AirAsia sebagai penerbangan bertarif rendah low fare flight, AirAsia melakukan re-branding untuk menegaskan bahwa faktor keselamatan dan kenyamanan adalah prioritas utama bagi
mereka. Selain itu, AirAsia juga berusaha untuk menunjukkan empati dengan mengubah logo AirAsia yang tercantum di seluruh platform media sosial mereka, dari karakter brand yang ceria
merah menyala menjadi abu-abu yang diasosiasikan dengan situasi berkabung. Melalui perubahan ini, AirAsia tampaknya ingin merefleksikan tragedi yang sedang mereka alami.
Gestur yang sederhana, namun menunjukkan kesungguhan mereka dalam merespon krisis. Gestur kecil yang juga sarat makna ditunjukkan oleh Tony Fernandes, yang tampil di hadapan
publik tanpa topi merah yang biasanya ia kenakan signature red cap untuk menunjukkan bahwa ia sedang dalam masa berkabung.
F. Strategi Komunikasi Krisis AirAsia
Bernstein 2013 mengatakan bahwa kegagalan utama yang sering terjadi adalah ketidakmampuan organisasi untuk mengidentifikasi berbagai isu komunikasi yang terkait dengan
respon terhadap krisis atau bencana. Organisasi seringkali tidak menyadari bahwa mereka bisa menjangkau setiap kelompok kepentingan jika mereka menggunakan strategi komunikasi
internal dan ekternal, serta menggunakan saluran komunikasi yang paling baik yang tersedia. Langkah-langkah dasar untuk melakukan komunikasi krisis yang efektif tidak sulit, namun
membutuhkan pengalaman dan jam terbang untuk bisa meminimalisir kerusakan yang ditimbulkan. Semakin lambat respon terhadap krisis, maka semakin besar kerusakan yang akan
timbul. Menurut Firman Nova 2014, ketika krisis terjadi, media firestorm badai media dapat dengan cepat menyerang organisasi. Oleh karena itu, perusahaan harus secara efektif merespon
tuntutan mitigasi krisis. Untuk merespon krisis secara efektif, perlu lebih dari sekedar ketrampilan public relations. Pengalaman lapangan, seperti melakukan investigasi, pemahaman
terhadap publik dan situasi politik, dan lainnya juga sangat diperlukan. Strategi ekstra juga dibutuhkan. Misalnya proaktif dengan media; merekrut pihak ketiga, seperti jurnalis senior,
tokoh masyarakat, atau opinion leader yang dapat memberikan masukan positif bagi perusahaan; dan responsif terhadap isu yang ada tanpa menunggu menjadi bulan-bulanan media dan
masyarakat.
Segera setelah informasi mengenai hilangnya pesawat QZ8501 diterima, CEO Group, Tony Fernandes mengambil langkah cepat dalam memanfaatkan Twitter untuk memberikan update
mengenai nasib dan keberadaan pesawat tersebut. Pesan-pesan posistif yang disampaikan oleh Tony Fernandes di media sosial mendapatkan respon yang segera dan luas. Selain itu, update
yang konstan atau terus-menerus dari CEO seorang perusahaan akan meminimalisir berkembangnya rumor yang tak diinginkan. ‘Kicauan’ yang terus-menerus, di tengah-tengah
pernyataan resmi AirAsia untuk media yang juga terus mengalir, menunjukkan dukungan dan empati bagi siapa saja yang menyaksikan krisis berlangsung. Di saat yang bersamaan,
manajemen AirAsia juga selalu mereproduksi siaran pers untuk kemudian pesannya yang baru fresh content diunggah ke Facebook. Saat menghadapi krisis, saluran media sosial AirAsia
selalu terbuka dan tak pernah terputus. Langkah-langkah komunikasi krisis yang dilakukan oleh AirAsia, menggambarkan strategi
komunikasi krisis yang efektif Nova, 2014 yang mempertimbangkan berbagai tujuan berikut: 1. Memelihara hubungan.
Apa yang ditunjukkan oleh manajemen AirAsia adalah sebuah upaya untuk memelihara hubungan dengan publik, terutama pelanggan yang menjadi korban dalam musibah jatuhnya
pesawat QZ8501. Kecelakaan pesawat dapat menghilangkan kepercayaan publik kepada AirAsia, apalagi jika manajemen tidak mampu menunjukkan respon yang baik dalam
menghadapi musibah yang terjadi. Keterlibatan CEO AirAsia Group secara personal di lapangan, hadir di tengah-tengah keluarga korban yang menunggu kabar tentang proses
pencarian dan evakuasi korban, kicauan-kicauan yang ‘menyentuh hati’ dan terus menerus, serta informasi yang terus-menerus dari pihak manajemen, meskipun dalam situasi hanya
sedikit yang bisa disampaikan – menunjukkan perhatian dan kepedulian yang sangat personal. Perhatian dan kepedulian manajemen terhadap detil juga terlihat dari perubahan logo AirAsia
yang tadinya berwarna merah menyala menjadi abu-abu untuk menunjukkan bahwa seperti halnya keluarga korban, seluruh keluarga besar AirAsia juga sedang dalam masa berkabung.
Mantan CEO AirAsia Indonesia, Dharmadi, seperti dikutip dari Tribunnews 2015 mengungkapkan, “
Kami berupaya menangani krisis ini sebaik mungkin. Korban dan keluarganya memiliki keterikatan yang kuat, menjadi bagian dari
AirAsia Indonesia. Bahkan,
kami mengerahkan 55 orang staf untuk melayani komunikasi kepada pihak keluarga korban
yang berjumlah 55 keluarga. Ini komitmen kami untuk tetap dekat dengan keluarga korban,
2. Mudah diakses oleh media berita. AirAsia Indonesia cukup sigap memberi fasilitas pada media dan hadir dengan reguler untuk
memberi kabar terbaru bagi keluarga penumpang dan publik. Meski demikian, manajemen AirAsia juga tidak terlepas dari kritik ketika pada awal Januari 2015, Kementerian
Perhubungan mengatakan bahwa pesawat bernomor penerbangan QZ8501 rute Surabaya- Singapura tidak memiliki izin saat terbang. Hal ini disebabkan karena manajemen AirAsia
sempat ‘bungkam’ berjam-jam setelah berita tersebut terkuak. Hal ini kontras dengan saat CEO Tony Fernandes mengambil peran terdepan di televisi maupun Twitter dalam beberapa
hari sebelumnya. Ia kerap menyampaikan belasungkawa dan menegaskan akan bertanggung jawab atas kecelakaan QZ8501. Menanggapi hal tersebut, Sunu Widyatmoko, CEO AirAsia
Indonesia, akhirnya merilis sebuah pernyataan pendek: “Seperti yang Anda ketahui pemerintah telah memberhentikan sementara rute QZ8501 dari Surabaya ke Singapura [dan]
sebaliknya. Untuk itu, pemerintah melakukan proses evaluasi untuk investigasi. Manajemen AirAsia akan bekerja sama penuh dengan pemerintah dalam proses evaluasi tersebut. Dalam
hal itu kami, manajemen AirAsia, tidak akan berkomentar dalam periode proses evaluasi sampai hasil evaluasi diumumkan.”
Situasi tersebut menunjukkan bahwa ketika media tidak bisa mendapatkan cukup informasi dari sumber utama yang kredibel, media akan mencari informasi dari sumber-sumber lain
yang mungkin tidak bisa diandalkan dan menggiring opini yang mungkin justru akan mengancam reputasi perusahaan. Menanggapi pernyataan AirAsia yang mengatakan “tidak
akan berkomentar sampai hasil evaluasi diumumkan”, Tom Evrard, seorang ahli komunikasi krisis di FTI Strategic Communication di Singapura The Wall Street Journal, 2015
mengatakan AirAsia bertindak benar dengan tidak berkata apa-apa sampai semua fakta terkumpul. Meskin demikian, dalam situasi krisis di mana setiap orang berkepentingan untuk
mengetahui setiap perkembangan yang berlangsung, maskapai harus mengumpulkan fakta secepat mungkin dan dalam proses tersebut jangan menghindar dari media.
3. Menunjukkan empati terhadap orang yang terlibat. Melalui ‘kicauan’ yang diunggah di media sosial, khususnya Twitter, baik AirAsia maupun
CEO AirAsia berungkali menyampaikan rasa duka yang mendalam bagi korban dan keluarganya serta ungkapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu upaya
pencarian dan evakuasi korban. Selain melalui bahasa verbal, berbagai gestur manajemen juga meunjukkan empati, seperti Tony Fernandes yang menanggalkan topi merah yang selama ini
menjadi signature-nya, logo AirAsia yang berubah warna menjadi abu-abu, dan lain-lain. Hal-hal tersebut merupakan sebuah gestur yang sederhana namun menunjukkan keseriusan
AirAsia dalam menghadapi krisis.
4. Membuka akses distribusi informasi. Sejak awal, AirAsia paham bahwa dalam situasi krisis, informasi adalah hal yang sangat
dibutuhkan terutama oleh keluarga korban. Karenanya, AirAsia menegaskan komitmen mereka untuk membuka setiap informasi dan temuan kepada publik. Selain membuka
berbagai saluran komunikasi untuk publik, pesan-pesan komunikasi krisis Airasia juga tampak terkoordinasi dengan baik, dengan CEO AirAsia Group, Tony Fernandes mengambil
peran dalam memimpin tim komunikasi krisis AirAsia. AirAsia menunjukkan kepekaan mereka dengan menunjukkan komunikasi top-down dari seorang figur besar korporat yang
dalam situasi krisis biasanya ‘hilang’ atau menghindar dari publik.
5. Perampingan proses komunikasi. Alih-alih menunjuk juru bicara untuk mewakili perusahaan, CEO AirAsia turun langsung
sebagai frontman dalam membangun komunikasi dengan publik. Selain menyediakan sumber terpercaya, turun tanggannya CEO secara langsung menunjukkan kesungguhan AirAsia
dalam menghadapi krisis. Tony Fernandes selaku CEO selalu hadir di hampir setiap konferensi pers yang digelar. Selain itu, Fernandes juga membuka dialog dan merespon setiap
pertanyaan, baik dari wartawan maupun keluarga korban.
6. Aktif dalam berkomunikasi dan memberikan informasi, serta menggunakan komunikasi multi-channel.
Dalam menghadapi krisis, manajemen AirAsia berupaya untuk terus membangun komunikasi yang timbal balik mutual dengan berbagai pihak, terutama dengan keluarga korban dan
media. Untuk itu, AirAsia menyediakan hotline service bagi kedua pemangku kepentingan
tersebut. Selain direct line, AirAsia juga memanfaatkan media sosial terutama Facebook dan Twitter untuk membangun komunikasi yang interaktif. Tony Fernandes juga tergolong aktif
dalam memberikan informasi kepada publik. Ia seringkali tidak perlu menunggu sampai semua fakta terkumpul dan kemudian memolesnya menjadi pernyataan resmi sebelum
mengunggah serangkaian kicauan tweets yang bisa diakses oleh publik. Justru karena apa adanya, Fernandes tampak jujur dan bersungguh-sungguh dengan segala yang ia ucapkan.
Dalam situasi krisis, jujur atas ketidaktahuan kita akan situasi yang sebenarnya seringkali jauh lebih baik daripada menahan informasi – hingga semua fakta terkumpul, karena ketiadaan
informasi dalam jangka waktu yang lama akan membuat publik menjadi frustasi.
Selain strategi komunikasi krisis yang dikemukakan oleh Nova di atas, beberapa pendekatan komunikasi krisis lainnya yang juga dilakukan oleh AirAsia di antaranya:
1. Corporate Apologia. Strategi ini menekankan pada upaya organisasi untuk menyampaikan