplek bangunan Baluwarti merupakan kediaman para pangeran, kerabat raja, dan para abdi dalem. Rumah-rumah kediamanyang berada di komplek Baluwarti dapat diketahui status penghuninya yaitu dengan cara memperhatikan bentuk atau tipe rumah beserta alat perlengkapannya. Adapun tipe-tipe rumah dapat diklasifikasikan menjadi

Dari ketiga tipe tersebut, untuk tipe yang pertama dan kedua biasanya dihuni oleh para bangsawan dan priyayi tingkat tinggi. Jumlahnya tidak banyak, hanya beberapa saja, diantaranya Dalem Purwodiningratan, untuk Bupati Nayaka Purwadinigrat, Dalem Mlayakusuman untuk pangeran Mlayakusuma, dan Dalem Mangkuyudan (menantu Susuhunan Paku BUwana X). Sedangkan, tipe rumah ketiga dihuni oleh para abdi dalem yang biasanya membentuk satu komplek hingga membentuk sebuah perkampungan yang ada dalam Baluwarti, antara lain :

1.1 Wirengan Letaknya di sebelah barat daya Kedhaton (Istana). Wirengan berasal dari kata wiring yaitu penari wayang orang atau penari tarian klasik. Dahulu wirengan merupakan tempat tinggal para abdi dalem dan sentana dalem yang mengurusi tentang tarian dan wayang orang serta hiburan lainnya. Wirengan juga bisa diartikan prajurit, sebab berasal dari kata wira-an (wira berarti prajurit). Oleh karena itu, sejak pemerintahan Sunan Paku Buwana X, abdi dalem wirengan diberi tugas untuk menjaga keselamatan raja dan istana. Selain itu, prajurit wirengan mempunyai tugas dan fungsi khusus menjaga keamanan jalannya upacara gunungan pada setiap Grebeg yang dibawa dari Kedhaton ke masjid Agung. Prajurit ini berjalan di kanan kiri gunungan dan pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat menari tayungan sepanjang perjalanan.

1.2 Lumbung Lumbung adalah tempat menyimpan bahan makanan milik istana. Letaknya sebelah timur Kedhaton.

1.3 Carangan Letaknya di sebelah utara lumbung, merupakan tempat tinggal abdi dalem prajurit carangan yang terdiri dari beberapa pasukan. Biasanya menggunakan sebutan carangan, misalnya prajurit Carangdiguna, Carangkartika, dan Carangwijaya. Tugas mereka adalah menjaga keselamatan raja dan kedhaton dari serangan musuh.

1.4 Tamtaman Letaknya di sebelah utara carangan, merupakan tempat tinggal abdi dalem tamtaman, yaitu prajurit pengawal raja. Termasuk dalam kelompok ini adalah prajurit Jayamantaka, Hankragnyana.

1.5 Ksatriyan Yaitu tempat sentana dalem yang menjadi abdi dalem prajurit. Tempat berkumpulnya para putra sentana dalem dan abdi dalem untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Letaknya di sebelah barat laut tamtaman.

1.6 Sasanamulya Letaknya di sebelah barat pintu gerbang utara (pintu gapit supit urang). Dahulu menjadi tempat berkumpulnya para putra raja beserta bawahannya untuk mengadakan upacara bersama-sama dengan raja. Sasanamulya pernah dipakai sebagai kantor Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI).

1.7 Gedong Kreta Letaknya di seblah timur sasanamulya. Gedong Kreta merupakan tempat menyimpan kereta kerajaan. Di dalam Gedong Kreta ini tersimpan 9 buah kreta, yaitu urut dari timur ke barat, meliputi :

1.1.1 Kyai Retno Juwita, yaitu kereta untuk raja atau wakilnya sewaktu mewakili undangan rapat.

1.1.2 Kyai Siswanta, yaitu kereta untuk menjemput keluarga raja.

1.1.3 Kyai Maraseba, yaitu kereta yang digunakan untuk menjemput tamu dalam negeri.

1.1.4 Kyai Retno Pambagya, yaitu kereta yang digunakan untuk menjemput tamu asing.

1.1.5 Kyai Rajapeni, yaitu kereta yang digunakan oleh raja sewaktu berkeliling menikmati keindahan kota.

1.1.6 Kyai Retno Sewaka, yaitu kereta raja untuk melayat.

1.1.7 Kyai Garudapura, yaitu jereta untuk menjemput tamu agung seperti kepala-kepala Negara baik yang dari dalam maupun luar negeri.

1.1.8 Kyai Garuda Kencana, yaitu kereta yang dipakai khusus untuk kirab guna memperingati hari ulang tahun bertahtanya raja.

1.1.9 Kyai Manik Kumala, yaitu kereta yang digunakan untuk memeriksa barisan prajurit. Juga dipakai untuk putra raja setelah tujuh hari pernikahan dengan berkeliling kota.

1.8 Rumah-rumah tempat tinggal para pangeran Letaknya di sebelah barat sasanamulya, yang meliputi Suryahamijayan yaitu tempat kediaman pangeran Suryahamijaya. Dalem Purwodiningratan yaitu tempat kediaman Pangeran Purwodiningrat, serta tempat kediaman beberapa orang bangsawan lainnya.

1.9 Gambuhan Terletak di sebelah barat laut kedhaton. Merupakan tempat ahli gendhing.

1.10 Komplek perumahan para pangeran Terletak di sebelah barat Kedhaton (Depdikbud, 1999: 18).

3) Lingkaran III : Paseban Paseban merupakan lingkaran ketiga. Letaknya di sebelah utara pelataran Kamandhungan. Ada dua tempat paseban, yaitu Sasana Sumewa atau tatag rambat yang menghadap ke utara dan Sitinggal yang terletak menyatu di belakang (sebelah selatan) Sasana Sumewa. Sasana Sumewa dahulu merupakan sebuah bangsal yang besar, beratap anyaman bambu (bahasa Jawa = gedheg, bertiang bambu), sehingga dinamakan tatag ranbat. Setelah Sunan Paku Buwana X genap berusia enam windhu atau 48 tahun, yaitu pada tahun 1843 Jawa (1913 M), tatag rambat kemudian dibangun dan diberi nama baru yaitu Pagelaran atau Sasana Sumewa sebagai tempat patih, abdi dalem bupati, dan abdi dalem yang lain ketika menghadap raja (Sumewa atau seba). Pagelaran ini setelah dibangun beratapkan seng, tiang pilar berjumalh 48 buah sebagai peringatan bahwa bangunan ini dibangun bertepatan dengan usia Sunan Paku Buwana yang ke-48 tahun.

Di seputar pagelaran terdapat beberapa bangsal, yaitu :

1.1 Di depan pagelaran terdapat Pamandhangan yang setiap hari besar agama Islam digunakan untuk kandang kuda milik raja dengan pakaian lengkap. Di dekatnya terdapat bangsal Paretan, yaitu tempat parkir kereta raja atau tamu agung. Sekarang bangsal ini telah dibongkar, sebab terkena pelebaran jalan, di sebelah timur Bangsal Paretan terdapat Bangsal Patalon tempat memukul gamelan tiap hari sabtu.

1.2 Di sebelah timur pagelaran terdapat Bangsal Pacekaton, tempat para abdi dalem akan menerima hadiah dari raja. Sebagai imbangan, di sebelah barat pagelaran terdapat Bangsal Pacikeran, yaitu tempat pemberhentian abdi dalem yang akan menerima hukuman. Di sebelah tenggara pagelaran terdapat Bangsal Martalutut tempat abdi dalem 1.2 Di sebelah timur pagelaran terdapat Bangsal Pacekaton, tempat para abdi dalem akan menerima hadiah dari raja. Sebagai imbangan, di sebelah barat pagelaran terdapat Bangsal Pacikeran, yaitu tempat pemberhentian abdi dalem yang akan menerima hukuman. Di sebelah tenggara pagelaran terdapat Bangsal Martalutut tempat abdi dalem

1.3 Di tengah-tengah pagelaran terdapat Bangsal Pangrawit. Di dalamnya terdapat damper yaitu tempat duduk raja apabila ingin memberi hadiah, memutuskan perkara, dan memberi hukuman. Bangsal Pangrawit ini dibawa langsung dari Istana Kartasura sewaktu perpindahan Keraton pada tahun 1746 dari Kartasura ke Surakarta.

Selanjutnya Sitinggil, Sitinggil berasal dari kata Siti dan Inggil. Siti artinya tanah dan Inggil artinya tinggi. Jadi, sitinggil merupakan tempat yang tinggi dan dianggapnya keramat. Nama lengkapnya Siti Hinggil Binata Warata, dibangun pada tahun Siti Hinggil Palenggahing Ratu (Tahun 1701 Jawa atau 1774 M) oleh Susuhunan Paku Buwana III. Sebagai paseban Sitinggil terletak di sebelah selatan dan menyatu dengan tatag rambat, tetapi sitinggil letaknya lebih tinggi daripada tatag rambat (Pagelaran). Antara Pagelaran dengan Sitinggil dihubungkan dengan tangga berjumlah 8 buah dan 2 buah pintu, yaitu Kori Wijil I dan Kori Wijil II. Di tengah-tengah antara Pagelaran dengan Sitinggil terdapat sebuah tempat bernama Sela Pemecat, yang dahulu digunakan untuk memenggal kepala bagi orang yang mendapat hukuman mati. Sampai sekarang tempat tersebut masih dianggap keramat.

Bangunan Sitinggil dikelilingi oleh pagar bsi (pancak suji). Tempat ini merupakan tempat menghadap para pejabat tinggi dan bangsawan tinggi istana. Di sekitar Sitinggil terdapat beberapa Bangsal, yaitu :

1.1 Bangsal Sewayana, dibangun oleh Sunan Paku Buwana X tahun 1813 Jawa atau 1913 M. Letaknya di tengah-tengah halaman Sitinggil, berfungsi sebagai tempat bagi para tamu undangan, para bangsawan, dan kerabat serta abdi dalem yang hendak menghadap raja.

1.2 Bangsal Manguntur Tangkil, yaitu tempat duduk raja pada hari-hari besar agama, seperti Grebeg Maulud, Grebeg Idul Fitri, Grebeg Idul Adha. Sedangkan untuk pertemuan lain, raja duduk di Bangsal Pangrawit di Pagelaran. Letak Bangsal Manguntur Tangkil di tengah Bangsal Sewayana.

1.3 Bangsal Witana, yaitu tempat para abdi dalem pembawa benda- benda upacara pada waktu Idul Fitri, Idul Adha. Letaknya di belakng (Sebelah Selata) Bangsal Sewayana.

1.4 Bangsal Manguneng, tempat menaruh meriam Nyai Setomi. Letaknya di dalam Bangsal witana.

1.5 Bangsal Ngangun-angun, yaitu tempat memukul gamelan setiap hari- hari besar Islam. Letaknya di sisi tenggara Bangsal Sewayana.

1.6 Bangsal Gandhek Tengen, yaitu tempat memukul gamelan dengan gendhing kodok ngorek setiap hari-hari besar Islam. Letaknya di sisi timur laut Bangsal Sewayana.

1.7 Bangsal Balebang, yaitu tempat menyimpan gamelan. Letaknya di sisi barat dayaBangsal Sewayana.

1.8 Bangsal Gandhek kiwo, yaitu tempat untuk menyediakan hidangan pada hari raya Islam. Letaknya di sisi barat laut Bangsal Sewayana. Jadi Bangsal Sewayana yang terletak di tengah halaman Sitinggil dikelilingi oleh empat bangunan yang terletak di sisi barat laut (Bangsal Gandhek Kiwo), barat daya (Bangsal Balebang), timur laut (Bangsal Gandhek Tengen), dan tenggara (Bangsal Ngangun-angun) (Depdikbud, 1999: 22).

4) Lingkaran IV : Alun-alun Alun-alun (lapangan) merupakan lingkaran keempat. Ada dua buah lapangan yaitu alun-alun lor (utara) dan alun-alun kidul (selatan). Alun-alun lor merupakan halaman depan Keraton, berebntuk segi empat, berukuran 300 meter di setiap sisinya. Di tempat masuk alun-alun lor sebelah utara berdiri dua patung raksasa, Cikrabala dan Balaupata yang 4) Lingkaran IV : Alun-alun Alun-alun (lapangan) merupakan lingkaran keempat. Ada dua buah lapangan yaitu alun-alun lor (utara) dan alun-alun kidul (selatan). Alun-alun lor merupakan halaman depan Keraton, berebntuk segi empat, berukuran 300 meter di setiap sisinya. Di tempat masuk alun-alun lor sebelah utara berdiri dua patung raksasa, Cikrabala dan Balaupata yang

Di seputar alun-alun lor yaitu di sebelah utara, di sebelah barat dan timur terdapat deretan bangunan yang disebut dengan Pakepalan. Fungsinya sebagai tempat istirahat bagi para abdi dalem setelah melakukan gladen watangan (latihan perang-perangan). Setelah tradisi gladen watangan tidak ada, yaitu sejak Susuhunan Paku Buwana XI, maka kapalan digunakan sebagai tempat istirahat para abdi dalem yang akan menghadap raja ke istana. Oleh karena itu, nama Kapalan kemudian disebut dengan Paseban.

Sebagai pasangan dari alun-alun lor adalah alun-alun kidul yang berperan sebagai alun-alun pengkeran (belakang), terletak dalam lingkup Keraton. Alun-alun kidul ini keadaannya lebih sederhana bila dibandingkan dengan alun-alun lor. Hal itu, dapat dilihat dengan adanya bangunan Sitinggil yang tidak dilengkapi dengan Pagelaran. Sepasang pohon beringin yang berada di alun-alun pun tidak diberi nama dan tidak diapit oleh pohon beringin lainnya. Adapun pintu terluar sebagai pintu masuk dari arah selatan hanya terdiri dari satu kori saja, yaitu kori gadhing. Sedangkan pintu masuk dari arah utara di alun-alun lor, terdapat dua bawah kori yaitu kori Gladhag dan kori Pamarukan.

Bagian barat alun-alun lor masih ada sebuah bangunan yang cukup penting yakni Masjid Agung, yang sebenarnya menurut konsep konsentris pembagian kraton terletak diluar daerah istana yang Bagian barat alun-alun lor masih ada sebuah bangunan yang cukup penting yakni Masjid Agung, yang sebenarnya menurut konsep konsentris pembagian kraton terletak diluar daerah istana yang

Bangunan Keraton Kasunanan Surakarta berkiblat ke arah empat penjuru mata angina atau “keblat papat lima pancer”. Pintu utama untuk memasuki pelataran keraton berada di sebelah utara, Pendapa Utama atau Pendapa Agung untuk menerima tamu kerajaan menghadap di sebelah timur, sedangkan bangunan utama atau Dalem Ageng menghadap kea rah selatan, kemudian bagian barat terdapat bangunan baru yang disebut Keraton Kulon. Bangunan Keraton Kulon ini dibuat menghadap ke barat. Arah bangunan ini mengingatkan pada “Pradaksina” dalam Agama Hindu yang berarti perjalanan mengelilingi sesuatu yang ada di sebelah kanannya.

Keblat papat tersebut menurut kepercayaan orang Jawa Keraton Surakarta dijaga oleh roh halus dari empat penjuru, yaitu :

· Dari arah timur dijaga oleh Kanjeng Sunan Lawu, keratonnya berada di Gunung Lawu.

· Dari arah selatan dijaga oleh Kanjeng Ratu Kidul yang bernama Kanjeng Ratu Kencanasari, keratonnya berada di Dmaudra Hindia di

selatan Pulau Jawa. · Dari arah barat dijaga oleh Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, keratonnya

berada di Gunung Merapi. · Dari arah utara dijaga oleh Kanjeng Ratu Bathari Kalayuwati,

keratonnya berada di hutan Krendhawahana Oleh karena itu bangunan Keraton Surakarta disesuaikan dengan kepercayaan tersebut, antara lain :

· Pendapa Ageng menghadap ke timur

· Dalem Ageng menghadap ke selatan · Di sebelah barat adalah tempat belajar · Gapura untuk masuk keratin menghadap utara ( wawancara:Gusti

Winarno, 25 Januari 2010). Demikian tentang lingkungan fisik Keraton Kasunanan Surakarta, yang di dalamnya terdapat ratusan bangunan dengan aneka macam bentuk, disesuaikan dengan fungsi bangunan itu. Mengingat kedudukan Kraton sebagai pusat jagat raya, maka pengaturan bangunan di dalam Kraton tidak terlepas dari usaha raja untuk menyelaraskan kehidupan warga komunitas Kraton dengan jagat raya . Dengan demikian pegaturan bangunan yang didasarkan pada pola konsentris tersebut menempatkan bangunan yang terletak di pusat (paling tengah) merupakan bangunan yang paling sakral.

b. Makna Filosofis Bangunan Keraton Surakarta Pintu masuk Keraton dari arah utara adalah Gapura Gladhag.

Gapura ini berada di mulut alun-alun utara yang luas, di sana terdapat dua patung raksasa, yaitu Cikrabala dan Balaupata.

1) Patung raksasa membawa gada, disamping kanan dan kiri gapura Gladhag. Patung raksasa berarti : (a) penghalang yang sangat menakutkan, (b) watak angkara murka, kekerasan. Hal ini mengandung makna siapapun yang ingin mencapai keutamaan pastilah akan menghadapi hambatan/ rintangan yang sangat hebat, menakutkan, bila tidak tahan dan tidak tabah akan gagal cita-citanya. Untuk mencapai kasampuraning dumadi harus mampu mengendalikan nafsu keangkara murkaan, emosi, kekerasan, permusuhan, dan egoisme. Apabila semua itu masih melekat di dalam hidup manusia, maka cita-citanya untuk mencapai kasampuraning dumadi mustahil akan tercapai.

2) Gapura Gladhag Gladhag artinya menarik, menjerat, memperdaya hewan buruan, hewan yang akan disembelih. Biasanya hewan tersebut akan meronta, berusaha melepaskan diri ketika dijerat/ diperdaya sebelum disembelih. Hal ini mengandung makna bahwa siapapun yang ingin mencapai keutamaan lahir dan batin harus mampu mengendalikan diri, ibarat nafsu kebinatangan yang menguasai hidup harus bisa dikendalikan bahkan dihilangkan.

Bangunan Gapura Gladhag yang terdiri dari pilar-pilar di puncaknya terdapat plenthon, pilar plenthon tadi jumlahnya 48 nuah. Jumlah itu merupakan peringatan bahwa pada saat gapura dibangun oleh Susuhunan PB X. Beliau berusia 48 tahun, juga sebagai peringatan bahwa masa bertahta Susuhunan PB X telah 48 tahun (1822-1870 J)

3) Gapura Pamurakan Pamarukan adalah tempat untuk menyembelih hewan buruan yang kemudian dibagikan kepada masyarakat, abdi dalem, dan kawula dalem. Pembagian itu berdasarkan pada jumlah daging yang ada dan disesuaikan hak dari penerimanya. Hal ini mengandung makna bahwa orang hidup harus mau menerima apa yang diberikan oleh Sang Maha Kuasa (nrima ing pangdum). Di samping tu terkandung tuntunan bahwa orang hidup hendaknya mau peduli terhadap sesama, saling menolong, dan saling memberi.

4) Alun-alun Utara Merupakan tempat yang luas, bila siang terasa panas dan bila malam terasa dingin. Hal ini melambangkan keadaan jagat raya/ dunia ada dua hal yang berlawanan: siang-malam, suka-duka, sehingga dalam menghadapi hidup itu harus sabar, sareh, nrima. Sabar diambil dari luasnya alun-alun, karena alun-alun berfungsi sebagai tempat untuk berlatih keprajuritan, olahraga, dan untuk tempat menyampaikan Undang-undang kerajaan. Hal ini 4) Alun-alun Utara Merupakan tempat yang luas, bila siang terasa panas dan bila malam terasa dingin. Hal ini melambangkan keadaan jagat raya/ dunia ada dua hal yang berlawanan: siang-malam, suka-duka, sehingga dalam menghadapi hidup itu harus sabar, sareh, nrima. Sabar diambil dari luasnya alun-alun, karena alun-alun berfungsi sebagai tempat untuk berlatih keprajuritan, olahraga, dan untuk tempat menyampaikan Undang-undang kerajaan. Hal ini

5) Pohon Beringin Pohon beringin di Keraton dengan nama Ringin Kurung Sakembaran yang berada di tengah-tengah kanan kiri jalan alun-alun utara. Di sebelah timur bernama Jayandaru berarti kemenangan, yang di sebelah barat bernama Dewandaru berarti keluhuran. Sementara pohon sejenisnya yang berada di sebelah barat daya disebut waringin Jenggot yang berarti jantan dan di timur laut Waringin Wok yang berarti betina. Sedangkan yang tumbuh di timur laut disebut Waringin Gung artinya tinggi, dan di sebelah barat Waringin Bitur artinya rendah. Semua itu melambangkan kejayaan dan keagungan kerajaan yang diperintah oleh seorang raja. Pohon beringin disamping sebagai lambing kejayaan dan keagungan juga sebagai lambing pengayom, keadilan, dan kewibawaan.

6) Masjid Agung Di sisi barat alun-alun lor masih ada sebah bangunan yang cukup megah yaitu masjid agung. Setiap raja senantiasa memperhatikan tempat ibadah itu, karena semenjak berdiri kerajaan di tanah Jawa mulai Demak-Pajang- Plered-Kartasura-Surakarta, tidak lepas dukungan dari para wali yang sudah membawa dan menyebarkan agama Islam. Itu berarti kita harus selalu beribadah kepada Tuhan sesuai agama dan kepercayaannya masing- masing.

7) Pagelaran Sasana Sumewa Merupakan Pasowanan pepatih dalem beserta reh-rehanya, tempat meyampaikan peraturan-peraturan atau undang-undang, maka tempat ini mengandung makna bahwa dalam kehidupan sehari-hari atau bermasyarakat harus ada peraturan-peraturan (Jawa : tata karma).

Bangunan di tengah Sasana Sumewa dinamakan Bnagsal Pangrawit, dibawa dari Keraton Kartasura, yang berasal dari Majapahit yang Bangunan di tengah Sasana Sumewa dinamakan Bnagsal Pangrawit, dibawa dari Keraton Kartasura, yang berasal dari Majapahit yang

8) Sitinggil Sitinggil merupakan tanah yang tinggi. Ketinggian tanah tersebut merupakan lambang bahwa jika kita sudah melaksanakan tuntunan mulai dari gapura Gladhag, Pamarukan, Alun-alun dengan pohon beringin sakembaran, Pagelaran, kemudian samapi tanah yang tinggi dapat dikatakan bahwa kita sudah naik tingkat yang berarti kita sudah memiliki kedewasaan jiwa. Siapapun orang yang sudah berjiwa dewasa, maka akan menemukan sifat “sepuh”, biasanya tidak lagi menjadi pemarah. Sareh, mudah memberi maaf kepada siapapun.

Jalan menuju sitinggil undhak-undhakan yang ditengahnya terdapat batu lempeng yang diplester bernama Sela Pamecat, dibawa dari Kartasura. Batu tersebut pernah digunakan untuk memecah kepala Trunajaya tahun 1680 M. Di akhir undhak-undhakan terdapat pintu yang bernama kori Wijil, yaitu untuk mengingat nama pujangga besar pendamping Yosodipura I yang bernama P. Wijil. Juga merupakan ajaran kepada kita supaya berhati-hatu bila berucap atau wijiling lesa agar tidak menyakitkan hati orang lain.

9) Bangsal Sewayana Sewayana berasal dari kata Sewa dan Yana. Sewa berarti lenggah dan yana berarti pandang. Jadi Sewayana merupakan tempat palenggahan yang luas sehingga dapat melihat ke arah jauh. Tempat ini untuk pasowanan para pangeran putra, sentana, abdi dalem, bupati, bupati anom, ketika Susuhunan miyas sinewaka di Sitinggil utara Keraton Surakarta. Sebelah Selatan tengah Bangsal terdapat bangunan kecil menghadap utara, 9) Bangsal Sewayana Sewayana berasal dari kata Sewa dan Yana. Sewa berarti lenggah dan yana berarti pandang. Jadi Sewayana merupakan tempat palenggahan yang luas sehingga dapat melihat ke arah jauh. Tempat ini untuk pasowanan para pangeran putra, sentana, abdi dalem, bupati, bupati anom, ketika Susuhunan miyas sinewaka di Sitinggil utara Keraton Surakarta. Sebelah Selatan tengah Bangsal terdapat bangunan kecil menghadap utara,

a) Sinuhun sebagai pembesar

b) Pepatih dalem sebagai jaksa

c) Pujangga sebagai Panitra atau pembela

d) Abdi dalem penghulu sebagai anggota

e) Senopati sebagai anggota.

10) Bangsal Witana Di belakang Bangsal Maguntur Tangkil terdapat bangunan terbuka yang dinamakan Bangsal Witana yaitu tempat duduk abdi dalem estri, yang bertugas membawa ampilan keprabon : Sawunggaling, Kuthuk Emas, Hardawalika, yang semuanya serba emas serta kelengkapan senjata anatara lain : tombak, pedhang, tameng, panah dll. Semua benda itu mengandung makna bahwa hidup di dunia ini pasti banyak permasalahan, banyak perkara yang perlu diselesaikan. Penyelesaian masalah harus dilaksanakan dengan bijaksana penuh dengan kewibawaan dan tidak pilih kasih. Di belakang Bangsal Witana terdapat tembok penyekat atau kelir dan di sebelah timur dan barat tembok terdapat undhak-undhukan yang terkait dengan kelir tersebut disebut kori Renteng. Setelah undhak- undhukan terdapat pintu yang bernama kori Mangu makna dari semua itu adalah :

a) Lambang penutup rahasia kehidupan, artinya bahwa di dalam tubuh itu

terdapat hal yang rahasia dan tidak boleh dijamah siapapun.

b) Sebagai tameng sekat tempaan angin, menurut ajaran Hyang Hendra dan Hyang Bayu bahwa siapapun yang dapat membuka tabir penyekat tadi berarti dapat menyatunya umat dan pencipta Manunggaling Kawula Gusti. Namun demikian untuk mencapai Manunggaling

Kawula Gusti harus menghadapi banyak rintangan dan hambatan yang berat.

11) Kori Brajanala/ Kori Gapit Brajanala berasal dari kata braja dan nala. Braja artinya senjata tajam atau api, nala artinya hati atau perasaan. Jadi Brajanala berarti tajamnya perasaan yang harus ditunjukan apabila seseorang akan masuk atau keluar dari komplek istana. Di kanan kiri pintu Brajanala terdapat bangsal Brajanala yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono III tahun 1708 Jawa 1782 M bersama dengan pembangunan Baluwarti

Kori Brajanala mengandung peringatan bagi yang ingin mencapai kesempurnaan, harus bijaksana, tajam penglihatan batin berdasar prihatin. Jadi senjataya adalah hati, dala arti lain harus melaksanakan laku kebatinan, yaitu ketika manusia mencapai dewasa dalam arti lahiriah. Adapun wisamarta berarti dapat menghilangkan segala wisa menghilangkan pikiran jahat, memfitnah, membunuh, dan saling menjatuhkan.

Di sebelah timur kori Brajanalana terdapat panggung tempat gentha/loceng besar yang dahulu sebagai tanda jam pada saat istirahat atau pergantian tugas saja.

Disebut kori gapit karena daun pintu tersebut digapit dengan besi. Namun sebenarnya kori gapitr tersebut adalah untuk mengingat permulaan diciptakan pada masa Kanjeng Panembahan Senopati Ing Ngalaga, lengkapnya lawang Gapit Dalam Wong 1529 Jawa

12) Madherata/ Balerata Sebuah bangunan terbuka merupakan tempat untuk pemberhentian kereta atau kendaraan tamu agung kerajaan.

13) Kori Kamandhungan Kamandhungan berasal dari kata Mandhung. Mandhung berarti berhenti dahulu, secara lahir maupun batin menata diri, anatara lain dengan merapikan pakaian, tingkah laku, dan sikap. Oleh sebab itu, di sebelah barat dan timur di pasang kaca yang cukup besar. Mengandung ajaran bahwa siapapun hendaknya selalu mawas diri, mau melihat kekurangan sendiri, jangan merasa paling pandai, merasa jujur, padahal masih banyak kesalahan, kekurangan dan dosa.

Di atas pintu kori Kamandhungan terdapat gambar lambang Keraton Surakarta, dengan berbagai macam senjata perang, di tengahnya terdapat gambar daun kapas disebut Makhuta Raja. Di tengah-tengah terdapat gambar mahkota yang berarti penguasa di bidang kebudayaan, adat. Yang menjadi pengemban adalah ang memegang tahta/raja, juga para putra sentana, abdi dan kawula

Di tengah dilingkari garis berbentuk clip yang terdapat gambar Matahari, Bulan, serta jagad di tancap paku

- Matahari : Surya merupakan nama Hamangkurat IV di Kartasura - Bulan

: Sasongko merupakan nama K. G. P. H. Purubaya di

Kartasura

- Bintang : Sudama merupakan nama K. G. P. H. Blitar di Kartasura Menyatunya darah ketiga tadi menurunkan Susuhunan Paku Buwana X, yang tergambar pada jagad raya dengan buwana terpaku. Adapun pada dan kapas melambangkan pangan, sandang yang terikat pita merah putih, melambangkan terjadinya keturunan denagn perantara Ibu dan Bapak

14) Bangsal Smarakata dan Marcukundha Setelah melewati kori Kamndhungan kemudian akan memasuki Sri Manganti. Di sebelah barat dan timur terdapat dua bangunan yang 14) Bangsal Smarakata dan Marcukundha Setelah melewati kori Kamndhungan kemudian akan memasuki Sri Manganti. Di sebelah barat dan timur terdapat dua bangunan yang

Marcukundha artinya tempat api menyala. Bangsal Marcukundha, dahulu dipakai sebagai tempat untuk menjatuhkan terhadap putra sentana yang bersalah. Di belakang bangunan tersebut terdapat sel-sel untuk memenjarakan putra sentana dalem yang terkena hukuman. Kedua tempat tesebut sebenarnya memberi tuntunan/ajaran bahwa seorang raja/pemimpin tidak boleh pandang bulu terhadap siapa saja, yang berjasa akan mendapat hadiah dan yang bersalah akan mendapat hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya. Jadi raja/pemimpin harus berlaku adil dan tidak pilih kasih.

15) Sri manganti Sri Manganti terdiri dari dua kata yaitu Sri dan Manganti. Manganti artinya menunggu dan Sri artinya Raja, jadi Sri Manganti artinya menunggu perintah raja. Bangunan ini dibuat oleh Susuhunan PB

IV pada tahun 1718J / 1792M. Pada sisi kanan dan kiri pintu dindingnya terdapat lambang padi kapas, sebagai lambang dan permohonan bahwa masyarakat ingin selalu hidup subur tentram dan makmur kecukupan kebutuhannya. Kemudian di sebelah dinding atas terdapat lambang / gambar beberapa pusaka serta di atasnya tedapat mahkota, itu berarti ajaran untuk bisa meredam segala kekerasan, kerusuhan dan supaya terjadi kerukunan. Bentuk bangunan Sri Manganti disebut Semar Tinandhu. Di belakang kori pada dinding terdapat kaca besar untuk pengilon, merupakan IV pada tahun 1718J / 1792M. Pada sisi kanan dan kiri pintu dindingnya terdapat lambang padi kapas, sebagai lambang dan permohonan bahwa masyarakat ingin selalu hidup subur tentram dan makmur kecukupan kebutuhannya. Kemudian di sebelah dinding atas terdapat lambang / gambar beberapa pusaka serta di atasnya tedapat mahkota, itu berarti ajaran untuk bisa meredam segala kekerasan, kerusuhan dan supaya terjadi kerukunan. Bentuk bangunan Sri Manganti disebut Semar Tinandhu. Di belakang kori pada dinding terdapat kaca besar untuk pengilon, merupakan

16) Panggung Sanggabuwana Sebagaimana kita ketahui dan dapat dilihat dari jauh, di keraton terdapat bangunan tinggi berbentuk menara yang disebut Panggung Sanggabuwana, yang mempunyai tinggi kurang lebih 30 meter yang terdiri dari 5 lantai. Dibuat dari zaman PB III dibuat oleh tukang batu yang bernama Kyai Batuiretna serta tukang kayu bernama Kyai Nayawreksa

Nama lengkapnya disebut Luhur Sinangga Buwana menunjukan Candrasengkala naga muluk tinitihan jamna = 1708 Jawa. Fungsi panggung pada zaman dahulu adalah sbb :

a) Untuk melihat ke arah jauh di luar keraton. Untuk mengamati gerak- gerik orang atau musuh yang akan berbuat jahat

b) Untuk meditasi para raja

c) Melihat timbulnya bulan, guna untuk menentukan tanggal puasa dan hari raya