I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Setiap organisasi rentan terhadap krisis, termasuk bagi korporasi maupun institusi bisnis lainnya. Krisis merupakan suatu peristiwa yang kehadirannya dapat membahayakan atau mengancam
citra, reputasi, stabilitas keuangan suatu organisasi, bahkan mengancam keberlangsungan hidup organisasi Nova, 2014. Meski krisis juga bisa menjadi sebuah peluang bagi organisasi untuk
memperbaiki dan mentrasformasi diri, namun pada umumnya kegagalan mengelola krisis akan berakibat pada hal-hal negatif yang telah disebutkan di atas.
Pada 28 Desember 2014, Air Traffic Control ATC kehilangan kontak dengan pesawat AirAsia QZ8501 sejam setelah pesawat meninggalkan Surabaya menuju Singapura. Belakangan
diketahui bahwa mesin pesawat mati setelah naik dengan kecepatan abnormal dalam kondisi cuaca yang buruk dan kemudian jatuh di perairan Selat Karimata. Bagi maskapai atau
perusahaan penerbangan, insiden yang menimpa penerbangan adalah salah satu krisis besar yang mengancam reputasi dan keberlangsungan hidup perusahaan. Banyak maskapai yang hancur
reputasinya akibat insiden yang menimpa penerbangan mereka, hingga lambat laun ditinggalkan oleh konsumennya. Maskapai Adam Air di Indonesia adalah salah satu contoh bagaimana
manajemen perusahaan gagal mengembalikan citra perusahaan setelah kecelakaan yang menimpa penerbangan mereka dan pada akhirnya harus gulung tikar. Tidak berapa lama sebelum
kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 terjadi, maskapai Malaysian Airlines MAS juga mengalami insiden di mana pesawat MH370 milik maskapai mereka dinyatakan hilang. Selama
periode pencarian search and rescue, pihak MAS dianggap tidak memberikan informasi yang cukup dan cenderung tertutup kepada keluarga korban dan publik. Pendekatan komunikasi MAS
dalam merespon insiden tersebut mendapatkan kritik dari banyak pihak hingga menyebabkan Chief Executive Officer CEO MAS, Ahmad Jauhari Yahya, mengundurkan diri dari jabatannya.
Seni berkomunikasi memang bukan hal yang mudah, dan berkomunikasi pada saat krisis jauh lebih sulit daripada berkomunikasi dalam interaksi sehari-hari. Hal ini disebabkan karena banyak
faktor yang akan turut mempengaruhi. Resiko munculnya rumor dan kesalahpahaman juga sangat besar dalam situasi ini.
Dalam situasi krisis, kecepatan respon sangat penting. Tanggapan tertunda akan menciptakan kesenjangan kredibilitas. Pihak Manajemen AirAsia tampaknya
memahami hal tersebut. Segera setelah insiden, mereka bergerak cepat dengan mengoptimalkan saluran media baru, seperti menggunakan seluruh platform media sosial yang mereka miliki
untuk berkomunikasi dengan publik. Y
ang tak kalah penting, tim public relations AirAsia segera menjadikan CEO AirAsia, Tony Fernandes, sebagai ikon penting di dalam mengelola krisis.
Pergerakan cepat CEO AirAsia ini terpantau mulai dari keberangkatan ke Surabaya. AirAsia ingin menunjukkan rasa empati, rasa bersama menanggung kesedihan bersama keluarga yang
sedang cemas ketika itu. Di saat yang bersamaan, rasa empati tersebut juga mereka tunjukkan melalui media Twitter, Facebook, dan pernyataan-pernyataan resmi yang dikeluarkan pada saat
konferensi pers. AirAsia mengambil langkah-langkah komunikasi yang sangat humanis pada saat krisis terjadi. Strategi komunikasi yang dipilih oleh AirAsia tersebut sangat berbeda dengan
strategi yang dipilih oleh Malaysia Airlines pada saat menghadapi musibah hilangnya pesawat MH370. Pendekatan MAS dianggap sangat tertutup dan membiarkan orang-orang berada dalam
ketidakpastian informasi atas apa yang terjadi dengan pesawat mereka. Sementara
AirAsia begitu sigap memberikan fasilitas pada media dan hadir dengan reguler untuk memberi kabar terbaru
bagi keluarga penumpang dan publik. Pendekatan lain adalah munculnya CEO AirAsia sebagai frontman dalam strategi komunikasi
krisis mereka. Segera setelah insiden, Tony Fernandes menyediakan waktunya untuk bertemu dengan media, berbicara dengan pejabat pemerintah yang berwenang, dan menginformasikan
setiap perkembangan terkini melalui akun Twitter pribadinya. Dia bersiap dengan fakta-fakta dan kesediaan berbagi apapun kebenaran yang berhasil diungkap. Dia tampak begitu tulus dan
bersungguh-sungguh dalam setiap gesturnya. Dalam era digital, dengan begitu banyaknya platform media komunikasi yang tersedia, strategi
komunikasi krisis harus memperhitungkan keanekaragaman platform media tersebut, khususnya media sosial yang kini dapat diakses selama 24 jam penuh oleh setiap orang. Andreas Kaplan
dan Michael Henlein dalam Nova, 2014 mendefinisikan media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 dan yang
memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content. AirAsia dan Tony Fernandes
paham bahwa media sosial dapat menyelamatkan reputasi maskapai di tengah krisis yang terjadi saat ini. Dalam situasi krisis, kebanyakan eksekutif perusahaan akan melimpahkan tanggung
jawab komunikasi pada staf media sosial atau mempekerjakan seorang profesional. Namun AirAsia memilih pendekatan yang berbeda. Mereka justru menjadikan Tony Fernandes sebagai
wajah dari komunikasi krisis mereka. Melalui akun Twitternya, sikap dan pernyataan Fernandes bisa tersebar dengan luas secara viral. Selain mengandalkan akun pribadi Fernandes, AirAsia
juga meluncurkan kampanye media sosial dengan hashtag togetherwestand. Mereka juga mengumumkan bahwa setiap perkembangan mengenai QZ8501 akan dikomunikasikan melalui
halaman Facebook mereka. Akun AirAsia juga mengubah logo yang tadinya berwarna merah menyala menjadi hitam abu-abu sebagai tanda simpati dan duka, baik di Twitter maupun
Facebook. Sebuah gestur yang sederhana namun menunjukkan keseriusan mereka dalam menghadapi krisis. Tampaknya, media sosial menjadi strategi komunikasi utama AirAsia dalam
menghadapi krisis tersebut. Airasia juga melakukan praktik membawa kembali compassion ke dalam komunikasi krisis. Mengenai hal tersebut, Rony Tanubun, seorang keluarga korban
menyampaikan, “AirAsia selalu memberikan yang terbaik bagi kami dari hari pertama. Tragedi ini, apa yang kami bisa lakukan? Ini takdir dan bisa terjadi pada maskapai manapun. Saya tak
takut terbang dengan AirAsia, diakses dari http:bisnis.liputan6.comread2156996aksi- heroik-tony-fernandes-kuatkan-keluarga-korban-airasia
pada 15 Februari 2015, pukul 19.30 WITA.
Dari berbagai langkah komunikasi yang diambil oleh AirAsia dalam menyikapi insiden QZ8501, AirAsia muncul menjadi sebuah role model bagi komunikasi krisis. Sebuah pendekatan dan
kemampuan yang semestinya juga dimiliki oleh setiap organisasi, baik pofit maupun non-profit, baik privat maupun publik, agar bisa bertahan dan memperbaiki diri setelah sebuah periode krisis
menghantam organisasi. Oleh karena itu, penting untuk memahami lebih jauh mengenai bagaimana strategi komunikasi krisis yang dikembangkan oleh AirAsia, khususnya dalam
menanggapi insiden jatuhnya pesawat QZ8501. Pemahaman mengenai strategi tersebut akan berguna bagi setiap organisasi, karena secara alamiah, setiap organisasi sangat rentan terhadap
krisis. Apalagi Indonesia adalah negara yang sangat rentan dengan berbagai bencana, baik alam maupun sosial, sehingga pembelajaran mengenai komunikasi krisis yang efektif adalah
pengetahuan dasar yang semestinya dimiliki oleh organisasi, baik milik negara maupaun swasta.
I.2 Perumusan Masalah