semua itu, biaya produksi untuk acara ini benar-benarrelatif sangat murah. Program ini tidak bias membutuhkan polesan, fully-real coverage. Semakin polos,
semakin natural, semakin dahsyat efek komunikasinya. Ia juga tidak membutuhkan kecanggihan tertentu. Tidak membutuhkan peralatan tertentu.
Polanya standar, ambil statemen obyek, dan imbuhkan stock-shots aktivitasnya. Semuanya bisa sambil lalu. Dan yang terpenting, iklannya laris manis. Satu
komposisi ideal yang semua orang suka menikmatinya.
II.5. MUSIK DAN FILM Musik adalah permainan waktu, dengan mengodopsi bunyi sebagai materi
utama.Dengan begitu, musik adalah permainan waktu bersama bunyi. Dalama musik, waktu adalah ruang bunyi, bunyi adalah substansi. Di dalam ruang waktu
itulah bunyi bergerak, abadi dalam keberadaanya. Prinsip utama musik adalah menciptakan celah waktu, untuk membangun
momen musical bagi “nasib” bunyi. Di tengah alam “nasib” ini seperti jatuhnya embun di atas daun, atau seperti menetesnya hujan dari atap bocor ke dalam
ember. Maka, secara konsepsional, musik adalah komposisi konsektual berbagai
momen musical. Pemikiran atau pengolahan pemahaman tentang celah waktu dan saat bunyi dipermainkan inilah yang kemudian dikenal sebagai seni musik. Dan
karena tak ada satu bangsa pun di muka bumi yang tak mengenal permainan bumyi, maka tak ada satu bangsa pun yang tak mengenal musik. Setiap bangsa
secara alamiah maupun dalam proses kebudayaannya, meski di sana-sini memiliki
Universitas Sumatera Utara
perbedaan cara bermain. Pada dasarnya sama menghargai kemampuan merekayasa bunyi http:jurnalnasional.com.
Film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi
filmis, yang memahami hakikat, fungsi da efeknya. Perspektif ini memerlukan pendektan yang terfokus pada film sebagai proses komunikasi. Disaming itu,
dengan meletakkan film dalam konteks sosial, politik, dan budaya dimana proses komunikasi itu berlangsung, sama artinya dengan memahami preferensi penonton
yang pada gilirannya menciptakan citra penonton film. Pendeknya, akan lebih bisa ditangkap hakikat dari proses menonton, dan bagaimana film berperan sebagai
sistem komunikasi simbolis. Meskipun pada awalnya film adalah hiburan bagi kelas bawah di
perkotaan dengan cepat film mampu menembus batas-batas kelas dan menjangkau kelas yang lebih luas. Kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial,
kemudian menyadarkan para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Karena itu, mulai merebaklah studi yang hendak
melihat dampak film terhadap masyarakat. Ini bisa dilihat dari sejumlah penelitian film yang mengambil berbagai topik seperti: pengaruh film terhadap anak, film
dan agresivitas, film dan politik, dan seterusnya. Film sebagai refleksi dari masyarakatnya, tampaknya menjadi perspektif
yang secara umum lebih mudah disepakati, sebagaimana dikemukakan Garth Jowett :
“ It is generally agree that mass media are capable of ‘reflecting’ society because they are forced by their commercial nature to provide a level of content will
guarantee the widest possible audience”
Universitas Sumatera Utara
Lebih gampang disepakati bahwa media massa mampu ‘merefleksikan’ masyarakat karena ia didesak oleh hakikat komersialnya untuk menyajikan isi yang
tingkatnya akan mernjamin kemungkinan audiens yang luas.
Proposisi dari Jowett ini menunjukkan, kepentingan komersial justru menjadi imperatif bagi isi media massa film agar memperhitungkan
khalayaknya, sehingga dapat diterima secara luas. Karakteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk semacam konsensus publik secara visual
visual public consensus, karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Dengan kata lain film merangkum
pluralitas nilai yang ada dalam masyarakatnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN III.1.1 Sejarah Berdirinya IBBI
Ketika sebuah perusahaan membutuhkan tenaga kerja terampil, cekatan dan bersedia kerja keras dan tekun, ternyata tak gampang memperolehnya.
Apalagi yang menguasai teknik komputer, administrasi dan akuntansi maupun bahasa asing yang memadai. Ada sesuatu yang hilang terasa, proses pendidikan
yang refresentatif untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Ibu Lenny Liongsari ternyata merasakan hal yang sama. Ia yang kebetulan
sejak lama ingin mendirikan sekolah, mulai berpikir untuk mendirikan sekolah dibidang ekonomi dan bisnis. Namun sekolah dengan ukuran standar yang ada,
dirasakan tidak memadai. Ia merasa perlu membuat sekolah dengan nilai plus, dengan kemampuan alumninya ia benar-benar bekerja. Hal ini diutamakan Amrin
Susilo Halim, yang diminta untuk mencari tokoh yang dapat merealisasikan pikiran-pikirannya tersebut. Amrin kemudian mengajak serta Subanindyo
Hadiluwih bekerja sama dengan Andriasan Sudarso, yang sudah lama pula menangani lembaga serupa. Mulailah tim ini bekerja keras untuk
merampungkannya. Ketika kemudian Departemen P dan K meluncurkan konsep Link
Match, tim kecil itu merasa memperoleh petunjuk. Artinya, kurikulum dan silabus yang harus disusun, dapat diarahkan mendekati kebutuhan pasar kerja. Tentu
harus bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan pengguna tenaga kerja melalui
Universitas Sumatera Utara